LOGINDi dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati.
Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung. "Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri. Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatnya untuk menyentuh Zara. Karena sejatinya ia seperti kebanyakan lelaki, yang akan langsung tergoda begitu seorang gadis menawarkan sesuatu yang menyenangkan. "Atau, kamu memang berharap saya menyentuhmu?" tanya Tama provokatif dengan intonasi yang relatif konstan, memberikan kesan menantang. "Enggak!" elak Zara keras. Kepalanya bergerak menggeleng kuat mengelak tuduhan Tama. Ia sama sekali tidak ingin berakhir menjadi pelacur murahan. Masa depan yang cerah masih menunggunya. Ia harus menjadi kebanggaan ibunya, satu-satunya yang ia miliki saat ini. Tama terdiam, nafas beratnya ia hembuskan cepat dan kembali menatap Zara intens. "Kemarin saya murni ingin membantumu. Tapi entah untuk kesempatan lain." ucapnya dengan pikiran menerawang, seolah bisa melihat masa depan. Zara tak mengerti apa maksud pria itu. Ucapan Tama seperti teka-teki yang sulit ia pecahkan. "Maksud om?" Zara memberanikan diri bertanya. Membalas tatapan Tama yang begitu melekat. Mereka terdiam beberapa saat, masing-masing mencerna jawaban melewati tatapan mata lawannya. Dalam benaknya, perasaan ingin memiliki itu masih ada. Namun Tama memilih mengabaikannya. "Lupakan!" desis Tama sarat akan frustasi. Lelaki itu memilih bangkit Dan berjalan ke ruangan lain di dalam kamar. Kemudian Tama keluar mengenakan pakaian santainya. Lelaki itu nampak tak acuh akan kehadiran Zara. Sebelum keluar, Tama berbalik dan menatap Zara di ambang pintu, tatapan dan cara bicaranya begitu dingin dan menusuk. "Sekarang, buatkan aku kopi, dan simpan di ruang kerjaku!" ucapnya memberi perintah. Dengan gugup, Zara mengangguk, tangannya menyeka air mata di pipinya. "Baik, om." jawabnya serak. Zara menghembuskan nafas lega. Kali ini ia kembali selamat dari cengkraman buas pria-pria yang arogan. Zara memutuskan bangkit dan segera melaksanakan perintah Tama. Ia tak mau membuat pria itu marah dan kembali menekannya. Ia berjalan ke arah dapur terbuka yang berada di bagian barat dari ruang utama. Kemudian ia mengambil sebuah cangkir dan mencari-cari serbuk kopi yang diinginkan Tama. Akhirnya Zara menemukan sebuah toples yang berisi serbuk kopi. Wanginya begitu semerbak kala Zara membuka tutupnya, menandakan bahwa kopi itu berkualitas tinggi. Ia pun menuangkan bubuk kopi itu dan ditambah gula sesuai takaran yang biasa ia buat untuk dirinya. Zara berharap Tama menyukai kopi buatannya. Zara pun menyeduh serbuk kopi itu dengan air panas dari dispenser. Lalu ia mengaduknya perlahan hingga kopi beserta gula larut dengan air panas. Zara membuat kopi itu sepenuh hati. Anggap saja ia tengah membalas budi terhadap semua kebaikan Tama, meskipun ia masih kesal akan sikapnya yang sudah membuatnya ketakutan. Setelah selesai, Zara membawa cangkir itu ke ruangan kerja milik Tama yang telah diberitahukan sebelumnya. Zara mengetuk pintu yang sedikit terbuka, menyisakan celah. Lalu berjalan memasuki ruangan itu dengan pelan. Zara dapat melihat sosok Tama sedang fokus di depan layar komputer. Ia duduk dengan gagah di kursi kerja dengan meja kayu yang nampak kokoh dan mengkilap. Pandangannya tak teralihkan , namun Zara merasa bahwa Tama mengetahui keberadaannya. Dan pria itu memilih mengabaikannya. Kemudian Zara menaruh cangkir kopinya di dekat Tama, dan pria itu masih mengabaikannya. Ia hanya menatap sekilas cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas dan kembali fokus ke layar komputernya. Zara mendengus kesal, lalu pandangannya beralih menelusuri isi ruangan. Disana terdapat banyak rak-rak tinggi berisi buku dan catatan berkas. Penyimpanannya begitu tertata membuat Zara betah memandangnya. Sekilas, Zara melihat deretan buku novel terjemahan klasik yang mengusik jiwanya yang haus membaca. Namun Zara masih tahu diri dan batasan. Buku itu milik pribadi Tama yang tidak sembarang