Share

part 3

Rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur, dan pastinya aku akan menghadapi drama yang lebih menyakitkan mulai saat ini. Satu rumah bersama mantan kekasih yang telah menjadi adik ipar, apa aku mampu menata hati untuk tegar? Susah sekali bukan.

Biasanya pagi-pagi aku sudah mendengar omelan ibu, kenapa hari ini tak ada ketukan pintu. Lebih baik aku keluar dan mulai masuk kerja secepat mungkin. Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk bersiap, setelah selesai gegas aku keluar.

“Cin, makan dulu Nak,” ajak ibu. Ibu yang berada di ruang makan menyambutku yang baru saja keluar dari kamar.

Kamarku memang tak jauh dari ruang makan, aku memilih kamar lantai bawah karena memang lebih enak dan tak perlu naik turun tangga.

Aku mengerutkan dahi, tidak seperti biasanya, tetapi aku sudah paham, jika ibu bersikap manis pasti ada yang ia inginkan. Ah, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadap ibuku, mungkin saja ia telah berubah atau merasa iba dan menyesal dengan perlakuannya selama ini.

“Aku enggak laper, nanti aja sarapan di kantor,” jawabku enteng.

"Jangan gitu, nanti kamu sakit. Ayo makan dulu sama-sama.” Ibu menghampiri dan menarikku pelan mengajak untuk duduk bersama di meja makan.

“Terus terang aja Buk, enggak usah basa-basi, Ibuk mau apa?”

“Kok gitu sih, ayo makan dulu.”

“Aku buru-buru, lagian enggak selera juga makan bareng mereka.” Kulirik dua sejoli yang duduk bersama ayah.

“Ayolah, Ibuk udah masak opor ayam kesukaan kamu.”

Ah, rasanya aku sudah tidak ingat, kapan ibu terakhir mengatakan hal semacam itu. Aku menghela nafas, sebenarnya malas sekali untuk duduk bersama mereka, tetapi aku perlu tahu apa yang diinginkan ibuku sampai memasakkan makanan kesukaanku.

Duduk di samping ibu dan berhadapan dengan Andre benar-benar membuat selera makanku hilang. Dia hanya diam menunduk sambil memainkan sendok, sesekali menatapku lalu kembali menunduk.

“Jadi gini Cin, rumah yang kalian beli, Valen mau nempatin itu,” ungkap ibu.

Nah kan, sudah kuduga. Baru saja akan menyuap nasi ibu sudah mengatakan apa yang ia inginkan, aku sudah menduganya. Jika tak ada yang dia inginkan tentu saja dia tak akan berbuat begini padaku.

“Oh, jadi ini mau Ibuk, sampai bela-belain masakin aku makanan enak, rupanya mau minta rumah untuk putri tersayang Ibuk itu yang gak bisa apa-apa.”

“Ya kan, tu rumah juga dari tabungan kamu sama Andre, wajar dong kalau Valen mau nempatin, dia berhak juga, selain dia adik kamu dia juga istrinya Andre.”

“Ibuk tanya sama mantu Ibuk itu, berapa uang dia yang masuk buat beli tuh rumah. Kalau dia bisa bayar semua uang aku buat nambah lunasin tuh rumah aku kasih mereka tinggal disana.”

“Loh, bukannya itu tabungan kalian sama-sama? Udahlah Cinta, kamu nanti kalau udah punya suami juga bisa kan tinggal sama Ayah sama Ibuk, kalau enggak kamu bisa minta sama suamimu nanti. Rumah yang itu kamu relain aja buat Valen sama Andre.”

Aku tertawa mendengar ucapan ibu, apa yang tidak kuberikan untuk mereka, apa yang tidak kukorbankan untuk mereka? Bahkan separuh gajiku sudah kuberikan untuk ibu, satu-satunya usahaku yang tak ingin aku beritahukan kepada ibu hanya toko bunga yang dikelola Rania. Aku sengaja merahasiakan itu dari ayah dan ibu, membiarkan mereka mengira bahwa toko bunga itu milik Rania sendiri, karena memang sejak dulu bagaimanapun usahaku untuk menyenangkan ayah dan ibu, tetap tak pernah dianggapnya. Mereka selalu kurang dan kurang. Aku tak mengapa setiap kali ia membandingkan aku dengan anak tetangga, dengan Rania yang mereka pikir mengelola toko bunga yang besar miliknya. Bahkan kerap kali aku dibandingkan dengan Valen yang menurutku tak ada secuil kuku lebih hebat dariku. Bukannya aku ingin sombong tetapi itulah kenyataannya, Valen tak bisa apa-apa selain memberikan beban kepada orang tua.

“Andre, ayo dong buka suara. Masa iya aku yang mau jelasin itu semua.” Kutatap tajam Andre yang masih menunduk.

