Share

5

Author: fridayy
last update Huling Na-update: 2025-10-16 11:44:11

Di dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati.

Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung.

"Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri.

Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatnya untuk menyentuh Zara. Karena sejatinya ia seperti kebanyakan lelaki, yang akan langsung tergoda begitu seorang gadis menawarkan sesuatu yang menyenangkan.

"Atau, kamu memang berharap saya menyentuhmu?" tanya Tama provokatif dengan intonasi yang relatif konstan, memberikan kesan menantang.

"Enggak!" elak Zara keras. Kepalanya bergerak menggeleng kuat mengelak tuduhan Tama. Ia sama sekali tidak ingin berakhir menjadi pelacur murahan. Masa depan yang cerah masih menunggunya. Ia harus menjadi kebanggaan ibunya, satu-satunya yang ia miliki saat ini.

Tama terdiam, nafas beratnya ia hembuskan cepat dan kembali menatap Zara intens.

"Kemarin saya murni ingin membantumu. Tapi entah untuk kesempatan lain." ucapnya dengan pikiran menerawang, seolah bisa melihat masa depan.

Zara tak mengerti apa maksud pria itu. Ucapan Tama seperti teka-teki yang sulit ia pecahkan.

"Maksud om?" Zara memberanikan diri bertanya. Membalas tatapan Tama yang begitu melekat. Mereka terdiam beberapa saat, masing-masing mencerna jawaban melewati tatapan mata lawannya.

Dalam benaknya, perasaan ingin memiliki itu masih ada. Namun Tama memilih mengabaikannya.

"Lupakan!" desis Tama sarat akan frustasi.

Lelaki itu memilih bangkit Dan berjalan ke ruangan lain di dalam kamar. Kemudian Tama keluar mengenakan pakaian santainya. Lelaki itu nampak tak acuh akan kehadiran Zara. Sebelum keluar, Tama berbalik dan menatap Zara di ambang pintu, tatapan dan cara bicaranya begitu dingin dan menusuk.

"Sekarang, buatkan aku kopi, dan simpan di ruang kerjaku!" ucapnya memberi perintah.

Dengan gugup, Zara mengangguk, tangannya menyeka air mata di pipinya. "Baik, om." jawabnya serak. Zara menghembuskan nafas lega. Kali ini ia kembali selamat dari cengkraman buas pria-pria yang arogan.

Zara memutuskan bangkit dan segera melaksanakan perintah Tama. Ia tak mau membuat pria itu marah dan kembali menekannya.

Ia berjalan ke arah dapur terbuka yang berada di bagian barat dari ruang utama. Kemudian ia mengambil sebuah cangkir dan mencari-cari serbuk kopi yang diinginkan Tama.

Akhirnya Zara menemukan sebuah toples yang berisi serbuk kopi. Wanginya begitu semerbak kala Zara membuka tutupnya, menandakan bahwa kopi itu berkualitas tinggi.

Ia pun menuangkan bubuk kopi itu dan ditambah gula sesuai takaran yang biasa ia buat untuk dirinya. Zara berharap Tama menyukai kopi buatannya.

Zara pun menyeduh serbuk kopi itu dengan air panas dari dispenser. Lalu ia mengaduknya perlahan hingga kopi beserta gula larut dengan air panas.

Zara membuat kopi itu sepenuh hati. Anggap saja ia tengah membalas budi terhadap semua kebaikan Tama, meskipun ia masih kesal akan sikapnya yang sudah membuatnya ketakutan.

Setelah selesai, Zara membawa cangkir itu ke ruangan kerja milik Tama yang telah diberitahukan sebelumnya. Zara mengetuk pintu yang sedikit terbuka, menyisakan celah. Lalu berjalan memasuki ruangan itu dengan pelan.

Zara dapat melihat sosok Tama sedang fokus di depan layar komputer. Ia duduk dengan gagah di kursi kerja dengan meja kayu yang nampak kokoh dan mengkilap.

Pandangannya tak teralihkan , namun Zara merasa bahwa Tama mengetahui keberadaannya. Dan pria itu memilih mengabaikannya.