dipinjamkan. Di samping paling sudut rak buku, ia bisa melihat deretan pajangan miniatur pesawat dari berbagai zaman, hingga yang pertama kali diciptakan hingga yang paling modern saat ini. "Sudah melihat-lihatnya?" tanya Tama saat Zara kembali berputar menghadap ke arah meja pria itu. Kali ini Tama membiarkan komputernya dan memilih menatap Zara yang begitu terpukau melihat ruangan kerjanya. Tatapannya begitu fokus, menciptakan suasana tegang diantara keduanya. Sedikit senyuman tipis tercipta di bibirnya menatap mata yang berbinar penuh minat itu. Zara tersenyum meringis merasa ketahuan akan tingkah konyolnya tadi. Ia pun berdehem untuk mengalihkan kegugupannya. "Apa aku boleh pulang sekarang?" tanya-nya kemudian. Tama menggeleng, "Belum saatnya." Zara tertunduk lesu, kali ini apa lagi yang diinginkan pria itu? "Lalu aku harus apa sekarang?" tanyanya bingung. Berharap pra itu segera melepaskannya. "Buatkan saya makan malam." titahnya kemudian. Zara pun menatap jam analog di dinding ruangan. Ia menatap protes kepada Tama yang masih terdiam menunggu respon gadis itu. "Ini masih siang, om!" pekik Zara kesal. Waktu masih menunjukkan pukul 3, dan lelaki itu sudah menyuruhnya untuk membuatkan makan malam! "Siapa tahu kamu masaknya butuh waktu 5 jam, cukup untuk menunggu makan malam tiba." ucap Tama terkekeh, membayangkan jika Zara memasak hingga 5 jam lamanya. "Aku emang gak terlalu pintar masak, tapi aku masak gak selama itu." dengus Zara. Hatinya sedikit tersentil mendengar Tama seolah meremehkannya. "Syukurlah kalau begitu." "Ck... Om mau makan apa nanti?" tanya Zara malas, menunggu Tama yang berpikir sejenak. Ia akan menuruti perintah Tama untuk yang terakhir kalinya. Ingat itu! Tama memikirkan menu apa yang hendak ia santap untuk makan malam. Namun lelaki itu terlihat begitu lama berpikir membuat Zara kehabisan rasa sabar. "Makanan utamanya apa om?" tanyanya kembali. "Kamu." jawab Tama spontan, tak sadar mulutnya berkata demikian. Zara terhenyak menatap Tama penuh antisipasi. Ia menyilangkan tangannya di depan, menunggu Tama kembali berkata, meralat perkataanya yang terdengar ambigu. Tama berdehem keras, tenggorokannya terasa kering. Ia pun lantas menyeruput kopinya yang mulai menghangat. Aroma dan rasanya yang membuatnya tenang membuat Tama kembali fokus pada lawan bicaranya. "Ekhm.. masak yang simpel aja, sebisa kamu." jawab Tama santai. Tatapannya kembali ke layar komputer yang masih menyala, mengabaikan Zara yang masih terdiam mencermati. "O-oke, aku masak dulu." ujar Zara kemudian. Ia akhirnya meninggalkan ruangan kerja dan menyisakan Tama yang diam-diam bernafas lega. Sudah satu jam lamanya Zara berkutat di dalam dapur. Ia begitu bersemangat mengolah semua bahan-bahan yang telah ia keluarkan dari dalam kulkas. Perasaan sedih dan kesalnya kepada Tama seolah sirna kala dihadapkan dengan berbagai peralatan memasak yang begitu lengkap dan mengkilap. Jangan lupakan isi kulkas yang penuh akan bahan masakan membuat Zara berpikir kembali masakan apa yang hendak ia buat. Hingga akhirnya ia memilih ayam sebagai bahan utama masakannya. Zara begitu cekatan dan terampil dalam kegiatan memasaknya. Ayam Cordon Bleu yang disajikan dengan kentang tumbuk dan saus krim nampak sudah tertata rapi di atas piring. Ia menyajikannya sepiring untuk dicoba oleh Tama. Sisanya ia simpan di freezer dalam sebuah plastik zipper. Dan nampaknya insting Tama begitu kuat melihat ia yang menghampiri Zara begitu masakannya sudah selesai. "Om... Masakanku sudah selesai. Aku buat stok frozen food supaya om gampang, tinggal menggorengnya." ujar Zara memberitahu. Nada bangga tak bisa disembunyikan dari cara Zara berbicara. Tama tersenyum tipis menanggapinya. Gadis ini begitu bahagia dengan hal-hal sekecil ini. "Sekarang aku boleh pulang ya?" pinta Zara sembari melepas tali apron yang melingkar di pinggangnya. Namun Zara nampak kesulitan, tali tersebut terikat kuat sehingga apron itu belum terlepas. Tama yang melihat Zara kesulitan, berinisiatif membantunya. Ia menyingkirkan