“Darimana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang? Kamu tahu betapa khawatirnya Ibu ketika nomor kamu tidak bisa dihubungi?”
Cecaran Ibu menjadi hal pertama yang Asmara dengar saat ia memasuki apartemennya. Biasanya Asmara akan segera membujuk Ibu setiap kali perempuan itu marah padanya. Seperti memeluk atau mengecup pipinya sembari melontar beragam kalimat manis. Akan tetapi kali ini Asmara tidak segera melakukannya. Perasaannya benar-benar tengah hancur lebur sekarang. Bahkan Asmara tidak memiliki kekuatan hanya untuk sekedar membuka suaranya. Mengabaikan pertanyaan dari sang Ibu, Asmara melangkah lunglai menuju kamarnya.
Sayangnya pengabaian Asmara membuat Ibu naik pitam. Perempuan yang telah berkepala empat itu mencekal lengan Asmara dan menariknya sehingga Asmara terhuyung mundur.
“Jawab Ibu, Asmara! Dari mana saja kamu?!”
Asmara menghembuskan nafas lelah. Berusaha sebisa mungkin menahan nyeri di kepalanya. “Bisa tolong jangan sekarang, Bu? Aku lelah.”
“Lelah? Kalau kamu bisa mengeluh lelah, kenapa kamu harus pulang di pagi hari dengan bau alkohol seperti ini?! Bukannya ibu sudah bilang berkali-kali Asmara, berhenti minum!! Sampai kapan kamu akan bersikap seperti ini? Kamu itu seorang guru, pengajar ilmu. Seharusnya kamu bisa menjadi pedoman untuk anak didik kamu, bukannya malah keluyuran dan bergaul sebebas ini!”
Asmara mengerang. "Bu ..."
"Ibu benar-benar lelah menasehati kamu, Asmara. Kamu tidak pernah mencoba merubah sikap buruk selama ini. Kamu terus saja mabuk-mabukkan, merokok dan pulang malam. Kamu sudah dewasa Asmara. Sudah saatnya kamu memikirkan masa depan. Jangan hanya terus bermain-main. Jangan jadikan kehidupan Ibu sebagai contoh. Bermain-main sepuas hati dan lihatlah akhirnya, Ibu menyesal. Kamu harus jadi orang yang lebih baik, Asmara. Lihat Nanda atau Maira, mereka masih muda tapi sudah menjadi orang sukses."
Mendengar nama kedua orang yang saat ini menjadi alasan kegundahannya, Asmara mengatupkan rahangnya marah. Seketika sesak di dadanya tak lagi bisa ia tahan. Asmara menoleh pada sang ibu dan mengutarakan pikirannya dengan perasaan nyeri.
"Kenapa kalian semua selalu membanding-bandingkan aku dengan Maira? Apa karena Maira adalah seorang dokter dan aku hanyalah guru les biasa?! Lalu apa salahnya? Aku mungkin tidak seterhormat mereka, tapi bukankah seharusnya Ibu mendukungku? Bukannya malah membandingkan ku dengan orang lain. Bukan salahku kalau aku menjadi seperti ini. Kalian saja yang tidak mampu melahirkan seorang anak hebat yang bisa sukses di usia muda."
"Asmara ..."
“Kenapa kalian terus menyalahkanku? Kenapa aku selalu menjadi pihak yang salah saat aku tidak melakukan hal yang salah?! Aku juga dirugikan!! Kenapa tidak ada yang bisa mengerti?!" Raung Asmara, tidak lagi bisa menyembunyikan kemelut di hatinya. Asmara sudah cukup sabar menahan kemarahannya setiap kali seseorang membandingkan hidupnya. Asmara mungkin tidak sebaik mereka tapi Asmara juga memiliki harga diri. Tidak sudi terus direndahkan seperti itu.
Ibu membeliak kaget dengan emosi Asmara yang meledak tiba-tiba. “Asmara!”
“Bukankah aku anak Ibu? Sebagai seorang Ibu bisakah Ibu mengerti sedikit saja ... sedikit saja perasaanku? Aku lelah. Aku lelah Bu!! Bukankah biasanya Ibu pergi selama berhari-hari meninggalkan aku sendiri, lalu kenapa sekarang Ibu tiba-tiba bertingkah seperti seorang Ibu yang baik?! Aku seperti ini juga karena Ibu!”
PLAK!