Kemudian Zara menaruh cangkir kopinya di dekat Tama, dan pria itu masih mengabaikannya. Ia hanya menatap sekilas cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas dan kembali fokus ke layar komputernya.

Zara mendengus kesal, lalu pandangannya beralih menelusuri isi ruangan. Disana terdapat banyak rak-rak tinggi berisi buku dan catatan berkas. Penyimpanannya begitu tertata membuat Zara betah memandangnya.

Sekilas, Zara melihat deretan buku novel terjemahan klasik yang mengusik jiwanya yang haus membaca. Namun Zara masih tahu diri dan batasan. Buku itu milik pribadi Tama yang tidak sembarang dipinjamkan.

Di samping paling sudut rak buku, ia bisa melihat deretan pajangan miniatur pesawat dari berbagai zaman, hingga yang pertama kali diciptakan hingga yang paling modern saat ini.

"Sudah melihat-lihatnya?" tanya Tama saat Zara kembali berputar menghadap ke arah meja pria itu. Kali ini Tama membiarkan komputernya dan memilih menatap Zara yang begitu terpukau melihat ruangan kerjanya. Tatapannya begitu fokus, menciptakan suasana tegang diantara keduanya.

Sedikit senyuman tipis tercipta di bibirnya menatap mata yang berbinar penuh minat itu.

Zara tersenyum meringis merasa ketahuan akan tingkah konyolnya tadi. Ia pun berdehem untuk mengalihkan kegugupannya.

"Apa aku boleh pulang sekarang?" tanya-nya kemudian.

Tama menggeleng, "Belum saatnya."

Zara tertunduk lesu, kali ini apa lagi yang diinginkan pria itu? "Lalu aku harus apa sekarang?" tanyanya bingung. Berharap pra itu segera melepaskannya.

"Buatkan saya makan malam." titahnya kemudian. Zara pun menatap jam analog di dinding ruangan. Ia menatap protes kepada Tama yang masih terdiam menunggu respon gadis itu.

"Ini masih siang, om!" pekik Zara kesal. Waktu masih menunjukkan pukul 3, dan lelaki itu sudah menyuruhnya untuk membuatkan makan malam!

"Siapa tahu kamu masaknya butuh waktu 5 jam, cukup untuk menunggu makan malam tiba." ucap Tama terkekeh, membayangkan jika Zara memasak hingga 5 jam lamanya.

"Aku emang gak terlalu pintar masak, tapi aku masak gak selama itu." dengus Zara. Hatinya sedikit tersentil mendengar Tama seolah meremehkannya.

"Syukurlah kalau begitu."

"Ck... Om mau makan apa nanti?" tanya Zara malas, menunggu Tama yang berpikir sejenak. Ia akan menuruti perintah Tama untuk yang terakhir kalinya. Ingat itu!

Tama memikirkan menu apa yang hendak ia santap untuk makan malam. Namun lelaki itu terlihat begitu lama berpikir membuat Zara kehabisan rasa sabar.

"Makanan utamanya apa om?" tanyanya kembali.

"Kamu." jawab Tama spontan, tak sadar mulutnya berkata demikian.

Zara terhenyak menatap Tama penuh antisipasi. Ia menyilangkan tangannya di depan, menunggu Tama kembali berkata, meralat perkataanya yang terdengar ambigu.

Tama berdehem keras, tenggorokannya terasa kering. Ia pun lantas menyeruput kopinya yang mulai menghangat. Aroma dan rasanya yang membuatnya tenang membuat Tama kembali fokus pada lawan bicaranya. "Ekhm.. masak yang simpel aja, sebisa kamu." jawab Tama santai. Tatapannya kembali ke layar komputer yang masih menyala, mengabaikan Zara yang masih terdiam mencermati.

"O-oke, aku masak dulu." ujar Zara kemudian. Ia akhirnya meninggalkan ruangan kerja dan menyisakan Tama yang diam-diam bernafas lega.

Sudah satu jam lamanya Zara berkutat di dalam dapur. Ia begitu bersemangat mengolah semua bahan-bahan yang telah ia keluarkan dari dalam kulkas. Perasaan sedih dan kesalnya kepada Tama seolah sirna kala dihadapkan dengan berbagai peralatan memasak yang begitu lengkap dan mengkilap. Jangan lupakan isi kulkas yang penuh akan bahan masakan membuat Zara berpikir kembali masakan apa yang hendak ia buat. Hingga akhirnya ia memilih ayam sebagai bahan utama masakannya.

