Dua bulan telah berlalu. Emily mengira jika waktu akan menyembuhkan rasa sedihnya. Tapi itu hanya teori belaka. Ia semakin terpuruk. Ia tidak konsentrasi bekerja. Sering melamun dan menangis tanpa sebab. Beberapa kali ia melakukan kesalahan hingga dengan berat hati dan merasa tahu diri, Emily memilih berhenti bekerja. Dengan tabungan tersisa beberapa dolar ia hanya bisa bertahan sebulan saja. Akhirnya ia memilih pulang.
“Sayang, apa yang terjadi?”Nyonya Aldera, ibu Emily terkejut menerima kedatangan Emily malam itu. Wanita tua itu memeluk putri sulungnya dan tanpa kata Emily kembali menangis. “Ayo, masuklah.” Aldera paham akan situasi Emily dan menahan diri untuk tidak bertanya sampai Emily kembali tenang. Robert Patterson, ayah Emily, yang masuk dari arah belakang rumah tampak khawatir melihat Emily yang kini duduk di kursi dapur. “Sayang, ada apa?Apa kamu baik-baik saja?” Aldera memberi isyarat pada suaminya untuk berhenti bicara. Emily memeluk ayahnya sesaat. “Maafkan aku,”ucap Emily terbata di sela tangis. “Aku telah mengecewakan kalian.” Tuan Robert adalah pensiunan Perusahaan konstruksi sementara Nyonya Aldera dulunya adalah guru di sebuah Sekolah Dasar swasta sebelum akhirnya harus berhenti bekerja saat Elden, putri keduanya lahir. Waktu itu Emily berusia lima tahun. Hidup mereka sederhana tetapi penuh dengan kehangatan. Dari latar belakang keluarga harmonis, Emily tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dan penuh percaya diri Orang tua Emily menaruh harapan besar kepada Emily. Mereka yakin jika suatu saat putrinya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dari mereka berdua. Emily selalu menjadi juara kelas, aktif di organisasi sekolah. Dan yang mengembirakan keduanya, Emily berhasil masuk di Columbia Unversity, salah satu kampus unggulan di kotanya. Gadis itu mengambil jurusan desain interior dan berprestasi di awal-awal masa studinya hingga saat menginjak semester tiga, Emily datang bersama Oliver dan meminta restu untuk menikah. Sebagai orang tua mereka tak sanggup menolak meski dari keluarga Oliver tak merestui pernikahan keduanya. Oliver dan Emily tampak serasi. Tampan dan cantik. Sama-sama cerdas, dan yang terpenting adalah saling mencintai. Tapi malam ini, semua tampaknya telah berakhir. “Kami telah bercerai.”Hanya itu yang sanggup di ucapkan Emily. Meski kecewa, Robert dan Aldera berusaha memahami. Pun saat berhari-hari Emily mengurung diri di kamar. Sesekali mereka mengajak Emily keluar rumah, menginap di beberapa tempat pedesaan untuk sekedar menyegarkan pikiran. Emily mulai menata hidupnya meski kembali hancur berantakan saat berita pertunangan Oliver dengan sebuah model ternama muncul di sebuah tabloid. Oliver stone, pewaris Unity Corp melangsungkan pertunangan dengan Caroline, selebrity papan atas yang tengah naik daun. Tulisan di Headline berita tabloid mingguan pekan ini. Membuat Emily terpuruk lagi. Rumor mulai bermunculan dan yang paling menyakitkan adalah berita tentang kemandulannya penyebab ia diceraikan oleh Oliver. Kamar Emily berantakan saat Aldera menemukan gadis itu tergeletak tak berdaya di sudut ranjang. Berbaring meringkuk dengan suara tangis yang memilukan. Semua perabotan pecah setelah hampir sejam Emily mengamuk, melempar semua barang-barang di dalam kamar. “Emily sayang.”Aldera mengelus rambut putrinya dengan sayang. “Ibu yakin kamu bisa melalui ini. Kamu gadis yang hebat. Kamu