Selama ini aku au diam, tentu saja karena aku tidak ingin mempermalukannya, pikirku aku ingin suamiku dipandang sempurna. Kubiarkan semua orang tahu dialah yang membayar satu per delapan rumah itu, kubiarkan dia mengelola coffee shop kami, hanya mengelola tanpa mengeluarkan sedikitpun modal. Kuberitahukan kepada orang tuaku bahwa itu usaha kami berdua dan modal dari kami berdua agar dia diterima baik oleh ibu, agar dia tak malu kepada ayah karena sejujurnya dia hanya seorang pengangguran setelah di PHK dari kantornya. Aku tak mempermasalahkannya saat itu, karena aku pikir setelah menikah kami bisa mengelola usaha bersama-sama, tetapi rupanya ia lebih memilih menghianatiku.

Tentu saja, sekalipun aku punya banyak usaha yang sukses, tak akan ada yang memberikan cinta tulus kepada gadis kuper dan jelek sepertiku. Cinta yang tulus tanpa memandang fisik dan lainnya, itu tak pernah ada. Kebohongan yang nyata di dunia ini, hanya saja wanita terlalu bodoh mempercayai hal semacam itu, termasuk aku.

“Kenapa Andre? Benarkan, itu rumah kalian berdua yang beli, jadi kamu bayar aja setengahnya sama Cinta. Atau kedai kopi biarkan untuk Cinta semnetara kamu bisa ambil rumah sama Valen, adil kan?” tutur ibu memberi ide.

“Buk, sebenarnya …. ”

Valen menghentikan Andre, memegang tangannya membuat Andre tak melanjutkan ucapan.

“Buk, nanti biar aku urus sama Kak Andre, sekarang kan Kak Cinta lagi emosi. Mana mungkin semudah itu ngelepasin,” ujar Valen.

Aku tertawa tipis melihatnya, apa Andre mengatakan semuanya lebih dulu kepada istrinya sehingga Valen tak ingin Andre mngungkap kebenarannya. Baiklah jika begitu akan aku lihat sampai mana mereka bisa bersandiwara.

“Tapi kan, itu rumah seperti impian kamu Valen.” Ibu masih tak ingin mengalah.

“Gak papa nanti aku ngomong sama Kak Cinta dan Kak Andre, sekarang juga Kak Cinta mau kerja.”

“Oke kalau gitu, aku pamit kalau gak ada lagi yang perlu diomongin.”

Kuambil tas yang ada di sampingku, menatap sekilas Andre dan Valen, kuberikan senyuman manis untuk mereka berdua, aku tidak ingin mengungkap semuanya dari mulutku, kubiarkan mereka berdua masuk kedalam permainannya sendiri. Apa yang akan dihabiskan Valen untuk menutupi kebohongannya.

Ayah yang sejak tadi diam saja dan lebih memilih menikmati makanannya menyusulku saat aku hendak menstarter motor.

“Cinta, tunggu Nak.”

“Kenapa?” tanyaku datar.

Sejak kejadian tamparan kemarin aku enggan sekali berkata lembut kepada ayah. Padahal dulu ia masih sering membelaku jika ibu sedang mengomel tidak karuan kepadaku.

“Ayah cuma mau bilang ….”

“Apa? Ayah juga ingin aku menyetujui ucapan Ibuk, dan memberikan semuanya kepada Valen? Ah, lebih tepatnya memberikan apapun sampai tetes darah untuk menopang kehidupan putri Ayah itu?”

“Bukan begitu Cinta, Ayah hanya ….”

“Udahlah Yah, sampai kapanpun Cinta enggak akan berikan itu, itu hak Cinta hasil kerja Cinta. Apa Ayah setakut itu dari Ibuk sampai mengemis seperti ini kepadaku?”

Ayah menunduk, sebenarnya aku tak tega menyakiti ayah. Namun, aku juga lelah jika terus diperlakukan seperti ini. Aku ingin menikmati kehidupanku.

“Ayah hanya minta maaf,” ucapnya.

Aku menatap ayah sejenak, melihat wajahnya yang sudah semakin tua dengan banyak kerutan wajah. Mungkin banyak hal yang ia pikirkan, seharusnya di hari tua ayah ia bisa menikmati kehidupan yang nyaman.

“Cinta udah maafin kalian semua, tapi Cinta enggak bisa lupain, Ayah. Jadi maaf kalau Cinta kali ini enggak bisa jadi anak yang nurut sama Ayah.”

Kulajukan sepeda motor, tak ingin lagi berbicara lebih banyak dengan ayah. Aku tak akan bisa menahan air mata terlalu lama jika harus dihadapkan dengan ayah. Dua puluh dua tahun sudah kutermia semuanya, perlakuan berbeda dari ibu dan ayah antara aku dan Valen, apakah salah jika sekarang aku ingin menikmati hidup sesuai dengan apa yang aku harapkan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status