Marko dan teman-temannya mengalihkan perhatian mereka saat mendengar suara seseorang wanita."Maya, ngapain kamu di sini?" tanya Bima penasaran."Mau ketemu pacarku lah.""Pacar kamu? Pacar kamu yang mana?" Huh, Marko mendengus kesal mendengar jawaban Maya. Marko pikir Maya orang yang bisa menjaga janji, tapi tidak disangka Maya orang yang suka ingkar. Melihat itu, Marko semakin muak dengan Maya. Apalagi Maya mengatakannya di depan teman-temannya."Iya Maya, pacar kamu siapa?" sahut Bagas yang tak kalah penasaran. "Ini pacarku."Maya menggandeng tangan Marko posesif, membuat pemiliknya merasa risih. Marko berusaha melepaskan tangannya, tapi Maya terlalu erat menggandengnya."Kamu sama Marko pacar?" balas mereka terkejut."Iya, aku dan Marko sudah resmi pacaran.""Sepertinya Maya jadi gila gara-gara sering ditolak Marko," ucap Gilang yang langsung membuat Maya marah."Jangan sembarang bicara kamu ya! Aku sama Marko beneran sudah resmi pacaran. Iya kan sayang?"Rasanya Marko ingin munt
"Apa?"Debi terkejut mendengar jawaban dari Doni. Rasanya Debi masih tidak percaya dengan yang dikatakan Doni barusan."Mas Doni tidak sedang bercanda kan?""He, apakah wajahku ini memperlihatkan kalau aku sedang bercanda?" Debi menelisik wajah Doni yang terlihat serius. Tidak ada kebohongan yang ia temukan di sana."Tidak mungkin. Jelas-jelas Rafa itu teman kuliahku, bukan Pak Juna," bisiknya. "Ngapain kamu masih bengong di sini? Ini, antarkan pesanan Pak Juna. Jangan biarkan beliau menunggu.""Eh, iya Mas Doni."Debi mengambil kopi yang sudah disajikan Doni. Dengan perasaan tak menentu. Debi melangkahkan kakinya mendekati Rafa.Rafa yang saat itu menyadari kedatangan Debi pun tersenyum. "Terima kasih ya?""Iya, sama-sama." Setelah mengantarkan kopi untuk Rafa. Debi tak langsung beranjak dari tempatnya. Debi masih memperhatikan Rafa yang tengah menikmati kopinya. "Masak iya sih, kalau Rafa itu ternyata Pak Juna? Kalau Rafa adalah Pak Juna. Kenapa dia masih terlihat sangat muda? P
Tap tap tapSemua karyawan bar pun pulang saat bar mulai tutup. Tidak terkecuali Debi yang saat ini berjalan bersama teman-temannya. Saat itu Renata yang berjalan di samping Debi. Melihat Doni yang terus melihat kearah Debi. Renata yang melihatnya pun menjadi penasaran."Kamu ini kenapa sih Don, dari tadi aku lihatin, kamu ngelihatin Debi terus. Naksir ya?" kata Renata sembari tersenyum."Mana berani aku suka sama Debi. Bisa-bisa dapat teguran lagi aku.""Maksud kamu apa?""Debi itu......."Dretttt dretttt drettttDoni menghentikan ucapannya saat mendengar ponselnya berbunyi. Doni mengambaikan ponselnya, dan saat itu Doni langsung menoleh ke belakang. DegDoni terkejut. Mulutnya mengatup untuk tidak lagi melanjutkan ucapannya."Debi itu apa Doni maksudnya? Jawab yang jelas," tanya Renata meminta penjelasan."Tidak apa-apa kok. Sudah, aku mau pulang duluan."Doni mempercepat langkahnya menuju motornya yang sudah terparkir."Aneh banget sih Doni itu.""Iya Kak Renata. Aku lihat Mas Don
Rafa yang awalnya hendak masuk ke dalam kamarnya. Mengurungkan niatnya saat melewati kamar keponakannya. Rafa pun mendekatinya.Tok tok tok "Siapa?""Ini Om, Marko.""Mau apa Om?""Om mau bicara sama kamu. Om boleh masuk?"Rafa tidak mendengar jawaban dari Marko. Meskipun seperti itu, Rafa tetap membuka pintu kamar keponakannya, dan masuk ke dalam.CklekSaat itu Rafa melihat keponakannya yang tengah terbaring di atas ranjang tidurnya. Rafa berjalan mendekatinya. Saat itu Marko masih tidak merespon kedatangan omnya. Marko masih diam di atas ranjang tidurnya. Rafa tersenyum dan duduk di samping keponakannya."Om tahu kamu kesal sama Mama kamu, Marko."Lagi-lagi Marko masih belum merespon. Marko melakukan itu karena sebenarnya dia kesal dengan omnya. Yah, bayangan omnya yang mengantarkan Debi pulang masih terngiang di benaknya. "Mama kamu memang selalu mengutamakan status daripada cinta yang tulus. Jika kamu memang benar mencintai wanita itu. Om akan mendukung kamu." Marko mengalihka
Debi dan juga Rafa duduk berdampingan. Mereka menikmati suasana pagi itu sembari diselangi obrolan."Kamu mau makan Debi?""Enggak, aku sudah kenyang. Memangnya kamu sudah lapar?""Enggak juga sih, aku hanya menawarkan saja. Siapa tahu kamu lapar.""Enggak kok, aku sedang tidak lapar."Hening, baik Rafa maupun Debi diam. Tidak ada pembahasan yang ingin mereka bicarakan saat itu. Di tengah keheningan mereka. Tiba-tiba Debi teringat dengan Marko dan juga Rafa yang berjalan masuk ke taman bersama-sama."Oh iya Rafa, aku boleh tanya?""Tanyakan saja kalau kamu mau tanya Debi.""Emz, sebenarnya ini bukan hal yang penting sih, tapi aku hanya ingin tahu saja. Apakah kamu mengenal seseorang yang bernama Marko?"Dretttt dretttt drettttRafa mengalihkan perhatian saat mendengar ponselnya berbunyi. Saat itu Rafa melihat nama Marko tertera di layar ponsel. Rafa pun ingat jika kedatangannya ke sini karena ada hal penting."Maaf Debi, aku harus pergi sekarang.""Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu buru-
Debi duduk di depan kos-kosannya. Pikirannya mengingat kejadian saat di taman. Ucapan Bu Carina masih teringat jelas di benaknya. "Tadi Marko juga ada di taman? Berarti tadi aku tidak salah lihat. Marko memang masuk ke taman bareng sama Rafa. Kalau begitu, mungkinkah mereka saling mengenal?" Memikirkan ini, Debi jadi pusing. Yah, pasalnya Debi khawatir jika Rafa dan Marko memang saling mengenal. Dan itu artinya Debi menambah masalah di hidupnya. "Ya Tuhan, pusing sekali kepalaku."Dretttt dretttt drettttDebi mengalihkan pandangannya. Debi melihat ponselnya yang saat ini berbunyi."Lisa telpon? Ada apa ya?"Debi yang merasa penasaran pun, mengangkat panggilan dari Lisa."Halo Lisa, ada apa?""Debi, kamu bisa menolongku tidak?""Menolong apa Lisa?""Motorku mogok di jalan yang sepi. Aku mau minta tolong, tapi tidak ada satu pun orang yang lewat.""Sekarang kamu ada di mana?""Aku ada di pelosok desa yang pernah kita datangi waktu itu.""Baiklah, aku akan ke sana secepatnya. Kamu tung
"Sialan."Maya membanting ponselnya saat Marko yang ia hubungi tak kunjung menjawab panggilannya. Maya benar-benar kesal. Padahal nomor Marko aktif, tapi tak satu pun pesan atau pun panggilan Maya direspon."Tenang Maya, mungkin Marko sedang sibuk," kata Lidya."Iya Maya," sahut Mira."Sibuk apaan. Ini hari minggu, aku yakin dia hanya di rumah atau kalau pun tidak mungkin dia sedang kumpul sama teman-temannya.""Iya kan siapa tahu Maya."Maya sangat kesal. Ia pun berjalan ke sana kemari seperti setrikaan. Maya ingin mengamuk, namun pada siapa ia ingin melampiaskan."Sial," umpatnya untuk kesekian kalinya.Di tengah kekesalan Maya. Maya tidak sengaja melihat Debi yang saat ini tengah berada di rumah makan. Maya melihat Debi tersenyum senang sembari menikmati makanannya."Debi."Mendengar Maya menyebutkan nama Debi. Kedua teman Maya pun mengalihkan pandangan mereka. "Aku yakin, ini semua gara-gara anak haram itu.""Bagaimana kamu bisa menyalahkan Debi, Maya. Dia kan tidak melakukan apa-
CklekPintu pun terbuka. Debi yang duduk di kursi tunggu langsung beranjak dari duduknya. Debi melangkahkan kakinya mendekati dokter yang berjalan keluar dari dalam ruangan."Bagaimana dok, keadaan Bapak tadi?" ucapnya dengan raut wajah cemas. "Maaf Mbak, Bapak tadi mengalami cindera yang cukup parah karena benturan yang sangat keras di kepalanya. Saya harus melakukan operasi sebagai tidak lanjut selanjutnya. Apakah anda keluarganya? Untuk kelancaran operasisilakan tanda tangan sebagai persetujuan.""Saya bukan keluarganya dok.""Kalau begitu silakan hubungi keluarganya agar operasi ini bisa segera dilakukan.""Maaf dok, saya tidak punya kontaknya.'"Kalau begitu, anda juga tidak masalah. Jika ditunda terus, takutnya akan terjadi hal yang buruk dengan pasien.""Ta-tapi dok......""Baiklah, kalau begitu pihak kami akan melakukan operasi secara mendadak sama pasien.""I-iya dok."Dokter pun kembali masuk ke dalam ruangan, sementara Debi kembali duduk di tempatnya.Pikiran Debi memikirk