LOGINSejak hari pertama tinggal di rumah itu, Airin berusaha keras menyesuaikan diri. Ia tahu pernikahannya dengan Arlan bukan berdasarkan cinta, dan ia juga sadar bahwa hatinya bukan satu-satunya yang dingin di rumah ini. Tapi ia masih berharap, setidaknya hubungan dengan ibu mertua bisa menjadi jembatan untuk membuat hidupnya sedikit lebih ringan.
Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, Airin bangun lebih awal. Ia menyapu halaman yang penuh daun kering, membersihkan teras, lalu menyiapkan secangkir teh hangat untuk ibu mertuanya. Teh tubruk dengan sedikit gula, seperti yang ia dengar dari pembantu rumah bahwa ibu mertua suka. “Selamat pagi, Bu,” ucapnya lembut, sambil meletakkan teh di meja ruang tamu. Ibu mertuanya hanya melirik sekilas. Tatapannya dingin, bibirnya tidak bergerak untuk membalas salam. Airin berusaha menahan diri, mencoba meyakinkan hati bahwa mungkin sang ibu mertua hanya sedang lelah. Hari-hari berikutnya, Airin menambah usahanya. Ia mencuci pakaian seluruh keluarga tanpa diminta, bahkan menyetrika kemeja kerja Arlan dan baju-baju lain dengan rapi. Ia membersihkan halaman belakang yang jarang terjamah, mengelap jendela, bahkan menata ulang rak dapur. Namun, setiap kali ia mencoba tersenyum, yang ia terima hanyalah tatapan sinis. Ada tatapan yang seolah mengatakan, Kau tidak pantas di sini. Suatu siang, ketika Airin sedang menjemur pakaian di halaman belakang, ibu mertuanya datang menghampiri. Wajahnya datar, tapi matanya memancarkan ketidaknyamanan yang tajam. “Kalau tidak mau kerja, jangan numpang di sini,” ucapnya tiba-tiba, tanpa basa-basi. Airin tertegun. Jemuran di tangannya nyaris terjatuh. “Maaf, Bu? Saya… saya pikir saya sudah” “Membersihkan sedikit rumah bukan berarti kau sudah berguna,” potong ibu mertuanya. “Jangan kira semua orang di sini buta. Aku tahu kau menikah dengan Arlan bukan karena dia mau, tapi karena keluarga memaksa. Jadi kalau kau mau tinggal di sini, pastikan kau tidak jadi beban.” Kata-kata itu menampar hati Airin lebih keras daripada yang ia sangka. Ia mencoba mengatur napas, menelan rasa perih yang mengganjal di tenggorokan. “Saya akan berusaha lebih keras, Bu,” ujarnya pelan. Ibu mertuanya hanya mengangkat alis, lalu berjalan pergi sambil mengibaskan tangannya, seolah tidak ingin mendengar lagi. Siang itu, Airin duduk sendirian di dapur. Tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, matanya kosong menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup ibu mertua. Ia merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Tidak hanya tak dicintai oleh suami, kini ia pun tak diterima oleh keluarga suaminya. Malamnya, Airin mencoba bercerita pada Arlan. Ia menunggu saat suaminya pulang, berharap bisa berbicara dari hati ke hati. Tapi ketika Arlan akhirnya datang, lelah dan wajahnya tertutup dingin, Airin hanya sempat berkata, “Mas, tadi Ibu” “Aku capek, Rin. Jangan mulai malam ini,” potong Arlan sambil meletakkan tas dan langsung masuk kamar tanpa menoleh. Airin berdiri di ruang tengah, memandangi punggung suaminya yang menjauh. Rasanya seperti berdiri di tengah badai, tanpa payung, tanpa tempat berlindung. Hari-hari setelah itu, sikap ibu mertua tak berubah. Bahkan, setiap kali Airin mencoba berbuat sesuatu, selalu ada komentar yang merendahkan. Saat Airin memasak sayur, ibu mertua berkata, “Kurang asin. Mungkin kau memang tidak pandai urusan dapur.” Saat Airin mencuci pakaian, ibu mertua berkata, “Lain kali jangan campur baju putih dengan warna, dasar ceroboh.” Airin belajar menelan semua komentar itu. Ia tidak lagi membalas, hanya mengangguk dan kembali bekerja. Tapi di dalam dirinya, luka itu semakin dalam. Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, kini terasa seperti medan perang yang sunyi perang yang tak pernah ia menangkan. Malam demi malam, ia berbaring sendirian di ranjang, mendengarkan hujan di luar atau suara detak jam. Dan setiap kali menutup mata, ia bertanya pada dirinya sendiri, Berapa lama lagi aku sanggup bertahan di sini? Pertanyaan itu tidak pernah benar-benar mendapat jawaban. Ia hanya menggantung, sama seperti langit malam yang menyimpan ribuan bintang namun menolak untuk menurunkan satu pun sinarnya ke kamar gelap tempat Airin berbaring. Airin mulai hafal pola sepi yang menghantui rumahnya. Jam sembilan malam, biasanya Arlan belum pulang. Jam sepuluh, suara motor terdengar dari luar, tapi lelaki itu hanya lewat, entah menuju rumah teman atau sekadar mencari kesibukan di luar. Baru menjelang tengah malam ia pulang, dengan wajah lelah, tanpa kata sapaan, tanpa menoleh pada perempuan yang sah menjadi istrinya. Dan ketika pintu kamar dibuka, hanya ada langkah cepat menuju lemari, berganti pakaian, lalu tubuh Arlan rebah di kursi dekat jendela. Ia lebih sering terlelap di sana ketimbang di ranjang yang sama dengan Airin. Seolah ranjang itu bukan milik mereka berdua, melainkan hanya milik seorang istri yang harus belajar tidur dengan kesepian. Airin pernah mencoba berbicara. Pernah menyiapkan teh hangat, lalu duduk di meja makan menunggu Arlan pulang. Ia berharap, dengan secangkir teh dan sedikit keberanian, ia bisa membuka percakapan. Namun ketika Arlan masuk, matanya hanya sekilas menatap teh itu, lalu ia berkata lirih, “Terima kasih.” Setelah itu, diam lagi. Diam yang dingin. Diam yang membuat hati Airin serasa ditutup rapat-rapat. Hari berganti, bulan berjalan, dan kesepian itu semakin mendarah daging. Airin mulai kehilangan rasa pada dirinya sendiri. Wajahnya masih muda, namun cermin di kamarnya memantulkan mata yang semakin redup. Senyumnya jarang muncul, kecuali jika bertemu orang lain di luar rumah. Pada mereka, ia berpura-pura baik-baik saja. Pada mereka, ia tersenyum sambil berkata, “Alhamdulillah, pernikahan kami berjalan lancar.” Padahal di balik kata lancar itu, ada luka yang tak terucapkan. Di hatinya, ada keinginan sederhana: mendengar suaminya menyapanya dengan tulus, menanyakan kabarnya, atau sekadar tersenyum padanya. Hal kecil yang bagi pasangan lain mungkin terlihat biasa, tetapi bagi Airin adalah mimpi yang hampir mustahil terwujud. Malam malam panjang membuatnya sering berbicara dengan dirinya sendiri. Kadang ia berdoa, kadang ia menangis pelan agar tak terdengar siapa pun. Ia berbisik, “Aku harus kuat… aku harus kuat.” Namun dalam hati kecilnya, ia tahu, kekuatan itu semakin lama semakin terkikis. Hingga suatu malam, saat hujan deras mengguyur bumi, Airin bangkit dari ranjang. Ia berdiri di depan jendela, memandang kilat yang sesekali membelah langit. Suara petir menggema, namun justru suara itu membuatnya sadar: hatinya pun sedang diguncang badai. Ia memeluk dirinya sendiri, lalu bertanya dalam hati,Apakah aku ditakdirkan hanya untuk menjadi bayangan? Bayangan dari cinta yang tidak pernah menjadi milikku? Pertanyaan itu menyalakan rasa perih yang tak terbendung. Untuk pertama kalinya, Airin merasa mungkin ia tak akan sanggup lagi terus menunggu. Bahwa suatu hari nanti, entah cepat atau lambat, ia harus memilih,tetap bertahan dalam sepi ini, atau berani melangkah keluar, meski itu berarti menantang takdir yang telah digariskan untuknya. Dan di detik itu, ia tahu, malam malam berikutnya tidak lagi hanya tentang menahan diri. Malam malam itu akan menjadi ujian apakah ia akan tenggelam dalam bayangan, atau menemukan cara untuk menyelamatkan dirinya sendiri.Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan
Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men
Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan
Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l
Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot
Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma







