Share

4

Penulis: fridayy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-15 11:02:31

Zara menatap Tama yang terlihat bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan. Dan Zara menyadari alarm berbahaya yang melingkupinya saat ini. Setelah keluar dari sarang macan, masuk ke kandang buaya namanya! 

Pikirannya kalut memikirkan alasan dan negosiasi yang akan ia layangkan demi melindungi diri dan martabatnya.

Zara pikir, semalam Tama melepaskannya dan menganggap semua utangnya lunas. Namun nyatanya pria itu menagih kembali penawaran itu setelah mereka kembali bertemu secara tidak sengaja.

"Apakah saya bisa menggantinya dengan sejumlah uang? Maksud saya, saya akan mengganti semua uang yang sudah bapak keluarkan kemarin malam. Akan tetapi saya ingin keringanan untuk dicicil dan diberi tempo untuk melunasinya."

Tama menggeleng pasti, menolak semua usulan Zara. Uang yang kemarin ia keluarkan buka hal sepele dan tak perlu ia ungkit-ungkit. Karena saat ini ia hanya tertarik dengan penawaran semalam.

Ia tergoda.

"Saya tidak butuh itu. Saat ini saya kembali tertarik dengan penawaran kamu malam tadi."

Zara ingin menangis menatap Tama penuh permohonan. Matanya berkaca-kaca dengan air mata yang hendak meluncur.  "Om... Waktu itu saya benar-benar terdesak, saya tidak berpikir panjang saat mengatakannya. Tolong lupakan saja ya? Akan akan mengganti rugi semuanya." ucap Zara memelas, berharap Tama membatalkan keinginannya itu.

Nasi yang masih tersisa banyak ia abaikan. Perutnya terasa mulas mendengar pernyataan Tama barusan. Dan ia tak mau lagi makan saat ini.

Tama tak lagi mempertimbangkan ucapannya.

Semalaman ia tidak tidur memikirkan gadis di hadapannya ini. Setelah semalam memohon-mohon padanya dan memberikan penawaran yang menggiurkan, dengan sialnya gadis itu menolaknya dan memintanya melupakan penawaran itu.

"Tapi saya sudah final dengan keputusan saya. So, ikut saya setelah ini." ucapnya menekan. Tak dapat diganggu gugat.

Zara tertunduk, bahunya merosot ke bawah. Tak ada lagi harapan untuk menghindari dari pria berkuasa ini.

"Kalau ingin melarikan diri, saya bisa menghubungi orang kemarin dan memberitahu identitas kamu." Tama rupanya mulai mengeluarkan ancamannya. Setelah semalam tidak tertidur, ia mulai mencari tahu latar belakang gadis di hadapannya itu dan akhirnya ia telah mengumpulkan semua data yang cukup membuatnya tertarik.

Sontak saja Zara menggeleng, kembali menatap Tama penuh permohonan. Memohon agar Tama tidak memberitahukan identitasnya kemarin malam kepada rektor kampusnya.

"Aulia Zara, mahasiswa semester 5 di Universitas Tri Satya, tengah mengambil kuliah di fakultas Ekonomi jurusan Manajemen."

"Satu bulan yang lalu menjadi orator demonstran mahasiswa di depan kantor rektor, seorang wakil BEM yang dengan lantang dan berani menunjukkan aspirasinya. Dan karena keberanian itu kamu beberapa kali diteror dan diancam secara represif oleh suruhan rektor tersebut." Tama menjeda pidato panjangnya yang terasa sebagai bacaan pidana eksekusi bagi Zara.

"Apa jadinya kalau orang nomor satu di kampus itu tahu kalau lawannya yang kemarin begitu lantang melawannya mempunyai sesuatu yang melanggar etika dan norma sosial? Dia bisa saja munggunakan senjata itu untuk kembali mengancammu, Zara."

"Dan kebetulan saya kenal dekat dengan rektor tersebut."

Zara tertegun mendengar seluruh penuturan pria di hadapannya. Semua perkataannya tidak ada yang meleset sedikit-pun. Dan Zara tersadar, bahwa pria itu bukan orang sembarang.

Karena sejak kejadian demonstrasi besar di kampusnya, ia mendapatkan sanksi akademis bersama beberapa rekan semasa aksi demo. Ia dianggap telah membuat kegaduhan dan menyampaikan berita penghasutan yang merusak citra baik almamater. Tidak hanya itu, Zara sendiri mendapatkan beberapa pesan teror dan ancaman yang mengancam keselamatannya jika kasus besar yang tengah ia tangani bersama organisasinya tetapi dilanjutkan.

Menghadapi satu pria berkuasa secara pribadi saja sangat merepotkan dan membahayakan jika keduanya tak sejalan. Apalagi jika dihadapkan dengan dua pria berkuasa?

Zara semakin bingung dan terpojokkan. Disatu sisi kredibilitas dan harga dirinya tengah dipertaruhkan. Di sisi lain, reputasinya juga sedang terancam. Bagaimana Zara harus menghadapinya? Apa ia harus bersembunyi di balki sosok berkuasa untuk melawan penguasa lainnya?

Baru kemarin ia bertemu, namun sudah mengetahui seluk beluk kehidupannya. Sungguh mengerikan!

Zara susah payah menelan ludah merasa tenggorokannya mengering. Ia menatap getir Tama yang santai meminum minumannya.

"Saya... Saya akan memenuhi keinginan om, tolong jangan beritahu identitas saya malam kemarin." Akhirnya Zara memutuskan. Sebuah keputusan besar yang akan menjungkir balikkan kehidupannya, namun di balik semua itu, ia berharap suatu saat keadilan akan menghampirinya.

"Hmm.. lekas habiskan makananmu. Kita akan pergi."

Zara terdiam ketika memasuki sebuah hunian apartemen kelas atas yang terletak strategis di pusat kota. Dilihat dari lobi dan lorong yang dijejakinya, gedung ini sudah menampakkan kemewahan yang tak bisa diabaikan.

Desainnya nampak elegan dengan material berkualitas tinggi yang menampilkan kesan mahal pada pandangan pertama.

Zara begitu terkesan dengan suasana di dalam gedung yang luas itu. Dan setelah semakin dalam menelusuri, Zara semakin dibuat takjub dengan suasana di dalam ruangan apartemen milik pria itu.

Tama menatap Zara yang masih terperangah menatap interior ruangan yang begitu mewah dan berkilau. 

"Masuklah." ucapnya di depan. Zara pun mengikuti Tama dengan tatapan yang mengagumi bagian-bagian dalam apartemen. Hal itu sedikit mengurangi tingkat kewaspadaannya.

"Om tinggal sendirian disini?" tanya Zara basa-basi. Dilihatnya Tama yang duduk di sebuah sofa empuk berwarna abu tua. Tangan kanannya melepaskan jam tangan yang melingkar di lengan kirinya.

Zara sendiri masih berdiri di samping sofa menunggu instruksi si pemilik ruangan. Menatap bagian bawah jeans yang dipakainya.

"Saya gak mungkin bawa kamu ke ruangan dimana ada istri saya di dalamnya." ujarnya ringan, seolah hal ini bukan suatu persoalan yang berat. Tama terlihat begitu santai, seolah dia adalah pemain yang handal.

'Jadi dia sudah berkeluarga?'

'Apa dia sudah terbiasa membawa wanita muda ke apartemennya tanpa sepengetahuan istrinya?'

'Perempuan yang ke berapa aku ini?'

'Apa yang kamu harapkan, Zara?! Berharap pria itu masih lajang dan jatuh cinta padamu? Itu hanyalah angan-anganmu saja! Kau hanya akan jadi simpanannya saja!'

'Astaga! Siapa yang berharap dia jatuh cinta padaku?!'

'Berharap saja! Siapa tahu suatu saat kau jadi ratu diistana kerajaan bisnisnya!'

'Dan selamanya aku akan dicap sebagai pelakor murahan!'

Suara-suara dalam benaknya saling bersahutan dengan akal pikirannya yang terasa berisik. Saling bertentangan satu sama lain. Zara sendiri tengah berperang dengan batinnya. Dan meyakinkan dirinya bahwa ini adalah jalan terbaik yang telah ia putuskan.

"Tunggu dan duduk disini. Saya mandi dulu." Suara berat Tama mengagetkan Zara yang melamun. Zara mengangguk dan duduk di sofa, matanya menatap kepergian Tama yang menyisakan aroma parfum mewahnya.

Cukup lama Zara terdiam menunggu. Matanya tak berhenti menelusuri ruangan serta perabotan yang begitu elegan dan mewah. Namun ditengah kekagumannya itu, batin dan pikirannya masih bergejolak menghadirkan resah dan takut disetiap waktu bertambah.

Hingga Zara kelelahan sendiri dan tak sadar berbaring tidur di atas sofa. Matanya terpejam diikuti dengan irama nafas yang tenang, tetapi tidak dengan debaran jantungnya. Organ itu terus berdetak kencang hingga beberapa kali Zara merasa sesak.

Dalam keadaan setengah sadarnya, Zara merasakan seseorang mendekat. Duduk di samping dan menatapnya lamat. Zara dapat merasakannya, namun ia tak berani membuka matanya.

Ia sangat gugup dan takut, meskipun aroma segar dari sabun terasa menusuk indra penciumannya. Aroma musk yang menguar terasa sangat maskulin dan sensual.

"Kamu sangat gelisah sampai-sampai ketiduran, hm?" gumam Tama pelan. Tubuhnya merunduk menatap setiap inchi permukaan wajah Zara yang sempurna. Alis hitamnya yang terbentuk alami, bulu mata yang lentik, dan mata yang bulat ketika terbuka, Hidung kecil dengan struktur tulang yang tinggi, lalu garis rahang yang menyempit ke arah dagu dilengkapi garis pipi yang lebih menonjol, serta bibir tipis pink alami yang selalu melengkung tipis meski si empunya tak tersenyum. Hal itu nampak begitu sempurna di mata Tama.

Dan mungkin pria lainnya berpikiran sama. Pikir Tama. Dan kali ini ia nampak tak menyukai kenyataan itu. Rasa posesif dan penuh kepemilikan hadir begitu kuat.

Zara tidak kuat, kedekatan ini terlalu dekat. Terlalu bahaya. Zara memutuskan untuk membuka matanya. Dan pandangan yang pertama kali ia lihat adalah paras Tama yang begitu dekat dengannya. Begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan nafasnya yang beraroma mint segar.

Jantung Zara kembali bergemuruh begitu melihat wajah itu. Wajah yang terlihat tegas dari sorot mata serta garis wajahnya yang tirus. Jangan lupakan alis tebalnya yang selalu berkerut setiap kali berbicara tegas kepadanya. Bibirnya yang merah alami itu nampak selalu datar semakin menambah auran tegasnya.

Zara mengerjap, ia menggerakkan kepalanya ke atas menghindari Tama. Pria itu lantas menegakkan kembali tubuhnya diikuti Zara yang kembali duduk.

"M-maaf om.." 

"Kamu, mau mandi dulu, atau langsung mengerjakan tugasmu?" tanya Tama dengan suara lebih rendah. Entah kenapa suaranya tiba-tiba serak.

"A-aku mau ke kamar mandi dulu." Zara menatap Tama dengan gemetar yang nyata. Jarak wajah yang terlalu dekat membuat ia susah payah menahan nafasnya yang memburu. Apalagi saat menyadari bahwa Tama hanya mengenakan selembar handuk di bawah pinggangnya.

Lama saling bertatap, akhirnya Tama memutuskan pandangannya dan beranjak membebaskan Zara dari kukungan tubuhnya.

Tama-pun memberitahu letak kamar mandi dengan tenang. Namun hanya dirinya dan Tuhan yang tahu bagaimana kondisi detak jantungnya saat ini.

Zara pun segera mengambil langkah  berjalan ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya sekaligus menenangkan debar jantungnya.

Zara menatap wajah sayu miliknya di cermin. Rasanya masih tak percaya bahwa kini ia berada dalam perangkap pria dewasa yang penuh intrik. Terlebih, Tama memiliki pesona yang sulit bagi kebanyakan wanita untuk mengabaikannya.

Zara kembali menghembuskan nafasnya yang terasa berat. Kakinya terasa berat untuk melangkah keluar. Dimana Tama tengah menunggunya penuh minat.

"Kenapa lama sekali? Kamu sedang tidak berpikir untuk mencoba melarikan diri kan?" suara Tama terdengar menginterupsi Zara yang masih berperang melawan ketakutannya.

Zara perlahan membuka pintu. Matanya langsung mendapati sepasang kaki di depan pintu, menunggunya keluar.

Tama masih setengah telanjang dengan handuk di pinggangnya. Ia perlahan berbalik berjalan ke arah kamar dimana Zara diam mengikuti.

Pintu kamar terbuka. Menampilkan sebuah ranjang yang luas yang berhamparkan sprei berwarna abu tua yang mengkilap. Kaki jenjang Zara melangkah masuk lebih ke dalam hingga ia sampai di tengah-tengah ruangan, tepat di depan ranjang lebar itu.

Ruangan itu nampak temaran dengan cahaya matahari yang menembus dari sela-sela gorden yang terbuka menetupi jendela.

Zara menelan ludahnya kasar. Ia melihat Tama sudah duduk di atas ranjangnya dan menatap Zara penu perintah.

"Naiklah ke atas kasur."

*

"Ahh.. ehmm... Ya, seperti itu." Tama mengerang disela aktivitasnya. Ia nampak begitu menikmati setiap gerakan yang dilakukan Zara ke tubuhnya.

Wangi aroma terapi nampak menguar di udara bercampur dengan minyak pelumas yang sedikit beraroma menyengat.

Matanya tertutup rapat meresapi setiap gerakan tangan lentik di tubuhnya. Namun beberapa kali meringis setiap tangan itu menyentuh titik-titik yang terasa sensitif di tubuhnya. "Tekan yang kuat... Kamu luar biasa argghh." 

Suara tulang yang bergemeletuk membuat Tama mengerang kuat karena sensasi sakit namun ringan setelahnya ia rasakan. Seluruh ototnya melemas karena pijatan yang dilakukan Zara di pundaknya yang keras.

"Tanganmu ternyata lihai juga. Kamu pernah melakukannya bersama orang lain hmm?" puji Tama membuat Zara merasa senang. Ia menambah tenaganya lebih kuat lagi.

"Tidak juga, baru kali ini saya melakukannya sama bapak." jawab Zara jujur. Sebelumnya ia belum pernah memijat orang lain. Dan ia tak pernah membayangkan akan memijat Tama setelah semua bayang-bayang pikiran buruk akan tindakan Tama kepadanya menghantuinya sejak tadi.

"Sedikit ke bawah, disana rasanya begitu kaku."

Punggung Tama begitu liat dan kokoh sehingga ia harus mengeluarkan tenaga ekstra dalam setiap pijatannya.

Zara menghembuskan nafas penat, tangannya begitu pegal karena sudah hampir satu jam ia memijat punggung Tama yang keras dan lebar. Benaknya terus mengeluh capek, namun otaknya berkata untuk tidak mengeluh dan mensyukurinya karena Tama tidak bertindak sebagaimana yang telah ditakutinya.

Zara mendesah lega, setidaknya ia masih suci sampai saat ini.

"Apa disini masih pegal?" tanya Zara dengan tangan yang menyentuh bagian tulang belikat kanan.

Tama berdehem dalam posisi tengkurapnya. "Ya.. nyaman sekali di sana." ucap Tama merasakan pijatan yang terasa lembut disana.

Zara semakin kehilangan tenaganya, tangannya begitu lemas dan sulit digerakkan. Ia meringis sebelum akhirnya menyerah.

"Aku lelah om. Tanganku kebas rasanya." keluhnya seraya mengarahkan telapak tangannya yang memerah dan kaku ke depan mata Tama.

Tama yang melihatnya hanya terkekeh ringan seraya membalikkan tubuhnya dan tidur menyamping. Menatap Zara yang meringis sembari meniup-niup telapak tangannya.

"Istirahatlah dulu."

Zara mengangguk lega. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan guna menghilangkan rasa pegalnya. Ia begitu fokus dengan kedua tangannya meskipun ia sadar bahwa Tama sedang memperhatikannya sedari tadi.

Zara yang tidak tahan ditatap sedemikian rupa akhirnya menyerah. Ia balas menatap Tama dan dengan berani bertanya akan kerisauan yang melanda hatinya sejak tadi.

"O-om.. tidak akan menyentuhku kan?" cicit Zara pelan. Takut jika pria itu berubah pikiran.

"Kamu berpikir saya akan menyentuhmu?" kata Tama bertanya secara retoris. Zara terlalu berpikir berlebihan akan dirinya, pikirnya.

