"Hey, Detener!"
Teriak gerombolan pria berjaket kulit hitam dalam bahasa Spanyol sambil mengejar seorang gadis bermantel merah di depannya. Langkah kaki mereka serempak diayunkan, membuat langkah kaki gadis itu semakin kencang berlari.
Elisa Noura tak pernah menyangka dirinya akan terlibat dalam situasi ini, ia pun tak mengenal para pria yang mengejarnya di belakang.
"Ya Tuhan, kali ini apa salahku!" gumamnya sambil terus berlari.
Cordoba tengah memasuki puncak musim dingin, buntalan tipis seputih kapas itu turun dari langit, jatuh ke atap gedung, rumah, pepohonan hingga menyepuh Cordoba bagai berselimut putih nan menawan. Pohon maple di tepi jalan bergoyang saat harmoni dari musisi jalanan di sepanjang sungai Guadalquivir mengalun, membentuk simponi yang indah.
Elisa terus berlari,deru nafasnya terengah dan wajahnya memerah lantaran suhu udara mencapai minus lima belas derajat celcius, kepul asap putih keluar dari hidungnya seiring dengan semakin kencang ia berlari.
"Ayo cepat, sebelum dia semakin jauh!" ucap salah seorang pria yang berlari mendahului rakannya di belakang.
Dalam sekejap, jarak mereka semakin dekat, Elisa mulai panik, keringatnya bercucuran.
“Aish, kenapa mereka terus mengejarku!” gerutu gadis itu sambil mengusap peluh yang menetes di dahinya dan terus berlari.
"Detener! Detener!" teriak mereka semakin keras.
"Kejarlah aku kalo kalian bisa!" tantang nya dengan suara lantang membuat gerombolan pria di belakangnya menambah kecepatan seolah tak kenal lelah.
“Apapun yang terjadi aku tidak boleh tertangkap.” gumamnya lagi.
Begitu sampai di persimpangan jalan Av. Fray Albino ia berhenti, mengambil nafas sejenak lalu memilih berbelok ke kiri dan berlari kembali.
Ia tiba di depan gedung berlantai 20 di samping toko yang menjual pelbagai perlengkapan Video. Ia berlari menaiki lift, menekan angka 7, dan lift berhenti di lantai yang dituju, ia kembali berlari hingga tiba di depan Apartemen nomor 702, langsung ditekannya beberapa kode angka di depan pintu, begitu pintu terbuka, buru-buru ia masuk, menutup pintu kembali sebelum para pria yang mengejarnya datang.
Elisa tak menoleh sedikit pun dari intercom yang menyala, gerombolan pria itu tiba, berdiri di depan pintu lift, menengok ke kiri dan kekanan, mencarinya. Ia menarik nafas dalam-dalam.
"Siapa mereka sebenarnya?" tanya Elisa pelan pada dirinya sendiri.
Elisa bahkan belum sempat menoleh ke belakang dan mengamati keadaan di dalam Apartemen, ia terlalu fokus pada layar intercom.
“Setidaknya, aku aman disini.” gumam Elisa sambil menghela nafas.
Baru sejenak saat Elisa menarik nafas dan menenangkan jantungnya tiba-tiba saja dari arah belakang,
“Quién es usted?!” ucap seseorang dalam bahasa spanyol, membuat kedua mata Elisa membesar, segera ia berbalik dan melihat seorang pria berdiri di belakangnya hanya menggunakan handuk yang dililit di pinggang.
“Hwaaaaaa” teriak Elisa dengan keras.
“Si—Siapa kau?! Ap—Apa yang kau lakukan di Apartemenku!” teriak Elisa dengan terbata ketika melihat pria di depannya, kedua matanya tak sengaja melihat dada bidang pria itu, spontan ia langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Harusnya aku yang bertanya! Siapa kau dan sedang apa kau disini!” balas pria itu.
Mustafa Afsheen sedang mandi air hangat 15 menit lalu sebelum ia mendengar suara sepatu seseorang di dalam apartemennya. Sebab itulah ia bergegas keluar dari kamar mandi memastikan siapa yang diam-diam masuk ke apartemennya, meski ia hanya sempat melilitkan handuk di pinggang.
“Kau pasti ingin berbuat macam-macam padaku, kan, kau tidak pakai baju!” seru Elisa semakin panik. Kedua tangannya masih menutup wajahnya.
Afsheen yang berdiri depannya menghela nafas kesal.
"Kau sendiri yang masuk ke apartemen ku tanpa izin dan kau sendiri yang berteriak?! Oh Astaga! Bukalah matamu! Aku masih pakai handuk, lagi pula apa untungnya aku berbuat macam-macam denganmu!" balas Afsheen dengan kesal.
Elisa membuka sedikit telapak tangannya dan mengintip, kedua sorot matanya menangkap bola mata pria itu yang berwarna biru, indah sekali.
"Lepaskan tangan itu dari wajahmu dan lihat sendiri apartemen siapa yang kau masuki!" lanjut pria itu lagi.
Elisa menurut, dibukanya telapak tangan dari wajahnya, seketika kedua matanya membesar melihat betapa indah pemandangan di Apartemen yang ia masuki saat ini.
"Whoa… Esta extraordinaria.” gumamnya takjub.
Tanpa menghiraukan Afsheen, Elisa langsung melihat sekeliling apartemen, ia tak berhenti kagum sebab seluruh ornamen di apartemen ini sangat indah.
"Aku sungguh tak menyangka, sejak kapan apartemen ku berubah seindah ini." tuturnya pelan namun Afsheen mampu mendengarnya. Sambil melipat tangan ke depan dada, ia mendekati Elisa dan berkata,
"INI APARTEMEN KU! DAN KU MINTA KAU KELUAR SEKARANG!" bentaknya dengan kesal.
Seketika Elisa tersentak.
Semua diam. Tidak ada satu orang pun di antara begitu banyak penonton membuka suara, mata mereka tidak kunjung lepas dari seorang gadis di atas panggung. Gadis itu pun sama, menunjukkan Ekspresi tegang luar biasa, jantungnya berdegup amat kencang, dalam hati ia terus tak tenang. Benarkah ia sudah gagal? Benarkah penampilannya kali ini mengecewakan? Namun, belum sempat Argumen – Argumen itu terjawab, seluruh penonton yang duduk di kursi seketika berdiri, kompak, seperti sudah terencana, mereka bertepuk tangan amat keras, menggema seantero gedung pementasan, suasana yang hening beberapa saat lalu menjadi riuh, gadis itu tersenyum lebar, berbeda sekali dengan ekspresi pertama, tangannya gemetar hebat sambil memegang bow. Ia langsung membungkuk memberikan tanda hormat pada semua penonton dan mengucapkan terima kasih. “Elisa ... Elisaaa ....” teriak salah seorang penonton di antara riuh tepuk tangan. Elisa mendengar namun hanya menjawab dengan senyuman, ia beruntung, sangat Beruntung kar
Sudah seharian Andrian tidak pulang , Elisapun sudah berangkat sejak jam 7 pagi tadi, Rheina semakin gelisah, sudah setengah jam ia mondar mandir di ruang tengah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore, ia harus secepatnya bilang pada Andrian agar mengembalikan uang milik Elisa, atau rasa bersalah di hatinya akan terus menghantui.Tiba-tiba Engsel pintu apartemennya bergerak, Rheina terdiam beberapa saat sampai seseorang muncul dari balik pintu yang terbuka. Andrian pulang dengan mata sayu dan tubuhnya yang tinggi besar lunglai hampir terjerembab jatuh ke lantai, jelas sekali dia terpengaruh minuman keras. Rheina buru-buru mendekat, namun tangan Andrian mendorongnya.Sempoyongan Andrian menuju sofa, dan membanting tubuhnya disana.“Mana uang Elisa yang kau pakai!” geram Rheina.Andrian masih diam, namun matanya tajam menyorot Rheina.“Uang itu sangat penting untuk Elisa, mengapa kau gunakan untuk mabuk-mabukan begini!” lanjut Rheina makin kesal.“Diamlah aku lelah!” jawab
