Doanya gitu banget yang ulang tahun. The real pebinor. Kabulin, nggak?
“Mas, aku keceplosan bilang mau ke apartemenmu. Jadinya Mama mau ikut, katanya,” ujar Gania meringis dari ujung telepon.“Biar Mas saja yang bicara sama Mama, Dek,” jawab Aditama, meminta Gania menyerahkan ponsel pada sang ibu.Aditama mencoba memberi pengertian pada Rindu. Ia berjanji akan mempertemukan Kinara dengan sang ibu di waktu yang lebih tepat. Tapi Rindu bersikeras. Ia ingin ikut. Katanya, ingin melihat langsung menantunya.“Kamu ini kenapa sih, Mas?” tanya Rindu curiga, menyadari kegelisahan anaknya.“Mas banyak salah sama Kinara, Ma. Mas takut kehilangan dia untuk kedua kalinya.”Rindu terdiam. Lalu bertanya lirih, “Sebegitunya kamu bela dia? Lalu bagaimana dengan anak dalam kandungannya itu, Mas? Apa kamu bisa menerima itu?”“Itu anak Mas, Ma. Cucu Mama.”Rindu terperangah. Aditama tahu Kinara membantah hal itu, tapi entah kenapa ia yakin itu anaknya.“Tapi... cucu Mama sudah nggak ada, Ma. Kinara keguguran.”Seketika, dada Rindu sesak. Meski bingung, tapi tak bisa ia bay
Seminggu kemudian“Saya pasti bakaln kangen dengan Bu Kinara,” ucap perawat lirih sambil membantu Aditama merapikan barang-barang.“Hanya ini, Pak?” tanyanya, memastikan.Aditama mengangguk. “Iya. Terima kasih, ya.”Perawat itu lalu berjongkok di hadapan Kinara yang duduk di kursi roda. “Saya pasti kangen sama Ibu. Tapi, semoga kita bertemu lagi di tempat yang lebih baik, bukan di rumah sakit, ya.”“Terima kasih, Suster. Sudah merawat dan menemani saya selama di sini,” ujar Kinara tulus.“Semu aini berkat Bapak yang sabar,” kata perawat menatap Aditama yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Semoga Bapak dan Ibu baik-baik saja, ya. Selalu sehat dan bahagia.”“Pasti,” jawab Aditama. Kinara hanya diam, tidak menanggapi—menjelingkan matanya jengah.Dengan hati-hati, Aditama membantu Kinara masuk ke dalam mobil. Namun, Kinara menolak duduk di kursi penumpang depan dan memilih duduk di bangku belakang.“Ponselku,” pinta Kinara sesaat setelah Aditama masuk ke sisi kemudi.“Sampai rumah, ya,”
"Dia bukan anakmu, Mas," ucap Kinara, membuat Aditama menggeleng, tak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu diam saja? Mana semua caci maki yang biasanya kamu lontarkan padaku?"Entah mengapa, kali ini Aditama tak sanggup berpikir jernih. Kalimat Kinara terasa menamparnya, tapi hatinya masih menolak percaya. Kinara bukan wanita seperti itu, pikirnya.Kinara mulai menggebu-gebu dengan emosinya. Itu membuat Aditama panik, khawatir kondisinya yang tak stabil bisa memburuk."Ra, tolong tenang," pintanya lembut. "Aku salah, aku akui itu. Aku mohon maaf. Tapi tolong ingat kesehatan kamu."Air mata yang sejak tadi Kinara tahan akhirnya pecah juga. Ia menangis sejadi-jadinya, mengguncang suasana."Kamu jahat, Mas!" teriaknya pilu.Aditama berusaha menggenggam tangannya, tapi Kinara menepis. Ia mencoba lagi, kali ini berhasil, dan ia mengecupnya penuh penyesalan.“Beri aku kesempatan, Ra.”"Tinggalkan aku, Mas.""Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Jangan pernah minta itu, Ra." Aditam
Aditama punya teman baru, siapa lagi kalau bukan dokter Sagara. Banyak hal seputar kondisi Kinara yang bisa dibagi bersama, tentunya seputar kesehatannya.“Saya mau kamar itu, Dok. Tolong tunjukkan,” pinta Aditama saat dokter sagara mengatakan Kinara sudah bisa dipindahkan ke ruangan perawatan. Dokter residen itu menawarkan kamar VIP yang memiliki ruangan khusus untuk wali pasien. Namun, masalahnya … apa wanita itu mau seruangannya dengannya? Seminggu pasca operasi, dalam tiga hari terakhir Aditama tidak muncul di hadapan Kinara. Bukan berarti dia menyerah. Dia hanya memberi jeda Kinara untuk beristirahat. Dan benar saja, kini wanita itu sudah lebih membaik dan akan dipindahkan ke ruang perawatan.Kinara meminta ponselnya pada pihak rumah sakit, tapi jawabannya membuat ia kesal karena semua barang pribadinya ada pada Aditama.Hanya Kinara orang yang habis operasi besar memikirkan barang-barangnya. Pasalnya waktu dia menginap di sebuah hotel sudah habis. Rencana habis sidang, dia akan j
