Share

Mirip Dengannya Bukan?

Sialnya, mimpi tentang pria yang menatapnya dari balik jendela dapur kembali berlanjut. Kali ini dia menyadari bahwa itu adalah Marco, hanya saja matanya berkilat merah dan dua gigi taringnya kelihatan tak normal, lebih panjang dan runcing dari seharusnya, saat pria itu menyebutkan namanya: Renata.

Rena terbangun dengan keringat dingin di dahinya. Dia tak habis pikir mengapa memimpikan Marco dua malam berturut-turut, terlebih mimpinya cukup menyeramkan. Ditolehnya jam wajar berbentuk jerapah di atas nakas yang menunjukkan waktu pukul tiga pagi. Mimpi menyeramkan tadi membuatnya gelisah dan baru bisa tertidur kembali satu jam kemudian.

Lupa menyalakan timer alarm di jam waker membuat Rena hampir saja terlambat bekerja. Untung saja dia sampai tepat waktu. Bosnya jadi tak punya alasan untuk mengomel. Setelah meletakkan barang dan mengenakan apron seragam yang memiliki logo restoran di bagian dada, dia segera menemui Maria di dapur dan mengembalikan kotak makan milik wanita tersebut.

“Terima kasih, Maria. Masakanmu selalu lezat,” ucapnya.

Rena terkikik saat Maria membalas ucapan terima kasihnya dengan kedipan genit. Sambil menggelengkan kepala, dia menuju meja kasir dan memulai pekerjaannya. Hari ini dia kembali mengambil dua shift.

Di sebuah ruang kerja di mansion berbentuk kastil dengan banyak biasanya patung Gargoyle, seorang pria sedang memeriksa setumpuk dokumen perusahaan. Sebagai investor, Marco lebih senang melakukan pekerjaannya di rumah. Toh, dia memang menghindari sinar matahari.

Dia melirik sebal kepada Lucas yang sedang duduk santai di hadapannya sambil memainkan ponsel, hanya terpisah meja kerja Marco. Pria gondrong tersebut bahkan tak melepaskan jaket kulit berwarna hitam yang melapisi kaus putih di dalamnya, membuat Marco tak bisa menebak apakah Lukas mau pergi atau berada di sana seharian.

“Kerjamu hanya main-main saja,” omelnya.

Marco memutar bola matanya saat melihat Lucas terpingkal.

“Kan, yang penting pekerjaanku sudah selesai,” balas Lucas.

Lukas sebetulnya merupakan bawahan Marco. Hanya saja hidup bersama selama lebih dari satu abad membuat mereka jadi dekat layaknya saudara.

“Kamu sudah menemukannya?” tanya Marco penasaran.

Sebenarnya bukan perkara sulit untuk melakukan semuanya sendirian. Toh, dia tak butuh tidur seperti manusia. Hanya saja Lucas lebih baik dari dirinya dalam beberapa hal, termasuk mengorek informasi.

“Siapa?” tanya Lucas, pura-pura tak tahu siapa yang dimaksud sahabatnya.

Lucas kembali terpingkal saat melihat Marco menyipitkan matanya.

“Tentu saja sudah, Bos!” jawabnya setelah tawanya mereda.

“Sungguh?” tanya Marco lagi, kali ini dengan mata berbinar.

Lucas mengangguk dua kali sambil mengulum senyumnya. “Kenapa gadis itu begitu menarik perhatianmu? Clementine tak akan menyukainya, Marco—”

“Anggap saja Clemen sudah mati!” desis Marco, memotong kalimat Lucas yang belum selesai.

Dia paling tak suka seseorang menyebut nama mantan kekasihnya. Terlebih karena jalang tersebut meninggalkannya karena berselingkuh.

“Terserah padamu saja,” balas Lucas sebelum mengedikkan bahunya.

Lukas melihat Marco berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah brankas tak terkunci di sudut ruangan dan membukanya. Diambilnya sebuah buku tua bersampul kulit yang mungkin usianya sudah satu milenia, kemudian meletakkannya di atas meja.

Marco duduk kembali di atas kursi recliner-nya sebelum membuka buku tua tebal itu di tengah-tengah.

