Beranda / Romansa / Cinta di Ujung Perpisahan / Bab 2 : Terpaksa Menikah

Share

Bab 2 : Terpaksa Menikah

Penulis: Dinis Selmara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-11 12:40:40

Kinara menatap gelang dengan hiasan gembok yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Senyum malu-malu terukir di wajahnya saat ingatannya melayang pada seorang lelaki dari tiga tahun lalu yang menemaninya malam itu di Gardens by the Bay.

Hari itu, seperti biasa, Kinara dirundung kesedihan akibat perlakuan ibu tirinya yang terus menghardiknya. Jauh dari rumah pun, ia tetap menjadi sasaran kemarahan.

Rasa rindu pada ibu kandungnya semakin kuat, tapi tidak banyak ingatan yang bisa ia kenang untuk sekedar melepas rindu. Karena saat itu, Kinara masih terlalu kecil untuk menyimpan banyak ingatan, juga memahami situasi yang sedang terjadi.

'Dasar anak tidak tahu diuntung!'

Kalimat itu yang selalu sukses membuat hati Kinara hancur.

'Mbak, saya lagi patah hati loh ini. Kok, kencangan tangisan Mbak-nya, ya?' ketus lelaki yang Kinara ketahui namanya Adit, karena setelah percakapan itu mereka menjadi akrab dalam satu malam. Benar-benar hanya semalam karena besok dan setelahnya mereka tidak lagi bertemu.

'Sanalah, Mas. Geseran! Saya sudah lebih dulu di sini,' rajuk Kinara dalam termaram lampu atraksi di Gardens by the Bay.

Melihat bibir manyun Kinara, Adit tertawa kecil. Respon Adit saat itu membuat Kinara murka. Ia tidak berhenti berceloteh. Perseteruan mereka malam itu tiba-tiba saja melenyapkan sakit hati yang Adit rasakan.

'Temani saya makan mau?' tawar Adit malam itu.

Kinara tersenyum mengingat kebersamaan malam itu. Sayang sekali mereka tidak pernah bertemu kembali. Tidak akan pernah, lagi pula sebentar lagi Kinara akan menjadi istri Aditama.

Namun, jika boleh berharap, Kinara mungkin akan lebih memilih menikah dengan Adit ketimbang anak sahabat sang ayah yang tidak Kinara kenal.

***

Hati Kinara tak karuan sejak menerima kabar bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit dini hari tadi. Meskipun asisten Om Tama meyakinkannya bahwa kondisi Ayah telah stabil, perasaan itu tetap menyesakkan. Ia merasa seperti duduk di atas bara, sama sekali tidak tenang, gelisah, dan dihantui kekhawatiran yang sulit dijelaskan.

Dan sekarang, pesawatnya malah tertunda.

Kinara berjalan mondar-mandir di ruang tunggu bandara, matanya sesekali melirik layar informasi keberangkatan yang tak kunjung berubah. Delay selama satu jam terasa seperti selamanya.

Beberapa pesan masuk ke ponselnya, kebanyakan dari nomor yang tak dikenalnya. Namun, beberapa dari Om Tama dan asistennya, menanyakan posisinya, memintanya cepat. 

Saat ini, Kinara kembali menelpon Om Tama untuk mengetahui kondisi ayahnya. Namun, suara di seberang sana terdengar tergesa dan canggung.

“Om... Ayah bagaimana?” tanya Kinara dengan penuh kekhawatiran.

“Stabil... sudah ditangani dokter. Kamu jangan panik dulu. Yang penting cepat sampai,” jawab Om Tama dengan suara senormal mungkin.

Namun sebelum Kinara sempat bertanya lebih jauh, suara gaduh terdengar samar dari belakang telepon. Kinara mendengar potongan percakapan yang membuat tubuhnya menegang.

"Penghulu sudah dihubungi, semua siap."

Penghulu?

Apa maksudnya?

“Om Tama,” panggil Kinara, ingin memastikan apa yang ia dengar.

Namun, panggilan itu tiba-tiba terputus, membuat Kinara semakin panik.

Perasaan Kinara makin tak enak. Ia menatap tiket di tangannya. Waktu boarding belum juga tiba. Tangannya berkeringat. Rasanya ingin terbang sendiri tanpa pesawat.

