LOGINZara menatap Tama yang terlihat bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan. Dan Zara menyadari alarm berbahaya yang melingkupinya saat ini. Setelah keluar dari sarang macan, masuk ke kandang buaya namanya!
Pikirannya kalut memikirkan alasan dan negosiasi yang akan ia layangkan demi melindungi diri dan martabatnya. Zara pikir, semalam Tama melepaskannya dan menganggap semua utangnya lunas. Namun nyatanya pria itu menagih kembali penawaran itu setelah mereka kembali bertemu secara tidak sengaja. "Apakah saya bisa menggantinya dengan sejumlah uang? Maksud saya, saya akan mengganti semua uang yang sudah bapak keluarkan kemarin malam. Akan tetapi saya ingin keringanan untuk dicicil dan diberi tempo untuk melunasinya." Tama menggeleng pasti, menolak semua usulan Zara. Uang yang kemarin ia keluarkan buka hal sepele dan tak perlu ia ungkit-ungkit. Karena saat ini ia hanya tertarik dengan penawaran semalam. Ia tergoda. "Saya tidak butuh itu. Saat ini saya kembali tertarik dengan penawaran kamu malam tadi." Zara ingin menangis menatap Tama penuh permohonan. Matanya berkaca-kaca dengan air mata yang hendak meluncur. "Om... Waktu itu saya benar-benar terdesak, saya tidak berpikir panjang saat mengatakannya. Tolong lupakan saja ya? Akan akan mengganti rugi semuanya." ucap Zara memelas, berharap Tama membatalkan keinginannya itu. Nasi yang masih tersisa banyak ia abaikan. Perutnya terasa mulas mendengar pernyataan Tama barusan. Dan ia tak mau lagi makan saat ini. Tama tak lagi mempertimbangkan ucapannya. Semalaman ia tidak tidur memikirkan gadis di hadapannya ini. Setelah semalam memohon-mohon padanya dan memberikan penawaran yang menggiurkan, dengan sialnya gadis itu menolaknya dan memintanya melupakan penawaran itu. "Tapi saya sudah final dengan keputusan saya. So, ikut saya setelah ini." ucapnya menekan. Tak dapat diganggu gugat. Zara tertunduk, bahunya merosot ke bawah. Tak ada lagi harapan untuk menghindari dari pria berkuasa ini. "Kalau ingin melarikan diri, saya bisa menghubungi orang kemarin dan memberitahu identitas kamu." Tama rupanya mulai mengeluarkan ancamannya. Setelah semalam tidak tertidur, ia mulai mencari tahu latar belakang gadis di hadapannya itu dan akhirnya ia telah mengumpulkan semua data yang cukup membuatnya tertarik. Sontak saja Zara menggeleng, kembali menatap Tama penuh permohonan. Memohon agar Tama tidak memberitahukan identitasnya kemarin malam kepada rektor kampusnya. "Aulia Zara, mahasiswa semester 5 di Universitas Tri Satya, tengah mengambil kuliah di fakultas Ekonomi jurusan Manajemen." "Satu bulan yang lalu menjadi orator demonstran mahasiswa di depan kantor rektor, seorang wakil BEM yang dengan lantang dan berani menunjukkan aspirasinya. Dan karena keberanian itu kamu beberapa kali diteror dan diancam secara represif oleh suruhan rektor tersebut." Tama menjeda pidato panjangnya yang terasa sebagai bacaan pidana eksekusi bagi Zara. "Apa jadinya kalau orang nomor satu di kampus itu tahu kalau lawannya yang kemarin begitu lantang melawannya mempunyai sesuatu yang melanggar etika dan norma sosial? Dia bisa saja munggunakan senjata itu untuk kembali mengancammu, Zara." "Dan kebetulan saya kenal dekat dengan rektor tersebut." Zara tertegun mendengar seluruh penuturan pria di hadapannya. Semua perkataannya tidak ada yang meleset sedikit-pun. Dan Zara tersadar, bahwa pria itu bukan orang sembarang. Karena sejak kejadian demonstrasi