Meskipun jauh di dalam lubuk hatinya ia ingin, namun benteng pertahanan Tama masih kokoh dan bisa menahan semua godaan yang datang. Meski Zara tidak secara langsung menggodanya, namun situasi dan kondisi mereka begitu sangat memungkinkan, jika Tama sendiri sengaja mengeluarkan sisi liarnya.

Namun ternyata tidak. Ia memilih menjaga gadis itu.

Entah kenapa, setiap kali melihat Zara membuatnya merasa memiliki kepemilikan yang posesif untuk menjaga dan melindunginya. Mungkin rasa kasihan membuat Tama masih mempertahankan moralitasnya.

"Tidak, saya tidak mau mengkhianati istri saya." Tama kembali melanjutkan perkataannya dengan tatapan kosong.

"Tapi kenapa om berbicara seakan mau menyentuhku dan mengancamku tadi?!" tanya Zara geram. Ia merasa dipermainkan oleh pria itu. Tama tertawa melihat wajah yang hampir menangis lega setelah dihadapkan suasana mencekam.

"Hanya ingin melihat reaksimu saja." jawabnya sembari terkekeh.

Tama bangkit dari pembaringannya. Ia menatap Zara yang kini menangis tersedu-sedu. Tangannya memegang lembut dagu Zara sehingga ia bisa memperhatikan lebih intens wajah yang mengkilat basah itu.

"Dan kamu terlihat sangat pias dan juga ketakutan. Apakah saya begitu menakutkan di matamu?" tanyanya pelan. Matanya masih terpaku menatap Zara yang semakin terisak. Entah kenapa, ia bisa merasakan pedih yang tengah dirasakan Zara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   39

    Lukman tak bisa berkata-kata, keputusannya untuk mengikuti anak dan menantunya setelah mengantar dirinya ke rumah ternyata membawanya pada suatu hal yang selama ini ditakutinya. Jauh di seberang sana, ia dapat melihat mobil menantunya yang berhenti di depan gerbang cukup lama, entah apa yang anak dan menantunya lakukan karena mobil tak kunjung memasuki halaman rumah. Namun, melihat Anna yang keluar dengan raut wajah marah, diiringi mobil menantunya yang melaju meninggalkan rumah membuat Lukman semakin terkejut melihatnya. Lukman tak bisa membiarkan kebingungan melanda dirinya, ia menyuruh sopir mendekat lalu berhenti di depan gerbang rumah anaknya. Disana, ada satpam yang langsung sigap menghampirinya. "Enggak masuk ke dalam, pak?" tanya satpam yang mengenal Lukman sebagai ayah dari majikan perempuannya. Ia melihat Lukman yang hanya menatap ke dalam melalui kaca mobilnya di luar sana. "Kenapa Tama tidak pula

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   38

    Di dalam ruangan Tama, Zara duduk di sofa dengan gelisah . Sudah beberapa menit ia menghabiskan waktunya disana sendirian, dan Tama tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.Zara merasa kesal sendiri, di luar juga tidak ada sosok Juan yang berkata akan berdiam menemaninya saja. Sepertinya lelaki itu meninggalkannya sendirian di lantai itu.Dan kini Zara mencoba menunggu kedua lelaki itu datang kembali ke ruangan itu, namun sebuah pesan yang dikirim Tama membuat kekesalannya semakin menjadi.'Sayang, maafkan aku karena telah meninggalkanmu sendirian disana. Ayah mertuaku memaksa untuk datang ke ruanganku namun aku berhasil mencegahnya. Kamu sekarang pulang sendiri dulu, nanti aku menyusul.'Zara berdecak, lalu beranjak dari sana setelah membalasnya dengan pesan singkat. 'Ya.' Ia terlalu malas meneror Tama dengan pesan berantainya, karena saat ini ia benar-benar kesal.Zara memutuskan untuk menaiki taksi dan pulang ke tempat ibunya. Biar