Asmara menekan sisi wajahnya kemudian menatap sang Ibu dengan pandangan tak percaya. “Ibu menampar aku?”
Dengan nafas terengah karena marah, Ibu berkata. “Jadi seperti ini perlakuan kamu pada Ibu, setelah Ibu banting tulang untuk menghidupi kamu! Kamu membangkang pada Ibu.”
“Kalau memang Ibu keberatan kenapa dulu Ibu tidak menyerahkanku pada Ayah saja?! Jadi sekarang Ibu tidak perlu merasa terbebani dan Ibu mungkin bisa menikah lagi lalu memiliki seorang anak yang baik sesuai keinginan Ibu!”
“Asmara, kamu sudah kelewatan batas! Mulai sekarang kamu dilarang untuk keluar apartemen ini selain untuk bekerja. Kamu tidak boleh menemui teman-teman kamu yang berandalan itu. Ibu benar-benar kecewa dengan kamu!”
Kecewa?
Bukankah Asmara yang seharusnya kecewa?
Kedua orang tuanya bercerai saat Asmara masih duduk di bangku sekolah dasar setelah sang ayah diketahui berselingkuh dengan wali kelasnya sendiri. Sang Ibu, yang kini menjadi single mother juga lebih sibuk pada pekerjaannya sebagai seorang pengacara dan membiarkan Asmara hidup sendiri hanya dengan pengawasan seorang pengasuh.
Lalu di saat Asmara berhasil menemukan belahan jiwanya, lelaki itu malah berpaling darinya. Tak sedikitpun memiliki perasaan yang sama sepertinya. Laki-laki itu justru dengan begitu gilanya mencintai perempuan lain tatkala Asmara adalah orang yang ditakdirkan untuknya.
Dengan kisah yang berselimut kelabu seperti itu, bukankah seharusnya Asmara yang merasa kecewa. Dia yang terluka. Dia yang diperlakukan secara tidak adil. Lalu mengapa justru pihak lain yang merasa kecewa padanya?
“Aku hanya ingin mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan, Bu. Apakah itu tidak bisa? Aku bukannya ingin merebut segala hal di dunia, tapi bahkan hal sekecil itupun tidak bisa aku miliki. Lalu untuk apa hidup dengan kemampuan ini jika hal yang ku ketahui hanya membuatku terluka?”
Asmara menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Seluruh tubuhnya jatuh lunglai ke atas lantai yang dingin. Asmara menangis. Air mata yang sebelumnya belum benar-benar mengering kini kembali jatuh bebas.
Asmara cukup sadar diri kalau dia tidak sempurna. Dia tidak sebaik orang lain. Dia telah belajar meminum minuman memabukkan sejak duduk di bangku SMP, merokok dan berkelahi bukanlah hal yang aneh baginya.
Akan tetapi bukankah ketidakadilan ini terlalu berlebihan baginya?
Asmara bukannya tidak mencoba menata hidup. Semenjak Asmara menginjak usia dewasa Asmara telah berusaha sangat keras untuk berubah. Dia belajar dengan giat dan berhasil mendapat gelar sarjana serta bekerja sebagai seorang pendidik di salah satu tempat les yang cukup tersohor.
Bahkan untuk menjadi perempuan yang Nanda sukai, Asmara rela merubah dirinya. Dia merombak penampilannya, memaksa dirinya untuk selalu memakai pakaian yang feminin saat Asmara lebih nyaman dengan penampilannya yang lebih santai. Asmara memanjangkan rambutnya yang semula sangat pendek begitu Nanda bilang kalau dia menyukai perempuan berambut panjang. Asmara belajar memasak, mengikuti les merias, mendaftar kelas bisnis dan belajar segala hal lainnya hanya agar dia bisa diterima.
Tapi itu tidak pernah cukup.
Asmara akan selalu tidak cukup di mata orang lain.
“Asmara, ada apa nak?” Melihat keadaan Asmara membuat Ibu seketika panik. Kemarahannya menghilang sepenuhnya. Sebaliknya Ibu ikut berlutut di samping Asmara dan memeluk putri semata wayangnya erat-erat. “Asmara, kenapa kamu menangis? Ibu sudah menyakiti kamu ya? Maafkan Ibu. Ibu salah ...”
Asmara tidak lagi bisa membendung kesedihannya. Pada akhirnya dia membiarkan kerentanannya bersandar pada dekapan Ibu. Dia menangis, mengeluhkan ketidakadilan takdir padanya.
Sampai selama beberapa saat air matanya mulai mereda. Dengan sapuan lembut Ibu memapah Asmara menuju kamarnya. Masih mendekapnya di tempat tidur sampai Asmara bisa tertidur lelap.
Sayangnya mungkin karena efek alkohol yang ia tenggak dan kemelut yang terjadi, Asmara jatuh demam. Selama dua hari gadis itu tidak bisa bangkit dari ranjangnya sendiri. Seluruh tubuhnya terasa panas dan menggigil di waktu yang bersamaan. Setiap kali Asmara mencoba bangkit, ngilu di tulang-tulangnya membuat Asmara meringis sebelum akhirnya kembali terjatuh. Selama itu pula Ibu selalu ada di sampingnya. Merawat Asmara dengan telaten dan tak sekalipun meninggalkannya.
Ibu mungkin terkejut karena selama ini Asmara tidak pernah kehilangan kendali seperti itu. Asmara juga tidak pernah membalas dan menangis sekencang itu sebelumnya. Akan tetapi tidak peduli pertanyaan apa yang Ibu lontarkan Asmara tidak pernah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Hanya saja melalui perubahan sikap Asmara yang semula ceria kini terlihat murung dan beberapa bekas di tubuh gadis itu, membuat Ibu sedikit memahami apa yang terjadi. Ibu hanya bisa diam-diam merawat Asmara dan tak lagi bertanya.
Baru beberapa hari kemudian kondisi Asmara berangsur-angsur membaik. Suhu tubuhnya tidak lagi setinggi sebelum-sebelumnya dan nafsu makan Asmara juga sudah mulai kembali.
"Minum obatnya," perintah Ibu setelah Asmara berhasil menghabiskan semangkuk bubur seafood kesukaannya. Tanpa banyak mengeluh Asmara langsung melaksanakanya.
“Besok lusa adalah ulangtahun Nenek, kamu ingin pergi?”
“Ibu akan pergi?” Asmara balik bertanya.
“Sepertinya tidak. Ibu sudah terlalu lama mengambil cuti bekerja.”
Asmara mengangguk paham. Setelah bercerai dengan sang Ayah, Ibu memilih untuk kembali bekerja sebagai pengacara di salah satu firma hukum. Meski Ayahnya tetap membiayai seluruh kehidupan mereka, Ibu kekeh pada keputusannya.
“Kalau gitu, Ara pergi sendiri saja.”
“Kamu yakin? Kamu masih belum sembuh total. Kalau urusan Nenek nanti Ibu yang telpon Nenek kamu.”
“Tidak papa, Bu. Asmara juga ingin mengobrol dengan Nenek.”
“Ya sudah.” Ibu tak lagi memaksa.
Sayangnya, Asmara tidak mengetahui bahwa kehadirannya di pesta ulangtahun sang Nenek akan membawanya pada kekacauan yang lebih menyakitkan.
"Kamu ada dimana?" Asmara memijat pelipisnya karena sensasi pusing yang mendera kepalanya kini. Segalanya tampak berputar. Tubuhnya terasa mengambang meski Asmara tahu bila ia tengah menapak di atas lantai. Suara-suara yang semula terdengar lantang juga kini secara perlahan terdengar bagai nada terputus-putus. Memberi petunjuk bahwa kini Asmara tak lagi mampu menanggung akibat dari minuman yang ia teguk beberapa waktu lalu."Asmara." Suara di seberang telepon kembali menarik sedikit kesadarannya. Asmara memaksakan tangannya yang berat untuk menempelkan ponselnya ke telinga, lalu menjawab dengan gumamam singkat."Bar.""Bar yang mana?""Music Bar sunshine.""Tunggu di sana, jangan kemana-mana!""Hei!"Asmara berseru keras ketika panggilan terputus begitu saja. Kedua matanya mengerjap cepat memperhatikan layar ponsel, meski begitu penglihatannya yang kabur ditambah sinar yang terlalu silau membuatn
Bagai rembulan yang kehilangan sumber sinarnya, Asmara telah kehilangan ketenangannya selama beberapa hari belakangan. Sejak malam dimana ia menghabiskan makan malam bersama Nanda dan teman-temannya, isi pikiran Asmara telah dipenuhi oleh beragam kebimbangan. Terutama jika ia mengingat percakapannya dengan Nanda waktu itu. "Apa gunanya mencari orang lain jika sejak awal aku tahu bukan dia orangnya?" Air muka Nanda tampak berubah tepat setelah Asmara melontarkan kalimat itu. Seolah sesuatu yang tak kasat mata telah memasuki relung jiwanya. Nanda terdiam sejenak, pandangannya jatuh ke atas langit dan Asmara dapat merasakan kegelisahaan pada setiap kedipan matanya. "Bagaimana kamu bisa tahu bahwa orang yang kita cari bukan orang yang tepat?" Lalu apa yang Nanda katakan di lantai dasar gedung apartemennya sekali lagi membuat detak waktu seakan terhenti. Sesak hingga tak tercegah. Asmara terpaku, memperhatikan Nanda
Asmara terkadang heran dengan perjalanan takdir. Di saat ia begitu mengingini sesuatu, takdir malah menjauhkan hal itu darinya. Jangankan membiarkannya menggenggam harapan barang sedetikpun, Asmara bahkan tak diperbolehkan untuk menyentuhnya. Seakan semesta tak sudi membiarkan manusia rendahan sepertinya mendapat segalanya dengan mudah. Dan bahkan jika ia telah melalui beragam kesakitan, belum tentu takdir akan bersimpati padanya.Tapi kini, ketika Asmara tak lagi bertekad memilikinya dan cenderung menjauhkan diri, tangan-tangan takdir justru mendorong hal itu ke depan matanya. Tidak hanya sekali tapi berkali-kali mempermainkannya dengan kekuatannya yang maha kuat.Lalu ketika ia kembali tergoda, akankah takdir kembali menarik harapannya?Asmara merasakan suatu kehampaan yang mengganjal di dadanya, membuatnya hanya mampu tersenyum nanar memikirkan hidupnya. Dengan perasaan tergulung sendu, Asmara menatap seseorang yang kini duduk tepat di sa
"Asmara, boleh aku tanya sesuatu?"Asmara yang baru saja akan melangkah memasuki pintu kaca sebuah restoran, seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan memasang raut penuh tanya kepada sang penanya, Sari. Tidak hanya dirinya, gerakan Sari juga turut menarik perhatian ketiga orang lainnya, Gania, Farhan serta Anton yang sudah lebih dulu membuka pintu. Masing-masing dari mereka memandang Sari penuh ingin tahu."Ada apa, Ri?" Tanya Gania penasaran. Sari segera memasang senyum kikuk, berusaha menegaskan bahwa tidak ada hal penting yang terjadi. Gadis itu menarik pergelangan tangan Asmara, seolah takut seseorang akan menghalanginya untuk berbicara. "Mbak sama yang lainnya bisa masuk ke dalam duluan saja, aku mau ngobrol sebentar sama Asmara.""Memangnya ada apa, Ri? Tidak biasanya kamu main rahasia-rahasiaan.""Bukan apa-apa kok, Mbak. Boleh ya, Mbak? Kalau mau kalian bisa makan duluan saja.""Ya sudah, janga
Asmara terbangun ketika suara percakapan samar disertai lantunan musik klasik terdengar di telinganya. Gadis itu mengerang pelan, memaksakan dirinya untuk membuka kedua mata dan mengerjap ketika cahaya silau dari jendela yang terbuka terasa menusuk penglihatannya.Kedua alisnya menukik tajam ketika Asmara menemukan dimana ia kini. Seingatnya Asmara masih berada di ruang kerja Kakeknya sampai ia tak sengaja terlelap ketika dini hari tiba. Tapi sekarang, ia malah terbangun di atas ranjang dengan sebuah selimut tebal menutupi tubuhnya rapat-rapat. Tidak hanya itu, jepit rambutnya yang semula masih menggantung di rambut ikalnya kini telah teronggok di atas nakas. Tertata rapi bersama ponselnya.Aneh, pikirnya.Namun Asmara tidak mempunyai banyak waktu untuk memikirkan bagaimana caranya ia sampai ke kamar tidur, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, hampir mendekati waktu kerjanya. Buru-buru Asmara melompat ke kamar mandi guna membersihkan diri dan ber
Asmara menyesap sebatang tembakau sembari menatap kekejauhan. Lebih tepatnya pada keberadaan sang Nenek yang tengah begitu sibuk berkebun. Tubuh ringkih itu begitu gesit memindahkan setiap tanaman yang telah penuh sesak di dalam pot kecil ke pot yang jauh lebih besar. Nenek juga sangat lincah bergerak kesana-kemari untuk menata setiap tanaman miliknya. Sedangkan Asmara, dia sudah kelelahan hanya dengan menyeret dua karung tanah dari dalam gudang. Hari ini adalah hari libur dan seperti kebiasaannya Asmara memilih untuk menghabiskan waktunya bersama sang Nenek. Meski kegiatannya tak lebih dari sekedar memperhatikan kegiatan Nenek sejak pagi sampai malam hari."Kamu masih merokok?" Nenek menatap Asmara dari posisinya kini dengan wajah berkerut. Habis pikir dengan kelakuan cucunya yang nampak begitu nyaman menyesap nikotin."Sudah kebiasaan, Nek.""Kan, Nenek sudah mewanti-wanti sejak dulu jangan pernah coba-coba, Asmara. Rokok itu berbahaya. Ada san
"Asmara, bangun!" Asmara mengerang jengkel ketika Layina mendobrak pintu kamarnya lalu berteriak-teriak keras. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi, jelas masih terlalu awal bagi Asmara untuk memulai hari. Tapi sepertinya Layina sedang tidak mau meninggalkannya dengan tenang, Layina malah menaiki ranjang dan melompat-lompat, membuat tubuh Asmara terpental-pental kecil. "Asmara, aku bilang bangun!!" "Berisik!" Seru Asmara, terganggu. "Ayo bangun, Asmara. Laki-laki itu ada disini.” Asmara yang masih setia menutup matanya, mengerutkan kening tak mengerti. "Siapa?” “Belahan jiwamu." "Belahan jiwaku?" Beo Asmara. "Iya, belahan jiwamu yang bajingan itu." Siapa? Asmara mengerang dalam hati. Asmara sama sekali tidak mengenal seseorang dengan gelar 'bajingan' seperti itu. Asmara kemudian memaksakan diri untuk bangkit karena Layina tak kunjung
“Mbak, aku boleh titip ini buat Mas Farhan.” Asmara menyodorkan paperbag berisi gelang pemberian Farhan kepada Gania, berhati-hati agar suaranya tidak terdengar orang lain. Asmara juga sengaja untuk datang ke tempat les lebih awal agar tidak ada banyak orang yang akan melihatnya. Gania yang semula tengah merapikan lembar tes di mejanya sontak menoleh heran. “Loh, kenapa enggak kasih langsung saja, Ra?” Asmara menggeleng. “Kan ada Mbak.” "Memangnya ini apa, Ra?" Asmara sedikit mencondongkan tubuhnya beberapa derajat, menoleh ke setiap sisi sebelum berkata dengan suara pelan. “Tapi Mbak jangan kasih tahu yang lain ya, Mbak. Terutama pada Sari. Kemarin waktu antar aku pulang, Mas Farhan kasih aku hadiah. Tapi karena hadiahnya terlalu mahal, jadi aku mau kembalikan saja lewat Mbak. Boleh, kan Mbak?" “Loh, kok gitu? Kenapa enggak kamu terima saja, Ra?" “Enggak bisa, Mbak. Aku akan merasa tidak enak
“Asmara, ayo pulang bareng.”Asmara sontak menoleh ketika Gania tiba-tiba saja memasuki ruang kelas dan mengajaknya untuk pulang bersama. Hari sudah beranjak malam dan waktu ajarnya pun telah selesai, semula Asmara memang berniat segera pulang setelah membereskan barang-barangnya. Asmara hendak menyetujui tawaran Gania saat seseorang ikut melangkah masuk, membuat Asmara langsung menelan setiap kata yang hendak ia keluarkan. Sebaliknya Asmara mengurungkan niat dan menolak Gania.“Enggak usah deh, Mbak. Aku udah pesen ojek online nih, enggak tega kalau di-cancel.”Farhan yang sepertinya sudah dapat menebak penolakan Asmara segera mendekat. Laki-laki yang masih mengenakan jas kantornya itu meraih buku yang telah Asmara susun di atas meja. “Udah, ikut saja ya, Asmara. Untuk ojeknya enggak papa biar Mas yang bayar tapi kamu tetap ikut sama kita.”Di belakang Farhan, Gania mangut-mangut.“Kalau gitu aku jadinya ngerepotin Mas. Apalagi apartemen