Di balik kemah, Shian mengintip Ayahnya yang berjalan di luar kemah, menuju ke arah Putra Mahkota yang sedang berlatih bersama Hoya. Sekarang rasa takut dalam dirinya semakin bertambah, ia takut ayahnya akan tahu kebohongan yang telah ia rajut sedemikian rupa.
“Kakak rasa inilah akhir hidupmu.” kata Guha yang ikut mengintip dari balik kemah.
Jenderal Kun berjalan menghampiri Putra Mahkota dengan wajah masam karena anak bungsunya dan ini bukan pertama kalinya, tetapi yang kesekian kalinya. Shian sudah sering membuat Jenderal Kun marah. Kemarahannya sudah sampai pada titik di mana Jenderal Kun mengurung Shian selama seminggu. Saat itu, Shian benar-benar telah melampaui batas. Ia datang ke Kamp Militer dan mengajak semua prajurit minum arak hingga mabuk.
“Yang Mulia!” sapa Jenderal Kun saat menemui Putra Mahkota yang telah menepi ke pinggir arena memanah.
“Jenderal!” balas Putra Mahkota.
“Apakah Anda akan kembali ke istana hari ini?” tanya Jenderal Kun.
“Ah, Iya. Aku akan kembali sore ini.” jawab Putra Mahkota.
“Apa ada sesuatu yang...” Putra Mahkota tidak melanjutkan ucapannya karena Jenderal Kun dengan terburu-buru menyela. “Tidak.. Tidak ada, Yang Mulia!”
“Sebenarnya, Hamba meminta bantuan agar membawa Shian ke Istana bersama Anda. Jika dia tidak berangkat hari ini, Hamba khawatir dia akan berulah di ibukota.” lanjutkan Jenderal Kun.
Putra Mahkota tampak terkejut mengetahui bahwa Shian saat ini berada di luar istana. Namun, ia tetap berusaha menyembunyikan keterkejutannya dengan tawa kecilnya. “Kalau begitu, aku akan menunggunya,” jawab Putra Mahkota, memenuhi permintaan Jenderal Kun.
Saat itu, Shian masih mengintip ayahnya yang sedang mengobrol dengan Putra Mahkota. Ia dapat melihat ekspresi ayahnya dengan jelas meskipun jarak mereka cukup berjauhan. Ayahnya Mungkin terlihat santai, tetapi sebenarnya sedang menahan amarahnya yang belum usai ia lupakan pada Shian.
“Tidak bisakah kakak membantuku?” tanya Shian pada Guha. “Aku sudah diusir olehnya, tidak mungkin aku kembali sekarang.” lanjutnya sedikit menggerutu.
“Lebih baik kau jujur saja.” Kata Guha, memberi saran kepada Shian.
Tak lama, Putra Mahkota dan Jenderal Kun berjalan bersama menuju ke arah kemah di mana Shian dan Guha sedang mengintip. Saat Putra Mahkota tiba, Shian dan Guha segera menyambutnya seraya menundukkan kepalanya.
“Sore ini kau harus kembali ke istana bersama Putra Mahkota!” kata Jenderal Kun dengan tegas. “Semua barangmu di kediaman sudah dalam perjalanan kemari. lanjutnya, membuat Shian sangat terkejut.
“Apaa??” teriaknya, terkejut mengetahui ayahnya benar-benar akan mengirimnya kembali ke istana. “T-tapi..” Shian tidak melanjutkan ucapannya karena ayahnya mengabaikannya.
“Sudah kukatakan, sebaiknya kau jujur saja!” bisik Guha, kembali menasehati Shian.
Shian diam sejenak, merenungi ucapan kakaknya. Saat ini, memang benar dirinya tidak memiliki jalan keluar sama sekali, selain mengakui bahwa dirinya telah diusir oleh Pangeran Kesebelas dari kediamannya. Selain itu, segala rencananya belum ada satupun yang bisa ia laksanakan karena belum ada keputusan dari Raja mengenai permintaan Shian yang ingin membawa prajuritnya ke istana Pangeran Kesebelas. Jadi, tidak memungkinkan baginya untuk kembali ke istana sekarang.
"Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu!" katanya sambil segera berlutut di depan Ayahnya, Jenderal Kun, dan disaksikan oleh Putra Mahkota dan Guha. Jenderal Kun tampak terkejut melihat Shian yang berlutut, firasatnya mulai buruk melihat tingkah anaknya bungsunya itu. "Se-sebenarnya.." Shian tidak melanjutkan ucapannya, ia sedang mengumpulkan keberanian. Jenderal Kun hanya menatapnya, menunggu ia melanjutkan ucapannya.
"Aku diusir oleh Pangeran Kesebelas dari kediamannya.” Shian dengan suara pelan.
"Apaaaaa???” teriak Jenderal Kun yang tidak dapat menahan rasa terkejutnya, matanya terbuka lebar. “Kali ini Masalah apalagi yang kau perbuat?” kata Jenderal Kun sambil meraih tongkat besar yang tak jauh darinya dan dengan gerakan cepat ia melayangkan pukulan pada Shian.
“Jenderal Kun!” Panggil Putra Mahkota, menghentikan Jenderal Kun yang hendak melayangkan pukulannya lagi.
"Kau ini!" ucap Jenderal Kun kepada Shian sambil lepaskan tongkat yang ia pegang. Ia sudah tidak bisa berkata-kata karena ulah Shian, mengingat ia sudah menemui Raja atas permintaan Shian. Entah bagaimana dirinya akan menghadapi Raja jika masalah ini sampai ke telinga Raja. Jika Putra Mahkota tidak ada, Shian pasti akan mendapat lebih banyak pukulan dari Jenderal Kun.
"Masalah ini.." Putra Mahkota menengahi Jenderal Kun dan Shian. “Sebaiknya tidak ada orang lain yang mengetahuinya dan Mengenai Nian, aku akan mengurusnya.” lanjut Putra Mahkota. Ia tidak terkejut sama sekali mendengar Shian telah diusir oleh Pangeran Kesebelas karena ia sudah menduganya, sejak mengetahui bahwa Shian sedang berada di luar istana. Bagaimanapun, pengusiran dari istana Pangeran Kesebelas sudah sering terjadi.
“Terima kasih, Yang Mulia!” ucap Jenderal Kun merasa lega karena Putra Mahkota membantunya menangani masalah Shian.
Menjelang sore hari, Putra Mahkota kembali ke istana, sementara Shian kembali ke rumah bersama kedua kakaknya dan para pengawalnya. Kedua kakaknya ikut kembali ke rumah atas perintah Jenderal Kun, yang khawatir Shian akan menyebabkan masalah lain.
Di dalam kereta di sepanjang perjalanan, Shian hanya diam, entah sedang menahan sakit di punggungnya atau tengah merenung. sementara kedua kakaknya, Hoya dan Guha saling bertukar pandang, melihat Shian yang diam tak bergeming.
Setelah mengakui bahwa dirinya diusir dari istana, Shian mengurung diri di kamarnya. Ia tidak pernah keluar dan hanya menghabiskan waktunya untuk membaca semua buku yang tersusun rapi di rak. Pukulan yang ia terima dari Ayahnya di Kamp Militer membuatnya sadar bahwa selama ini dia benar-benar sangat kekanak-kanakan dan bisa saja sifat kekanak-kanakannya itu bukan hanya membuat dirinya, tetapi seluruh keluarganya menghadapi masalah besar.
Di istana, Pangeran Kesebelas diam-diam meninggalkan istana melalui jalan rahasia. Seperti biasa, ia mengenakan pakaian yang tidak mencolok, membuatnya terlihat seperti orang biasa. Pangeran tiba di Kota Huan, ia memandangi setiap sudut kota, hingga akhirnya menaruh perhatiannya pada sebuah toko yang menjual berbagai macam aksesoris, membuatnya teringat pada saat Shian memberikannya sebuah gelang. Meskipun saat itu ia enggan menerimanya, tetapi Pangeran tetap mengambil dan menyimpan gelang tersebut.
“Apakah anda ingin membeli sesuatu di toko itu?” tanya Ahan yang berada di samping Pangeran.
Pangeran menggeleng.
Setelah melihat-lihat suasana kota, akhirnya Pangeran memutuskan masuk ke Restoran Teratai. Ia memilih meja di lantai dua, tepatnya di serambi restoran, agar bisa melihat pemandangan kota Huan. Restoran dua lantai ini, juga selalu menjadi tempat shian dan bawahannya berkumpul.
"Aku dengar Shian sudah beberapa hari ini tidak keluar dari kediamannya." bisik seseorang di sudut restoran, tanpa sadar suaranya terbawa oleh angin dan sampai kepada Pangeran.
"Apa?!" Wan Feng melayangkan pandangannya ke sekeliling restoran, mencari-cari tahu apa yang terjadi. Seperti biasa, dia mencari Shian di semua tempat yang sering dikunjungi oleh Shian, termasuk Restoran Teratai dan Kedai Arak Embun.
"Menurut kabar dari pelayan kediaman keluarga Kun, beberapa hari yang lalu Shian pergi ke Kamp Militer. Ketika kembali, tubuhnya penuh dengan luka," sambung pelayan Wan Feng, tanpa menyadari bahwa Pangeran sedang mendengarkan pembicaraan mereka.
"Sepertinya dia sangat rajin berlatih.” ucap Wan Feng sambil mengepalkan kedua tangannya, pikirnya Shian mendapat luka di tubuhnya karena terlalu giat berlatih. “Tidak bisa dibiarkan!" lanjutnya, merasa tersaingi.
“Wan Feng, Apa kau tidak punya pekerjaan lain selain mengganggu Shian?” tanya seseorang dengan ekspresi suara yang menunjukkan ketidaksukaannya. Wan Feng tentu tidak asing lagi dengan suara itu, ia menoleh dan mendapati suara itu berasal dari seorang gadis cantik yang duduk belakangnya, bersama seorang pemuda. “Ckk.. Noh Ayi!” gumam Wan Feng sambil kembali membalikkan badannya ke posisi semula. Ia memilih mengabaikan Ayi karena tidak ingin berdebat dengan seorang wanita.
“Noh Yenu suruh adikmu diam!” pinta Wan Feng pada Pemuda yang duduk di sebelah gadis cantik yang tak lain adalah Noh Ayi.
“Aku dengar saat itu Putra Mahkota datang ke Kamp Militer!” lanjut pengawal Wan Feng memberikan informasi yang didapatkannya setelah bersusah payah mencari membujuk orang-orang di sekitar kediaman Shian.
“Waaaahhh… Jadi dia berlatih dengan Putra Mahkota?” ucap Wan Feng dengan wajah terpana, tidak bisa berkata-kata karena informasi itu membuatnya merasa tertinggal dari Shian yang selalu dianggap rival olehnya, apalagi Shian berlatih dengan calon raja di masa depan.
Di serambi restoran, Pangeran dan Ahan masih mendengarkan percakapan antara Wan Feng dan dua bersaudara dari keluarga Noh. Tiba-tiba, perhatian mereka teralihkan oleh kehadiran seseorang di antara kerumunan di jalanan kota Huan. Shian telah keluar dari kediamannya, mengenakan pakaian khasnya yang serba hitam. Di tangan kanannya, ia menggenggam pedang kesayangannya, sementara sesuatu yang dibungkus dengan kain berwarna putih tergantung di punggungnya. Barang yang dibungkus itu panjangnya seperti sebuah tombak.
“Tuan Muda, Shian sudah keluar dari kediamannya dan sekarang berada di luar restoran.” ucap salah satu pengawal Wan Feng, menyampaikan kabar Shian telah keluar dari kediamannya. Tentu saja, Wan Feng dengan cepat beranjak dari restoran, membawa sebuah pedang yang tampak masih baru.
Pangeran dapat melihat dengan jelas, Wan Feng yang baru saja keluar dari restoran sedang berlari menuju ke arah Shian. Ia segera berdiri dan pandangannya tak lepas dari Wan Feng yang dengan penuh semangat menghampiri Shian di antara kerumunan di tengah jalan kota Huan.
“KUN SHIAN!!” teriak Wan Feng yang berlari ke arah Shian.
“Ckck!” Shian mendecak, melihat kedatangan Wan Feng. Namun, tidak seperti biasanya yang terus menghindari, kali ini ia memilih untuk menghadapi Wan Feng, Tuan Muda dari Keluarga Wan.
“Tuan Muda Wan, Aku benar-benar tidak ingin membuang waktuku untuk meladenimu sifat kekanak-kanakanmu ini” ucap Shian dengan nada dan ekspresi yang sama datarnya.
“Aku ingin kau menerima tantanganku.” teriak Wan Feng sambil mengarahkan pedang yang masih belum dikeluarkan dari sarungnya.
Dalam sekejap mata, Shian menarik keluar pedang Wan Feng dari sarungnya dan langsung diarahkan ke leher pemiliknya, membuat Wan Feng diam tak bergeming karena gerakan shian yang begitu cepat.
Melihat Wan Feng yang terkejut sekaligus ketakutan, Shian segera melepaskan pedang tersebut dari genggamannya sambil berkata, “Sangat kekanakan!”
Ini pertama kalinya, Wan Feng melihat Shian menanggapinya dengan ekspresi dan nada bicara Shian yang berbeda dari biasanya, membuat Wan Feng benar-benar terkejut. Biasanya, Shian lebih memilih untuk menolak secara halus atau menghindarinya, tidak seperti saat ini.
“Kau terus menerus ingin menantangku, tetapi melawan Bei saja kau tidak Mampu.” ucap Shian dengan nada sinis, membuat Wan Feng terdiam. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Shian membuat Wan Feng merasa sakit hati, hingga membuatnya terdiam. Ia merasa direndahkan oleh Shian, tetapi ia juga menyadari apa yang dikatakan oleh Shian benar adanya.
“Dia tampak berbeda.” ucap Yenu yang berdiri di serambi Restoran, menatap ke arah Shian yang sedang menghadapi Wan Feng.
Pangeran melirik ke arah Yenu yang berada di sampingnya. Karena terlalu fokus pada Shian dan Wan Feng, Ia sampai tidak sadar kapan Dua bersaudara dari Keluarga Noh berada di dekatnya.
“Menghadapi Wan Feng yang terus mengganggu memang harus menggunakan cara yang berbeda.” Ayin menanggapi ucapan kakaknya, Yenu.
“Tidak, yang baru saja dia lakukan bukan cara berbeda, tetapi memang ada yang berbeda darinya.” jawab Yenu, terus menatap Shian yang mulai melangkah meninggalkan Wan Feng yang sedang memungut pedangnya.
Persiapan pemakaman telah selesai. Semua yang dibutuhkan siap dibawa ke pemakaman bersama mayat tersebut. Namun, sebelum berangkat, Puya menarik Shian menjauh dari kerumunan. Ia telah memperhatikan Shian sejak tadi; ada yang tidak beres dengannya. Matanya tampak kosong, dan wajahnya terlihat pucat. “Kau yakin akan melakukannya?” tanya Puya, memandang Shian dari ujung kaki hingga kepala, khawatir akan kondisinya. Shian mengangguk. “Roh yang terpisah dari jiwa butuh kebebasan dan ketenangan,” ujarnya, menghela napas sambil memandang langit yang dipenuhi bintang. “Kau sebaiknya istirahat. Serahkan saja urusan pemakaman pada aku dan Bei,” ucap Puya, menepuk pundak Shian. “Pemakaman ini bukan sekadar menggali kubur. Kau harus menjalankan ritual dan berjaga hingga pagi. Lihat dirimu, kau tampak sangat buruk!” lanjut Puya dengan nada khawatir. “Saat ini, keputusan terbaik adalah aku yang memimpin pemakaman. Kondisi kalian lebih baik dariku, jadi kalian bisa menjaga Pangeran dan merawat y
Pangeran yang sedang serius memikirkan strategi dalam permainan caturnya bersama Ahan, terkejut melihat kedatangan Bei yang tampak terburu-buru. “Ada apa?” tanya Pangeran heran melihat Bei yang sedang mengatur napasnya. “Shian…” Bei tampak ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, tetapi Pangeran yang melihat wajah Bei menjadi panik dan berpikir telah terjadi sesuatu pada Shian. Pangeran bangkit dari duduknya dan hendak keluar dari ruangannya, tetapi Bei menghentikannya sambil berkata, ”Yang Mulia, sebenarnya Shian merasakan ada Roh Jahat di sekitar Istana Yunqi!”“Sebaiknya anda tetap berada di dalam ruangan ini!” ucap Bei dalam keadaan bersujud di hadapan Pangeran. Sementara itu, Shian mulai mengelilingi kediaman Pangeran, mencari keberadaan roh jahat tersebut. “Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Wuga yang entah datang darimana.“Katakan pada semuanya untuk berjaga, sepertinya aku merasakan roh jahat di sekitar istana Yunqi.” pinta Shian sambil melihat sekeliling. “R-roh Ja-jaha
Kabar mengenai Pangeran Kesebelas yang keluar istana melalui gerbang utama terdengar hingga ke kediaman Para Pangeran, terutama Pangeran Keempat dan Kelima. Tentu saja, kabar ini membuat para Pangeran Penasaran karena setahu mereka Pangeran Kesebelas tidak pernah melangkahkan kaki keluar dari istana, kecuali pada kegiatan tertentu seperti, kegiatan berburu yang diadakan oleh Pangeran Ketiga.“Gerak-gerik Nian akhir-akhir ini sangat mencurigakan.” ucap Pangeran Kedelapan setelah mendengar kabar Pangeran Kesebelas berada di luar istana. “Cari tau apa yang Nian lakukan di luar istana!” perintah Pangeran Kelima pada Pengawalnya. “Apa yang nian lakukan di luar istana?” tanya Pangeran Keempat pada Mora, Pengawalnya. Sementara itu, Shian dan Wuga sedang sibuk membuat target untuk memanah, dibantu oleh pengawal lainnya, termasuk cuncu. “Apakah pangeran tidak akan marah jika kita membuat halamannya seperti ini?” tanya cuncu sambil memandang halaman yang penuh papan target buatan Shian dan
Suasana pagi di istana Yunqi tampak tenang, hanya terdengar kicauan burung di dahan pohon yang menyambut hari yang baru. Hamburan cahaya matahari pagi masuk melalui celah dinding dan tepat menyentuh wajah Pangeran Kesebelas yang masih terbaring di tempat tidurnya. Tangannya secara alami melindungi wajahnya dari cahaya matahari yang cukup menyilaukan. Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya perlahan, bangkit dan turun dari tempat tidurnya, menuju jendela kamarnya. “Anda sudah bangun?” sapa Ahan yang berada di luar jendela dan baru saja selesai menyiram tanaman. Pangeran Kesebelas hanya menganggukan kepalanya.“Pagi ini pengawal Pangeran Ketiga datang membawa pesan dari Pangeran Ketiga agar anda segera menemuinya.” ucap Ahan menyampaikan pesan yang diterimanya pagi ini. Pangeran Kesebelas menghela napas mengetahui bahwa Pangeran Ketiga ingin menemuinya dan sudah pasti pertemuan ini membahas mengenai masalah area berburu dan menteri kehakiman. Ia menjauh dari jendela kamarnya samb
Pangeran duduk di ruang baca sambil memandang keluar jendela tampak di luar sangat cerah, langit berwarna biru muda dihiasi awan-awan tipis membuat hati tenang ketika melihatnya tetapi tidak untuk Pangeran yang tampak murung. “Haahhhh..”Sesekali terdengar suara helaan napas kasar yang mengekspresikan bagaimana keadaan dan suasana hatinya saat ini. Ada perasaan cemas, gelisah, dan ragu menghampirinya hingga seakan-akan ada tekanan besar di dadanya, yang membuatnya kesulitan bernapas. “Ahan!” teriaknya memanggil salah satu pengawalnya yang berjaga di luar ruang baca. Ahan segera masuk, menghampiri Pangeran yang masih dalam posisi yang sama, menghadap keluar jendela. “Apakah sudah ada kabar dari Xu Sue?” tanyanya tanpa memandang ke arah Ahan. “Sepertinya belum ada, Yang Mulia!” jawab Ahan. “Hahhh..” Pangeran kembali menghela napas dan lebih dalam. Mendengar helaan napas Pangeran yang cukup dalam, membuat Ahan mengerti bahwa saat ini suasana hati Pangeran sedang tidak baik-baik s
Pangeran terbangun dari tidurnya, masih dalam posisi duduk di ruang baca. Pandangannya tertuju pada Bei yang tertidur dengan bersandar pada salah satu tiang di ruang tersebut. Setelah itu, Pangeran mengalihkan pandangannya ke luar jendela, di mana tampak bahwa pagi telah tiba. Cahaya matahari sudah mulai bersinar dan burung-burung pada dahan pohon mulai berkicau. Pangeran perlahan berdiri dari tempat duduknya, merasakan kakinya yang kram dan sendi-sendinya yang cukup sakit akibat tidur dalam posisi duduk. Ia keluar dari ruang baca tanpa membangunkan Bei yang masih terlelap.“Anda sudah bangun?” ucap Ahan yang berdiri di depan pintu. “Umm.” jawab Pangeran sambil mengajak matanya berkeliling, melihat keadaan di sekitar kediamannya. “Di mana Shian?” tanya Pangeran, setengah berbisik. Ahan menjawab pertanyaan Pangeran dengan mengarahkan pandangannya ke atap kediaman. “Diatas sana sepanjang malam?” tanya Pangeran lagi. Ahan mengangguk, mengiyakan pertanyaan Pangeran. “Malam ini, dia k