besar di kampusnya, ia mendapatkan sanksi akademis bersama beberapa rekan semasa aksi demo. Ia dianggap telah membuat kegaduhan dan menyampaikan berita penghasutan yang merusak citra baik almamater. Tidak hanya itu, Zara sendiri mendapatkan beberapa pesan teror dan ancaman yang mengancam keselamatannya jika kasus besar yang tengah ia tangani bersama organisasinya tetapi dilanjutkan. Menghadapi satu pria berkuasa secara pribadi saja sangat merepotkan dan membahayakan jika keduanya tak sejalan. Apalagi jika dihadapkan dengan dua pria berkuasa? Zara semakin bingung dan terpojokkan. Disatu sisi kredibilitas dan harga dirinya tengah dipertaruhkan. Di sisi lain, reputasinya juga sedang terancam. Bagaimana Zara harus menghadapinya? Apa ia harus bersembunyi di balki sosok berkuasa untuk melawan penguasa lainnya? Baru kemarin ia bertemu, namun sudah mengetahui seluk beluk kehidupannya. Sungguh mengerikan! Zara susah payah menelan ludah merasa tenggorokannya mengering. Ia menatap getir Tama yang santai meminum minumannya. "Saya... Saya akan memenuhi keinginan om, tolong jangan beritahu identitas saya malam kemarin." Akhirnya Zara memutuskan. Sebuah keputusan besar yang akan menjungkir balikkan kehidupannya, namun di balik semua itu, ia berharap suatu saat keadilan akan menghampirinya. "Hmm.. lekas habiskan makananmu. Kita akan pergi." Zara terdiam ketika memasuki sebuah hunian apartemen kelas atas yang terletak strategis di pusat kota. Dilihat dari lobi dan lorong yang dijejakinya, gedung ini sudah menampakkan kemewahan yang tak bisa diabaikan. Desainnya nampak elegan dengan material berkualitas tinggi yang menampilkan kesan mahal pada pandangan pertama. Zara begitu terkesan dengan suasana di dalam gedung yang luas itu. Dan setelah semakin dalam menelusuri, Zara semakin dibuat takjub dengan suasana di dalam ruangan apartemen milik pria itu. Tama menatap Zara yang masih terperangah menatap interior ruangan yang begitu mewah dan berkilau. "Masuklah." ucapnya di depan. Zara pun mengikuti Tama dengan tatapan yang mengagumi bagian-bagian dalam apartemen. Hal itu sedikit mengurangi tingkat kewaspadaannya. "Om tinggal sendirian disini?" tanya Zara basa-basi. Dilihatnya Tama yang duduk di sebuah sofa empuk berwarna abu tua. Tangan kanannya melepaskan jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Zara sendiri masih berdiri di samping sofa menunggu instruksi si pemilik ruangan. Menatap bagian bawah jeans yang dipakainya. "Saya gak mungkin bawa kamu ke ruangan dimana ada istri saya di dalamnya." ujarnya ringan, seolah hal ini bukan suatu persoalan yang berat. Tama terlihat begitu santai, seolah dia adalah pemain yang handal. 'Jadi dia sudah berkeluarga?' 'Apa dia sudah terbiasa membawa wanita muda ke apartemennya tanpa sepengetahuan istrinya?' 'Perempuan yang ke berapa aku ini?' 'Apa yang kamu harapkan, Zara?! Berharap pria itu masih lajang dan jatuh cinta padamu? Itu hanyalah angan-anganmu saja! Kau hanya akan jadi simpanannya saja!' 'Astaga! Siapa yang berharap dia jatuh cinta padaku?!' 'Berharap saja! Siapa tahu suatu saat kau jadi ratu diistana kerajaan bisnisnya!' 'Dan selamanya aku akan dicap sebagai pelakor murahan!' Suara-suara dalam benaknya saling bersahutan dengan akal pikirannya yang terasa berisik. Saling bertentangan satu sama lain. Zara sendiri tengah berperang dengan batinnya. Dan meyakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan terbaik yang telah ia putuskan. "Tunggu dan duduk disini. Saya mandi dulu." Suara berat Tama mengagetkan Zara yang melamun. Zara mengangguk dan duduk di sofa, matanya menatap kepergian Tama yang menyisakan aroma parfum mewahnya. Cukup lama Zara terdiam menunggu. Matanya tak berhenti menelusuri ruangan serta perabotan yang begitu elegan dan mewah. Namun ditengah kekagumannya itu, batin dan pikirannya masih bergejolak menghadirkan resah dan takut disetiap waktu bertambah. Hingga Zara kelelahan sendiri dan tak sadar berbaring tidur di atas sofa. Matanya terpejam diikuti dengan irama nafas yang tenang, tetapi tidak dengan debaran jantungnya. Organ itu terus berdetak kencang hingga beberapa kali Zara merasa sesak. Dalam keadaan setengah sadarnya, Zara merasakan seseorang mendekat. Duduk di samping dan menatapnya lamat. Zara dapat merasakannya, namun ia tak berani membuka matanya. Ia sangat gugup dan takut, meskipun aroma segar dari sabun terasa menusuk indra penciumannya. Aroma musk yang menguar terasa sangat maskulin dan sensual. "Kamu sangat gelisah sampai-sampai ketiduran, hm?" gumam Tama pelan. Tubuhnya merunduk menatap setiap inchi permukaan wajah Zara yang sempurna. Alis hitamnya yang terbentuk alami, bulu mata yang lentik, dan mata yang bulat ketika terbuka, Hidung kecil dengan struktur tulang yang tinggi, lalu garis rahang yang menyempit ke arah dagu dilengkapi garis pipi yang lebih menonjol, serta bibir tipis pink alami yang selalu melengkung tipis meski si empunya tak tersenyum. Hal itu nampak begitu sempurna di mata Tama. Dan mungkin pria lainnya berpikiran sama. Pikir Tama. Dan kali ini ia nampak tak menyukai kenyataan itu. Rasa posesif dan penuh kepemilikan hadir begitu kuat. Zara tidak kuat, kedekatan ini terlalu dekat. Terlalu bahaya. Zara memutuskan untuk membuka matanya. Dan pandangan yang pertama kali ia lihat adalah paras Tama yang begitu dekat dengannya. Begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan nafasnya yang beraroma mint segar. Jantung Zara kembali bergemuruh begitu melihat wajah itu. Wajah yang terlihat tegas dari sorot mata serta garis wajahnya yang tirus. Jangan lupakan alis tebalnya yang selalu berkerut setiap kali berbicara tegas kepadanya. Bibirnya yang merah alami itu nampak selalu datar semakin menambah auran tegasnya. Zara mengerjap, ia menggerakkan kepalanya ke atas menghindari Tama. Pria itu lantas menegakkan kembali tubuhnya diikuti Zara yang kembali duduk. "M-maaf om.." "Kamu, mau mandi dulu, atau langsung mengerjakan tugasmu?" tanya Tama dengan suara lebih rendah. Entah kenapa suaranya tiba-tiba serak. "A-aku mau ke kamar mandi dulu." Zara menatap Tama dengan gemetar yang nyata. Jarak wajah yang terlalu dekat membuat ia susah payah menahan nafasnya yang memburu. Apalagi saat menyadari bahwa Tama hanya mengenakan selembar handuk di bawah pinggangnya. Lama saling bertatap, akhirnya Tama memutuskan pandangannya dan beranjak membebaskan Zara dari kukungan tubuhnya. Tama-pun memberitahu letak kamar mandi dengan tenang. Namun hanya dirinya dan Tuhan yang tahu bagaimana kondisi detak jantungnya saat ini. Zara pun segera mengambil langkah berjalan ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya sekaligus menenangkan debar jantungnya. Zara menatap wajah sayu miliknya di cermin. Rasanya masih tak percaya bahwa kini ia berada dalam perangkap pria dewasa yang penuh intrik. Terlebih, Tama memiliki pesona yang sulit bagi kebanyakan wanita