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   37

    Sore hari, Zara keluar dari ruangan divisinya lalu disambut Juan di lobi lantai satu. Lelaki itu membawa Zara ke basement dan memasuki lift khusus presdir yang langsung menuju ke ruangannya."Oh ya, Pak Tama masih menyelesaikan meetingnya, mungkin sekitar 10 sampai 20 menit lagi selesai. Mau ku buatkan minuman?""Gak usah, pak." jawab Zara sopan mengingat saat ini ia masih berada di tempat kerja.Juan mengagguk lalu duduk di sofa sebelah.Suasana di dalam ruangan terasa hening, terlebih Zara merasa tak nyaman dengan kehadiran Juan di sampingnya."Ehm, Pak Juan... Kalau mau pulang silahkan, tidak perlu menemani saya disini." ujar Zara mempersilahkan Juan pergi jika kehadirannya disana hanya sekedar menemaninya yang sendirian."Benarkah? Kau berani tinggal disini sendirian?" tanya Juan menantang.Zara mengangguk meskipun agak sedikit ragu di dalam tatapannya, ruangan luas itu nampak tenang dengan interior mewahnya, meskip

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   36

    Zara kembali ke apartemen setelah ia selesai mengajari Davin di rumahnya. Ia pergi dengan terburu-buru mengingat perlakuan diam-diam Tama yang semakin menjadi kepada dirinya.Karena sejak kedatangan lelaki itu, Tama tak berhentinya mencari celah untuk mendekatinya dan melakukan sentuhan-sentuhan samar yang membuat Zara kalang kabut.Akal sehatnya menentang perlakuan Tama yang bisa menimbulkan kecurigaan dari Anna yang tengah berada di tempat yang sama.Kini, Zara memutuskan untuk membereskan apartemen seorang diri mengingat ia tak punya pekerjaan lain. Ia mulai membuka semua gorden yang tertutup sehingga cahaya dapat masuk ke dalam ruangan yang luas itu.Seluruh ruangan Zara bersihkan hingga tak ada debu yang beterbangan atau menempel di atas permukaan.Hingga kemudian, Zara membawa tubuhnya ke ruang kerja milik Tama dimana ruangan tersebut yang belum dibersihkan. Karena rencananya, Zara akan menghabiskan waktunya disana setelah pekerjaan bersih-bersihnya selesai. Ia ingin membaca buk

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   35

    Di akhir pekan, Zara kembali ke rutinitasnya sebagai guru les sesuai permintaan-lebih tepatnya dipaksa-orang tua Davin. Ia akan mengunjungi rumah Davin yang dimana adalah rumah Utama sendiri bersama sang istri.Zara meringis akan pikirannya, bukankah saat ini ia sama saja tengah memasuki kandang singa? Zara tidak tahu apakah disana Tama memang sengaja memasang perangkap untuk menjebaknya? Atau untuk apa? Bukankah lelaki itu sendiri yang memaksa Zara agar kembali menerima tawaran mengajarnya? Untuk apa? Untuk meyakinkan dirinya kembali bahwa posisinya kini hanya sebagai simpanannya saja? Begitukah?Zara merasakan cubitan kecil di ulu hatinya, entah kenapa kini ia merasa tak rela jika lelaki yang telah membuatnya nyaman itu memiliki keluarga di depan sana, sementara dirinya, hanya bisa terus bersembunyi di balik dinding tak kasat mata membayangi punggung lelaki itu.Motor yang ditumpangi Zara akhirnya terhenti di depan gerbang yang lebar dan menjulang tinggi

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   34

    Zara duduk tak nyaman di kursinya setelah kejadian beberapa saat lalu. Keduanya banyak terdiam, terlebih Daniel yang terlihat murung membuat Zara semakin dilanda perasaan bersalah.Hingga kemudian, seseorang nampak menghampiri mereka. Lalu menyapanya dengan senyum ramahnya, "Zara? Sarapan disini? Gue ikut gabung, boleh?" "Inara? Boleh.. sini duduk." ucap Zara setelah melihat Daniel yang tak keberatan akan kehadiran orang lain di meja mereka.Inara pun duduk di samping kursi Zara dan menatap penasaran akan sosok lelaki asing yang tengah berbicara bersama sahabatnya."Kak Daniel, kenalin temanku, Inara." ucap Zara mengenalkan kedua temannya."Daniel Santoso...""Inara Rusman."Keduanya berjabat tangan beberapa saat sebelum melepasnya kembali."Bukan artis, kan kamu?" tanya Daniel mengingat nama yang hampir mirip dengan seorang artis yang tak asing di telinganya.Inara menggeleng, "Bukan... Agak mirip sih

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status