Home / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / Pertemuan Pertama di Taman

Share

Cinta di Balik Singgasana
Cinta di Balik Singgasana
Author: Wahyu H

Pertemuan Pertama di Taman

Author: Wahyu H
last update Last Updated: 2025-04-22 14:40:17

Langit pagi itu cerah, dengan sinar matahari yang menembus melalui celah-celah dedaunan di atas taman istana. Angin semilir menerpa dedaunan yang bergoyang perlahan, menciptakan suasana yang tenang namun penuh dengan harapan yang samar. Dyah Pitaloka, putri kerajaan Galuh, melangkah terburu-buru menuju lorong belakang balairung. Wajahnya dihiasi senyuman kecil, penuh semangat, meski matanya menyiratkan sedikit kebosanan.

Ia baru saja selesai mengikuti pelajaran panjang di ruang istana yang penuh dengan para guru dan pengawal. Sungguh membosankan. Terkadang, ia merasa lebih seperti sebuah patung hidup daripada seorang putri yang bebas berkelana. Semua peraturan istana, tata krama, dan pelajaran sejarah yang mengikatnya membuatnya merindukan sesuatu yang lebih sederhana—sesuatu yang membebaskan jiwa.

"Ah, cukup! Aku ingin merasakan udara segar," pikir Dyah, bertekad untuk mencari kedamaian, jauh dari tatapan penuh harapan dari para petinggi istana.

Dengan hati-hati, ia menyelinap melalui pintu samping yang hanya sedikit terbuka, menghindari penjaga istana yang biasa berjaga di sekitar ruangan utama. Langkahnya ringan, meskipun ia tahu betul risiko yang ia ambil. Tidak ada yang boleh tahu, terutama Bapak Maharaja yang selalu mengawasi tiap gerak-geriknya. Tapi, hari itu, ia merasa ingin bebas—sejenak.

Saat melewati taman belakang yang jarang dikunjungi, langkahnya berhenti. Di sana, di bawah pohon maja yang besar, ia melihat seorang pria sedang duduk setengah berjongkok, memeriksa tombaknya. Rambutnya diikat rapi, dan posturnya tegap, mengesankan ketenangan yang tak terucap. Raka Wijaya. Itulah nama yang sering ia dengar, meskipun belum pernah ia berbicara langsung dengannya

Raka sedang dalam tugas pengawasan. Sebagai prajurit muda terlatih, ia dipilih untuk berjaga di sekitar istana, meskipun bukan posisi yang ia dambakan. Baginya, tugas ini lebih tentang menjaga daripada mencari perhatian. Namun, saat itu, sesuatu yang tak biasa terasa. Suara langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Ketika ia menoleh, matanya langsung menangkap sosok yang tak asing—Putri Citraresmi, yang kini tengah berdiri di depannya, menatapnya dengan mata penasaran.

Raka cepat-cepat berdiri, sedikit gugup, dan segera membungkukkan badan. "Ampun, Paduka Putri. Hamba tidak tahu bahwa Yang Mulia akan melintasi jalan ini."

Dyah menatapnya, terkekeh kecil. "Yang mulia, yang mulia... Semua orang di istana suka sekali memanggilku begitu. Padahal, aku hanya seorang gadis yang bosan dengan pelajaran."

Raka diam, tak tahu harus berkata apa. Ia berusaha tetap tenang, meskipun perasaan canggung mulai menguasai dirinya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Dyah, mengalihkan pembicaraan. "Apakah ini tugas istana ataukah tugas pribadimu?"

Raka sedikit terkejut, namun menjawab dengan nada hati-hati, "Hamba berjaga, Paduka. Tugas ini adalah bagian dari kewajiban hamba sebagai pengawal kerajaan."

"Tapi mengapa berjaga di tempat seperti ini?" Dyah terus bertanya sambil melangkah mendekat. "Kenapa tidak di balairung, tempat yang lebih penting?"

Raka menatap bunga liar yang tumbuh di antara batu di dekat mereka. "Karena kadang, hal-hal kecil seperti bunga liar ini lebih penting dari yang tampak besar," jawabnya pelan, tanpa bermaksud mengajarkan.

Dyah mengernyitkan dahi, kemudian mengamati bunga yang disebutkan oleh Raka. "Bunga liar? Apa itu namanya?"

"Tiwikrama," jawab Raka dengan tenang, masih tak mengalihkan pandangannya dari bunga tersebut. "Biasanya tumbuh tanpa ditanam. Tidak ada yang peduli, tapi ia tetap tumbuh."

Dyah tersenyum tipis, ada sesuatu yang menyentuh dalam kata-kata itu. "Sepertinya aku juga bunga liar itu," katanya, suara sedikit nyaris hilang. "Tak pernah ada yang benar-benar peduli pada apa yang aku inginkan, hanya pada apa yang diharapkan."

Raka terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa, namun kalimat itu menggugah hati. Ia tidak pernah membayangkan bahwa seorang putri akan merasakan hal yang sama seperti dirinya—terperangkap dalam harapan orang lain.

"Kenapa kau tidak menanam bunga ini di taman istana?" Dyah melanjutkan, menarik perhatian Raka. "Mungkin orang-orang bisa lebih peduli, meskipun hanya sedikit."

Raka tersenyum tipis, meskipun hatinya berat. "Bunga seperti itu, Paduka, lebih baik tumbuh di tempat yang bebas, bukan di tempat yang dibatasi."

Dyah terdiam sejenak, lalu menatapnya. "Mungkin… mungkin aku juga harus mencari tempat yang lebih bebas."

Ia melangkah mundur, memandang Raka sejenak sebelum berbalik. "Terima kasih, Raka. Aku… senang bisa berbicara denganmu."

Raka hanya mengangguk, tidak berani mengatakan lebih. Sesuatu dalam hatinya menggelora, tapi ia tahu—ini adalah pertemuan pertama mereka yang sederhana, dan mungkin, itu adalah yang terbaik untuk saat ini.

Dyah berjalan pergi, meninggalkan taman belakang dengan langkah yang lebih ringan, meskipun pikirannya tetap terbelah. Raka, sosok yang sederhana namun penuh makna, telah membuatnya berpikir lebih dalam tentang dirinya dan hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang Takdir

    Langit Galuh pagi itu berpindah dari kelabu menjadi semburat keemasan. Matahari berjuang menembus kabut duka yang menyelimuti Istana Kawali.Di alun-alun dalam, bendera hijau tua berkibar pelan. Sulaman emas berbentuk matahari menghiasi kain, simbol kejayaan kerajaan. Namun, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti senar kecapi yang nyaris putus.Di ruang takhta, Prabu Linggabuana duduk di singgasana kayu jati. Ukiran rumit menghiasi kayu, dan mahkotanya berkilau di bawah sinar obor.Matanya, biasanya penuh wibawa, kini membawa bayang kelelahan. Beban kerajaan seolah menggerogoti semangatnya.Mahapatih Surawisesa berdiri di sisinya, memegang gulungan bambu. Laporan dari Sindangkasih tertera di dalamnya. Patih Gajah Langu menjaga posisi, tangan di gagang pedang. Wajahnya keras seperti karang.Dyah Pitaloka duduk di kursi kecil dekat ayahnya. Gaun biru lautnya disulam bunga kenanga. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh badai yang hanya Raka kenali.Raka berdiri di sudut ruangan, di a

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang yang Merangkak

    Langit Galuh pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah alam merasakan ketegangan yang kian mencekik istana. Angin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang gugur, seakan berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kerajaan. Di dalam ruang perang, Patih Gajah Langu berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja batu, menunjukkan garis-garis perbatasan Galuh dan kerajaan timur Majapahit, musuh lama yang kini dicurigai sebagai dalang serangan di Mandalawangi.Raka berdiri di sisi ruangan, di antara para prajurit senior yang jauh lebih berpengalaman. Jubah sederhananya kontras dengan zirah mengkilap yang dikenakan yang lain, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tak kalah kuat. Ia mendengarkan dengan saksama saat Patih Gajah Langu menjelaskan temuan terbaru: sebuah laporan dari mata-mata yang menyebutkan adanya pergerakan pasukan kecil di perbatasan timur, dekat hutan Sindangkasih.“Ini bukan serangan terbuka,” kata Patih Gajah Langu, suaranya berat. “Mereka ber

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Istana

    Langit Galuh mulai memerah saat matahari terbenam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di taman rahasia, Dyah Pitaloka dan Raka masih duduk di tepi kolam, tenggelam dalam keheningan yang nyaris suci. Angin malam membelai lembut, membawa aroma melati dan kenanga, seolah alam sendiri ingin memperlambat waktu untuk mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getar ketegangan yang tak terucapkan seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.Dyah memandang bayangan wajahnya di permukaan kolam, lalu menoleh ke arah Raka. “Kau tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tersapu angin, “di seluruh istana ini, hanya di sini aku merasa… bebas. Hanya bersamamu.”Raka tersentak. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti pukulan lembut yang mengguncang dadanya. Ia menunduk, tak yakin bagaimana menjawab. “Gusti, aku hanyalah seorang prajurit. Kebebasan yang kau rasakan… mungkin hanya ilusi sementara.”Dyah menggeleng, matanya menyala dengan tekad yang jarang ia tunj

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Kemenangan

    Langit Galuh pagi itu terasa lebih terang, seolah alam turut merayakan kembalinya Tim Elit Khusus dari misi berbahaya mereka. Burung-burung kecil berkicau riang di dahan-dahan pohon kelapa, dan embun pagi berkilau seperti permata di ujung daun. Namun, di balik kemegahan Istana Kawali, suasana tak sepenuhnya damai. Kemenangan atas perampok di hutan Mandalawangi membawa kelegaan, tetapi juga meninggalkan pertanyaan yang menggantung: siapa dalang di balik serangan itu? Dan apakah ancaman benar-benar telah berakhir?ruang takhta utama, Prabu Linggabuana duduk dengan wajah tegang. Jubah kebesarannya yang hijau tua tampak lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban kekhawatiran yang tak terucap. Di hadapannya, Patih Gajah Langu berdiri tegak, melaporkan hasil misi dengan suara yang tegas namun hati-hati.“Paduka, kami berhasil menghancurkan sarang perampok di lereng Mandalawangi. Pemimpin mereka telah tewas, dan sebagian besaranak buahnya telah ditangkap atau melarikan diri.Namun…”

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan deras, tapi terasa cepat. Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu. "Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat. Raka ragu. "Ke mana, Gusti?" Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu." Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga. Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil. Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah. Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri. "Tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status