Setelah menunggu dalam diam yang menyiksa, akhirnya ia naik ke pesawat dan berangkat. Sepanjang perjalanan, matanya tak bisa terpejam. Pikirannya penuh dengan kemungkinan terburuk tentang Ayah, tentang pengakuan yang belum sempat ia sampaikan, tentang firasat yang menjerat sejak malam sebelumnya.

Sesampainya di rumah sakit, ia nyaris terjatuh karena berlari terburu-buru.

Di lobi, seorang pria menabraknya. Namun, Kinara hanya menatapnya sekilas untuk meminta maaf dan berlalu. Tidak ada waktu untuk basa-basi. Tidak saat Ayahnya terbaring antara hidup dan mati.

“Kinara!” suara seseorang memanggil, Om Tama.

Namun, Kinara tak mengindahkannya. Langkahnya tak terhentikan saat matanya menangkap ruang perawatan di ujung lorong.

Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tertumbuk pada tubuh Ayahnya yang terbaring di ranjang, dikelilingi dokter dan alat medis. Di sisi lain ruangan, ia melihat ibu dan kakaknya menangis sambil berpelukan.

Kinara membeku.

Tubuhnya tak sanggup bergerak lebih jauh. Ia hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan detik-detik yang akan menghancurkan hidupnya.

Dokter menghentikan usahanya. “Maaf... kami sudah melakukan segalanya.”

Suaranya berat, datar, namun terasa seperti palu godam di kepala Kinara.

“Ayah...!” jerit Kinara patah. “Ayah, Kinara sudah datang, Yah! Bangun, Yah... tolong!”

Kinara menggigil. Langkahnya berat ketika ia mendekat. Tangannya terulur, menyentuh lengan ayahnya yang dingin.

“Om... tolong Ayah...” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar karena sesaknya tangis yang tertahan.

Om Tama menunduk, memeluknya dari samping. “Ayahmu sudah pergi, Nak. Ikhlaskan, ya...”

Tangis itu akhirnya pecah. Kinara ambruk memeluk tubuh ayahnya yang tak lagi bernyawa. Dunia seolah runtuh bersamanya.

Semuanya terasa kabur. Namun dalam benaknya, satu hal akhirnya menjadi jelas.

Pernikahan yang tiba-tiba didesak... penghulu... suara-suara samar di telepon... semuanya masuk akal sekarang. Ayah ingin memastikan dia menikah sebelum segalanya terlambat.

Tadi, sebelum boarding, ia sempat melakukan video call dengan Ayah. Mereka sempat berbicara sebentar. Namun, saat pengumuman boarding terdengar, sinyal terputus. Ia bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal... belum sempat menanyakan yang mana calon suaminya.

Kini semuanya sudah terjadi.

Tanpa kehadirannya.

Tanpa persetujuannya.

“Dengan siapa Kinara harus menjalani semua ini, Yah?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Namun, Om Tama mendengarnya.  “Kinara akan dijaga oleh Aditama dan Papa. Kinara sudah menjadi anak Papa sekarang.”

Aditama?

Nama itu terasa asing, tapi mendadak nyata.

Tangan Om Tama merengkuhnya, mencoba membantunya berdiri, menjauh dari tubuh sang Ayah. Namun, saat tubuhnya mulai terpisah dari pelukan terakhir itu, dunia Kinara benar-benar runtuh.

Seketika semuanya gelap.

Tubuhnya ambruk.

Kesadarannya lenyap bersama nyawa Ayahnya yang tak sempat ia genggam lebih lama.

***

Pemakaman sang ayah berakhir tanpa pelukan, tanpa kata penghiburan.

Kinara menangis sendirian di sisi pusara, tak peduli pada sekelilingnya. Ia terlalu larut dalam kehilangan. Tak menyadari ada seseorang yang sempat berdiri jauh di belakang, memperhatikannya dalam diam sebelum pergi.

Malam itu, di kamar Ayahnya, Kinara mendapati sebuah pesan di ponselnya.

Pesan dingin dari Aditama, suaminya,yang memintanya untuk tidak mengganggu jalan hidupnya, menyarankan agar mereka jalani hidup masing-masing. Bahkan, Aditama juga tidak ragu mengatakan ingin fokus pada S2-nya.

Tanpa salam, tanpa empati.

Kinara hanya terdiam. Tidak menangis. Tidak marah. Ia sudah terlalu lelah untuk merasa apa-apa. Ia meletakkan ponsel begitu saja, tak berniat membalas.

Dinis Selmara

Aditama yang kamu lakukan itu jahara ;( Peluk Kinara

| 93
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (45)
goodnovel comment avatar
Neng Saroh
aku sumpahin ya kamu bucin akut nantinya sama Kinara
goodnovel comment avatar
Lusi Rahawarin
akibat perjodohan ya seperti yang di alami Kinara dan aditama
goodnovel comment avatar
Muktie Prilly
jahat bgt sie dit pdhl Kinara lg butuh suport dr orng dekat ya walau kalian belum dekat tp kan dia istrimu dit pnya rasa iba dikit kek Jan kaku bgt bgtu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Extra Part #6

    “Kamu masih di rumah Abi, Sayang?” tanya Aditama lewat sambungan telepon.Beberapa hari terakhir ia berada di Singapura untuk menghadiri rapat umum pemegang saham. Meski sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan pada ketiga putranya, Aditama tetap setia menemani urusan besar yang membutuhkan kehadirannya. Namun, di balik semua itu, ia lebih menikmati masa tuanya berdua bersama sang istri.“Masih, aku mau extend, deh. Dua hari lagi,” jawab Kinara santai.“Mas pulang besok, lho. Kamu malah nambah hari nginap di sana? Mas sendirian dong di rumah?” nada suaranya terdengar seperti rajuk manja.Kinara tersenyum mendengar itu. “Tapi kan aku tetap pulang, Mas. Aku masih kangen sama cucuku.”“Suamimu ini lho juga kangen banget sama kamu.” Kinara terkekeh geli mendengar pengakuan jujur itu.“Boleh ya, Mas? Dua hari aja…,” pintanya lembut. Mana mungkin Aditama bisa menolak. Apa yang tidak bisa ia usahakan untuk istrinya? Mau tidak mau, ia hanya bisa mengalah, meski dalam hati sebenarnya tak rela.

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Extra Part #5

    “Kamu itu anak yang paling susah keluarnya. Selama hamil kamu, Mama sampai harus bed rest,” keluh Kinara saat menelepon si bungsu yang kini sibuk berkelana di negeri orang.“Bed rest di Bintan, maksud Mama?” sahut Dion santai dari seberang.Kinara melirik sekilas ke arah Aditama yang duduk santai membaca koran. Sang suami hanya tersenyum tipis, ikut mendengarkan percakapan itu.“Pokoknya kamu itu anak yang paling bikin Mama susah,” lanjut Kinara, meski kenyataannya justru berbanding terbalik. Kehamilan Dion adalah yang paling ringan, ia bisa bepergian lintas udara hingga menyeberang lautan tanpa keluhan berarti.“Tapi paling disayang ‘kan?” goda Dion.“Pulanglah, Nak,” lanjut Kinara akhirnya melemah. “Mama kangen banget sama Dion. Tolonglah bantu Mas Nadeo sama Mas Abi. Papa kamu sudah tidak sanggup lagi menanggung semuanya di perusahaan,” ujarnya dengan nada manja sekaligus serius.“Ujung-ujungnya disuruh kerja rodi. Jadi sebenarnya Mama kangen anaknya atau butuh tenaga kerja?” balas

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Extra Part #4

    Pagi pertama di villa terdengar suara burung laut dan sinar matahari menembus tirai besar membangunkan Kinara lebih dulu. Ia duduk di teras sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. Sesekali menoleh melihat suami dan anaknya masih terlelap. Di hadapannya, laut biru membentang luas, ombak kecil berkejaran pelan membuatnya bersemangat hingga beranjak berdiri di sisi pagar balkon. Tak lama kemudian, Nadeo berlari keluar dengan piyamanya, langsung menghambur ke pelukan ibunya.“Bunda, sudah bangun? Lagi lihat laut ya? Mas senang sekali di sini,” gumamnya. “Tidurnya nyenyak.”“Oh, ya? Enak tidurnya?” Nadeo mengangguk setuju. Ia mendekat ke arah perut Kinara berbisik, “Adik suka juga nggak di sini? Sayang sekali tidak bisa main air dan pasir. Mas semalam main pasir pantai dengan Abi,” katanya menceritakan keseruan versinya. Kinara terkekeh, mencium rambut putranya.Ia tersentak saat merasakan pelukan dari belakang. Aditama muncul membenamkan wajahnya di ceruk leher sang istri. “Selama