akan baik-baik saja.” “Ini terlalu berat, bu. Aku tak sanggup,”terbata Emily berucap. “Tidak sayang. Tak ada yang terlalu berat untukmu. Kamu akan melewati semua ini, berdiri tegak kembali dan bersinar.”Aldera meneguhkan hati Emily. Tapi itu membutuhkan waktu lama. Sedikit harapan saat bulan ketujuh tepat perceraiannya, Emily diterima bekerja di Weston Corp. Awalnya hanya sebagai pengantar dokumen dan administrasi ringan, seperti membuat cetakan dokumen untuk rapat, merapikan arsip kantor. Hingga Paula Meyer tertarik dengan hasil pekerjaan Emily dan merekrutnya menjadi salah satu bawahannya di divisi umum. Paula Meyer wanita berusia lima puluh tahun. Ia ramah dan tidak pelit ilmu. Selain Emily, ada Cali dan Abigail yang menjadi sub ordinatnya. Emily merasa beruntung memiliki atasaan sebaik Paula dan merasa terberkati mendapat teman satu ruangan yang saling mendukung. Bagi Emily, mereka adalah tim yang solid. Kantor divisi umum berada di lantai lima gedung Weston Corp, satu lantai dengan divisi keuangan. Meski hanya ada empat staff di bagian Umum tapi ada bagian yang masih di bawah divisi umum seperti Facility servis dan keamanan. Facility servis memiliki lima karyawan sementara tim keamanan beranggotakan delapan personel termasuk kepala keamanan. “Em, waktunya makan siang. Ayo,”ajak Cali di suatu siang, tepat setahun Emily bergabung dengan Weston Corp. “Aku membawa bekal.”Dengan senyum Emily menunjuk wadah makan siangnya. “Oh ok, see you,”ucap Cali sembari melambaikan tangan. Emily balas melambaikan tangan. Hari ini Abigail mengambil cuti mendadak karena putra tertuanya sakit demam jadi kini Emily sendirian di ruangan. Ruangan yang kini ditempati Emily cukup luas dengan beberapa lemari arsip di sisi kanan meja masing-masing staff sementara ruang kepala divisi, Paula Meyer dibatasi oleh kaca sehingga dari tempat Emily duduk, ia bisa melihat aktivitas Paula sehari-hari. Emily masih menyelesaikan inputan data di beberapa lembar kerja di komputer saat Paula tampak tergopoh keluar dari ruangan. “Tuan William dilarikan ke rumah sakit. Ia mengalami serangan jantung.”Paula menyampaikan berita dengan cemas. Dan detik berikutnya terjadi kegaduhan di Weston Corp.Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi keuangan Weston Corp. Sudah hampir lima bulan. Beberapa kontrak perjanjian baru telah ditandatangani. Meski tidak dapat pulih sepenuhnya tapi setidaknya mampu menghasilkan laba yang diharapkan oleh semua pihak. Baik pemegang saham maupun jajaran manajemen dan karyawan Weston Corp. Jonathan pulang larut malam itu. Simon yang setia mengantarnya menuju apartemen sederhana di tengah kota. Emily tak ingin pindah. Ia lebih nyaman tinggal di sana karena selain lebih dekat dengan Weston Corp, Aldera lebih mudah mengunjunginya. Saat membuka pintu, tampak pemandangan yang selalu membuat Jonathan rindu pulang. Emily duduk di sofa sambil menimang putranya. "Hai, " sapa Jonathan hampir berbisik. Ia mencium lembut bibir Emily sembari berjongkok di depan istrinya, memandang wajah damai putranya yang tertidur pulas. "Mandilah, kamu tampak lelah, " ucap Emily seraya bangkit berdiri saat Jonathan mengambil Kenneth dari tangannya dan beranj
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung. “Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi. Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mu
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti