Share

Apa Aku Di Neraka?

Rena tersenyum. “Terima kasih telah memberitahuku, Tuan.”

Seulas senyum terbit di wajah keriput tersebut. “Sama-sama. Hati-hati.”

Gadis berambut pirang sepinggang tersebut melenggang pergi ke arah yang disebutkan oleh si pelayan. Sepuluh menit kemudian dia sudah berada di dalam taksi yang melaju ke alamat yang telah dia sebutkan, memandang ke luar kaca jendela dengan pikiran melayang tak tentu arah.

Hidupnya tak seberat itu, tak pula mencekam atau berantakan. Renata Vasquez hanyalah gadis muda lulusan SMA yang kesepian. Dia tak punya waktu untuk bersosialisasi karena harus bekerja dua shift di luar jam sekolah untuk membiayai pendidikan dan hidupnya.

Semenjak duduk di bangku SMP, panti asuhan yang menampungnya tak lagi bisa menanggung biaya hidupnya. Hanya ada dia dan seorang bayi perempuan yang diadopsi tak lama kemudian. Pengurus yang sudah sepuh meninggal tak lama kemudian dan Rena memutuskan untuk berjuang hidup sendiri.

Selepas SMA, dia tetap bekerja dua shift di restoran yang sama walau bosnya pelit. Paling tidak penghasilan yang dia dapat bisa membuatnya bertahan. Namun, rasa bosan kembali menantangnya untuk mengakhiri hidup.

“Kita sudah sampai,” ucap sopir muda yang sedang menoleh ke arah Rena, membuyarkan lamunannya.

‘Itu artinya aku sudah melamun lebih dari lima belas menit,’ batin Rena sembari menghela napas panjang, sementara tangannya membuka retsleting tas.

Dia mengerutkan alis dan sempat tak percaya pada matanya sendiri saat melihat tasnya dipenuhi dengan lembaran uang. Mencoba keluar dari situasi tersebut, diambilnya dua lembar dan menyerahkannya ada sang sopir.

Pria itu menerimanya dengan bingung. “Ini terlalu banyak, Nona.”

Sembari menutup retsleting tasnya, Rena tersenyum. “Tak apa, ambillah. Anda bisa makan enak hari ini.”

“Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan,” balas si sopir.

Rena melangkah turun dan memasuki gedung apartemen tempat tinggalnya. Apartemen murah yang letaknya di pinggiran kota London. Lagi-lagi menghela napas panjang, dia melangkah memasuki lobi yang sepi.

“Jangan lupa uang sewa bulan ini segera dilunasi!” ucap pemilik apartemen empat lantai yang sedang duduk di balik meja resepsionis, bahkan tanpa menoleh.

Biasanya Rena akan mengacuhkannya. Wanita tak ramah dan berkacamata tebal tersebut memang selalu berucap begitu pada setiap penghuni yang melewati meja resepsionis lapuk warna merah marun kesayangannya. Namun, gadis itu teringat akan tumpukan uang di tasnya dan memutuskan untuk menghampiri si cerewet dan membungkam mulutnya.

Dia menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada pasang mata yang melihat, lalu membuka resleting tasnya. Bekerja sebagai kasir restoran membuatnya mampu menghitung uang dengan cepat, lalu meletakkannya di atas meja.

Si pemilik gedung melihat ke arah tumpukan uang dan wajah Rena bergantian. Agaknya heran dari mana pekerja rendahan sepertinya mendapat uang di tanggal krisis, tapi enggan bertanya karena malas berbasa-basi.

Rena tersenyum, senyum yang tak menyentuh matanya dan hanya dimaksudkan sebagai formalitas, sebelum berlalu memasuki elevator berisik satu-satunya jalan mencapai lantai tiga jika malas menapaki tangga ke tempat tinggal mungilnya yang bahkan tak memiliki jendela.

Dikeluarkannya kunci dari saku celana dan membuka pintu tersebut. Lagi-lagi dia menghela napas panjang melihat betapa berantakannya tempat itu. Dengan semangat baru untuk melanjutkan hidupnya, dia memutuskan untuk membereskan tempat tinggalnya. 

‘Harus ada yang berubah,’ batinnya, sebelum teringat akan uang di tas  yang belum bisa dia pastikan jumlahnya.

Sambil berbenah, Rena berpikiran untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik dari apartemen tua tersebut. Paling tidak apartemen yang lebih baik dan tak bau apek, juga yang tak membuatnya berurusan dengan tetangga-tetangga pemabuk yang kerap bersikap kurang ajar, juga memiliki jendela dan kalau beruntung, ada balkonnya.

Beberapa jam berlalu. Rena baru saja kembali dari toko laundry dan mengempaskan bokongnya di tepi tempat tidur. Suasana hatinya jauh lebih baik karena tempat tinggalnya kini bersih dan rapi. Dia membuka kantung kertas dan mengeluarkan sebuah burger, lalu segera melahapnya, menutup makan malamnya dengan sebotol air mineral sebelum naik ke tempat tidur.

Gadis muda berhidung mancung tersebut tak menyangka hari liburnya bekerja akan dilalui dengan acara bunuh diri dan diakhiri dengan beberes. Besok dia harus bekerja kembali, sepertinya hanya satu shift karena harus berkeliling untuk mencari tempat tinggal baru setelahnya. Matanya terpejam saat rencana di kepalanya sudah matang.

**** 

Rena terbangun di tempat asing yang tak dia kenali. Dia bahkan tak ingat kapan pergi kemari.

‘Apa aku di neraka?’ batinnya, menyimpulkan bahwa Tuhan menghukumnya karena kemarin mencoba untuk bunuh diri.

Tempat tersebut gelap, lembab, dan dingin. Penerangan temaram hanya didapat dari obor yang menempel di tembok batu berlumut, beberapa meter dari sana.

“Tunggu dulu,” ucap seorang pria yang suaranya tak asing. Suara yang berat dan sedikit serak.

Rena menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan tempat sembunyi. Hasilnya nihil.

Tak sampai satu detik berlalu dan seorang pria muncul dari balik lorong.

‘Astaga!’ batin Rena. Jantungnya berdegup kencang.

‘Astaga!’ panik Rena dalam hati. Entah kenapa dia merasa harus bersembunyi, padahal keberadaannya di sana saja belum ditemukan alasannya.

Pria tinggi yang mengenakan setelan jas putih dan berpostur proporsional tersebut berjalan ke arahnya.

“Marco?” ucap Rena saat cahaya menerangi wajahnya.

Tentu saja dia mengenali penyelamatnya, wajah Marco kelewat ikonik. Dia kelewat tampan walau kulitnya terlalu pucat.

Bukannya melihat ke arahnya, Marco justru menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya. Sesosok wanita muncul dari balik lorong yang sama, wanita bergaun pengantin yang tampak tak asing. Tangan si wanita menyambut tangan Marco dan tubuhnya segera berada dalam pelukan pria tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status