untuk mengabaikannya. Zara kembali menghembuskan nafasnya yang terasa berat. Kakinya terasa berat untuk melangkah keluar. Dimana Tama tengah menunggunya penuh minat. "Kenapa lama sekali? Kamu sedang tidak berpikir untuk mencoba melarikan diri kan?" suara Tama terdengar menginterupsi Zara yang masih berperang melawan ketakutannya. Zara perlahan membuka pintu. Matanya langsung mendapati sepasang kaki di depan pintu, menunggunya keluar. Tama masih setengah telanjang dengan handuk di pinggangnya. Ia perlahan berbalik berjalan ke arah kamar dimana Zara diam mengikuti. Pintu kamar terbuka. Menampilkan sebuah ranjang yang luas yang berhamparkan sprei berwarna abu tua yang mengkilap. Kaki jenjang Zara melangkah masuk lebih ke dalam hingga ia sampai di tengah-tengah ruangan, tepat di depan ranjang lebar itu. Ruangan itu nampak temaran dengan cahaya matahari yang menembus dari sela-sela gorden yang terbuka menetupi jendela. Zara menelan ludahnya kasar. Ia melihat Tama sudah duduk di atas ranjangnya dan menatap Zara penu perintah. "Naiklah ke atas kasur." * "Ahh.. ehmm... Ya, seperti itu." Tama mengerang disela aktivitasnya. Ia nampak begitu menikmati setiap gerakan yang dilakukan Zara ke tubuhnya. Wangi aroma terapi nampak menguar di udara bercampur dengan minyak pelumas yang sedikit beraroma menyengat. Matanya tertutup rapat meresapi setiap gerakan tangan lentik di tubuhnya. Namun beberapa kali meringis setiap tangan itu menyentuh titik-titik yang terasa sensitif di tubuhnya. "Tekan yang kuat... Kamu luar biasa argghh." Suara tulang yang bergemeletuk membuat Tama mengerang kuat karena sensasi sakit namun ringan setelahnya ia rasakan. Seluruh ototnya melemas karena pijatan yang dilakukan Zara di pundaknya yang keras. "Tanganmu ternyata lihai juga. Kamu pernah melakukannya bersama orang lain hmm?" puji Tama membuat Zara merasa senang. Ia menambah tenaganya lebih kuat lagi. "Tidak juga, baru kali ini saya melakukannya sama bapak." jawab Zara jujur. Sebelumnya ia belum pernah memijat orang lain. Dan ia tak pernah membayangkan akan memijat Tama setelah semua bayang-bayang pikiran buruk akan tindakan Tama kepadanya menghantuinya sejak tadi. "Sedikit ke bawah, disana rasanya begitu kaku." Punggung Tama begitu liat dan kokoh sehingga ia harus mengeluarkan tenaga ekstra dalam setiap pijatannya. Zara menghembuskan nafas penat, tangannya begitu pegal karena sudah hampir satu jam ia memijat punggung Tama yang keras dan lebar. Benaknya terus mengeluh capek, namun otaknya berkata untuk tidak mengeluh dan mensyukurinya karena Tama tidak bertindak sebagaimana yang telah ditakutinya. Zara mendesah lega, setidaknya ia masih suci sampai saat ini. "Apa disini masih pegal?" tanya Zara dengan tangan yang menyentuh bagian tulang belikat kanan. Tama berdehem dalam posisi tengkurapnya. "Ya.. nyaman sekali di sana." ucap Tama merasakan pijatan yang terasa lembut disana. Zara semakin kehilangan tenaganya, tangannya begitu lemas dan sulit digerakkan. Ia meringis sebelum akhirnya menyerah. "Aku lelah om. Tanganku kebas rasanya." keluhnya seraya mengarahkan telapak tangannya yang memerah dan kaku ke depan mata Tama. Tama yang melihatnya hanya terkekeh ringan seraya membalikkan tubuhnya dan tidur menyamping. Menatap Zara yang meringis sembari meniup-niup telapak tangannya. "Istirahatlah dulu." Zara mengangguk lega. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan guna menghilangkan rasa pegalnya. Ia begitu fokus dengan kedua tangannya meskipun ia sadar bahwa Tama sedang memperhatikannya sedari tadi. Zara yang tidak tahan ditatap sedemikian rupa akhirnya menyerah. Ia balas menatap Tama dan dengan berani bertanya akan kerisauan yang melanda hatinya sejak tadi. "O-om.. tidak akan menyentuhku kan?" cicit Zara pelan. Takut jika pria itu berubah pikiran. "Kamu berpikir saya akan menyentuhmu?" kata Tama bertanya secara retoris. Zara terlalu berpikir berlebihan akan dirinya, pikirnya. Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia ingin, namun benteng pertahanan Tama masih kokoh dan bisa menahan semua godaan yang datang. Meski Zara tidak secara langsung menggodanya, namun situasi dan kondisi mereka begitu sangat memungkinkan, jika Tama sendiri sengaja mengeluarkan sisi liarnya. Namun ternyata tidak. Ia memilih menjaga gadis itu. Entah kenapa, setiap kali melihat Zara membuatnya merasa memiliki kepemilikan yang posesif untuk menjaga dan melindunginya. Mungkin rasa kasihan membuat Tama masih mempertahankan moralitasnya. "Tidak, saya tidak mau mengkhianati istri saya." Tama kembali melanjutkan perkataannya dengan tatapan kosong. "Tapi kenapa om berbicara seakan mau menyentuhku dan mengancamku tadi?!" tanya Zara geram. Ia merasa dipermainkan oleh pria itu. Tama tertawa melihat wajah yang hampir menangis lega setelah dihadapkan suasana mencekam. "Hanya ingin melihat reaksimu saja." jawabnya sembari terkekeh. Tama bangkit dari pembaringannya. Ia menatap Zara yang kini menangis tersedu-sedu. Tangannya memegang lembut dagu Zara sehingga ia bisa memperhatikan lebih intens wajah yang mengkilat basah itu. "Dan kamu terlihat sangat pias dan juga ketakutan. Apakah saya begitu menakutkan di matamu?" tanyanya pelan. Matanya masih terpaku menatap Zara yang semakin terisak. Entah kenapa, ia bisa merasakan pedih yang tengah dirasakan Zara.Di salah satu ruangan di rumah sakit, Zara menatap ibunya yang sadar dan tengah terbaring. Di sampingnya terdapat seorang dokter dan juga perawat yang tengah memeriksa perkembangan kondisi ibunya. Sedari tadi ia memperhatikan dalam diam bagaimana dokter dan perawat itu bekerja, ia tak mau mengganggu kinerja mereka karena kehadirannya itu."Bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanya Zara setelah mereka dirasa selesai memeriksa ibunya."Sudah cukup membaik. Mungkin dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang jika grafik perkembangan kesehatannya naik, terutama tekanan darahnya."Zara tersenyum senang, perasaannya amat bersyukur mendengar kondisi ibunya semakin membaik. "Terima kasih, dok.""Oh ya... Pukul 9 nanti ibu anda bisa dialihkan ke ruangan vvip no 11. Nanti ada petugas yang membantu.""Zara, kenapa ibu dipindahin? Kamar vip pula?" tanya Ajeng hera, dari mana sang anak memiliki uang untuk menempatkannya di ruang vip ini."Ehm
Butuh waktu 30 menit waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan kontrak perjanjian. Dan selama itu, Zara hanya terdiam, matanya menatap kosong jendela besar yang menghadirkan cahaya hangat di pagi hari.Pikirannya berkecamuk membayangkan kejadian-kejadian yang akan dialaminya di masa depan.Tinta hitam pada lembaran perjanjian itu masih basah, menandakan ikatan yang baru saja terjalin—ikatan yang mengikat Zara pada rahasia kelam bersama Tama.Zara menatap Tama yang menatap puas pada lembaran asli di tangannya,- sementara Zara hanya menerima salinannya.-Isi dari kontrak tersebut benar-benar membuatnya seperti budak saja. Budak yang harus memenuhi segala perintah majikannya. Setidaknya ada poin yang menguntungkan Zara dimana selama perjanjian, Tama akan menanggung semua finansial yang dibutuhkan Zara, berapapun itu."Apa sudah selesai?" tanya Zara memandang Utama datar. Ia perlu udara segar di luar setelah merasa bahwa udara di kamar hotel itu terasa