tangan Zara dan mengganti dengan kedua tangannya. Tubuh jangkung Tama sedikit membungkuk dengan helaan nafas yang terasa di pundak Zara. Hal itu membuat tubuh Zara menegang karena kedekatan itu. Tangannya dengan gelisah saling bertaut, berharap tali apronnya cepat terbuka. "Lain kali jangan ditali mati." ucap Tama mengingatkan setelah tali tersebut terlepas. Zara yang terdiam mengangguk meng-iyakan. Ia berjalan beberapa langkah ke depan, menyisakan jarak yang begitu nyata. Perhatian Tama teralihkan ke arah meja makan dimana ada sebuah piring yang berisi hasil masakan Zara. Tak tunggu lama, Tama mengambil pisau dan garpu lalu memotong ayam yang digoreng dan dibaluri tepung panir itu. Tama membawa potongan ayam dengan kentang tumbuk yang diolesi saus krim itu ke dalam mulutnya. Merasakan cita rasa yang bercampur menciptakan rasa yang komplit. Tama mengunyah perlahan, menikmati tekstur ayam yang renyah di luar dan lembut di dalam. Potongan ham yang gurih dan keju yang meleleh di lidahnya menciptakan harmoni rasa yang sempurna. Kentang tumbuk yang lembut dan creamy berpadu dengan saus krim yang ringan, melengkapi cita rasa gurih dari ayam tersebut. Setetes saus krim yang tersisa di sudut bibir Tama diusap menggunakan punggung tangan. Diam-diam Zara memperhatikan dan menunggu respon Tama akan hasil masakannya. Perasaannya tak menentu, takut jika masakannya tak disukai Tama. Padahal itu adalah masakan termewah yang selalu ia buat bersama ibunya jika sedang banyak uang. Tama tersenyum senang, masakan Zara begitu luar biasa. Ia tak menyangka perempuan itu mau repot membuat olahan ayam yang menurutnya sedikit rumit. Hal itu membuat Zara ikut tersenyum, senang karena masakannya tidak mengecewakan. "Hmm not bad." ucap Tama datar, namun Zara tak peduli penilaian dari ucapan Tama. Ia sudah melihat reaksi senang saat pertama kali Tama mencicipinya. Apalagi kini Tama terlihat kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulutnya. Dan itu cukup membuatnya bangga. Melihat Tama yang tengah menikmati makanannya, Zara kemudian berpamitan untuk pulang. "Kalau begitu, aku pulang om." "Kenapa terburu-buru?" tanya Tama melihat Zara yang sudah bersiap menenteng tas kecilnya. 'Takut dimakan!' teriak Zara yang hanya bisa didengar benaknya. "Aku harus jaga ibu." jawab Zara cepat. "Tidak mau makan dulu?" Zara menggeleng menolak tawaran Tama. Ia terlalu segan untuk berlama-lama lagi di tempat ini. Tama mengangguk membenarkan, "Kamu benar, sebentar, saya panggil supir saya dulu." Ia pun mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Namun Zara segera menyela dan menolak usulan Tama. "Gak usah dianter, om. Aku mau naik bus aja." Tama terdiam sebentar, tengah mempertimbangkan usulan Zara yang dirasa kurang tepat. Namun ia tak bisa terus memaksa gadis itu untuk menurutinya. Sekali lagi, ia hanya orang asing yang entah kenapa begitu mengkhawatirkan gadis di sampingnya itu. "Ok." putus Tama pada akhirnya. Zara tersenyum senang, ia pun berbalik untuk pergi dari dalam apartemen tersebut. Namun tak disangka, Tama mengikuti langkah Zara di belakangnya. Hingga saat di depan pintu, Zara berbalik badan dan menatap Tama untuk terakhir kalinya. Bibirnya melengkung lebar menunjukkan senyum manis yang begitu mempesona di mata Tama. "Zara..." gumam Tama sebelum Zara benar-benar keluar dari pintu apartemennya. "Ya?" jawab Zara dengan senyumnya yang tak lepas. Ada tatapan tak rela jika Zara menghilang dari pandangannya. Entahlah, Tama masih ingin merasakan kedekatannya dengan Zara. "Tolong jaga diri kamu baik-baik." ucap Tama tulus. Berharap kehidupan Zara akan semakin baik esok hari. "Janji tidak akan datang ke klub itu lagi?!" ucapnya penuh penekanan, menolak Zara untuk mengabaikan ucapannya itu. Zara mengangguk, perasaannya begitu terharu mendengar ucapan penuh perhatian itu. Tama adalah orang asing yang begitu peduli padanya, meskipun ada momen dimana ia merasa takut dan resah jika berhadapan dengannya. "Iya om... Terima kasih udah nyelamatin aku. Jika ada kesempatan