Humairah menutup pintu kamarnya. Pertemuan hari ini begitu mengejutkan. Bagaimana tidak, orang yang tak sengaja dia temui di mesjid setelah dipatahkan oleh keadaan adalah sosok laki-laki yang sudah lama dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Dia tidak memungkiri bahwa sikapnya persis dengan sikap Rayhan. Dia mampu memberikan kesejukan saat hatinya rapuh. Bahkan patah. "Ya, Allah, apakah dia jodohku?"Humairah berjalan ke sisian ranjang kemudian mendudukkan dirinya. Disentuhnya dada kiri yang sejak tadi tiba bisa ditahan untuk tidak mengeluarkan detaknya yang tak berirama. Humairah tersenyum tipis. Melihat tatapan teduh dari Hadid membuatnya merasa nyaman. "Astaghfirullah."Humairah buru-buru berdoa agar dijaga hatinya. Suara pintu diketuk. Rupanya ada Umi Hilda. "Sibuk, Nak?""Tidak, Umi."Umi Hilda tersenyum dan duduk di sebelah putrinya. "Bagaimana pendapatmu tentang Hadid?"Humairah menunduk dalam. Kedua jari telunjuknya memilin ujung jilbabnya. "Apa kamu setuju?""Insya Allah,
"Menghadiri undangan itu wajib selama tidak ada halangan syar'i, Dek.""Tapi, Mas ....""Kamu tenang saja. Atau kamu juga mau ikut?"Sofia terdiam. Dia merasa ragu. Namun, atas penjelasan Rayhan akhirnya dia memilih ikut. Sepanjang jalan Sofia memilih diam. Farhan terus berusaha mencairkan suasana dengan bermain bersama Fatih. Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh hingga tampak terlihat janur kuning melengkung. Farhan turun, menyusul Rayhan dan keluarga kecilnya. Mereka memasuki ruangan. Rupanya keluarga calon mempelai pria belum tiba. "Belum tiba, Han.""Biar saja. Kita di sini menunggu."Tiba-tiba datang sosok yang mereka kenal. Ustaz Afwan."Assalamu'alaikum, Rayhan, Farhan."Keduanya mendekat dan mencium punggung tangan gurunya yang sangat mereka hormati. Ustaz Afwan tersenyum lebar dan memeluk satu per satu muridnya. Rasa rindu bertahun-tahun akhirnya terobati. "Apa kabar, Ustaz?""Alhamdulillah, baik. Kalian bagaimana?""Alhamdulillah, Ustaz."Matanya beralih pada dua
"Alhamdulillah ya, Allah," pekik Azizah saat dua garis merah tampak di depan matanya. Tubuhnya langsung bersujud dan terus menyebut asma' Allah. Air matanya luruh. Azizah terisak di dalam sujudnya. Penantiannya selama ini terjawab. Allah masih memberinya kepercayaan untuk dititipkan amanah. "Mas Rayyan harus tahu."Azizah bergegas keluar dari kamar. Langkahnya dipercepat. Air mata tak berhenti mengalir dari mata indahnya. Beberapa santriwati yang kebetulan lewat di sana sedikit heran dengan sikap Ustazahnya kali ini. "Mas, lihat Mas Rayyan?"Rayhan yang baru saja selesai mengajar di kelas berhenti sejenak."Sepertinya masih di kantor. Kenapa, Zah?""Aku harus bertemu dengan dia, Mas.""Ada yang mencoba menyakitimu? Bilang sama Mas."Azizah menggeleng. Rayhan tak mengerti karena melihat mata Azizah yang terus mengkristal. "Aku ingin memberi dia kejutan.""Ya sudah, kamu tunggu dia di rumah, biar Mas yang panggilkan dia ya?" bujuk Rayhan.Azizah mengangguk antusias. Dia kemudian b
"Rayyan, bawa aku pergi!"Rayyan mengernyitkan dahi tak mengerti apa yang dimaksud Sofia. "Bawa pergi ke mana?"Sofia semakin gelisah. Tangannya sibuk memilin ujung khimarnya. Sikap Sofia saat ini justru membuat Rayyan semakin tak mengerti. Perlahan isak tangis terdengar. Rayyan memberanikan diri menatap wajah kekasihnya. "Ada apa, Sofia?" "A-ayah menjodohkan a-aku dengan seseorang," ucapnya dengan suara terbata. Rayyan terdiam. Ini bukan hal yang mudah. Dia begitu mengenal bagaimana watak Ustadz Azzam-Ayah Sofia. Rayyan mengembuskan napas berat. Pandangannya lurus ke depan. Ada rasa yang tak mampu dia ungkapkan. "Rayyan, aku tidak ingin dijodohkan. Kamu tahu rasa ini tertuju untuk siapa. Aku mohon Rayyan, bantu aku!" pinta gadis cantik berbalut khimar cokelat susu dengan gamis berwarna hitam. "Aku harus bagaimana, Sofia? Tidak mungkin aku melawan keinginan Ustadz Azzam.""Bawa
"Abi ingin membicarakan sesuatu pada kalian berdua," ucap Ustaz Luthfi saat mereka berkumpul di ruang keluarga. Semua yang hadir hanya bisa diam menunggu apa yang akan dibahas oleh abi mereka. "Akhir-akhir ini abi sering bertemu dengan sahabat lama abi. Kalian pasti mengenal Ustaz Khairul Azzam bukan?" Mereka spontan mengangguk. "Beliau memiliki seorang putri yang begitu cantik dan shalihah. Beberapa bulan yang lalu baru saja menyelesaikan pendidikannya dan abi memutuskan untuk menjodohkannya dengan salah satu di antara kalian."Rayhan dan Rayyan spontan mengangkat wajah yang sejak tadi tertunduk. Mereka berdua tidak menyangka akan keputusan abinya. Jauh dari dalam lubuk Rayyan, dia begitu bahagia. Dia tidak menyangka bahwa lelaki pilihan Ustaz Azzam adalah dirinya. Dia sangat yakin mengingat Ustaz Azzam begitu dekat dengan dirinya. Senyumnya mengembang dengan perasaan yang sulit diungkapkan.Berbeda dengan Rayhan, dia tidak ingin menerima perjodohan
Sofia terus berusaha menghubungi Rayyan, akan tetapi sudah dua hari berlalu, Rayyan tak kunjung datang untuk menemui ayahnya. Pikirannya semakin kalut. Sofia yakin, tidak membutuhkan waktu lama untuk ayahnya menjalankan rencana perjodohan itu. "Sofia?" tegur seseorang. Sofia menoleh lalu memeluk erat laki-laki ke dua setelah ayahnya. Alfi yang tak lain adalah putra sulung dari Ustaz Azzam. "Kenapa, Dek? Kok sepertinya lagi galau?" goda Alfi. Sofia menuntun kakaknya untuk duduk di sampingnya. Alfi tak berhenti memandangi wajah adik kesayangannya itu. "Mas Alfi belum tahu?" tanya Sofia ragu. "Soal?"Sofia mengembuskan napas panjang. Alfi mengerti kegundahan hati adiknya. Setelah pertemuan itu, ayahnya langsung menelpon putra sulungnya. Tentu Alfi hanya bisa menyetujui keputusan ayahnya. Sofia memandang wajah kakaknya dengan tatapan memohon. Berharap Mas Alfi bisa membantunya. "Sofia dijodohkan, Mas, dengan putra Ustaz Luthfi," liri
"Maaf, Sofia, sepertinya aku harus berhenti berjuang."Ucapan Rayyan seperti sembilu yang mengoyak luka yang sudah menganga. Begitu perih dan sakit yang dia rasakan. Sofia tak mengerti jalan pikiran Rayyan. Dia sudah berjuang di hadapan ayahnya. Namun, pada kenyataannya, Rayyan menyerah pada takdir. "Maksud kamu apa, Ray?" tanya Sofia dengan linangan air mata yang tak mampu lagi dia tahan. "Mungkin kita harus berhenti sampai di sini, Sofia. Tak baik rasanya menentang restu," lirih Rayyan. Sofia menutup mulutnya berusaha agar suara tangisnya tak terdengar. Hatinya menjerit dan ingin sekali meratapi takdir yang sedang mengintai mereka. Kenapa begitu sulit untuk mempertahankan cinta ini? Sofia merasa berjuang sendirian. Lalu, apa artinya jika yang diperjuangkan justru mengibarkan bendera perdamaian?"Rayyan, aku sudah berusaha memperjuangkannya di hadapan ayah. Barusan ayah memintamu untuk datang menemuinya. T-tapi, kamu malah ....."Sofia tak
"Ayah, bukankah dia Rayyan?" tanya Sofia. Ustaz Luthfi tersenyum. "Dia saudara kembar Rayyan."Sofia menutup mulutnya karena tak percaya dengan kenyataan yang ada."Kamu mengenal adikku?" tanya Rayhan. Sofia menunduk. Dia tidak tahu harus berkata apa. Haruskah dia jujur saat ini? Rasanya kurang pantas. Sofia merasa tidak mungkin mengatakan bagaimana mereka saling mencintai. Bagaimana mereka saling membawa nama dalam do'a. Sofia takut itu justru melukai hati calon suaminya. "Aku hanya mengenalnya sebagai murid kesayangan ayah," terang Sofia. "Syukurlah," gumam Rayhan seraya tersenyum. "Nah, karena kalian sudah bertemu, ini adalah kesempatan baik untuk kalian berdua. Untuk mengenal lebih dalam bahkan untuk mengetahui bagaimana rencana masing-masing dari kalian untuk ke depannya, kalian berdua bebas untuk bertanya," jelas Ustaz Luthfi. "Tentu saja di setiap pertanyaan itu, kalian berhak menjawab atau justru tidak menjawabnya jika dianggap