Lukas melihat dengan penuh rasa penasaran saat Marco membolak-balik halaman untuk menemukan sesuatu. Kertas di buku tersebut masih saja utuh walau warnanya telah menguning dimakan usia. Sudah lama dia tak melihat Marco menyentuh buku tersebut.

Marco berhenti membalik halaman dan memutar buku tersebut untuk ditunjukkan kepada Lukas. Ujung telunjuknya menyentuh sketsa wajah seorang perempuan.

Lukas terbelalak. “Ini—”

“Mirip dengannya, bukan?” sela Marco. “Apa kamu masih mau bertanya mengapa aku tertarik padanya?”

Lukas menggeleng dengan cepat. “Apa kau merasakan sesuatu yang berbeda dari manusia lain pada gadis itu?”

Si gondrong tersebut cukup takjub saat melihat Marco menganggukkan kepalanya.

“Darah yang mengalir di tubuhnya … aku mencium aroma anggrek bulan di sana.”

Obrolan mereka terputus saat Louis memasuki ruangan. Diletakkannya kotak pendingin di atas meja kopi.

“Dua puluh kantong seperti biasanya,” ucap dokter pribadi Marco tersebut.

“Apa kau dapat golongan darah O?” tanya Marco.

Baginya, golongan darah O lebih manis dari golongan darah lainnya. Sayangnya akhir-akhir ini semakin sulit dicari.

“Hanya empat kantong. Jangan salahkan aku,” balas Louise sebelum memeriksa waktu di jam tangan digital yang melingkari pergelangan tangannya.

“Aku sudah cukup berterima kasih, Lou,” balas Marco sembari menghampirinya.

Pria tampan tersebut membuka kotak pendingin dan mengambil sekantong darah, kemudian melemparkannya pada Lucas yang dengan sigap menangkapnya dengan satu tangan.

“Thanks, Mark!” ucap Lukas dengan ceria.

“Aku akan kembali ke rumah sakit. Melihat kalian meminum darah dari kantongnya membuatku mual,” omel Louise ambil melenggang pergi, tak memedulikan kekehan Lucas.

Marco mengedikkan bahunya. “Dia lebih suka melihat kita meminumnya dari cangkir. Bukankah itu hanya akan menambah pekerjaan Anne?”

Louise yang sedang mengisap darah dari ujung kantongnya hampir saja tersedak karena hendak tertawa akibat membayangkan pelayan mereka mengomel karena bau anyir dari bekas darah di cangkir yang mengganggu wanita konyol tersebut.

“Rodriguez,” ucap Lucas sebelum melempar kantong darah yang sudah kosong, tepat memasuki tempat sampah di sudut ruangan.

Marco melepaskan bibirnya dari kantong darah yang masih berisi setengah. Pria tersebut mengernyitkan alis.

“Kau ingin makanan Italia?” tanyanya heran.

Lucas memutar bola matanya. “Lebih baik aku ke restoran milik Madam Gie. Rodriguez tak menjual carbonara seenak di sana.”

“Lalu?” tanya Marco.

“Gadis itu sudah dua tahun bekerja di sana,” jawab Lucas. “Sering kali dia mengambil dua shift dan pulang pukul sembilan malam.”

“Oh,” pekik Marco sebelum menempelkan kembali ujung kantong darah bergolongan O ke mulutnya dan menenggak habis isinya.

Dia menoleh ke arah jam dinding klasik di sisi sofa dan menimbang untuk menemui Rena malam ini.

“Apa kau juga butuh informasi tentang tempat tinggalnya?” tanya Lukas.

“Aku bisa bertanya sendiri kepadanya,” balas Marco dengan acuh.

Pria tersebut segera kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Lucas sudah pergi entah ke mana dan baru kembali satu jam setelah Marco usai menata mejanya.

“Apakah kau mau aku menemanimu?” tanya Lucas malam itu saat melihat Marco sudah siap untuk pergi.

Tentu saja dia hanya berbasa-basi karena Marco tak butuh perlindungan. Ini bukan lagi jaman Van Helsing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status