lain, aku akan membalas semua kebaikan Om Tama, meskipun tidak secara langsung." "Sampai jumpa lagi, Zara." gumam Tama dengan harapan penuh. Zara duduk termenung di bangku bus yang terisi banyak penumpang. Sore hari adalah waktunya bagi orang-orang untuk kembali pulang ke rumah setelah seharian penuh menjalani aktivitas pekerjaan. Namun tidak dengan Zara, ia tak mempunyai tempat untuk pulang. Tidak ada rumah yang menaunginya dengan rasa aman dan nyaman. Zara merasa sedih akan hidupnya saat ini. Setelah ayahnya meninggal dunia, hidupnya seakan dilanda musibah yang berlarut-larut. Padahal di kehidupan sebelumnya, ia hidup berkecukupan dengan kondisi keluarga yang harmonis. Ayahnya seorang teknisi komputer di salah satu kampus swasta ternama. Sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Meskipun hidup sederhana, ia tak pernah kekurangan uang dan kasih sayang. Orang tuanya begitu melimpahkan kasih sayangnya secara keseluruhan itun. Namun, semenjak ayahnya tiada, satu persatu masalah muncul ke permukaan. Ayahnya tertuduh sebagai terdakwa pidana karena menerima sejumlah uang dari pidana praktik korupsi di dalam instansi kampus tempatnya bekerja dalam proyek pengadaan perangkat lunak. Akibat perbuatan itu, pihak kampus mengalami kerugian keuangan sehingga pihak ahli waris dibebankan untuk mengganti rugi uang yang telah di korupsi senilai 2 miliyar. Dan karena sang ibu tidak mampu menanggung beban ganti rugi, ia meminjam sejumlah uang kepada rentenir dan menjual seluruh aset peninggalan ayahnya untuk menutupi kerugian tersebut. Kehilangan sosok ayah yang dicintainya, ditambah beban hutang yang tak terbayangkan, membuat Zara terpuruk. Namun, yang lebih mengusik hatinya adalah kematian ayahnya yang dinilai janggal. Kecelakaan tunggal yang merenggut nyawa ayahnya terasa terlalu kebetulan, terutama mengingat tekanan yang begitu besar yang dihadapi almarhum menjelang kematiannya. Ia begitu ingat raut wajah ayahnya yang selalu gelisah dan sering menyendiri sewaktu pulang bekerja. Hal yang begitu asing, dimana biasanya sang ayah akan keluar menghampiri istrinya untuk bantu memasak atau hanya sekedar berbincang-bincang. Zara menduga ada pihak-pihak yang sengaja menutupi kebenaran di balik kematian ayahnya, sebuah konspirasi yang mungkin terkait dengan kasus korupsi yang menjerat sang ayah. Pertanyaan-pertanyaan menggantung di benaknya, apakah kematian ayahnya murni kecelakaan? Atau ada pihak yang sengaja menghilangkan jejak dan menutup mulut? Namun, bayang-bayang keputusasaan mulai menyelimuti Zara. Sebagai mahasiswi biasa, tanpa koneksi dan sumber daya yang memadai, ia merasa kecil dan tak berdaya di tengah pusaran kasus korupsi dan misteri kematian ayahnya yang rumit. Mengungkap kebenaran di balik kematian ayahnya dan membersihkan nama baik almarhum terasa seperti melawan arus deras. Rasa pesimis menggerogoti semangatnya, mengingatkannya akan keterbatasannya sebagai seseorang yang kecil dan lemah. Ia hanya berharap keadilan akan segera menghampirinya. Entah dari manapun asalnya.Di salah satu ruangan di rumah sakit, Zara menatap ibunya yang sadar dan tengah terbaring. Di sampingnya terdapat seorang dokter dan juga perawat yang tengah memeriksa perkembangan kondisi ibunya. Sedari tadi ia memperhatikan dalam diam bagaimana dokter dan perawat itu bekerja, ia tak mau mengganggu kinerja mereka karena kehadirannya itu."Bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanya Zara setelah mereka dirasa selesai memeriksa ibunya."Sudah cukup membaik. Mungkin dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang jika grafik perkembangan kesehatannya naik, terutama tekanan darahnya."Zara tersenyum senang, perasaannya amat bersyukur mendengar kondisi ibunya semakin membaik. "Terima kasih, dok.""Oh ya... Pukul 9 nanti ibu anda bisa dialihkan ke ruangan vvip no 11. Nanti ada petugas yang membantu.""Zara, kenapa ibu dipindahin? Kamar vip pula?" tanya Ajeng hera, dari mana sang anak memiliki uang untuk menempatkannya di ruang vip ini."Ehm