Tatapan penuh kebencian dari Kinara membuat hati Aditama runtuh seketika. Belum sempat ia membujuk, Kinara sudah mengusirnya berulang kali—dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan.Kinara menatap lurus ke depan, menolak bertemu mata dengan Aditama yang masih berdiri di sisinya, tampak ragu untuk benar-benar pergi.“Maafkan aku, Ra.” Suara Aditama terdengar berat, bergetar. Ia menunduk, tak kuasa menatap wajah wanita yang telihat begittu tersakiti. Ingin rasanya memeluknya, tapi tangan itu tak berdaya. Jarak yang Kinara buat terasa lebih tajam dari pisau.“Pergi!” seru Kinara karena Aditama tidak kunjung meninggalkannya.Aditama akhirnya melangkah mundur, perlahan membalikkan badan menuju pintu. Tepat saat ia melangkah keluar, air mata Kinara jatuh tanpa bisa ditahan.Bohong kalau tidak rindu, tapi rasanya semua sudah tidak ada artinya lagi. Aditama dan Kinara sudah selesai, bahkan sebelum semua ini dimulai.‘Kamu bisa, Kinara. Semua ini sudah berakhir,’ batinnya.Aditama keluar, tapi
Air mata Aditama jatuh saat melihat kelopak mata Kinara perlahan terbuka. Dari balik dinding kaca ruang ICU, ia menyaksikan wanita yang dicintainya mulai merespons arahan dokter—kepala yang sedikit mengangguk, jemari yang bergerak perlahan. Kinara sadar, ini adalah anugerah terindah bagi Aditama.Sesaat kemudian, dokter spesialis keluar dari ruang ICU. Senyum puas terpancar di wajahnya, disertai anggukan mantap sebagai isyarat bahwa semuanya berjalan baik. Di belakangnya, dr. Sagara juga mengangguk, memberi keyakinan tambahan kepada Aditama.“Istri Anda sudah sadar dan kondisinya stabil, Pak. Silakan jika ingin menemuinya,” ujar sang dokter ramah.Namun Aditama hanya diam terpaku. Matanya masih memandang ke dalam ruang ICU, dadanya sesak oleh rasa haru dan bersalah yang saling berebut ruang.“Saya… saya takut memperburuk keadaannya, Pak,” lirihnya, nyaris tak terdengar.Kedua dokter saling bertukar pandang. Lalu, dokter spesialis menepuk pelan pundak Aditama dan berkata lembut, “Masukl
Panggilan telepon itu terputus begitu saja, meninggalkan Aditama dalam kepanikan. Percakapan tadi singkat, padat, dan sangat jelas—menyisakan tekanan yang luar biasa.Aditama tidak ingin berpisah. Apa pun caranya, ia akan memperjuangkan Kinara.Ia mencoba menghubungi sang ayah, tapi panggilannya berulang kali diabaikan.Frustrasi membuncah dalam diri Aditama, tapi di sisi lain, ia sedikit lega—paling tidak, sang ayah tidak membahas soal Sheila. Mungkin memang belum tahu.Tama lebih sering berada di Jepang, menjalani hidup terpisah dari keluarganya—bekerja. Sesekali, istri dan anaknya menyusul hanya untuk melepas rindu.***Sudah dua hari ini Aditama hanya beristirahat di ruang tunggu khusus wali pasien yang disediakan rumah sakit. Rindu, sang ibu, mengirim asisten untuk membawa mobil anak sulungnya ke rumah sakit sekaligus mengantar keperluan pribadinya. Ia sempat menyarankan Aditama untuk pulang dan beristirahat dengan layak—tapi Aditama menolak. Ia tidak sanggup meninggalkan Kinara s
Seorang dokter muda menawarkan diri untuk mendonorkan darah setelah mengetahui golongan darahnya sama dengan Kinara dan berhasil.“Satria Sagara,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Aditama.Aditama langsung menggenggam tangan itu erat, suaranya bergetar menahan haru. “Terima kasih... terima kasih banyak, Dok.”Dokter Sagara hanya tersenyum hangat, berusaha menenangkan Aditama yang terlihat kalut. Kehadirannya membawa sedikit ketenangan di tengah situasi mencekam itu.Dua jam berlalu dalam kecemasan. Hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka dan salah satu dokter keluar.“Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita masuk tahap observasi pasca operasi,” ujar dokter tersebut. Dokter Sagara yang masih menemani Aditama—menoleh seraya mengangguk.“Istirahatlah,” saran Dokter Sagara.Aditama menghela napas panjang, menolak saran itu. Mana bisa dia beristirahat sementara wanitanya terbaring lemah di dalam sana.“Paling tidak, sebaiknya kamu ganti dulu bajumu. Lihatlah itu penuh noda da
Bau antiseptik memenuhi ruangan.“Tolong selamatkan istri saya, Dok,” pinta Aditama dengan suara serak kepada dokter yang akan menangani Kinara—tak sabaran.“Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Silakan menuju administrasi sementara saya lakukan pemeriksaan awal,” jawab dokter itu.Sementara perawat meminta Aditama untuk memberikan tanda pengenal Kinara, perhatian Aditama justru teralih pada sesuatu yang ia temukan di dalam tas sang istri. Ia mengeluarkan botol obat dan menyerahkannya kepada perawat.“Ini ada di dalam tas istri saya, Dok,” lirih Aditama. “Obat apa ini?”Perawat memeriksa botol obat tersebut dengan teliti, sementara Aditama mencari tanda pengenal Kinara. Hatinya terasa terkoyak saat ia melihat kartu identitas Kinara.‘Kinara Ayudia Riyani’, tertulis jelas.Aditama memejamkan matanya saat melihat kartu nama Kinara sebagai desainer muda bertuliskan ‘Ara Riyani’.Bagaimana bisa takdir seperti ini yang menghampirinya? Aditama merutuki dirinya atas semua yang terjadi pada