Zara membuka mata, cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Ingatan semalam masih begitu jelas, setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap janji yang diucapkan ketika merasakan euforia-euforia yang kini terasa hampa dan menyakitkan. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya lelah fisik, tetapi juga lelah batin yang menghancurkan. Sentuhan Utama tadi malam, bukan sentuhan cinta, melainkan transaksi yang memalukan. Setiap sentuhan terasa seperti luka bakar yang tak akan pernah sembuh. Air mata mengalir deras, membasahi bantal yang masih berbau parfum Utama—parfum yang kini menjadi simbol pengkhianatan dirinya sendiri. Ia telah kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya, sesuatu yang takkan pernah bisa kembali. "Ya Tuhan..." gumamnya masih tak menyangka. Berharap ia kini berada di dalam semua mimpi yang tak akan pernah selesai. Ia takut untuk kem
Tama memasuki klub malam yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu bukan klub elit yang berisi para borjuis yang selalu meluangkan waktunya untuk membuang uang. Tempat itu begitu gelap dan lebih liar dari yang ia bayangkan. Namun Tama tidak ada tujuan untuk bersenang-senang disana, ia ingin menemui seseorang yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Di sampingnya, Juan sang asisten setia berjalan menemani dirinya. Matanya yang jelalatan tampak tak pernah berkedip sejak pertama kali memasuki klub. Memandang pyudr* serta bokong bulat setiap perempuan yang dilewatinya. Tama kemudian menaiki tangga menuju ruangan yang telah diberitahu oleh suruhannya. Sampai disana, ia melihat sosok pria tua yang telah menunggunya, duduk sembari menikmati segelas wine di tangannya. Suasana di dalam ruangan begitu senyap dan redup yang membuat ruangan itu terasa begitu privasi. "Selamat malam,
30 menit waktu yang ditempuh untuk Zara sampai di rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ia turun di halte depan dan harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di pintu utama rumah sakit.Dalam perjalanannya, Zara menikmati semilir angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Matahari kini hanya menyisakan cahaya semu berlangitkan kelabu.Suasana sekitar nampak sepi dan hanya terdengar suara deru kendaraan di jalanan.Zara memperhatikan sebuah mobil hitam yang terparkir di depan pintu depan rumah sakit. Ia memelankan langkahnya disaat pandangannya tertuju pada tiga orang pria berpakaian hitam dengan gerak gerik yang mencurigakan.Mereka nampak memperhatikan suasana sekitar hingga tak lama kemudian dua orang yang berpakaian sama nampak keluar dari dalam gedung rumah sakit menghampiri mereka.Zara mencoba abaik dan berjalan seperti biasa. Ia menundukkan pandangannya kala jarak dengan keberadaan mereka semakin dekat. Entahlah, aura orang-orang
Di dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati. Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung. "Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri. Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatn







