Memperhatikanmu diam-diam, mendoakanmu setiap hari dan mencintaimu secara rahasia.
(-Afnan- Cinta dalam Balutan Doa)
***
Semenjak kejadian Jum'at yang lalu, Arni semakin canggung, apapun yang dirinya dengar tentang Gus Afnan, yang menjadi idola seantero pondok putri, membuat gadis itu sedikit menghindar bila ada bahasan tentang penerus Buya Laqief itu. Tidak mau munafik. Dirinya juga masih normal, apalagi remaja seusia dirinya baru mengenal arti cinta, labil sekali hatinya, jujur sejak kejadian itu hati Arni terpaut dengan pemuda tampan nan sholeh itu. Namun ia menyakini kalau itu hanya perasaan sesaat, perasan seorang santri mengidolakan ustadz atau Gusnya, bukan perasaan cinta perempuan dewasa. Arni selalu berusaha mengubur rasa yang sudah mulai mengakar di hatinya itu, tak membiarkan semakin berkembang, ia fokus dengan tujuannya untuk mondok, mengejar cita-citanya, membanggakan kedua orang tuanya, dan ngalap barokah dari kyai Laqief.
Malam ini selepas sholat maghrib, Arni beserta santri lain bersiap untuk
sekolah Diniyah.
Arni sudah masuk ke kelasnya, kelas ulya bersama Mutia.
"Tau nggak, Ustadz Hadi udah nggak ngajar lagi, karena pindah tempat tinggal di luar Jawa," ungkap Faizah.
"Lho, iya 'kah? Lalu yang ngajar tafsir siapa?" tanya Ika.
"Dengar-dengar mulai malam ini, Gus Afnan akan menggantikan Ustadz Hadi mengajar ilmu tafsir," ungkap Rima.
Seketika Arni yang mendengar itu, berulang kali menelan salivanya. Apalagi Arni selalu duduk di depan pas berhadapan langsung dengan pengajar. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Allahumma arikh qolby wa fikri, Ya Allah tenangkanlah hati dan pikiran hamba, Aamiin." lirihnya.
"Bismillah, ya Allah ... jaga hati hamba, jaga pandangan hamba, jangan buat hamba larut dalam perasaan ini dan larut dalam dosa, Aamiin ... tenang Arni, tenang! Bismillahi laa haula walaa quwwata illa billah," gumamnya dalam hati. Arni mencoba menenangkan hatinya, berulang kali membaca hauqolah dan beristighfar. Dan Alhamdulillah Arni bisa menormalkan dirinya. Arni lebih tenang dari sebelumnya, hingga_
Suara bariton mengucapkan salam memasuki kelas itu.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," sapanya pada semua penghuni kelas itu.
"Wa'alaikumussalam warohkmatullahi wabarokatuh," jawab para santri serentak.
Afnan terkejut melihat sekilas gadis yang duduk di depannya dengan sedikit menunduk, hatinya kembali berdesir namun ia mencoba tak menghiraukannya dengan bersikap profesional dan sedikit dingin.
"Mulai hari ini saya akan menggantikan Ustadz Hadi mengajar ilmu tafsir di kelas kalian," ucapnya datar, bahkan mengalihkan pandangannya pada Arni. Begitu juga Arni, ia sudah mulai bisa menetralkan hatinya, ia sudah mulai bisa mengikuti jalannya pelajaran itu.
"Apa perlu ta'aruf lagi? Saya rasa kalian semua sudah mengenal saya, haruskah perkenalan?" ucapnya nyengir. Afnan sudah bisa menguasai hatinya bahkan sudah mulai bisa mengajakk santrinya bercanda.
"Haruus ...," teriak santri serentak.
"Kayaknya nggak usah ya, saya yakin kalian sudah mengenal saya," ungkapnya sambil tersenyum. Membuat semua santri makin gaduh.
"Kenalan lagi, Gus!" ucap Dwi.
"Iya, kenalan lagi."
"Baik-baik. Tapi nggak boleh ramai ya, di dengarkan ya!"
"Iya ...," ucap mereka serentak.
"Perkenalkan nama saya Afnan Laqief Syauqi. Panggilan Afnan. Saya akan mengajar ilmu tafsir di kelas ini, mohon kerja samanya ya, dan saya mohon untuk tidak ramai saat kelas saya maksud saya pelajaran saya dimulai, dan sekarang saya ingin berkenalan dengan kalian semua, silahkan sebut nama kalian ya, satu persatu," ucapnya.
Mereka semua memperkenalkan diri, dimulai dari bangku paling belakang.
Tiba Arni yang harus memperkenalkan dirinya.
"Nama saya Khairina Azzalina Arni, panggilan Arni," ucap Arni sopan. Masih sedikit menunduk. Tidak seperti teman-temannya yang lain yang menatap ke arah Gus Afnan.
"Nana saya Mutia khoirun Nisa', panggilan Mutia," ucap Mutia mengakhiri sesi perkenalan di kelas itu.
"Baiklah, kita mulai sekarang pelajarannya, sudah sampai bab apa?"
"Bab 2 ... Addarsus tsani, Gus," ucap mereka serentak.
"Boleh salah satu dari kalian menujukkan bukunya?"
"Bukunya Arni saja ,Gus. Kebetulan dia ketua kelasnya," ucap semuanya serentak.
Afnan tersenyum. "Baiklah, tolong mbak Arni bawa ke sini bukunya! Saya mau lihat sampai di mana pelajaran yang diajarkan Ustadz Hadi."
Arni segera memberikan bukunya pada Gus Afnan. Afnan segera menerimanya dan membukanya.
"Baiklah. Terima kasih."
Gus Afnan segera memulai pelajarannya, semua santri mendengarkan tanpa membuat kegaduhan, bahkan mereka sangat senang, karena penjelasan dari Gus Afnan mudah sekali mereka cerna, setelah menulis, dan menerangkan, Gus Afnan memberikan pertanyaan lisan pada santri-santrinya di kelas itu.
Beberapa pertanyaan mereka jawab dan bagi yang belum bisa menjawab atau salah jawabannya maka pertanyaan akan dilempar ke temannya yang lain. Berulang kali Arni mendapatkan pertanyaan yang di lempar padanya, dan Arni bisa menjawab pertanyaan itu dengan benar, membuat Afnan kagum dengan kepintaran Arni, sesulit apapun pertanyaan Afnan yang berhubungan dengan tafsir dijawab Arni dengan benar, padahal rata-rata kelas itu dihuni para santri yang sudah mondok di sana sekitar 3-4 tahunan sejak lulus Madrasah Ibtidaiyah setara SD dan melanjutkan mondok dan sekolah di Madrasah Tsanawiyah yang berada dalam satu naungan pondok pesantren ini. Sedangkan Arni masih santri baru.
"Baiklah, saya akhiri kelas hari ini. Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," ucap Afnan.
"Wa'alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab para santriwati serentak.
Afnan keluar dari ruang itu, diliriknya sekilas wajah Arni yang sedang membetulkan hijabnya. Arni tidak menyadari hal itu. Afnan segera keluar, dirinya tidak mau semakin lama di situ mengagumi dalam diam gadis manis itu.
"Astaghfirullahal Adziim ... Jaga hati hamba, Ya Allah!" gumamnya beristighfar berulang kali.
Setelah sholat isya, Afnan dipanggil Kiyai Laqief dan Ummi Syarifah.
Saat ini mereka bertiga sudah berkumpul di ruang keluarga.
"Iya, Ayah, Ummi. Ada apa? Sehingga jenengan berdua memanggil saya," ucapnya sopan oada kedua orang tuanya.
"Berapa usiaku sekarang, Nak?" tanya Kiyai Laqief.
Kalau sudah menanyakan ini Afnan sudah tau arah pembicaraan mereka berdua. Pasti ujung-ujungnya ingin menjodohkannya dengan putri Kiyai sahabat abahnya.
"Dua puluh dua tahun, Abah," jawabnya.
"Apa kamu sudah mendapatkan calon istri sesuai yang jamu harapkan, Nak?" tanya Kiyai Laqief.
Afnan menggeleng. "Afnan belum mendapatkannya, Abah. Ini madih Afnan cari."
"Bagaimana kalau abah jodohkan dengan putrinya Kiyai Rofiq yang baru pulang dari studinya di Yaman. Gadisnya cantik dan pintar, dan yang pasti dia sholihah," ungkap Kiyai Laqief.
"Mohon maaf, Abah. Saya sangat menghormati Abah dan Ummi, saya juga tau apa yang dipilihkan Abah dan Ummi pastinya baik untuk saya, tapi sekali lagi saya mohon jangan menjodohkan Afnan lagi. Saat ini Afnan belum siap untuk menikah. Afnan hanya ingin fokus mengajar, dan Insya Allah untuk jodoh sudah diatur oleh Allah. Cepat atau lambat Afnan akan menikah, namun bukan sekarang atau dalam waktu dekat ini," ungkapnya menjelaskan pada Abah san Umminya.
Kiyai Laqief yang mempunyai kemampuan ilmu ma'rifat saat ini sangat tau hati putranya sudah terikat pada sosok seorang wanita, namun ia belum bisa menelisiknya, siapa wanita yang sudah mencuri hati putranya itu. Cepat atau lambat hanya dengan melihat gerak-gerik sang putra, Afnan. Kiyai Laqief akan tau sendiri siapa wanita itu. Ia hanya berharap wanita itu, wanita baik-baik meskipun tidak dari kalangan putri Kiyai. Dirinya akan merestuinya, yang penting wanita itu bisa menjaga mar'ahnya dan kehormatan pondok pesantren ini.
Kemampuan ilmu ma'rifat yang dimiliki Kiyai Laqief sangat bermanfaat baginya juga bagi orang lain. Kiyai Laqief dikenal sebagai Kiyai yang sangat bijaksana, disiplin dan baik. Tidak pernah memandang rendah orang lain. Sikap dan sifat yang juga menurun pada Afnan. Kiyai Laqief juga dikenal sebagai Kiyai yang suka menolong. Selain pondok pesantren dan sekolah formal lembaga yang berada di bawah naungannya. Beliau juga mendirikan panti asuhan yang di huni anak yatim piatu dan kaum dhuafa. Kiyai Laqief juga merupakan sosok yang adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
"Baiklah, Nak. Kalau itu keputusanmu, Abah dan Ummi hanya bisa mendoakan yang terbaik, tapi kalau ada teman Abah yang menginginkanmu menjadi menantunya alangkah baiknya kamu tidak menolaknya secara langsung supaya tidak menyakiti hati seseorang, yang bijak ajaklah taaruf atau temui dia dulu, kalau kamu merasa tidak cocok kamu bisa bilang langsung tidak bisa meneruskannya tanpa menyakiti perasaan orang lain." Afnan mengangguk setekah di beri nasehat sang Abah.
"Ya sudah kamu boleh kembali ke kamarmu, Nak," ucap Kiyai Laqief.
"Baiklah, Ummi, Abah. Saya permisi dulu," pamitnya.
"Iya."
____________________________________________
Ma'rifatullah bukanlah seperti yang dipahami sebagian orang bahwa ahli ma'rifat itu memiliki “indera keenam”, bisa melihat yang “gaib”, bisa menghilang, bisa terbang, tidak mempan dibacok, dan berbagai keanehan lainnya.
Makrifat merupakan cahaya yang memancar kedalam hati, menguasai daya yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan.
Bersabarlah dalam segala hal, tetapi yang terpenting adalah bersabar dengan emosi yang ada di dalam dirimu sendiri. Karena Meskipun seribu orang memilih untuk mencemooh dan meremehkanmu. Maka hal terbaik adalah menjadikan cemoohan mereka menjadi penyemangat dalam mengarungi hidupmu. (Fathiyah) *** “Mohon maaf, Mas tampan. Aku mau ambil motorku,” ucapnya yang berhasil membuat dua laki-laki tampan dan satu wanita cantik menoleh ke arahnya sambil memindai penampilan lusuh Fathiyah. Polisi wanita berparas cantik itu langsung menertawakan Fathiyah dengan senyuman yang terkesan mengejek. “Ternyata Briptu Arza ada penggemar baru ya?” ucap polisi wanita berparas cantik yang tertulis di tag namenya bernama Luna itu, terlihat jelas ia mengejek Fathiyah sambil masih melihat penampilan lusuh gadis itu. “Ternyata Briptu Arza yang tampan bukan saja menjadi idola anak pejabat, dan anak kaum borjuis ternyata anak pank seperti dia juga mengidolakannya,” ucapnya lagi semak
Dengan tersenyum bukan berarti kita bahagia, terkadang semua itu hanya sampul untuk menyembunyikan kesedihan karena kesedihan tidak perlu dipamerkan atau pun diperlihatkan sedangkan kebaikan tidak perlu disombongkan. (Fathiyah) *** Setelah diterima bekerja, Fathiyah kembali pulang dan mengabarkan berita gembira itu pada sang bibi. “Assalamualaikum, Bik,” sapanya dengan riang. “Kenapa sudah pulang? Apa kamu tuli? Aku sudah bilang kamu enggak boleh pulang sebelum mendapatkan pekerjaan!” sengitnya tanpa menjawab salam dari Fathiyah. Fathiyah tersenyum menanggapi omelan sang Bibi. “Diajak ngomong malah senyam-senyum kagak jelas, cepat cari kerja yang benar!” ucapnya kesal. “Alhamdulillah, Bik. Aku sudah diterima kerja di kafe dan Resto yang instagramable, tempatnya bagus, Bik.” “Beneran kamu sudah diterima kerja? Kamu enggak lagi halu ‘kan? Awas saja kalau bohong!” ucapnya. “Enggak bohong! Aku beneran diterima, Bik.” “Ya sudah aku senang mendengarnya,” ketusnya sambil kembali k
