Kedua sudut bibir Elian terangkat membentuk senyum lebar. Netranya tidak berhenti menatap pada layar ponselnya.“Apakah foto-foto itu membuatmu sebegitu bahagianya?” Maylin melirik Elian yang sedang duduk di sampingnya dengan seuntai senyum yang tidak lepas dari bibirnya sejak mereka mengambil beberapa foto bersama di Menara London. Sungguh ia tidak mengerti isi pikiran pria itu. Memangnya ada yang spesial dari foto itu?Foto yang tersimpan di dompetku selama ini berupa foto dirimu bersama Darwan. Hari ini bisa berfoto denganmu tanpa ada sosok pria lain, tentu saja membawa kebahagiaan tersendiri bagiku. Semoga keberuntungan dan kebahagiaan hari ini terus berlanjut sampai seterusnya. Batin Elian.“Kita mau ke mana?” Maylin bertanya saat mobil berbelok pada jalur yang bukan ke arah penthouse Elian.“Makan,” jawab Elian singkat.“Di mana?” tanya Maylin lagi.“Di restoran.”Jawaban singkat Elian membuat Maylin memutar bola mata. “Aku tahu, tetapi di mana?”“Kau akan tahu.” Pandangan mata
“Siapa saja selain Brianna?” tanya Elian ingin tahu.“Hanya kami berdua saja.”Elian mengangguk. “Pergilah.”Maylin menatap Elian dengan terkejut dan tak percaya. Sebuah keajaiban mengingat Elian terlalu bersikap paranoid padanya. Padahal, ia sudah menyiapkan banyak ancaman untuk pria itu bila tidak diizinkan.“Sunggguh, El?” tanya Maylin memastikan.“Yeah ... asalkan bodyguardku harus selalu bersamamu, ke mana pun kau pergi.”“Suruh mereka mengawasiku dari jauh. Setiap berkumpul bersama teman baruku, jangankan mereka, aku pun merasa tidak begitu nyaman karena kehadiran bodyguardmu itu.”“Terlalu beresiko mengawasimu dari jauh, Lin. Kemungkinan terlambat melindungimu bisa saja terjadi. Aku tak akan mengizinkan mereka jauh-jauh darimu.” Elian menggelengkan kepalanya tidak setuju.“Oh Gosh! Aku bukan anak kecil! Memangnya siapa yang mau berbuat jahat padaku? Aku tidak punya musuh dan bukankah tadi kau sendiri yang mengatakan tak akan ada orang yang berani menculikku?” cibir Maylin.“Aku
Maylin mendongak tatkala mendengar suara seorang pria dan tertegun melihat kemiripan wajah pria itu dengan Elian. “Selamat malam, Mr. Carter,” Maylin menyapa dengan sopan. Ini kali pertama ia bertemu dengan Ayah Elian.“No, no … panggil saja Daddy Emilio and good night too, Dear.”“Eh? Da— daddy?” Maylin tampak terkejut.“Frida pasti senang mengetahui kau tetap menjadi calon menantunya. Dan kau, Elian … kenapa tidak memberi tahu Daddy tentang hubungan kalian ini?”Maylin menatap Elian yang hanya bergeming. Pria itu tidak sama sekali terlihat akan meluruskan kesalahpahaman Ayahnya. “Anda salah paham, Mr. Carter,” ucapnya kemudian.“Daddy Emilio, Dear,” tukas Emilio memperbaiki panggilan wanita itu untuknya.“Ba— baiklah, Daddy Emilio.” Merasa percuma saja Maylin menyatakan keberatannya sebab Ayah Elian terlihat tidak mau dibantah. “Maaf, Daddy Emilio. Ada suatu hal yang ingin kutanyakan.”Elian yang dapat menebak perihal apa yang akan ditanyakan oleh Maylin, bersiap menahan wanita itu,
Melihat putranya seakan-akan siap membunuh siapa pun saat ini juga, membuat Emilio memberikan sebuah pertanyaan, “Apakah kau jatuh cinta kepada wanita itu, Elian?” Helaan napas panjang Emilio berembus ketika menanti jawaban yang tak kunjung keluar dari bibir putranya. “Daddy sudah pernah memperingatkanmu, jangan pernah menaruh cinta kepada wanita mana pun, Elian. Terjebak dalam cinta mampu melumpuhkan logika terbaikmu. Terlebih akan ada banyak hal yang harus kau korbankan. Tidak hanya merugikan dirimu sendiri, tetapi juga kelompok kita dan sebelum kau menghancurkan musuhmu, mereka terlebih dulu yang akan menghancurkanmu.” “Seandainya saja cinta memiliki tombol on dan off untuk mengaturnya, maka aku tidak perlu bersusah payah membunuh perasaan cinta ini, Dad!” jawab Elian mengusap wajahnya frustrasi. “Sejak kapan kau mencintainya?” tanya Emilio. Ia bukannya tidak memahami perasaan Elian. Dirinya pun juga pernah berada di posisi putranya seperti saat ini. Namun, tidak semua cinta ha
Angin malam berhembus kencang hingga menusuk tulang meskipun pakaian tebal berlapis melekat di tubuh, angin dingin tetap melawan masuk. Membuat orang-orang yang masih beraktivitas di luar sana, lebih merapatkan lagi jaket yang membungkus tubuh mereka demi menghalau udara dingin.Nox beserta anak buahnya melangkah masuk menuju rumah besar bergaya kuno dengan tiang dan dinding batu yang kukuh. Beberapa pepohonan yang begitu lebat dan tinggi menjulang mengelilingi bangunan besar itu. Tanaman merambat, tumbuh subur di dinding yang membentengi rumah.Jika dilihat dari luar, rumah tersebut tampak tidak berpenghuni dan pada malam hari terlihat sangat mengerikan seperti rumah-rumah besar dan angker dalam film horor.Bangunan itu adalah peninggalan leluhur Crusio pada zaman penjajahan dahulu kala, yang kemudian dijadikan tempat rahasia keberadaan Crusio yang tidak diketahui oleh siapa pun, terkecuali Nox dan Imperius, seorang konselor bagi Crusio.Oleh sebab itu, penampilan luar bangunan denga
Tampak Restin Banara tengah bergelut di atas ranjang dengan rasa sakit akibat efek pengobatan kemoterapi.“Mau muntah, Res?” Fifi memandang sang adik dengan tatapan khawatir.Restin tanpa menjawab, langsung menundukkan wajahnya ke arah wadah dan memuntahkan isi perutnya. Fifi yang berada di sampingnya, mengurut pelan leher Restin seraya mengusap lembut punggung adiknya itu.“Kita langsung ke rumah sakit, ya?” Fifi bertanya dengan nada sedikit membujuk.Restin menggelengkan kepalanya. “Aku hanya muntah-muntah saja, Fi. Tidak demam, juga tidak diare. Dokter mengatakan jika kondisiku tidak memungkinkan baru segera ke rumah sakit, 'kan?”“Tapi ini sudah ke empat kalinya kamu muntah, Restin! Nafsu makanmu juga menurun drastis. Dokter berpesan untuk menjaga leukosit tetap normal agar dapat melakukan jadwal kemoterapi yang kedua.”“Aku mengerti kekhawatiranmu, tetapi aku yang paling mengerti kondisi tubuhku seperti apa. Tenang saja, aku masih sanggup bertahan, Fi. Aku akan berusaha untuk sem
“Siapa itu alien?” Valo mengernyitkan keningnya tatkala mendengar umpatan tadi. “Apakah ada karyawan yang bernama alien di kantor ini, Ric?” tanyanya pada Asistennya yang berdiri di sebelah kirinya.“Setahu saya tidak ada, Sir.”“Cari tahu orang yang memiliki nama makhluk planet asing itu!”Seketika satu alis mata Riccardo terangkat tinggi, keheranan mendengar sebuah perintah remeh yang baru saja terucap dari mulut Bosnya. Ia mengikuti arah pandangan Bosnya tengah menatap wanita yang mengumpat tadi hingga menghilang di balik pintu lift bersama karyawan lainnya.Tidak, tidak! Mungkin hanya pikiranku yang terlalu berlebihan. Batin Riccardo, mengusir kecurigaannya mengenai kemungkinan Bosnya jatuh cinta kepada wanita itu.*****“Kak Valo? Ada apa sepagi ini berkunjung ke kantor?” Pertanyaan itu terlontar keluar bersamaan dengan langkah kaki Elian berhenti di tempat Valo dan Riccardo berdiri.“Oh hai, Elian! Kebetulan sekali … kau mengenal seorang bernama alien?” Valo balik bertanya. Meli
“Tidak bisa, Lin!” tolak Elian setelah Maylin minta izin untuk ikut pergi bersamanya ke luar kota. “Semua telah diatur dari jauh hari. Hotel juga dibooking hanya satu kamar saja. Memangnya kau bersedia tidur satu ranjang denganku?” Elian menatap tegas ke arah Maylin.“Tidak masalah! Aku percaya padamu, El! Aku berjanji tak akan mengganggu kesibukanmu.” Maylin mencoba membuat penawaran dengan pria pemilik mata berwarna abu-abu itu. “Bila perlu, aku berdekam di kamar, menunggu sampai kau menyelesaikan pekerjaanmu. Bagaimana?”“Barang-barangnya sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil, Sir.” Suara salah seorang Pengawal menginterupsi pembicaraan mereka.Berbicara dalam bahasa Italia, Elian memerintah untuk menunggunya sebentar. Setelahnya, ia menatap Maylin. Tangannya terulur mengelus rambut wanita itu dengan lembut. “Kau tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu di sini begitu saja.”Masalahnya aku tidak suka menghabiskan waktu bersama keturunan Osborn. Aku benci semua keluarganya. Batin Maylin