“Buenas tardes Mustafa Afsheen.” Seseorang tiba-tiba menepuk bahu Afsheen membuatnya menoleh, Eric dan seorang wanita yang tidak asing berdiri di depannya.“Aku mencarimu di halaman tapi tidak ada, ternyata dugaan ku benar, kau memang masuk disini.” Ucap Eric lagi. Afsheen masih berdiri di bawah mihrab masjid yang melengkung bak tapal kaki kuda, “Matamu merah, kau baik baik saja?” Eric bertanya dengan heran.Afsheen langsung tersenyum. “Ah tidak apa-apa, ayo kita ke halaman saja Eric, udaranya lebih segar disana,” “Baiklah.”Wanita yang tadi bersama Eric masih terus mengikuti mereka sampai ke halaman Katedral Mezquita, Afsheen diam sambil terus mengingat-ingat, di mana ia pernah bertemu wanita itu, sampai ketika mereka tiba dan duduk dibawah pohon jeruk. “Aku sudah baca naskah yang kau kirim pagi ini, dan aku benar-benar terpesona Afsheen... setiap kata yang kau untaikan, melukiskan betapa indahnya tulisanmu,” puji Eric. “Ah bisa saja, aku juga tidak tahu, tiba-tiba saja kata-kat
Elisa sudah tak bisa berpikir lagi, ia serasa buntu. Sudah dua hari sejak orang tuanya mengatakan kalau uang pementasan sudah di transfer dan diambil paksa oleh Andrian, sampai detik ini Elisa tidak bisa mendapatkan uang sebanyak 200 Euro sebagai pengganti. Setelah dihitung-hitung, uang didalam tabungan dari jerih payah mengamen hanya mencapai 86 euro. Ia menghela nafas dengan berat, "Apakah ini saatnya bagiku untuk menyerah?" gumamnya dengan murung. Elisa membuka pintu kamar, ia keluar lalu berdiri di Balkon, di tatapnya langit yang sudah berganti gelap, Aangin membabi buta bertiup, Ia menguap, matanya mengantuk namun tidak bisa tidur, hingga percakapannya dengan Afsheen siang itu tiba-tiba terngiang kembali di kepalanya.‘Seorang musisi tidak akan pernah meninggalkan panggung dan penontonnya begitu saja.'Tanpa berfikir panjang, Elisa bergegas, ia beranjak mengambil biola di atas meja dan beralih ke depan jendela. Semangat Elisa tiba-tiba membuncah setelah mengingat ucapan Afshe
Begitu melintas di Gang kecil itu, Afsheen terkesima, ternyata gang kecil itu adalah penghubung antara jalan dengan pemukiman, ia mematung di ujung gang, melihat barisan rumah-rumah, tiang-tiang lampu jalan, pohon-pohon besar menjulang dan tentunya air mancur di pertengahan jalan, airnya membeku membentuk tetesan-tetesan indah ibarat kristal bening berkilauan, tanah berlapis salju seperti sengaja dihamparkan tanpa satu sudut pun terlupa.Ia melangkah pelan-pelan, mengamati dengan seksama, hatinya takjub luar biasa, keindahan yang tidak pernah ia lihat di semenanjung kota Cordoba, sejenak ia merasa seperti berada di negeri dongeng, tempat itu sederhana, tidak ada apartemen, gedung bertingkat, ruko-ruko tapi sangat indah dan rapi, ditambah lagi tetesan salju yang turun membuat suasana menjadi lebih dingin dan lebih menakjubkan, tiba-tiba Afsheen berhenti melangkah ketika melihat masjid di tengah tengah rumah warga, pemisahnya hanya jalan kecil untuk masuk ke bagian belakang pemukiman,
Sejak runtuhnya masa kekhalifahan Umayyah di Cordoba pada 1031, Andalusia terpecah menjadi taifah-taifah yang setengah merdeka maupun merdeka penuh dengan dibawah pimpinan raja-raja golongan, Cordoba, Granada, Sevilla, Toledo dan berbagai kota lainnya. Puncaknya dibawah kepemimpinan Al-Ma’mun, Toledo berhasil menjadi kota yang berkilau dan cemerlang, Al-Ma’mun selalu berusaha mengarahkan Toledo menjadi pengganti pusat kepemimpinan islam diwilayah semenanjung Andalusia setelah runtuhnya Pemerintahan di Cordoba. Dan Sevilla muncul sebagai saingan utama Toledo dibawah kepemimpinan orang-orang kuat dari Disanti Abaddiyah, Sevilla menjadi surga baru bagi perkembangan Syair dan Puisi di Andalusia. Dalam beberapa tahun berikutnya, Al-Ma’mun berhasil mendapatkan Cordoba meski pada akhirnya kembali jatuh ketangan pesaingnya di Sevilla yakni Dinasti Abaddiyah. Memasuki pertengahan abad ke – 11, konflik saudara di antara kaum muslim semakin parah. Ditahun 1065, Kota Barbastro berhasil di rebut