Zara begitu cekatan dan terampil dalam kegiatan memasaknya. Ayam Cordon Bleu yang disajikan dengan kentang tumbuk dan saus krim nampak sudah tertata rapi di atas piring. Ia menyajikannya sepiring untuk dicoba oleh Tama. Sisanya ia simpan di freezer dalam sebuah plastik zipper.

Dan nampaknya insting Tama begitu kuat melihat ia yang menghampiri Zara begitu masakannya sudah selesai.

"Om... Masakanku sudah selesai. Aku buat stok frozen food supaya om gampang, tinggal menggorengnya." ujar Zara memberitahu. Nada bangga tak bisa disembunyikan dari cara Zara berbicara.

Tama tersenyum tipis menanggapinya. Gadis ini begitu bahagia dengan hal-hal sekecil ini.

"Sekarang aku boleh pulang ya?" pinta Zara sembari melepas tali apron yang melingkar di pinggangnya. Namun Zara nampak kesulitan, tali tersebut terikat kuat sehingga apron itu belum terlepas.

Tama yang melihat Zara kesulitan, berinisiatif membantunya. Ia menyingkirkan tangan Zara dan mengganti dengan kedua tangannya.

Tubuh jangkung Tama sedikit membungkuk dengan helaan nafas yang terasa di pundak Zara. Hal itu membuat tubuh Zara menegang karena kedekatan itu. Tangannya dengan gelisah saling bertaut, berharap tali apronnya cepat terbuka.

"Lain kali jangan ditali mati." ucap Tama mengingatkan setelah tali tersebut terlepas.

Zara yang terdiam mengangguk meng-iyakan. Ia berjalan beberapa langkah ke depan, menyisakan jarak yang begitu nyata.

Perhatian Tama teralihkan ke arah meja makan dimana ada sebuah piring yang berisi hasil masakan Zara. Tak tunggu lama, Tama mengambil pisau dan garpu lalu memotong ayam yang digoreng dan dibaluri tepung panir itu.

Tama membawa potongan ayam dengan kentang tumbuk yang diolesi saus krim itu ke dalam mulutnya. Merasakan cita rasa yang bercampur menciptakan rasa yang komplit.

Tama mengunyah perlahan, menikmati tekstur ayam yang renyah di luar dan lembut di dalam. Potongan ham yang gurih dan keju yang meleleh di lidahnya menciptakan harmoni rasa yang sempurna. Kentang tumbuk yang lembut dan creamy berpadu dengan saus krim yang ringan, melengkapi cita rasa gurih dari ayam tersebut.

Setetes saus krim yang tersisa di sudut bibir Tama diusap menggunakan punggung tangan.

Diam-diam Zara memperhatikan dan menunggu respon Tama akan hasil masakannya. Perasaannya tak menentu, takut jika masakannya tak disukai Tama. Padahal itu adalah masakan termewah yang selalu ia buat bersama ibunya jika sedang banyak uang.

Tama tersenyum senang, masakan Zara begitu luar biasa. Ia tak menyangka perempuan itu mau repot membuat olahan ayam yang menurutnya sedikit rumit.

Hal itu membuat Zara ikut tersenyum, senang karena masakannya tidak mengecewakan.

"Hmm not bad." ucap Tama datar, namun Zara tak peduli penilaian dari ucapan Tama. Ia sudah melihat reaksi senang saat pertama kali Tama mencicipinya. Apalagi kini Tama terlihat kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya. Dan itu cukup membuatnya bangga.

Melihat Tama yang tengah menikmati makanannya, Zara kemudian berpamitan untuk pulang. "Kalau begitu, aku pulang om."

"Kenapa terburu-buru?" tanya Tama melihat Zara yang sudah bersiap menenteng tas kecilnya.

'Takut dimakan!' teriak Zara yang hanya bisa didengar benaknya.

"Aku harus jaga ibu." jawab Zara cepat.

