Mag-log inBeberapa hari setelah pernikahan, Airin mulai terbiasa dengan rutinitas sunyi di rumah itu. Arlan pergi pagi, pulang larut malam, atau kadang tidak pulang sama sekali dengan alasan pekerjaan. Rumah besar yang awalnya ia pikir akan menjadi tempat bernaung, kini terasa seperti ruang kosong yang dingin.
Hari itu, hujan baru saja reda. Udara di dalam rumah lembap, aroma tanah basah bercampur dengan bau kayu dari lemari tua di kamar. Airin sedang membereskan pakaian di lemari besar yang dulunya adalah milik keluarga Arlan. Ia ingin menata ulang, memberi sedikit sentuhan agar kamar itu terasa seperti miliknya. “Kalau aku ubah sedikit tata letaknya… mungkin kamar ini tak lagi terasa asing,” gumamnya pelan, meski hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar. Jari-jarinya menyusuri rak paling bawah, yang penuh debu dan jarang dibuka. Saat ia menarik tumpukan kain batik yang terlipat rapi, sesuatu jatuh ke lantai—sebuah bingkai foto kecil dengan tepi kayu yang sudah agak pudar warnanya. Airin membungkuk, memungutnya. Dan di sanalah napasnya tercekat. Foto itu menampilkan Arlan dan… Inayah. Kakaknya. Mereka berdiri berdampingan, tersenyum lepas. Inayah mengenakan gaun sederhana warna pastel, rambutnya tergerai indah, matanya berbinar. Arlan di sampingnya terlihat bahagia dengan cara yang belum pernah Airin lihat selama ini. Senyum itu… hangat, tulus, dan penuh cahaya. Airin menggenggam bingkai itu erat, suaranya bergetar. “Kenapa… harus Kak Inayah?” Tangan Airin bergetar saat membalik bingkai itu. Di belakang foto, dengan tulisan tangan yang rapi, ada kalimat pendek: "Untuk cinta yang tak akan pernah kulupakan." Hatinya seperti diremas dari dalam. Mata Airin memanas, pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Foto itu terasa berat di tangannya, bukan karena kayu bingkainya, melainkan karena beban makna di baliknya. Airin terduduk di lantai, memeluk foto itu seperti seseorang yang tak ingin melepaskan bukti dari sesuatu yang selama ini ia takutkan. “Jadi benar… semua yang kurasakan selama ini. Kau tidak pernah mencintaiku, Arlan…” bisiknya dengan suara pecah. Semua potongan puzzle di kepalanya kini tersusun jelas—tatapan Arlan yang kosong padanya, sikap dinginnya, dan cara dia selalu menjaga jarak. Semua itu karena hati Arlan masih tertinggal pada seseorang… seseorang yang juga adalah darah dagingnya sendiri. Malam itu, kamar terasa lebih sempit dari biasanya. Airin duduk di depan cermin tua yang menggantung di dinding, lampu redup memantulkan wajahnya yang pucat. Ia menatap lama bayangan dirinya—mata sembab, bibir kering, dan sorot yang kehilangan kilau. “Apa aku hanya pengganti?” tanyanya lirih pada pantulan itu. Cermin tidak menjawab, hanya mengembalikan tatapan sedih yang sama. Airin mengingat kembali hari pernikahan mereka, genggaman tangan Arlan yang dingin, dan senyum tipis yang dipaksakan. Semua itu kini terasa seperti adegan yang dipaksa oleh keadaan, bukan pilihan hati. Ia menatap foto yang kini tergeletak di meja rias. Rasanya ingin ia sembunyikan, atau buang, agar tak lagi menghantui pikirannya. Tapi entah kenapa, ia tak sanggup. Seolah-olah dengan menyimpannya, ia masih memegang kebenaran yang selama ini disembunyikan darinya. Di luar, hujan mulai turun lagi, menepuk-nepuk genting dengan ritme lambat. Airin merebahkan kepalanya di meja, membiarkan air matanya jatuh tanpa perlawanan. Dalam hatinya, ia tahu ini bukan hanya tentang Arlan yang mencintai orang lain. Ini tentang dirinya yang mulai kehilangan alasan untuk bertahan, namun terikat oleh janji dan nama baik keluarga. Malam semakin larut. Dari suara langkah yang samar terdengar di ruang tamu, Airin tahu Arlan sudah pulang. Jantungnya berdebar, foto di tangannya ia sembunyikan di balik bantal. Pintu kamar berderit terbuka. Arlan berdiri di ambang pintu, wajahnya letih. “Kau belum tidur?” tanyanya datar. Airin menatapnya dengan mata sembab. “Aku menunggumu.” Arlan masuk, melepas jasnya, lalu duduk di kursi tanpa menoleh ke arah Airin. “Tidak perlu menunggu. Aku sering pulang larut,” katanya pendek. Airin menggenggam ujung selimut, keberaniannya terkumpul. “Arlan… aku menemukan sesuatu.” Arlan menoleh sekilas. “Apa itu?” Airin menunduk, lalu mengangkat foto yang tadi ia sembunyikan. Tangannya gemetar. “Ini…” Wajah Arlan menegang. Ia berdiri cepat, meraih foto itu dari tangan Airin. “Kau… dari mana kau mendapatkannya?” suaranya bergetar, kali ini tidak setenang biasanya. “Dari lemari. Aku tidak sengaja menemukannya.” Airin menahan air matanya. “Kenapa kau menyimpannya, Arlan? Kenapa… di rumah ini?” Arlan terdiam lama. Nafasnya berat. “Itu bukan urusanmu.” Airin terperanjat. “Bukan urusanku? Aku istrimu, Arlan! Apa aku tidak punya hak untuk tahu… tentang hatimu?” Arlan menghela napas panjang, lalu menunduk. “Airin, tolong jangan paksa aku.” Airin bangkit berdiri, langkahnya mendekat. “Kenapa harus Kak Inayah? Kenapa harus kakakku sendiri?” Arlan menutup mata, suaranya lirih. “Aku tidak bisa mengatur perasaan. Aku mencintai Inayah… sejak lama. Tapi kami tidak bisa bersama.” Airin terpaku. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari apa pun. “Lalu… aku ini apa? Hanya pelengkap? Pengganti?” Arlan menatapnya, matanya berkilat tapi suaranya gemetar. “Kau tidak pernah salah, Airin. Tapi aku… tidak bisa mencintaimu dengan cara yang seharusnya.” Airin menutup wajahnya, bahunya bergetar. “Kau tahu rasanya jadi aku? Setiap hari menunggumu, mencoba membuat rumah ini terasa hidup, tapi yang kudapat hanya dingin darimu?” Arlan menunduk, tidak sanggup menatapnya. “Aku minta maaf.” “Maaf?” Airin tersenyum getir. “Kata itu terlalu ringan untuk menggantikan luka yang kau tanam di hatiku.” Keduanya terdiam lama. Hanya suara hujan di luar yang menemani percakapan itu. Akhirnya Arlan meletakkan foto itu di meja, lalu melangkah keluar. “Aku butuh udara.” Airin terduduk di ranjang, tubuhnya lemas. Ia menatap foto itu sekali lagi. Air matanya jatuh deras. “Kalau kau mencintai Kak Inayah… lalu kenapa aku harus menanggung semua ini?” Pagi menjelang, tapi tak ada sapa manis yang menyambutnya. Arlan sudah berangkat sebelum fajar, meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun. Airin duduk di meja makan yang sunyi, menatap piring kosong yang ia siapkan semalam. “Bahkan sarapan pun… tidak sempat kau sentuh,” gumamnya pahit. Hari-hari berikutnya pun tak banyak berubah. Arlan jarang pulang lebih awal. Dan ketika ia pulang, yang hadir hanyalah tubuhnya, bukan hatinya. Airin tetap berusaha. Ia memasak makanan kesukaan Arlan, menata ruang tamu agar lebih hangat, bahkan menyiapkan teh hangat setiap malam. Suatu kali, ketika Arlan pulang, ia menyapanya dengan senyum. “Kau lelah? Aku sudah siapkan teh hangat.” Arlan hanya mengangguk singkat. “Terima kasih.” Airin menatapnya, berharap ada percakapan lebih panjang. “Arlan… apakah kau… masih membenciku?” Arlan berhenti sejenak, lalu menghela napas. “Aku tidak pernah membencimu, Rin.” “Lalu kenapa… setiap tatapanmu seakan aku tidak ada?” Arlan terdiam. Tidak ada jawaban. Airin tersenyum pahit. “Diam mu itu lebih menyakitkan daripada amarah.” Namun, ada satu hal yang selalu Airin ingat—pesan ibunya sebelum melepasnya menikah: > "Nak, menikah bukan hanya tentang cinta. Menikah itu tentang kesabaran, tentang bertahan, dan tentang menerima. Suatu saat, cinta itu akan tumbuh sendiri, asal kau jaga dengan ikhlas." Kata-kata itu terus ia genggam, meski setiap kali mencoba percaya, hatinya selalu dihadapkan pada kenyataan yang berlawanan. “Bagaimana cinta bisa tumbuh,” bisik Airin pada dirinya sendiri suatu malam, “kalau setiap tatapan Arlan… seolah mencari wajah Kak Inayah?” Air matanya jatuh lagi, membasahi bantal. Malam-malam panjang terus datang, membawa tangisan yang hanya ia simpan sendiri. Dan di suatu malam, ketika hujan kembali turun deras, Airin berdiri di balik jendela, menatap gelap langit. Dalam keputusasaan yang semakin dalam, ia berbisik pada dirinya sendiri: “Jika cinta itu tidak akan pernah datang padaku, mungkinkah aku akan tetap kuat hanya dengan bertahan? Atau aku harus belajar melepaskan, meski dunia takkan merestuinya?” Pertanyaan itu menggantung, seperti hujan yang tak kunjung reda. Airin sadar, badai besar akan segera mengguncang kehidupannya—badai yang akan menentukan apakah ia mampu tetap bertahan sebagai bayangan… atau akhirnya berani keluar dari gelap yang membelenggunya.Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan
Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men
Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan
Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l
Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot
Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma







