Langit malam Galuh dipenuhi bintang yang berkelip-kelip seperti lentera para leluhur yang mengawasi dari kahyangan. Udara terasa sejuk, menyelinap lembut lewat celah-celah jendela balairung dalam istana utama. Di ruang dalam, yang dihiasi pahatan kayu cendana dan dinding dari batu andesit halus, tampak sang Prabu duduk bersila di atas tikar pandan.
Prabu Linggabuana Wijaya, raja yang dikenal bijak dan tegas, menatap putrinya dengan mata yang teduh namun penuh wibawa. Usianya yang matang dan garis halus di wajahnya mencerminkan banyaknya peperangan dan keputusan besar yang telah ia lalui sebagai raja Galuh. “Putriku, Dyah Pitaloka,” ucapnya perlahan, suaranya dalam, bergetar pelan seperti gamelan yang dipukul pelan. “Besok kau akan melakukan perjalanan ke Mandalawangi.” Dyah Pitaloka yang sejak tadi duduk bersimpuh, menundukkan kepala hormat. “Apakah ada tugas kerajaan yang perlu hamba laksanakan di sana, Ayahanda?” Sang Prabu mengangguk pelan. “Kita akan mengirimkan sesaji dan doa ke Mandalawangi. Bukan sekadar ziarah, tapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada roh para leluhur Sunda dan Galuh yang pernah menyatukan tanah ini. Kau, sebagai penerus darah ibunda dan bagian dari garis utama kerajaan, harus hadir di sana.” Dyah Pitaloka tidak menjawab langsung, tapi matanya menatap jauh, memahami makna besar di balik perjalanan ini. Ia tahu bahwa setiap langkah dalam hidupnya tak pernah hanya miliknya sendiri—selalu membawa nama dan kehormatan kerajaan. Sang Prabu melanjutkan, “Kepala pengawal istana, Ki Tumenggung Jayasena, sudah kuperintahkan sejak sore tadi untuk mempersiapkan pasukan pengawal. Mereka akan berangkat bersamamu esok pagi. Kau akan dijaga, baik oleh prajurit terbaik kita maupun para pengawal perempuan pilihan ibunda.” “Ananda akan bersiap, Ayahanda,” jawab Dyah Pitaloka dengan suara lembut, tapi penuh keteguhan. Sang Prabu tersenyum tipis, lalu berdiri, menghampiri putrinya, dan menyentuh pucuk kepalanya. “Kau sudah tumbuh menjadi wanita yang kuat. Aku tahu, perjalanan ini akan jadi awal dari banyak hal yang tak bisa kita duga.” Fajar sudah memancarkan sinarnya, menembus celah-celah pepohonan di luar barak. Suasana pagi itu terasa tenang, namun Raka tahu bahwa ketenangan ini hanya sementara. Perintah-perintah mulai berdatangan, dan kesibukan di barak pun mulai meningkat. Raka berdiri tegak di depan barak, mengamati prajurit lainnya yang sedang menyiapkan kuda, memeriksa senjata, dan memastikan semua perbekalan siap untuk perjalanan yang akan dimulai. Tugasnya kali ini berbeda—lebih penting dari yang biasa. Sebagai prajurit terpilih, ia diberikan tanggung jawab untuk mengawal perjalanan kerajaan menuju Mandalawangi, daerah suci yang dikenal dengan pemandian spiritual dan tempat pertapaan. Kuda hitam kesayangannya, Si Kuda Angin, berdiri tenang di sampingnya. Raka mengelus leher kuda itu sambil menatap senjata yang sudah siap diletakkan di tanah: pedang panjang, tombak, dan busur dengan anak panah yang dipasang rapi. "Sana, pastikan semua perbekalan lengkap," perintah Ki Wiraguna, salah satu pengawas pengawal yang dipercaya oleh Raja, kepada Raka. "Pilih pasukanmu dengan cermat. Perjalanan ini tidak bisa dianggap remeh." "Siap, Ki," jawab Raka dengan tegas. Meski ia merasa sedikit cemas, ia tak bisa mengelak. Tugas ini adalah kehormatan, meski ia belum tahu siapa yang akan ia kawal. Yang ia tahu, perjalanannya kali ini lebih penting dari yang pernah ia jalani sebelumnya. Sambil menyelesaikan persiapannya, Raka memeriksa daftar rombongan yang dibawa. Seperti biasa, pengawal dari berbagai kelompok dan klan kerajaan akan ikut, namun satu nama yang muncul menarik perhatiannya. Dyah Pitaloka. Nama itu membuat jantung Raka berdegup sedikit lebih cepat. Apa mungkin ini? batinnya. Tapi ia segera mengusir rasa penasaran itu. Siapa pun yang akan ia kawal, ia hanya akan melakukan tugasnya tanpa pertanyaan lebih jauh. Di luar, para pengawal mulai berbaris dengan rapi. Kereta kerajaan yang dihiasi dengan warna kebesaran keluarga istana mulai dipersiapkan untuk perjalanan panjang. Raka mengarahkan pasukannya untuk memastikan semua posisi aman. Di antara barisan pasukan, ia melihat beberapa wajah yang sudah dikenal, seperti Nyi Kirana dan Dayang Sari, pengawal perempuan yang sering turut dalam perjalanan kerajaan. Mereka sudah bersiap di pos mereka, meski Raka tetap merasa ada yang mengganjal. "Raka, pastikan barisan utara terjaga dengan baik," kata Ki Wiraguna, menambahkan sedikit peringatan. Raka mengangguk, memeriksa lagi senjatanya sebelum bergerak menuju barisan depan. Namun kali ini, sesuatu terasa berbeda. Ada perasaan aneh yang terus menggantung di benaknya, sebuah ketegangan yang tak bisa ia jelaskan. Di dalam kamar pribadinya, Dyah Pitaloka, sang putri kerajaan, duduk dengan anggun di depan cermin besar, disertai beberapa dayang yang sedang sibuk mempersiapkan penampilannya. Pakaian kebesaran kerajaan yang berwarna emas dan merah sudah disiapkan, dihiasi dengan permata yang berkilauan. Rambut panjangnya yang hitam terurai akan diikat dengan mahkota yang indah, mencerminkan statusnya sebagai putri yang sangat dihormati. “Putri, apakah Anda ingin mengenakan bunga melati di rambut, seperti biasa?” tanya Nyi Kirana, salah satu pengawal perempuan yang paling dipercaya oleh Dyah Pitaloka. Nyi Kirana, dengan wajah tenang dan bijaksana, selalu menemani sang putri di setiap kesempatan, seakan bisa membaca setiap keinginan dan kebutuhan sang putri tanpa banyak kata. “Boleh, Nyi. Tapi kali ini, hanya sedikit. Aku ingin terlihat lebih sederhana,” jawab Dyah Pitaloka, matanya berbinar saat memandang cermin. Sebuah keputusan yang sangat jarang diambilnya, karena putri biasanya selalu tampil sempurna dan anggun di hadapan kerabat dan pengawalnya. “Seperti yang Anda inginkan, Putri,” balas Nyi Kirana, sambil melanjutkan penataan rambut dengan penuh perhatian. Sementara itu, di sisi lain ruangan, beberapa dayang tengah mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan ke Mandalawangi—tempat yang jauh dan terkenal sebagai situs spiritual penting bagi kerajaan. Kegiatan ini jelas menunjukkan bahwa perjalanan kali ini bukan perjalanan biasa, melainkan sebuah perjalanan yang sangat penting bagi istana. Namun, Dyah Pitaloka tak bisa sepenuhnya merasa tenang. Di dalam hatinya, ia merasa cemas akan apa yang akan terjadi. Perjalanan ini akan membawanya jauh dari istana, jauh dari tempat yang sudah dikenal. Ia merasa ada yang aneh dalam suasana itu, tapi ia berusaha untuk tetap sabar dan menerima kenyataan. Ia tahu tugas kerajaan harus dijalankan dengan baik. “Semuanya sudah siap, Putri. Kami akan melindungi Anda sepanjang perjalanan,” kata Dayang Sari, pengawal perempuan lain yang tidak kalah tegas dan cekatan dalam segala urusan, sambil menatap Dyah Pitaloka dengan tatapan yang penuh kehormatan. Dayang Sari adalah sosok yang sangat mengerti bagaimana mengatur perjalanan kerajaan dan siap menghadap segala kemungkinan yang datang. “Terima kasih, Dayang Sari,” jawab Dyah Pitaloka, memberikan senyum tipis. Meskipun ia tahu bahwa mereka akan menghadapi perjalanan yang penuh tantangan, ia merasa lebih tenang dengan kehadiran para pengawal perempuan yang sudah terlatih. Ketika persiapan hampir selesai, Dyah Pitaloka berdiri dan melangkah menuju pintu. Ia menatap sekilas ke luar jendela, memandangi istana yang mulai tampak jauh di belakangnya, meski ia tahu perjalanan ini akan membawanya ke tempat yang lebih penting. “Apakah semuanya siap?” tanya sang putri dengan suara lembut, namun penuh kekuatan. “Ya, Putri. Semua sudah terorganisir dengan baik. Kami akan menemani Anda,” jawab Nyi Kirana, mengangguk dengan mantap. Dengan perlahan, Dyah Pitaloka meninggalkan kamar pribadinya, melangkah menuju ruang istana utama, di mana para pengawal pria sudah mulai berkumpul, siap memulai perjalanan. Di luar, kereta kerajaan yang dihias dengan megah sudah menunggu, dan suasana semakin terasa mencekam. Ini bukan perjalanan biasa, dan Dyah Pitaloka tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya akan membentuk takdirnya. Para pengawal perempuan mengiringi sang putri dengan hati-hati, sementara para prajurit dari pihak kerajaan bersiap di sekitar barisan depan. Semua siap untuk perjalanan yang penuh misteri, dan Dyah Pitaloka sudah tidak bisa menghindar dari takdir yang menunggunya. ---Langit Galuh pagi itu berpindah dari kelabu menjadi semburat keemasan. Matahari berjuang menembus kabut duka yang menyelimuti Istana Kawali.Di alun-alun dalam, bendera hijau tua berkibar pelan. Sulaman emas berbentuk matahari menghiasi kain, simbol kejayaan kerajaan. Namun, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti senar kecapi yang nyaris putus.Di ruang takhta, Prabu Linggabuana duduk di singgasana kayu jati. Ukiran rumit menghiasi kayu, dan mahkotanya berkilau di bawah sinar obor.Matanya, biasanya penuh wibawa, kini membawa bayang kelelahan. Beban kerajaan seolah menggerogoti semangatnya.Mahapatih Surawisesa berdiri di sisinya, memegang gulungan bambu. Laporan dari Sindangkasih tertera di dalamnya. Patih Gajah Langu menjaga posisi, tangan di gagang pedang. Wajahnya keras seperti karang.Dyah Pitaloka duduk di kursi kecil dekat ayahnya. Gaun biru lautnya disulam bunga kenanga. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh badai yang hanya Raka kenali.Raka berdiri di sudut ruangan, di a
Langit Galuh pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah alam merasakan ketegangan yang kian mencekik istana. Angin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang gugur, seakan berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kerajaan. Di dalam ruang perang, Patih Gajah Langu berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja batu, menunjukkan garis-garis perbatasan Galuh dan kerajaan timur Majapahit, musuh lama yang kini dicurigai sebagai dalang serangan di Mandalawangi.Raka berdiri di sisi ruangan, di antara para prajurit senior yang jauh lebih berpengalaman. Jubah sederhananya kontras dengan zirah mengkilap yang dikenakan yang lain, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tak kalah kuat. Ia mendengarkan dengan saksama saat Patih Gajah Langu menjelaskan temuan terbaru: sebuah laporan dari mata-mata yang menyebutkan adanya pergerakan pasukan kecil di perbatasan timur, dekat hutan Sindangkasih.“Ini bukan serangan terbuka,” kata Patih Gajah Langu, suaranya berat. “Mereka ber
Langit Galuh mulai memerah saat matahari terbenam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di taman rahasia, Dyah Pitaloka dan Raka masih duduk di tepi kolam, tenggelam dalam keheningan yang nyaris suci. Angin malam membelai lembut, membawa aroma melati dan kenanga, seolah alam sendiri ingin memperlambat waktu untuk mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getar ketegangan yang tak terucapkan seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.Dyah memandang bayangan wajahnya di permukaan kolam, lalu menoleh ke arah Raka. “Kau tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tersapu angin, “di seluruh istana ini, hanya di sini aku merasa… bebas. Hanya bersamamu.”Raka tersentak. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti pukulan lembut yang mengguncang dadanya. Ia menunduk, tak yakin bagaimana menjawab. “Gusti, aku hanyalah seorang prajurit. Kebebasan yang kau rasakan… mungkin hanya ilusi sementara.”Dyah menggeleng, matanya menyala dengan tekad yang jarang ia tunj
Langit Galuh pagi itu terasa lebih terang, seolah alam turut merayakan kembalinya Tim Elit Khusus dari misi berbahaya mereka. Burung-burung kecil berkicau riang di dahan-dahan pohon kelapa, dan embun pagi berkilau seperti permata di ujung daun. Namun, di balik kemegahan Istana Kawali, suasana tak sepenuhnya damai. Kemenangan atas perampok di hutan Mandalawangi membawa kelegaan, tetapi juga meninggalkan pertanyaan yang menggantung: siapa dalang di balik serangan itu? Dan apakah ancaman benar-benar telah berakhir?ruang takhta utama, Prabu Linggabuana duduk dengan wajah tegang. Jubah kebesarannya yang hijau tua tampak lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban kekhawatiran yang tak terucap. Di hadapannya, Patih Gajah Langu berdiri tegak, melaporkan hasil misi dengan suara yang tegas namun hati-hati.“Paduka, kami berhasil menghancurkan sarang perampok di lereng Mandalawangi. Pemimpin mereka telah tewas, dan sebagian besaranak buahnya telah ditangkap atau melarikan diri.Namun…”
Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su
Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan deras, tapi terasa cepat. Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu. "Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat. Raka ragu. "Ke mana, Gusti?" Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu." Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga. Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil. Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah. Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri. "Tak
Embun pagi turun pelan-pelan di halaman dalam istana. Di sudut sebuah ruangan kecil berbau akar-akaran, Raka Wijaya membuka matanya. Atap anyaman daun kelapa yang rapuh menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya. Udara di sekelilingnya dingin, lembab, dan setiap helaan napas terasa berat, seolah paru-parunya berkarat. Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya menolak. Hanya rasa sakit samar yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Suara langkah ringan mendekat. Lalu sebuah suara—pelan, namun jelas. "Dia sudah sadar." Raka melirik ke samping. Seorang tabib tua berjenggot putih duduk di bangku kecil, membalik halaman sebuah kitab daun lontar. Di sampingnya, berdiri seorang pemuda muda berbaju coklat kusam, mungkin pembantunya. Tabib mendekat, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Raka, lalu mengangguk puas. "Darahnya mengalir lagi dengan tenang. Nyawanya kembali berlabuh." Raka membuka mulutnya untuk berbicara, tapi hanya suara serak yang keluar. Tubuhnya seperti terkurung dalam be
Udara malam di Istana Kawali terasa menggantung berat, seperti sebelum badai.Bulan sabit menggantung rendah, memantulkan cahaya pucat ke halaman istana yang kosong.Angin membawa aroma getir dari bunga kamboja, menciptakan kesan suram di antara tembok batu.Di dalam sebuah ruangan remang-remang, di balik dinding-dinding batu kokoh, terbaringlah Raka.Tubuhnya tak ubahnya mayat hidup — pucat, kurus, dan penuh luka.Dada telanjangnya dibalut perban kasar, beberapa di antaranya sudah berubah warna, bernoda darah yang menghitam.Napasnya terdengar berat, bagai kuda yang kelelahan di medan perang.Tabib istana berkali-kali membersihkan lukanya dengan air rebusan daun sirih.Setiap sentuhan di kulitnya yang terbakar luka membuat Raka menggeliat lemah, kadang merintih tak terdengar.Satu luka besar membelah dari bahu kanan ke sisi rusuknya.Luka itu dijahit dengan benang kasar, tiap tusukan jarumnya meninggalkan bekas ngilu yang terasa hingga ke tulang.Pagi yang kelabu baru mulai merangkak
Ruang utama istana Galuh pagi itu dipenuhi aroma dupa dan wangi bunga kenanga yang dibakar dalam tungku-tungku perunggu. Tiang-tiang kayu jati besar berdiri kokoh, dibalut ukiran berlapis emas yang menggambarkan kisah leluhur dan kejayaan masa lampau. Cahaya matahari pagi menyusup dari sela-sela tirai sutra tipis berwarna kuning gading, membuat lantai batu andesit berkilau lembut seperti perak muda.Para pejabat tinggi sudah duduk berjajar rapi di kiri dan kanan, mengenakan pakaian resmi kebesaran dengan hiasan bulu merak dan batu permata di dada mereka. Para abdi istana berdiri menunduk di sisi ruangan, menjaga kesunyian yang sakral. Di ujung ruangan, singgasana Prabu Lingga Buana menjulang megah, dikelilingi tirai merah tua dan lambang kerajaan berlapis emas.Prabu Lingga Buana duduk dengan tenang, mengenakan jubah kebesaran berwarna hijau tua bertabur sulaman benang emas. Wajahnya serius namun berusaha menahan gejolak dalam dada—antara marah, bersalah, dan