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Extra Part #3

    Kehamilan kali ini benar-benar terasa berbeda bagi Kinara. Tidak ada drama seperti dua kehamilan sebelumnya. Justru ia merasa jauh lebih rileks, tenang, dan dimanja oleh Aditama. Setiap hari berjalan dengan penuh cinta, seakan waktu tak ingin berlari terlalu cepat. Karena itulah, sore itu saat mereka duduk di ruang tengah, Kinara tiba-tiba mengutarakan keinginannya. “Mas, aku ingin babymoon,” ujarnya sembari mengusap lembut perutnya yang mulai membuncit. Aditama menoleh dengan senyum geli. “Babymoon atau honeymoon?” tanyanya menggoda. “Mas …,” rajuknya manja. “Mau ke mana, Sayang?” Kinara tersenyum penuh arti. “Ke Bintan, yuk!” Sejenak Aditama terdiam, menatap istrinya yang tampak begitu serius. “Berdua saja?” tanya Aditama menggoda. Kinara langsung menggeleng tegas. “Nggak, dong. Aku nggak tega meninggalkan Nadeo dan Abi. Mereka bagian dari kita, masa ditinggal. Babymoon hanya istilah, aslinya pengen liburan di pantai.” Aditama menghela napas, tidak bisa menolak.

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Extra Part #2

    “Kamu menerima kehamilan ini, Mas?” tanya Kinara pelan, sorot matanya ragu.“Kenapa nanya begitu?” Aditama mengernyit. “Jelas Mas terima, itu anak Mas.”“Tapi… Abi masih kecil banget, baru satu tahun lebih. Kayak… kebobolan gitu.”Aditama terkekeh kecil, menggeleng. “Nggak ada istilah kebobolan, Ra. Kita melakukannya dengan sadar dan sama-sama mau. Kamu ini lucu, punya suami malah takut hamil.”Kinara menunduk, pipinya bersemu. Namun Aditama segera meraih jemarinya, menggenggam hangat.“Mas tahu, mengandung, melahirkan, sampai menyusui itu bukan hal mudah. Karena itu, Mas janji bakal bikin kamu senyaman mungkin. Kamu nggak sendirian, Sayang. Suruh saja Nadeo kalau kamu butuh apa-apa,” kekehnya saat melihat mata sang istri membulat dan mulutnya sedikit terbuka ingin melayangkan protes. “Atau Abi,” lanjutnya sedikit memutar tubuh mungil di pangkuannya. “Jagain Mama, ya! Jangan maunya nyusu aja kerjanya. Papa udah banyak ngalah sama Abi—”“Heh … heh …! Ngomong apa sih,” protes Kinara menu

  • Cinta di Ujung Perpisahan   Extra Part #1

    Empat tahun berlalu sejak perjalanan panjang Kinara dan Aditama sebagai orang tua. Waktu telah menjadikan mereka lebih dewasa, lebih utuh, dan semakin menyadari betapa berharga kebersamaan yang kini mereka miliki.Kinara memutuskan untuk tidak lagi fokus mendesain. Waktunya kini telah sepenuhnya ia abdikan untuk kedua putranya—Nadeo, si sulung yang beranjak semakin pintar dan penuh rasa ingin tahu, serta si kecil Abinza Deo Aditama yang hari ini genap berusia satu tahun. Baginya, menjadi seorang ibu sepenuhnya bukan berarti meninggalkan impian, melainkan menggantinya dengan kebahagiaan yang lebih nyata.Pokoknya Kinara adalah wanita paling cantik seisi rumah, memiliki tiga bodyguard—suami tampan dan dua anak lelakinya yang tak kalah tampan. Pesona alaminya tak pernah luntur meski sudah menjadi ibu dua anak.Fany, sang adik, kini telah menempuh sekolah khusus desain di luar negeri dan tinggal di asrama atas permintaannya sendiri. Meski begitu, rumah mereka tak pernah terasa sepi. Justru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status