Butuh waktu 30 menit waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan kontrak perjanjian. Dan selama itu, Zara hanya terdiam, matanya menatap kosong jendela besar yang menghadirkan cahaya hangat di pagi hari.Pikirannya berkecamuk membayangkan kejadian-kejadian yang akan dialaminya di masa depan.Tinta hitam pada lembaran perjanjian itu masih basah, menandakan ikatan yang baru saja terjalin—ikatan yang mengikat Zara pada rahasia kelam bersama Tama.Zara menatap Tama yang menatap puas pada lembaran asli di tangannya,- sementara Zara hanya menerima salinannya.-Isi dari kontrak tersebut benar-benar membuatnya seperti budak saja. Budak yang harus memenuhi segala perintah majikannya. Setidaknya ada poin yang menguntungkan Zara dimana selama perjanjian, Tama akan menanggung semua finansial yang dibutuhkan Zara, berapapun itu."Apa sudah selesai?" tanya Zara memandang Utama datar. Ia perlu udara segar di luar setelah merasa bahwa udara di kamar hotel itu terasa
Zara membuka mata, cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Ingatan semalam masih begitu jelas, setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap janji yang diucapkan ketika merasakan euforia-euforia yang kini terasa hampa dan menyakitkan. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya lelah fisik, tetapi juga lelah batin yang menghancurkan. Sentuhan Utama tadi malam, bukan sentuhan cinta, melainkan transaksi yang memalukan. Setiap sentuhan terasa seperti luka bakar yang tak akan pernah sembuh. Air mata mengalir deras, membasahi bantal yang masih berbau parfum Utama—parfum yang kini menjadi simbol pengkhianatan dirinya sendiri. Ia telah kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya, sesuatu yang takkan pernah bisa kembali. "Ya Tuhan..." gumamnya masih tak menyangka. Berharap ia kini berada di dalam semua mimpi yang tak akan pernah selesai. Ia takut untuk kem
Tama memasuki klub malam yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu bukan klub elit yang berisi para borjuis yang selalu meluangkan waktunya untuk membuang uang. Tempat itu begitu gelap dan lebih liar dari yang ia bayangkan. Namun Tama tidak ada tujuan untuk bersenang-senang disana, ia ingin menemui seseorang yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Di sampingnya, Juan sang asisten setia berjalan menemani dirinya. Matanya yang jelalatan tampak tak pernah berkedip sejak pertama kali memasuki klub. Memandang pyudr* serta bokong bulat setiap perempuan yang dilewatinya. Tama kemudian menaiki tangga menuju ruangan yang telah diberitahu oleh suruhannya. Sampai disana, ia melihat sosok pria tua yang telah menunggunya, duduk sembari menikmati segelas wine di tangannya. Suasana di dalam ruangan begitu senyap dan redup yang membuat ruangan itu terasa begitu privasi. "Selamat malam,
30 menit waktu yang ditempuh untuk Zara sampai di rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ia turun di halte depan dan harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di pintu utama rumah sakit.Dalam perjalanannya, Zara menikmati semilir angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Matahari kini hanya menyisakan cahaya semu berlangitkan kelabu.Suasana sekitar nampak sepi dan hanya terdengar suara deru kendaraan di jalanan.Zara memperhatikan sebuah mobil hitam yang terparkir di depan pintu depan rumah sakit. Ia memelankan langkahnya disaat pandangannya tertuju pada tiga orang pria berpakaian hitam dengan gerak gerik yang mencurigakan.Mereka nampak memperhatikan suasana sekitar hingga tak lama kemudian dua orang yang berpakaian sama nampak keluar dari dalam gedung rumah sakit menghampiri mereka.Zara mencoba abaik dan berjalan seperti biasa. Ia menundukkan pandangannya kala jarak dengan keberadaan mereka semakin dekat. Entahlah, aura orang-orang
Di dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati. Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung. "Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri. Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatn







