Share

Cinta di Bawah Langit Cordoba
Cinta di Bawah Langit Cordoba
Penulis: Syiffanis Amaar

Prolog

Musim Panas, Cordoba 1009 Masehi.

"Ayo kita pergi dari tempat ini nak, keadaan sangat buruk!" cetus seorang ayah kepada anak laki-laki disebelahnya.

Anak laki-laki itu hanya mematung, kedua sorot matanya menatap pada segerombolan pasukan militer yang menghancurkan tiang-tiang kokoh bangunan Istana Madinah Al Zahra.

Keringat dingin bercucuran, jantungnya terus berdegup dengan keras, usianya tujuh tahun, ia tak mengerti mengapa para pasukan militer itu begitu beringas menghancurkan istana yang sudah susah payang dibangun sang khalifah.

Angin bertalu, menghembuskan hawa panas ke permukaan bumi, menyapu debu, meniup pohon – pohon palem, lalu pergi ke utara, menghilang tanpa jejak.

Matahari menyala diatas petala langit, menyambarkan sinarnya bak lidah api berkilat-kilat membuat gedung di sepanjang jalan itu seolah meleleh,

Segerombolan pasukan militer berpakaian tempur membawa senjata, menaiki kuda-kuda bertubuh gagah, lewat di hadapannya. Tujuan mereka satu, menangkap sang Khalifah boneka yang tidak dapat bertanggung jawab atas tanah kekuasaanya, keadaan kacau balau, kerumunan orang yang penuh dengan kekecewaan, amarah, dan ambisi kuat berpencar membentuk dua kelompok besar.

Kelompok pertama pergi menuju tempat pemerintahan untuk menangkap sang khalifah yang menjadi penyebab utama hancurnya kota ini, sementara kelompok lain pergi ke arah istana madinah Al Zahra. Langkah kaki kuda terdengar kompak, bukan kekaguman yang tersirat pada benak warga yang melihat, melainkan kengerian yang mereka takuti.

Anak kecil itu berdiri mematung di depan rumah, menyaksikan para pasukan militer melintas di depannya, tangannya mengepal kuat-kuat, hatinya berdesir, sang ayah di sebelahnya menggenggam kuat jemarinya, dan tak lama kemudian, suara keras terdengar.

BRUK

PRANG

BRAK

Tombak-tombak pasukan militer menghantam dinding bangunan istana Al Zahra, anak kecil itu semakin ketakutan, ia mengumpat di belakang tubuh sang ayah.

"Ayah, kenapa mereka menghancurkan istana yang sudah susah payah di bangun khalifah? bukankah tempat itu menjadi saksi bisu betapa hebatnya pemimpin di masa ini?" tanya anak laki-laki itu dengan getir.

Sang ayah tak bisa menjawab apapun. Sesungguhnya, hatinya pun pilu, namun apa yang terjadi di depan matanya adalah sebuah suratan takdir, hukuman akan keserakahan para pemimpin yang berebut kekuasaan.

"Kita tak punya waktu nak! Sebelum pasukan militer bertambah banyak, dan keadaan semakin parah, kita harus pergi, kemasi barang-barangmu!" pintanya lagi.

GLEK

Anak laki-laki itu menelan liurnya, ia tak ingin pergi namun keadaan memaksanya untuk menurut. Segera ia berpaling dari hadapan sang ayah, berlari masuk ke rumah, berkemas. Sementara di luar sana.

Para warga yang berada diluar rumah menyaksikan sendiri pasukan militer menyerang membabi buta bangunan istana Madinah Al-zahra, membenturkan tombak ke dinding-dinding menara, menghancurkan taman-taman bunga yang tengah mekar sempurna. Anak kecil itu kembali menghampiri sang ayah di depan rumah, kedua matanya melihat kembali betapa dahsyatnya tombak - tombak pasukan militer menghancurkan istana yang begitu megah, ia menangis, di peluknya sang ayah. Betapa sedih hatinya melihat penghancur leburan kota super megah yang sering orang-orang ceritakan.

Kini semua yang pernah didengar dari cerita sang ayah, dari buku-buku yang pernah dibacanya hanyalah tertinggal kenangan. Anak kecil itu semakin menangis tersedu-sedu, usianya bahkan masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang tengah terjadi di depannya. Dibenamkan wajahnya pada sang ayah dengan begitu erat, ia tak ingin melihat lagi betapa bengis mereka menghancurkan tempat yang menjadi dongeng indah pengantar tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status