*
Hari ketiga aku di rawat di RS ibu dan anak, hari ini saatnya aku pulang kerumah. Aku sudah di jemput oleh kedua mertuaku, sementara Mas Anton tidak ikut menjemputku, kata ibu mertua Mas Anton sibuk, dari pukul setengah tujuh dia sudah pergi dari rumah."Intan ... ayo kita pulang kerumah kami Nak!" ajak Bu Risma dengan menyunggingkan senyuman seraya mengusap bahuku lembut, aku menoleh menatap wajahnya yang sudah keriput juga kantung mata menghiasi wajah lembutnya
"Tapi Bu, aku mau pulang ke rumahku sendiri saja, lagi pula, aku juga tidak jadi hamil, aku tidak mau merepotkan ibu," jawabku sedikit ragu.
"Memangnya kenapa Nak? Hamil atau tidak, tak jadi masalah untuk ibu, yang penting kamu tinggal bersama kami, berkumpul di tengah keluarga kami, iya ka Yah?"
Bu Risma menoleh pada lelaki paruh baya yang berdiri di ambang pintu, mertua lelakiku hanya menanggapi dengan senyuman tipis, dari raut wajah sepertinya ia kurang suka dengan ucapan Bu Risma yan
"Jangan usir aku, Mas! Kau lihat?" Kutatap wajah Mas Anton, seraya memegang kedua lengannya, "Mas ... aku ini belum pulih sepenuhnya, aku membutuhkanmu, juga ibu, aku membutuhkan sebuah keluarga di tengah-tengahku, di saat aku seperti ini! Kamu tega, Mas!" ucapku di iringi Isak tangis. Agar menarik simpati Mas Anton, yang bersikeras menolak permintaanku untuk tinggal di rumahnya sementara, selama aku dalam pemulihan, dan mungkin nanti aku akan pergi dari sini mencari rumah baru untuk kutinggali sendiri, jika aku sudah benar-benar merasa sehat. "Tega kamu bilang, aku bukan tega, kau tahu? Aku sudah muak denganmu, juga kelakuan busukmu, sandiwaramu." Mas Anton mencengkram bahuku dengan erat, menimbulkan rasa sakit di sana, lalu ia menarik tubuhku hingga wajahku mendongak dan kami saling berhadapan tanpa jarak. "Lepas Mas! Jangan kaya gini, sakit!" pintaku meringis, Mas Anton bergeming, napasnya kian memburu tatapan matanya tajam berkilat. "Lebih sakit a
"Ada apa, Nak? Cepat katakan pada ibu! Jika kamu memiliki masalah, biasanya kamu selalu mengadu. Tak biasanya kamu seperti ini? Ibu akan selalu mendengarkan keluh kesahmu, beban di hatimu akan terasa ringan jika kamu berbagi dan bercerita dengan orang lain," ucap Bu Risma lemah lembut. Mas Anton menatap ibunya ia bergeming beberapa saat. "Tidak Bu, semuanya baik-baik saja, aku tak sedang punya masalah, hanya sedikit lelah," ujar Mas Anton bohong. Kutarik napas lega karena Mas Anton tidak buka mulut tentang apa yang tengah menimpa dirinya, aku berjalan dengan langkah pelan menuju dia, dan duduk di samping kanan Pria yang sedang di rundung pilu ini. "Ya sudah, kalau tidak ada masalah, kita sekarang makan ya! Nanti kamu sakit, kalau tidak makan, ibu tidak mau melihat anak ibu satu-satunya ini masuk rumah sakit, karena tidak makan berhari-hari," ujar Bu Risma panjang lebar. "Aku, tidak berselera makan, Bu," jawabnya seraya menggeleng pelan. "Meman
"Itu tidak benar, Bu." Aku menggeleng cepat, sambil meraih tangan Bu Risma yang duduk di sofa menyandarkan punggung dan kepalanya. "Bohong! Ibu sudah mendengar semuanya, yang barusan kalian katakan," ucap Bu Risma lirih dan terisak, napasnya begitu berat dan suaranya tercekat, satu tangannya menggenggam erat tangan Pak Wiryo, dan tangan satu lagi diletakkan di dadanya yang terengah-engah menahan sesak. "Yah, sebaiknya ibu di bawa ke rumah sakit!" ucap Mas Anton panik, dia menatap khawatir pada ibunya, yang nyaris tak sadarkan diri. Namun, Bu Risma tak merespon, matanya setengah tertutup dan bibirnya meringis. Aku merasa bersalah karena kedatanganku, yang ikut bicara di antara percakapan Mas Anton dan Pak Wiryo, sehingga menyulut emosi mantan suamiku, dan membuat keributan, sampai istirahat Bu Risma terganggu lalu datang dan menyaksikan semua ini. "Bu, kita ke rumah sakit sekarang, ya!" ajak Pak Wiryo, sembari merengkuh pundak Bu Risma hendak membopong
Tak berselang lama, taksi yang aku pesan sudah tiba di hadapanku. Gegas aku pun membuka pintu, dan naik di kursi belakang. Ku menyandarkan punggung dan kepala, sejenak untuk menghilangkan rasa penat, karena berdiri terlalu lama di bahu jalan di bawah teriknya sinar mentari. Kuturunkan kaca jendela mobil, menatap keluar, pandanganku mengedar di sepanjang perjalanan, mencari rumah yang akan di kontrakan. "Mbak, sepertinya anda sedang mencari sesuatu, Mbak?" tanya pria berkemeja hitam lengan pendek, sambil fokus mengemudi. "Iya Mas, saya sedang mencari rumah untuk dikontrakan," jawabku masih menatap ke sekitar. "Mbak, kalau berkenan, saya bantu, ya? Ada rumah yang mau di kontrakan," ucapnya, hati ini sedikit agak lega karena tak lama lagi aku punya tempat tinggal meskipun mengontrak. Setidaknya aku takkan luntang-lantung di jalanan, aku juga tak mungkin menginap di hotel meskipun untuk beberapa hari, sedangkan aku tak memiliki pekerjaan, aku haru
"Hah, Maafkan aku Mas," ucapku sambil menarik napas panjang, kemudian kumasukkan kembali ponsel yang ada di genggaman ke dalam saku celana, setelah menutup sambungan telepon dengan Mas Arkan. Tak lama kemudian ponselku berdering kembali, "Itu pasti, Mas Arkan," pikirku, dengan malas aku mengeluarkan benda pipih tersebut, dari saku celana jeans hitam yang kukenakan. Dugaanku benar, ternyata Mas Arkan yang menghubungiku lagi, mungkin dia belum puas berbicara denganku, karena aku sudah menutup sambungan telepon secara sepihak. Aku menoleh pada Diandra yang masih duduk di bale bambu bawah pohon kersen, tatapannya tertuju padaku, kedua tangannya menumpu di kedua sisi pahanya dengan kedua kaki menjuntai sambil di ayun-ayunkannya. Ku abaikan saja dia, meskipun aku akan kena ceramah perempuan cerewet itu. Aku mengusap tanda hijau di layar gawai, dengan hati berdebar-debar. "Ada apa lagi Mas ...?" tanyaku, pada Mas Arkan, tak ada suara dan jawaban dari
"Ayo masuk!" ajak Diandra seraya menarik tanganku, mengajak aku masuk ke dalam rumah kontrakan tersebut. "Lah, Di ... ini kan rumah milik orang, kok main masuk aja," tolak ku, menatap heran pada dia yang berdiri satu langkah di depanku. "Ini, rumah kontrakan punya mertuaku, Tan, aku yang pegang kuncinya," jawab Diandra kedua sudut bibirnya terangkat sambil menatapku. "Oh ...." Aku membulatkan bibir, sambil manggut-manggut. Astaga, apa perkataanku tadi menyinggung dia gak, ya? "Maaf Di ... atas perkataanku tadi, aku gak bermaksud mengejek rumah kontrakan ibumu," lanjutku dengan wajah sesal. Dia menggeleng pelan sambil mengatupkan bibirnya, "Mmm ... tak apa, aku memakluminya," jawabnya santai, "Lalu, bagaimana, jadi gak kamu tinggal di sini? Kalau jadi biar aku kasih diskon dikit lah, spesial untuk sahabat lamaku," ucap Diandra ramah. "Jadi, daripada aku gak punya tempat tinggal," ujarku, meskipun dengan hati terpaksa. Diandra me
Aku terjaga semalaman, mataku tak kunjung terpejam, hingga menjelang subuh, memikirkan tentang Bu Risma. Aku sudah menghianati Mas Anton, dan sudah membuat ibunya meninggal dunia. Beliau perempuan yang sangat baik, dan sangat menyayangiku, ada rasa penyesalan dalam hati ini, karena akulah penyebab semua masalah yang timbul di keluarga Mas Anton, hingga Bu Risma Anfal dan nyawanya tak terselamatkan. * Pagi ini kusambut hari dengan hati sedih, sambil merapikan tempat tidur di rumah baruku, yang aku tempati baru satu malam, kasur busa berukuran sedang tinggi sepuluh cm, tanpa ada ranjang dan nakas, hanya lemari pakaian terbuat dari plastik berukuran kecil. Jam tujuh pagi aku ke dapur untuk memasak mie instan dan telur, tak lupa menambahkan caisim beberapa helai, menu sarapan pagiku, menu sederhana yang penting bisa mengganjal perut, karena sedari subuh tadi meronta minta di isi. Menu seperti ini tak pernah aku jumpai di rumahku saat sarapan pagi,
Aku berjalan ke arah Mas Anton dengan hati gundah penuh tanya, "Mas ...," panggilku saat aku sudah sampai di dekat kedua orang itu. Perempuan itu menoleh seraya menyunggingkan senyuman manis, "Mbak, maaf ya," ucapnya canggung, "Saya permisi dulu," pamit perempuan cantik dengan lesung pipi menghiasi wajah ayunya, dia mengangguk pelan, lalu beranjak dan meninggalkanku juga Mas Anton di lorong arah ke dapur. Aku melangkah lebih dekat lagi, baru saja bibir ini mau berucap, Mas Anton melengos begitu saja, tanpa sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Gegas aku mengikuti dia. Namun, dari ruang tamu terdengar suara lelaki yang memanggil Mas Anton, hingga ia berlari dan keluar menghampiri orang tersebut, aku pun mengikuti langkah Mas Anton sampai ke depan. "Acara pemakamannya, sudah siap Mas, kita bawa Bu Risma sekarang, untuk di sholatkan!" sayup terdengar suara itu, meskipun jauh tapi jelas. * * Selesai almarhum dikebumikan. Aku kembali k