Sebuah harapan akan tercapai dengan adanya semangat yang tak pernah pudar. Dengan keyakinan dan sebuah kesabaran pasti akan berbuah indah saat waktunya tiba. (Fathiyah) *** Fathiyah sudah meletakkan lamaran kerja di beberapa toko, kafe dan restoran. Namun, hingga kini ia belum dapat panggilan. Dirinya sadar kalau hanya lulusan SMA, bahkan ia belum punya pengalaman kerja. Hanya berbekal ijazah SMA dan keahlian memasak yang diajarkan oleh sang ibu dulu semasa hidup, ia pun melamar pekerjaan ke kafe dan restoran sebagai koki. Kebetulan sang ibu dulu adalah seorang koki di rumah makan mewah. Dua tahun sudah Kedua orang tuanya meninggal dunia. Saat itu juga sang bibi dan sang paman memutuskan tinggal di rumah Fathiyah, karena rumah yang disewa mereka sudah habis masa kontraknya. Rika, sang bibi selalu memperlakukan Fathiyah seperti pembantu di rumahnya sendiri, semua pekerjaan rumah di kerjakan gadis itu. Bahkan tak jarang Fathiyah harus rela kelaparan karena sang bibi tidak memberi
Tiga bulan sudah Arza pulang ke rumah kedua orang tuanya, di pesantren. Meskipun ia harus berangkat pagi sekali. Namun, di sini hatinya sedikit tenang karena di sini dirinya banyak teman dan bisa berkumpul dengan kedua adiknya yang selalu ada saja tingkah kocaknya, sehingga bisa membuatnya terhibur.“Bang, kenalin aku sama Kak Luna dong,” ucap Azril yang saat ini berada di kamar sang abang.“Apaan sih, Dek. Enggak enak ngomongin Luna, nanti Bunda dan Abi dengar tau,” ucapnya berbisik.“Terus kenapa kalau Bunda dan Abi tau? Abang ‘kan bisa langsung mengkhitbahnya? Secara Abang ‘kan sudah mengenalnya sejak lama. Jadi enggak usah pakai proses taaruf.”“Enggak semudah itu, Dek.”“Kenapa emangnya?”“Luna belum mau berhijab, menurut pandangannya, orang berhijab itu ribet. Apalagi kalau ada yang berhijab panjang dan lebar, pasti dia enggak suka.”“Astaghfirullahal Adziim ... terus Abang kok bisa suka perempuan yang berpikiran sempit seperti itu sih?” ucap Azril tidak suka. Padahal tadi diri
Putra sulung Arni dan almarhum Azzam bernama Arza sudah menjadi seorang perwira polisi. Abdi negara seperti apa yang diamanahkan oleh Azzam. Afnan sudah memberi peluang itu pada putra sambungnya. Ia mengarahkan semua tanpa harus memaksa, meskipun itu adalah sebuah amanah. Sebagai ayah sambung, Afnan tidak hanya menyayangi dan mengayomi Arza dan Azril. Ia sudah berperan lebih dari seorang ayah sambung. Afnan bahagia bila Arza berhasil memenuhi amanah almarhum Azzam menjadi seorang polisi yang jujur dan tetap mengedepankan norma agama *** Setelah pulang dari tempatnya bekerja siang ini, Arza pamit pada Hambali dan Yulia untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya. Bahkan Arza izin pada komandannya untuk tidak mengikuti apel besok pagi. Setelah berkendara cukup jauh Arza pun sampai di pesantren milik sang abi. Ia segera masuk ke ndalem mencari keberadaan kedua orang tuanya. Arza segera menemui sang bunda dan sang abi yang berada di kebun belakang. Arni dan Afnan sering menghabiskan wak
Dengan senang hati Azril melakukan tugasnya, setiap harinya ia lewati dengan senyuman. Bahkan dirinya bisa istiqomah menjalankan sholat berjamaah, yang paling dirinya banggakan ia bisa mengerjakan sholat malam bersama Kiyai Bisri dengan khusyuk. Kiyai Bisri selalu membangunkannya sebelum sahur tiba. Ia juga ikut berbuka dan sahur bersama Kiyai Bisri dan Ummi Roudhoh. Awalnya dirinya menolak dengan lembut. Namun, Ummi Roudhoh dan Kiyai Bisri sedikit memaksa. Ummi Roudhoh juga sudah sedikit akrab dengan pemuda tampan itu, beliau sering menceritakan cucu-cucunya pada AzrilKecerdasan yang dimiliki Azril membuat pemuda tampan itu dengan mudah menyerap ilmu yang dirinya peroleh. Bahkan di luar batas kemampuannya.Pernah Kiyai Bisri mencoba mengetes ilmu pemuda tampan itu dengan menanyakan beberapa hadits yang dirinya ajarkan pada Azril di perpustakaan pribadinya dan Azril dengan mudah menjawab, bahkan dengan cepat beserta penjabarannya dan penjelasannya. Kiyai Bisri sampai geleng kepala.P