Share

kenangan masa lalu.

"Mas, dipanggil, tuh, sama ustaz Yusuf." Rizal datang dengan berlari seraya mengangkat sedikit kain sarungnya.

"Kamu kenapa sampai lari-lari segala? Kebelet, ya?" ledek Jona.

"Enak aja, kata Ustaz suruh cepet katanya ada hal yang mendesak, Mas."

"Ada apa ya, Zal? Tumben pagi-pagi udah manggil. Jangan-jangan disuruh jadi mantu!"

"Huuu ...."

Jona melengos pergi meninggalkan Rizal dengan tertawa girang karena sudah bisa mengerjainnya. Pria itu membubarkan muridnya untuk beristirahat sejenak.

Setibanya di rumah, ustaz Yusuf dan Umi Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Nampak wajah-wajah serius membuat nyali Jona sedikit menciut.

"Assalamualaikum," sapa Jona dari ambang pintu.

"Waalaikumsalam, sini masuk, nak Jo. Kami sudah menunggu." ustaz Yusuf mempersilahkan Jona untuk duduk Di sampingnya.

"Begini, nak Jo sebelumnya kami minta maaf kalo apa yang akan kami bicarakan menyinggung perasaan nak Jona." umi Nissa memulai percakapan dengan merapatkan kedua telapak tangannya di dada.

"Sebenarnya ada apa ini, Umi?" tanya Jona bingung dengan situasi yang sedang ia hadapi.

"Nak Jo, kami ingin menanyakan masa lalu nak Jona. Apa nak Jona mengenali Claudya sebelumnya?"

"Maaf, Umi. Sebenarnya ini ada apa, ya? Tunggu! Apa ini ada hubungannya dengan pingsannya Claudya kemarin?"

"Iya, Claudya pingsan karena syok melihat helm yang nak Jona pakai. Ia sudah bisa melupakan kejadian masa lalu nya. Entah kenapa ia bisa menjadi tidak terkontrol begini saat melihat helm itu." ucap Umi Nissa.dengan mata sedikit berkabut.

"Apa benar helm itu milik nak Jonq?" tanya ustaz Yusuf.

"Maaf, bukan ustaz itu milik teman saya yang masih di dalam teman saya. Kemarin saya menemuinya setelah sebelumnya menemui Ibu dan Adik saya di rumah." ujar Rey bohong jika helm itu miliknya. Ia tidak menyangka jika Claudya mengenali helm itu. Kalau Jona tahu, ia tak akan menggunakan helm itu.

"Kalau boleh saya tahu, memang ada apa dengan helm itu?"

Umi Nissa dan ustaz Yusuf saling melempar pandangan dan ustaz Yusuf menganggukkan kepalanya pada istrinya itu.

"Sebenarnya helm itu yang menimbulkan rasa trauma Claudya kembali mencuat. Dulu rumah pak Burhan ayah Claudya disatroni perampok. Mereka semua menutupi kepala mereka dengan helm. Helm yang kamu pakai yang membunuh Ayah Claudya dan melukai saudara kembar Claudya 'Riana'"

Jona menghela napas dan membuangnya dengan kasar. Ingatannya kembali ke masa lalu. Ia harus bisa mendapatkan simpati Claudya. Perasaan bersalah semakin dalam setelah tahu apa yang dialami oleh Claudya.

"Apakah teman nak Jona, itu ....?" terka umi Nissa jika teman Jona lah pemilik helm itu.

"Oh, bukan umi, bukan. Dia mendapatkan helm itu dari pasar loak. Dia membelinya di sana."

Jika satu kebohongan mulai kau ucapkan maka kebohongan yang lain pun akan ikut tercipta.

Umi Nissa dan ustaz Yusuf bisa bernapas lega karena helm itu tidak ada hubungannya dengan Jona, itu menurut mereka.

"Jika nak Jona berkenan, jangan sampai Claudya melihat helm itu lagi. Kami tidak menyuruh nak Jona membuang helm itu. Hanya saja tidak di depan Claudya."

"Baiklah, Ustaz jika itu demi kebaikan."

"Saya harap nak Jona mengerti." Umi Nissa menimpali.

"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan saya permisi dulu mau melanjutkan ekskulnya kasihan anak-anak pasti sudah lama menunggu," ucap Jona seraya bangkit dari duduknya.

"Silahkan, nak Jo, kami sudah selesai."

Jona meninggalkan rumah ustaz Yusuf dengan perasaan gamang. Ia merasa tidak enak hati pada mereka. Terutama pada Claudya, tapi ia masih mau berusaha untuk mendekati Claudya dengan bertanggung jawab pada keluarganya.

Beberapa hari kemudian setelah kejadian Claudya pingsan itu, Jona sudah menyimpan rapat-rapat helm itu di tempat yang aman. Dia mencoba mendekati Claudya dengan lembut. Ia mengirimkan makanan kesukaan Claudya setiap hari.

Malam hari disaat semua orang terbuai di alam mimpi justru Jona masih termenung.

Alunan sebuah lagu mengalun merdu di telinganya menusuk relung hati Jona. Pemuda itu termenung menatap langit-langit kamarnya. Netranya berkabut menciptakan sebulir air mata yang menetes perlahan dari sudut matanya.

Pikiran Jona melayang beberapa tahun silam saat semua mengubah hidupnya.

Matahari terbit sebagai tanda berawal nya kehidupan baru, tapi kenyataannya masih banyak orang tenggelam dalam masa lalu yang kelabu.

Cahaya mentari pagi yang masuk melalui celah dinding rumah, telah mengusik tidur Rey. Suara indah nan merdu juga terdengar dari arah dapur. Ya, mereka adalah ibu dan adik perempuan Rey. Mereka lah hidup dan mati seorang Reynaldi Pratama. Dengan langkah gontai menuju toilet untuk membersihkan diri, sang Ibu memanggil.

"Rey, hari ini Ibu mau jualan ke pasar pagi. Jadi kamu bisa kan mengantar adikmu ke sekolah?"

"Yah, Bu, aku ada kerjaan hari ini."

"Halah kerja kamu kan cuma keluyuran,"

"Iya, iya!" sahut Rey dengan malas.

Setelah urusan di kamar mandi selesai, bergegas menuju kuda besi yang terpakir di sudut rumah. Lora sudah mengoceh tidak karuan.

"Bang, cepetan ... aku dah telat ini!" oceh Lora.

"Iya, bawel."

Di tengah jalan.

Mereka di hadang sekelompok preman dari kampung sebelah. Mereka ingin menuntut balas karena salah satu dari mereka terluka oleh pukulan yang dilayangkan Rey. Lora panik, bukan karena para preman itu melainkan ia akan terlambat ke sekolah. Hari ini ada ulangan yang sangat penting bagi Lora. Ia tidak khawatir akan nasib kakaknya itu. Lora yakin jika sang kakak bisa mengalahkan mereka semua.

"Bagaimana ini, Bang? Aku bisa telat kalau begini ...."

"Mau gimana lagi para kecoak ini menghadang kita. Biar abang semprot dulu mereka. Biar pada KO."

"Woi, Man! Untung loe lewat nitip Lora ya ke sekolah gue lagi sibuk, nih."

"Ashiaap!" ucap eman memberi isyarat hormat.

"Begini-ni kalo punya abang preman," ucap Lora menggerutu.

"Mereka banyak banget, mana gue gak ada persiapan lagi," batin Rey dengan memandang musuhnya satu persatu.

Mereka memegang senjata masing-masing, dan Rey hanya seorang diri. Sebenarnya Rey sangat jago bela diri tapi jika lawannya sekitar dua puluh orang, apa dia sanggup? Mereka mengepung dari seluruh penjuru. Salah satu dari mereka mencoba memukul kepala Rey beruntung Rey bisa menghindar.

Di tengah perkelahian, datang beberapa pengendara motor. Rey tersenyum dengan kedatangan mereka.

"Woi!!! berani main keroyokan sini hadapi kita!"

Tawuran antar preman kampung pun tak terelakkan. Semua warga desa tidak ada yang berani mendekat. Mereka tidak ingin menjadi korban kebrutalan para preman itu.

Tiba-tiba.

Dor! Dor! Dor!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status