Share

Bab 2. Perjanjian

Penulis: MyMelody
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-04 08:02:48

Bab 2. Perjanjian

Masih dalam keadaan panik, aku masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci diri di kamar mandi. 

“Ini benar-benar penipuan! Mereka telah mejebakku,” ucapku geram. Kupandangi email dari Pak Ronald dan mulai membacanya lagi dengan pelan-pelan.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanda tanganku sudah tertera di sini.” 

Kepanikan melandaku.

“Bodoh! Kenapa aku mempercayai omongan mereka begitu saja?”

Aku menyalakan kran air dan mencoba untuk membasuh wajahku, dan berharap dengan cara itu aku bisa menjernihkan pikiranku yang kalut.

“Cara mereka sangat licik untuk menjeratku. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk menolaknya.”

Dengan cepat, aku mencari kartu nama yang diberikan oleh ibu Ariani. 

‘Hallo, bisa bicara dengan ibu Ariani?’ sapaku dengan suara yang aku buat senormal mungkin.

‘Hallo, ini dengan Ariani. Maaf, ini dengan siapa?’

‘Ini dengan Grace.’

‘Oh, hello Nona Grace. Apa kabar?’

Aku mencengkram pinggiran wastafel dengan kencang.

‘Berani-beraninya mereka menanyakan kabarku setelah menjebakku seperti ini,’ jeritku dalam hati.

‘Kabarku buruk setelah membaca kontrak dan perjanjian yang telah dikirim kepadaku. Aku tidak bersedia meminjamkan rahimku atau menjadikannya sebagai pabrik penghasil cucu untuk keluarga Ibu.”

“Itu semua sudah ada di perjanjian, dan Nona sendiri sudah menandatanganinya.’

‘Tapi itu tidak adil! Aku menandatanganinya sebelum membaca kontrak.’

‘Nasi sudah menjadi bubur, Nona. Kalau Nona tidak menerima perjanjian ini, maka tolong lunasi hutang Nona sekarang.’

Aku hanya bisa memaki-maki dalam hati.

‘Aku mengerti kondisi Nona Grace saat ini. Tapi coba pahami dulu isi perjanjian dalam kontrak tersebut. Begitu banyak keuntungan yang akan Nona dapatkan. Bahkan semua biaya pengobatan dan masa depan keluarga Nona akan kami tanggung sepenuhnya.’

‘Oh, really? Dan semua itu aku dapatkan dengan menjual rahimku?’ ucapku sinis.

‘Meminjamkan dan menjual, itu adalah dua hal yang berbeda, Nona.’

‘Sama saja! Rahim ini adalah milikku dan aku tidak akan pernah meminjamkannya kepada siapa pun juga.

‘Begini saja Nona. Baca dan pahami lagi isi perjanjian kita. Gunakan waktu sebaik mungkin. Aku beri Nona waktu satu bulan untuk memikirkan semua itu.’

‘Maaf! Sekali aku bilang tidak, berarti jawabannya tidak. Selamat pagi dan terima kasih.’

Aku menutup panggilan telepon dan meletakkan ponselku dengan kasar di atas wastafel.

“Sial! Bagaimana caranya agar aku terlepas dari perjanjian setan ini?” dengusku kesal.

Aku berjalan mondar-mandir dalam kamar mandi.

“Apakah aku harus menjual semua harta yang kami punya? Tapi apakah dengan menjual semua itu akan cukup untuk melunasi hutang kami?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Saat ini, semua jalan terasa buntu. Kuputuskan untuk keluar dari kamar mandi.

“Aku masih punya waktu beberapa minggu lagi. Semoga ada jalan keluar,” ucapku optimis.

Waktu berjalan terasa cepat, dan ternyata benar apa yang dikatakan ibu Ariani dan pak Ronald. Uang pinjaman dan hasil menjaminkan perusahaan tidak pernah cukup untuk memenuhi pengeluaran dan perawatan kedua orang tuaku. 

Papa masih dalam kondisi koma setelah operasi. Ia masih terus memakai alat bantu pernapasan yang menjadi penghubung antara kehidupan dan kematian. 

Kerusakan otak akibat benturan kepala yang mengenai setir mobil, telah membuatnya koma, sedangkan kondisi mama sudah agak membaik. Namun, mama mengalami kelumpuhan total pada kedua kakinya.

Biaya dan kebutuhan hidup semakin membengkak, apa lagi, sudah hampir tiga minggu tidak ada pemasukan sama sekali. 

Minggu yang lalu, aku sudah menjual rumah tercinta kami. Rumah yang dibangun oleh keringat dan darah. Mama dan papa memang memiliki asuransi, tapi itu juga tidak cukup untuk membantu masalah keuangan yang sedang aku hadapi. Aku memutuskan untuk mencari angin segar di taman rumah sakit.

“Nona Grace …, bisa kita bicara sebentar?”

Dokter Mikael menghampiriku  yang sedang duduk galau di taman. 

Saat itu aku sedang bingung bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya inap dan perawatan mama dan papa.

“Apakah mama dan papa baik-baik saja?” tanyaku panik.

“Mereka baik-baik saja. Bisakah kita bicara di kantor saya?”

“Baik, Dokter.”

Aku mengikuti Dokter Mikael dan duduk dengan wajah suram di depannya.

“Kondisi pak David belum ada perubahan yang terlalu signifikan. Beliau masih koma. Peralatan dan biaya pengobatannya tidak sedikit.”

“Apa maksud Dokter? Aku masih sanggup untuk membayar semua biaya perawatan,” ketusku dengan wajah sinis.

“Saya tahu, Nona. Tapi sampai kapan?”

“Sampai mereka sembuh!” jawabku keras kepala.

“Saya mendapat laporan dari pihak administrasi kalau Nona belum membayar biaya inap dan perawatan selama dua minggu.”

Dengan gusar, aku meremas-remas tanganku. Harga diriku serasa diinjak-injak sampai hancur tak berbentuk.

“Aku akan segera membayarnya. Pihak rumah sakit, dokter dan perawat hanya perlu menjalankan tugasnya.”

“Kami tidak pernah lalai menjalankan tugas kami, Nona. Namun, harus ada kerja sama juga dari pihak keluarga.”

“Beri aku waktu satu minggu lagi, maka akan aku melunasi semua tagihan rumah sakit.”

Selain sebagai dokter spesialis  bedah, dokter Mikael juga merupakan pemimpin dari rumah sakit Harapan Sehat.

Beliau menatapku prihatin.

“Baik, Nona. Kami akan beri waktu satu minggu lagi.”

“Terima kasih.”

Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari ruangan dokter Mikael. Hatiku kalut. Entah dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu. 

Aku kembali teringat akan tawaran Ibu Ariani dan Pak Ronald. 

“No, no, no. Aku sudah gila rupanya,” sentakku kesal.

“Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Tolong berikan aku jalan keluar yang terbaik,” doaku singkat.

Aku kembali memasuki kamar kedua orang tuaku. Baru saja aku hendak meraih botol minuman di depanku, beberapa perawat masuk dan mulai membersihkan kamar.

“Ada apa ini?” tanyaku kebingungan.

“Maaf, Nona. Ini, silahkan dibaca.”

Salah satu dari mereka menyerahkan surat yang resmi dari rumah sakit Harapan Sehat. Di sana tertera kalau kedua orang tuaku akan dipindahkan ke kamar inap biasa. 

Sebenarnya itu tidak masalah bagiku, tapi dengan kondisi mama dan papa yang membutuhkan ketenangan saat ini, tentu itu akan berpengaruh pada psikologi mereka.

“Sebentar! Kalian tidak bisa seenaknya memindahkan mereka begitu saja.”

“Ini sudah merupakan kebijakan dari pihak rumah sakit, Nona.”

“Beri aku waktu satu hari. Aku akan melunasi semua hutangku.”

“Tapi ini bukan masalah biaya kamar inap saja, Nona. Obat-obat dan oksigen yang digunakan oleh pak David, membutuhkan biaya yang luar biasa.”

“Jadi maksud kalian, oksigen ini juga akan dicabut?”

“Dengan berat hati, kalau Nona tidak menyelesaikan pembayaran, maka kami tidak bisa memberikan tabung oksigen gratis setiap hari.”

“Apa? Bagaimana papaku bisa bertahan hidup kalau tabung oksigen dicabut?”

“Saya hanya menjalankan tugas, Nona.”.

Aku meraup wajahku dengan kasar. Rumah, mobil, perusahaan dan perhiasan sudah terjual. Aku bahkan rela makan satu kali sehari agar uang yang tersisa bisa aku gunakan untuk membayar biaya pengobatan.

Satu-satunya barang berharga yang tersisa di adalah kalung berlian hadiah ulang tahun dari mama dan papa saat aku berusia dua puluh dua tahun. 

Mungkin sebentar lagi aku akan menjual kalung ini beserta gawai mahal milik kami bertiga. 

“Tunggu sebentar, Suster. Aku akan bicara dengan dokter Mikael.”

“Dokter Mikael memang pemimpin di rumah sakit ini. Dia sudah berusaha membantu dan memahami kondisi yang Nona alami, tapi beberapa kepala bagian rumah sakit tidak setuju dan sudah memutuskan seperti yang tertera di surat ini.”

“Beri aku waktu sepuluh menit. Aku akan melunasi semua hutangku.”

Perawat itu menatapku dengan ragu. Namun, akhirnya dia mengangguk setuju.

Dengan gegas, aku meraih ponsel dan mengambil kartu nama ibu Ariani. Aku membuang gengsi dan rasa maluku. Apa pun akan melakukan apa pun untuk kedua orang tuaku agar mereka mendapatkan pengobatan yang maksimal dan segera keluar dari kondisi kritis ini.

Setelah selesai menelpon ibu Ariani dan menyanggupi segala syarat yang dia tentukan, sejumlah uang masuk ke dalam rekening-ku saat itu juga. Akhirnya aku bisa bernapas lega walaupun aku harus membayar mahal semua itu dengan pengorbananku. 

Aku menyewakan rahimku kepada sepasang suami istri. Ini benar-benar tindakan gila yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Tapi bagaimana lagi. Aku akan melakukan apa saja agar kedua orang tuaku sembuh.

Satu minggu lagi aku melakukan serangkaian pemeriksaan kesehatan untuk memastikan bahwa cucu yang akan kulahirkan untuk keluarga Angkasa nanti adalah cucu yang sehat dan kuat. 

Setelah itu, mereka akan mengundangku makan malam untuk memperkenalkanku kepada pasangan suami istri tersebut. Entah mereka itu siapa, aku tidak mau memikirkannya untuk saat ini.

Bersambung…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (51)
goodnovel comment avatar
SusiVikers
pengorbanan Grace bner² sangat besar ya buat bisa membiayai pengobatan ayah dan ibunya pilihan yg berat tapi mau bagaimana lagi ini sudah jalan yg harus dia lewati
goodnovel comment avatar
Milda Yanti
Gileee rupanya itu isi perjanjiannya, semoga ini keputusan yg terbaik ya Grace .
goodnovel comment avatar
Kaizan Ragiel Trate
semua sudah dilakukan Grace...untuk kesembuhan k dua orang tuanya...akn kah Grace akn menyewakan rahim nya jg...kasihan km grace
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cinta dalam Rahim Sang Madu   157. Hormon yang Meresahkan

    Aku menahan napas saat layar yang tadinya terkunci, kini terbuka. Dengan tergesa-gesa aku mengetik nomor ponsel Gabriel dan menunggu agar pria itu segera menjawab panggilanku.“Please, angkat panggilanku, Gabriel,” ucapku penuh harap sambil menggigit bibir bawahku dengan kuat. Namun, sampai nada sambung kelima, Gabriel tidak mengangkatnya juga. Kutarik napas dengan wajah tegang, getaran di tanganku semakin menjadi-jadi sampai hampir tak bisa aku kendalikan.“Apa dia sudah tidak peduli padaku lagi?” sungutku kesal sambil menggerak-gerakkan balok kayu yang sudah menjadi senjata andalanku dari tadi. Aku melirik ke arah dua pria yang sudah tidak berkutik alias pingsan. Semoga pukulanku membuat mereka tidur dengan nyenyak sampai Gabriel tiba di sini.Tanpa putus asa, kucoba sekali lagi, berharap agar panggilanku kali ini akan dijawab Gabriel.“Hello!” sapa Gabriel dari seberang sana.H-hello, Gabriel, ini aku Grace.” Suaraku bergetar menahan gejolak sukacita dalam hati karena Gabriel akhir

  • Cinta dalam Rahim Sang Madu   156. Melawan

    Klik, terdengar bunyi kunci diputar dengan pelan dari arah pintu. Aku berdiri tegang dan menunggu dengan waspada, siapa pun yang masuk lewat pintu tersebut.'Apa yang harus aku lakukan?' pikirku panik. Mataku dengan cepat menjelajahi ruangan yang cukup luas itu, lalu pandanganku tertumpu pada sebuah balok kayu di sudut ruangan di dekat pintu masuk. Tanpa berpikir panjang, kulangkahkan kakiku dengan cepat dan meraih balok kayu yang berukuran cukup panjang itu.Dengan tangan gemetar, aku menggengam balok tersebut. Siapa pun yang masuk nanti, aku bersiap untuk melawannya sampai titik napas penghabisan.Pintu terbuka pelan, dan ....Bugh! "Auuuch ...."Pria itu menjerit keras ketika balok kayu dalam genggamanku menghamtam kepalanya secara bertubi-tubi."Hentikan! Dasar wanita sinting tidak tahu diri!" teriaknya sambil berusaha meraih balok kayu dari tanganku. Tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Apa pun yang terjadi, aku harus berhasil kabur dari sini. Aku tidak mau kalau

  • Cinta dalam Rahim Sang Madu   155. Pin

    Gabriel berdiri dengan tidak sabar di dalam kantor bagian IT rumah sakit. Saking groginya, kakinya menghentak-hentak lantai dengan gelisah."Bisa dipercepat videonya, Pak? Kalau bisa, ikuti timeline saat aku meninggalkan Grace di mobil.""Sebentar ya, Pak Gabriel. Saya harus meng-unduh dulu file-file dari timeline yang sebelumnya, biar kita tidak menunggu loading yang cukup lama."Gabriel ingin membalas lagi, tapi dia memilih untuk diam dan bersabar. Tangannya mengepal ingin meninju tembok di depannya."Coba berhenti di bagian sini, Pak," ucap Gabriel saat video tiba di timeline ketika dia meninggalkan Grace di mobil."Baik, Pak. Akan saya putar sekarang."Perlahan dengan pasti, video di depannya mulai menunjukkan potongan video dimulai dari Gabriel keluar dari pintu mobil dan berjalan menuju taman. Selang beberapa menit kemudian, Grace keluar dari dalam mobil. Tubuh Gabriel menegang, seandainya Grace bisa mendengarnya saat ini, ingin rasanya dia berteriak di depan layar komputer, men

  • Cinta dalam Rahim Sang Madu   154. Rantai Besi

    Pria itu mendekati dan meraih wajahku. Aroma tubuh dan mulutnya membuat aku ingin muntah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Siapa gerangan pria ini sebenarnya."Diam!! bentaknya kasar.“Kenapa aku harus diam, orang jahat?!” sentakku tak mau kalah."Tutup mulutmu, sebelum aku yang menutupnya."Aku tidak peduli, sekuat tenaga, aku berteriak lagi dengan suara yang lebih keras, dan hasilnya si pria itu menutup mulutku dengan telapak tangannya. Dengan kasar, dia memerintah anak buahnya untuk mengambil lakban dan menempelnya secara sembarangan hanya untuk menutup mulutku yang masih ingin berteriak.“Sekali lagi kamu berteriak, maka aku akan menutup bibir seksimu itu dengan cara yang lebih menyenangkan. Akan kubuat rongga mulutmu penuh dengan ciumanku.”Mendengar ancamannya, aku langsung mual, dasar laki-laki mesum. Siapa sih dia sebenarnya? Perasaan selama ini, aku tidak pernah mempunyai musuh. Kenapa tiba-tiba aku disekap seperti ini?Pria itu berjalan mengelilingi kursi yang aku duduki, s

  • Cinta dalam Rahim Sang Madu   153. Diam!

    "Aku akan mencari tahu siapa kamu sebenarnya," guman Gabriel pelan penuh percaya diri.Ia merapikan jasnya yang sedikit kusut akibat kemarahan tadi, lalu melirik ke jam tangan. ‘Grace pasti sudah menunggu terlalu lama,’ pikirnya. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan taman, pikirannya tetap berputar, merencanakan langkah selanjutnya. Taman itu kembali sunyi, hanya suara angin dan dedaunan yang menjadi saksi. Lampu-lampu taman yang redup, seakan memberikan arah kepadanya, ke mana dia harus melangkah.Gabriel mempercepat langkah kakinya, ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Grace. Begitu tiba di tempat parkir, dari kejauhan, dia tidak melihat sosok Grace di jok depan mobil. Jantung Gabriel seperti berhenti berdetak. Tanpa sadar, langkah kakinya terpacu untuk segera tiba di tempat tujuan.“Grace!” teriak Gabriel saat mendapati wanita itu tidak ada dalam mobil. Dengan kalut, Gabriel memeriksa kursi penumpang, berharap kalau Grace sedang bermain petak umpet atau sekedar menakuti dirinya

  • Cinta dalam Rahim Sang Madu   152. Ke mana Dia?

    “Ayo, aku antarkan kamu pulang,” putus Gabriel sambil berdiri di depanku, lalu mengulurkan salah satu tangannya. Begitu aku hendak menyambut uluran tangan Gabriel, tanpa sengaja, aku melihat bayangan seseorang dari balik pohon besar tidak jauh dari tempat kami berdiri.Deg! Perasaanku tidak enak, aku merasa bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikan kami berdua sedari tadi. Kuraih tangan Gabriel dan memberi kode padanya dengan gerakan bibir yang sangat pelan.‘Ada seseorang di belakang pohon yang sedang memperhatikan kita, Gabriel.’ Awalnya, ia terlihat bingung, tapi kemudian, ia memicingkan matanya berusaha membaca gerakan bibirku.‘Coba ulangi apa yang kamu katakan tadi,' bisiknya nyaris tak terdengar.Aku mengulang kembali ucapanku dengan perlahan sampai kulihat Gabriel memahami apa yang aku maksud. Gabriel mengangguk pelan, tatapan matanya menjadi waspada, dan ia langsung melindungiku dengan cara melingkarkan tangannya ke bahuku. Sikapnya sangat protektif seperti itu membuatku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status