"Tidak mau makan dulu?" Zara menggeleng menolak tawaran Tama. Ia terlalu segan untuk berlama-lama lagi di tempat ini.

Tama mengangguk membenarkan, "Kamu benar, sebentar, saya panggil supir saya dulu." Ia pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Namun Zara segera menyela dan menolak usulan Tama.

"Gak usah dianter, om. Aku mau naik bus aja."

Tama terdiam sebentar, tengah mempertimbangkan usulan Zara yang dirasa kurang tepat. Namun ia tak bisa terus memaksa gadis itu untuk menurutinya. Sekali lagi, ia hanya orang asing yang entah kenapa begitu mengkhawatirkan gadis di sampingnya itu.

"Ok." putus Tama pada akhirnya.

Zara tersenyum senang, ia pun berbalik untuk pergi dari dalam apartemen tersebut. Namun tak disangka, Tama mengikuti langkah Zara di belakangnya. Hingga saat di depan pintu, Zara berbalik badan dan menatap Tama untuk terakhir kalinya. Bibirnya melengkung lebar menunjukkan senyum manis yang begitu mempesona di mata Tama.

"Zara..." gumam Tama sebelum Zara benar-benar keluar dari pintu apartemennya.

"Ya?" jawab Zara dengan senyumnya yang tak lepas.

Ada tatapan tak rela jika Zara menghilang dari pandangannya. Entahlah, Tama masih ingin merasakan kedekatannya dengan Zara.

"Tolong jaga diri kamu baik-baik." ucap Tama tulus. Berharap kehidupan Zara akan semakin baik esok hari.

"Janji tidak akan datang ke klub itu lagi?!" ucapnya penuh penekanan, menolak Zara untuk mengabaikan ucapannya itu.

Zara mengangguk, perasaannya begitu terharu mendengar ucapan penuh perhatian itu. Tama adalah orang asing yang begitu peduli padanya, meskipun ada momen dimana ia merasa takut dan resah jika berhadapan dengannya. "Iya om... Terima kasih udah nyelamatin aku. Jika ada kesempatan lain, aku akan membalas semua kebaikan Om Tama, meskipun tidak secara langsung."

"Sampai jumpa lagi, Zara." gumam Tama dengan harapan penuh.

Zara duduk termenung di bangku bus yang terisi banyak penumpang. Sore hari adalah waktunya bagi orang-orang untuk kembali pulang ke rumah setelah seharian penuh menjalani aktivitas pekerjaan. Namun tidak dengan Zara, ia tak mempunyai tempat untuk pulang. Tidak ada rumah yang menaunginya dengan rasa aman dan nyaman.

Zara merasa sedih akan hidupnya saat ini. Setelah ayahnya meninggal dunia, hidupnya seakan dilanda musibah yang berlarut-larut.

Padahal di kehidupan sebelumnya, ia hidup berkecukupan dengan kondisi keluarga yang harmonis. Ayahnya seorang teknisi komputer di salah satu kampus swasta ternama. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.

Meskipun hidup sederhana, ia tak pernah kekurangan uang dan kasih sayang. Orang tuanya begitu melimpahkan kasih sayangnya secara keseluruhan itun.

Namun, semenjak ayahnya tiada, satu persatu masalah muncul ke permukaan. Ayahnya tertuduh sebagai terdakwa pidana karena menerima sejumlah uang dari pidana praktik korupsi di dalam instansi kampus tempatnya bekerja dalam proyek pengadaan perangkat lunak. Akibat perbuatan itu, pihak kampus mengalami kerugian keuangan sehingga pihak ahli waris dibebankan untuk mengganti rugi uang yang telah di korupsi senilai 2 miliyar.

Dan karena sang ibu tidak mampu menanggung beban ganti rugi, ia meminjam sejumlah uang kepada rentenir dan menjual seluruh aset peninggalan ayahnya untuk menutupi kerugian tersebut.

Kehilangan sosok ayah yang dicintainya, ditambah beban hutang yang tak terbayangkan, membuat Zara terpuruk. Namun, yang lebih mengusik hatinya adalah kematian ayahnya yang dinilai janggal. Kecelakaan tunggal yang merenggut nyawa ayahnya terasa terlalu kebetulan, terutama mengingat tekanan yang begitu besar yang dihadapi almarhum menjelang kematiannya.

Ia begitu ingat raut wajah ayahnya yang selalu gelisah dan sering menyendiri sewaktu pulang bekerja. Hal yang begitu asing, dimana biasanya sang ayah akan keluar menghampiri istrinya untuk bantu memasak atau hanya sekedar berbincang-bincang.

Zara menduga ada pihak-pihak yang sengaja menutupi kebenaran di balik kematian ayahnya, sebuah konspirasi yang mungkin terkait dengan kasus korupsi yang menjerat sang ayah. Pertanyaan-pertanyaan menggantung di benaknya, apakah kematian ayahnya murni kecelakaan? Atau ada pihak yang sengaja menghilangkan jejak dan menutup mulut?

Namun, bayang-bayang keputusasaan mulai menyelimuti Zara. Sebagai mahasiswi biasa, tanpa koneksi dan sumber daya yang memadai, ia merasa kecil dan tak berdaya di tengah pusaran kasus korupsi dan misteri kematian ayahnya yang rumit. Mengungkap kebenaran di balik kematian ayahnya dan membersihkan nama baik almarhum terasa seperti melawan arus deras.

Rasa pesimis menggerogoti semangatnya, mengingatkannya akan keterbatasannya sebagai seseorang yang kecil dan lemah.

Ia hanya berharap keadilan akan segera menghampirinya. Entah dari manapun asalnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   39

    Lukman tak bisa berkata-kata, keputusannya untuk mengikuti anak dan menantunya setelah mengantar dirinya ke rumah ternyata membawanya pada suatu hal yang selama ini ditakutinya. Jauh di seberang sana, ia dapat melihat mobil menantunya yang berhenti di depan gerbang cukup lama, entah apa yang anak dan menantunya lakukan karena mobil tak kunjung memasuki halaman rumah. Namun, melihat Anna yang keluar dengan raut wajah marah, diiringi mobil menantunya yang melaju meninggalkan rumah membuat Lukman semakin terkejut melihatnya. Lukman tak bisa membiarkan kebingungan melanda dirinya, ia menyuruh sopir mendekat lalu berhenti di depan gerbang rumah anaknya. Disana, ada satpam yang langsung sigap menghampirinya. "Enggak masuk ke dalam, pak?" tanya satpam yang mengenal Lukman sebagai ayah dari majikan perempuannya. Ia melihat Lukman yang hanya menatap ke dalam melalui kaca mobilnya di luar sana. "Kenapa Tama tidak pula

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   38

    Di dalam ruangan Tama, Zara duduk di sofa dengan gelisah . Sudah beberapa menit ia menghabiskan waktunya disana sendirian, dan Tama tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.Zara merasa kesal sendiri, di luar juga tidak ada sosok Juan yang berkata akan berdiam menemaninya saja. Sepertinya lelaki itu meninggalkannya sendirian di lantai itu.Dan kini Zara mencoba menunggu kedua lelaki itu datang kembali ke ruangan itu, namun sebuah pesan yang dikirim Tama membuat kekesalannya semakin menjadi.'Sayang, maafkan aku karena telah meninggalkanmu sendirian disana. Ayah mertuaku memaksa untuk datang ke ruanganku namun aku berhasil mencegahnya. Kamu sekarang pulang sendiri dulu, nanti aku menyusul.'Zara berdecak, lalu beranjak dari sana setelah membalasnya dengan pesan singkat. 'Ya.' Ia terlalu malas meneror Tama dengan pesan berantainya, karena saat ini ia benar-benar kesal.Zara memutuskan untuk menaiki taksi dan pulang ke tempat ibunya. Biar

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   37

    Sore hari, Zara keluar dari ruangan divisinya lalu disambut Juan di lobi lantai satu. Lelaki itu membawa Zara ke basement dan memasuki lift khusus presdir yang langsung menuju ke ruangannya."Oh ya, Pak Tama masih menyelesaikan meetingnya, mungkin sekitar 10 sampai 20 menit lagi selesai. Mau ku buatkan minuman?""Gak usah, pak." jawab Zara sopan mengingat saat ini ia masih berada di tempat kerja.Juan mengagguk lalu duduk di sofa sebelah.Suasana di dalam ruangan terasa hening, terlebih Zara merasa tak nyaman dengan kehadiran Juan di sampingnya."Ehm, Pak Juan... Kalau mau pulang silahkan, tidak perlu menemani saya disini." ujar Zara mempersilahkan Juan pergi jika kehadirannya disana hanya sekedar menemaninya yang sendirian."Benarkah? Kau berani tinggal disini sendirian?" tanya Juan menantang.Zara mengangguk meskipun agak sedikit ragu di dalam tatapannya, ruangan luas itu nampak tenang dengan interior mewahnya, meskip

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   36

    Zara kembali ke apartemen setelah ia selesai mengajari Davin di rumahnya. Ia pergi dengan terburu-buru mengingat perlakuan diam-diam Tama yang semakin menjadi kepada dirinya.Karena sejak kedatangan lelaki itu, Tama tak berhentinya mencari celah untuk mendekatinya dan melakukan sentuhan-sentuhan samar yang membuat Zara kalang kabut.Akal sehatnya menentang perlakuan Tama yang bisa menimbulkan kecurigaan dari Anna yang tengah berada di tempat yang sama.Kini, Zara memutuskan untuk membereskan apartemen seorang diri mengingat ia tak punya pekerjaan lain. Ia mulai membuka semua gorden yang tertutup sehingga cahaya dapat masuk ke dalam ruangan yang luas itu.Seluruh ruangan Zara bersihkan hingga tak ada debu yang beterbangan atau menempel di atas permukaan.Hingga kemudian, Zara membawa tubuhnya ke ruang kerja milik Tama dimana ruangan tersebut yang belum dibersihkan. Karena rencananya, Zara akan menghabiskan waktunya disana setelah pekerjaan bersih-bersihnya selesai. Ia ingin membaca buk

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   35

    Di akhir pekan, Zara kembali ke rutinitasnya sebagai guru les sesuai permintaan-lebih tepatnya dipaksa-orang tua Davin. Ia akan mengunjungi rumah Davin yang dimana adalah rumah Utama sendiri bersama sang istri.Zara meringis akan pikirannya, bukankah saat ini ia sama saja tengah memasuki kandang singa? Zara tidak tahu apakah disana Tama memang sengaja memasang perangkap untuk menjebaknya? Atau untuk apa? Bukankah lelaki itu sendiri yang memaksa Zara agar kembali menerima tawaran mengajarnya? Untuk apa? Untuk meyakinkan dirinya kembali bahwa posisinya kini hanya sebagai simpanannya saja? Begitukah?Zara merasakan cubitan kecil di ulu hatinya, entah kenapa kini ia merasa tak rela jika lelaki yang telah membuatnya nyaman itu memiliki keluarga di depan sana, sementara dirinya, hanya bisa terus bersembunyi di balik dinding tak kasat mata membayangi punggung lelaki itu.Motor yang ditumpangi Zara akhirnya terhenti di depan gerbang yang lebar dan menjulang tinggi

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   34

    Zara duduk tak nyaman di kursinya setelah kejadian beberapa saat lalu. Keduanya banyak terdiam, terlebih Daniel yang terlihat murung membuat Zara semakin dilanda perasaan bersalah.Hingga kemudian, seseorang nampak menghampiri mereka. Lalu menyapanya dengan senyum ramahnya, "Zara? Sarapan disini? Gue ikut gabung, boleh?" "Inara? Boleh.. sini duduk." ucap Zara setelah melihat Daniel yang tak keberatan akan kehadiran orang lain di meja mereka.Inara pun duduk di samping kursi Zara dan menatap penasaran akan sosok lelaki asing yang tengah berbicara bersama sahabatnya."Kak Daniel, kenalin temanku, Inara." ucap Zara mengenalkan kedua temannya."Daniel Santoso...""Inara Rusman."Keduanya berjabat tangan beberapa saat sebelum melepasnya kembali."Bukan artis, kan kamu?" tanya Daniel mengingat nama yang hampir mirip dengan seorang artis yang tak asing di telinganya.Inara menggeleng, "Bukan... Agak mirip sih

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status