Dengan perasaan kesal Claudya percepat langkahnya ke tempat yang dimaksud.
"Enaknya yang lagi makan bakso ... mana belanjaan di tinggal gitu saja. Aku cari ke mana-mana malah enak-enakan makan di sini." Claudya datang dengan bertolak pinggang."Ehm, sini-sini kita makan bakso dulu. Ini enak banget, loh!" ucap Jona yang masih mengunyah bakso di dalam mulutnya."Begini, ya mas Jonathan, kamu tidak lihat itu sudah mendung, sebentar lagi mau hujan. Bisa basah semua nanti belanjaan kita terutama beras.""Astaghfirullah, iya bener. Ayo Zal kita pulang. Kamu ke sana duluan, aku mau bayar baksonya dulu." mereka beranjak dari tempat duduknya.Jona setengah berlari untuk mengambil mobil. Setelah semua masuk ke mobil, hujan mulai turun dengan derasnya."Tuh, bener kan hujan hampir aja basah semua.""Maaf, Nyonya kita gak sadar kalau mau hujan. Jangan manyun gitu dong nanti kusut lagi kayak pakaian. Oops!" Jona pura-pura keceplosan."Iya, Mbak, tadi kami lapar. Makanya sambil nunggu kami makan bakso." Rizal tersenyum lebar menunjukkan gigi gingsulnya."Ya sudah, ayo cepet kita pulang, pelan-pelan saja jalannya licin." ucap Claudya sambil melipat tangannya di dada."Siap, Bos!" Jona meletakkan tangannya memberi tanda hormat.Mobil pun melaju dengan sangat hati-hati. Hujan turun dengan lebat siang itu membuat jarak pandang menjadi terbatas. Tak lupa doa mereka panjatkan sepanjang perjalanan pulang."Ya Allah, Alhamdulillah kalian udah pulang...kalian tidak apa-apa kan? Kok baru pulang to ndok ...!" ucap Umi Nissa begitu melihat Claudya turun dari mobil.Hujan belum juga reda. Awan hitam masih menggelayut manja di atas sana. Angin berhembus membuat siapapun ingin meringkuk di bawah selimut."Maaf Umi, kami baru pulang. Tadi di pasar ada kejadian di luar dugaan." ujar Claudya setelah memasuki rumah."Iya Umi tadi kami hampir saja tidak bisa belanja." potong Rizal."Astagfirullah, memang ada apa? Ada kejadian apa? Apa ada yang terluka?" tanya nya beruntun.Tenang Umi, Satu-satu nanya nya. Begini, waktu kita sampai pasar, dompet Claudya dicopet. Mas Jona yang lihat itu langsung mengejar pencopet. Alhamdulillah bisa balik lagi dompetnya. Begitu mau pulang malah hujan." jelas Claudya."Alhamdulillah, makasih nak Jo sudah menolong anak Umi.""Umi tidak perlu berterima kasih itu sudah kewajiban saya."Karena kejadian itu Umi Nissa sedikit menambah kepercayaannya pada Jona untuk mengajar bela diri pada para santri.Beberapa hari kemudian ada kecelakaan di depan pondok pesantren. Sebuah sepeda motor menabrak pagar pesantren. Menurut warga ada yang melihat pengendara motor hendak menyalip becak yang ada di depannya tapi ada sebuah lubang besar. Untuk menghindari becak tersebut agar tidak tertabrak, ia banting setir ke kanan lalu menabrak pagar.Para santri keluar untuk melihat apa yang terjadi. Beruntung pengendara motor hanya mengalami luka ringan hanya motornya yang rusak parah."Mas, mas tidak apa-apa? Apa ada yang luka?" tanya ustaz Yusuf sambil membantunya berdiri."Alhamdulillah saya tidak apa-apa, Ustaz.""Kok, seperti saya kenal suaranya." lirih ustaz Yusuf."Bayu, tolong ambilkan segelas air, ya!" ustaz Yusuf menyuruh salah satu santri."Ini mas minum dulu!" ustaz Yusuf menyodorkan segelas air putih.Si pengendara itu pun membuka helmnya dan mengucapkan terima kasih pada ustaz Yusuf yang sudah menolongnya. Semua santri kaget begitupun dengan Claudya. Ternyata dibalik helm itu adalah Jona. Bukan hanya itu Claudya juga mengenali helm yang dikenakan Jona.Claudya ingat betul helm bercorak tengkorak itu. Ingatannya kembali ke peristiwa di mana sang Ayah terbunuh. Rekaman CCTV yang berada di rumahnya menjadi bukti jelas kalo pemilik helm itulah pelakunya.Tubuh Claudya gemetar, dadanya berdegub kencang. Wajahnya pias bak tak teraliri darah. Ia pun tak sadarkan diri.Melihat hal itu Jona dengan spontan mengangkat Claudya ke rumah Umi Nissa. Ustaz Yusuf pun dibuatnya cemas."Astaghfirullah, Claudya kenapa, Bi? Sini-sini baringkan di sini," ucap Umi Nissa pada Jona untuk membaringkan Claudya di sofa ruang tamu."Abi, juga gak tahu, Umi. Tiba-tiba Claudya pingsan."Peluh membanjiri kening Claudya. Umi Nissa mengoleskan minyak kayu putih di hidung dan kening Claudya."E-e-e pembunuh itu ada di sini ...." racau Claudya dalam tidurnya."Sayang, anak Umi. Sadar nak sadar, istighfar." Umi Nissa menepuk-nepuk pipi Claudya dengan lembut."Umi, pembunuh itu ada di sini. Claudya harus bagaimana ...." dengan nafas tersengal-sengal Claudya mengucapkan nya."Istighfar nak istighfar." Umi Nissa memeluk Claudya dengan belir bening jatuh di pipinya."Sudahlah, Umi, biarkan dia tenang dulu. Bawa Claudya ke kamar." perintah ustaz Yusuf yang di balas anggukan kepala oleh istrinya itu.Umi Nissa menenangkan Claudya yang terus meracau. Ia memapahnya menuju kamar. Agar Claudya lebih tenang. Di dalam Claudya menceritakan semuanya dari awal bagaimana kejadian itu. Dan tadi ia melihat helm yang di kenakan Jona sama dengan helm si pembunuh itu.Umi Nissa tak mengatakan sepatah katapun. Ia hanya memeluk Claudya dengan erat. Ia tidak ingin di hati Claudya timbul lagi perasaan dendamnya. Umi sangat mengkhawatirkan Claudya oleh karena itu ia berniat menemui Jona dan menanyakan masalah itu."Abi, Claudya sudah menceritakan semua. Dan bagaimana bisa Jona memiliki helm yang sama dengan pembunuh ayah Claudya, Bi. Dari mana ia mendapatkan helm itu?" seru umi Nissa dengan mengerutkan keningnya."Abi juga tidak tahu, Umi. Sewaktu Jona mendaftar ia mengaku baru pulang dari luar negeri menjadi TKI. Terus sekarang bagaimana keadaan Claudya?""Dia masih syok dan beristirahat di kamarnya. Umi berniat ingin menemuinya dan menanyakan kebenaran pada Jona langsung, Bi?""Umi, harus bisa tenang agar ia tidak tersinggung dengan apa yang akan Umi bicarakan, atau Abi saja yang menemuinya.""Umi juga mau dengar langsung kebenarannya, Bi!""Ya, sudah nanti panggil Jona untuk menemui kita."Pagi hari para santri disibukkan dengan aktivitas belajar umum sedangkan Jona sibuk mengajar ilmu bela diri pada santri yang baru dimulai hari ini."Mas, dipanggil, tuh, sama ustaz Yusuf." Rizal datang dengan berlari seraya mengangkat sedikit kain sarungnya."Kamu kenapa sampai lari-lari segala? Kebelet, ya?" ledek Jona."Enak aja, kata Ustaz suruh cepet katanya ada hal yang mendesak, Mas.""Ada apa ya, Zal? Tumben pagi-pagi udah manggil. Jangan-jangan disuruh jadi mantu!""Huuu ...."Jona melengos pergi meninggalkan Rizal dengan tertawa girang karena sudah bisa mengerjainnya. Pria itu membubarkan muridnya untuk beristirahat sejenak.Setibanya di rumah, ustaz Yusuf dan Umi Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Nampak wajah-wajah serius membuat nyali Jona sedikit menciut."Assalamualaikum," sapa Jona dari ambang pintu."Waalaikumsalam, sini masuk, nak Jo. Kami sudah menunggu." ustaz Yusuf mempersilahkan Jona untuk duduk Di sampingnya."Begini, nak Jo sebelumnya kami minta maaf kalo apa yang akan kami bicarakan menyinggung perasaan nak Jona." umi Nissa memulai percakapan dengan merapatkan kedua telapak tangannya di dada."Sebenarnya
Datang beberapa mobil polisi. Iptu Faisal yang menembakkan pistol ke udara. Ia sudah hapal betul tingkah para preman kampung itu. Dan polisi juga menembakkan gas air mata agar mereka semua membubarkan diri.Rey dan teman-temannya pergi ke tempat biasa mereka nongkrong."Loe gak apa-apa, Rey? Sorry, kita telat," tanya Joni."Gak apa-apa, loe semua datang tepat waktu. Kalo gak udah gue jadiin perkedel, tuh orang." "Oya, loe udah ke pasar ngambil jatah kita? Gue dah tongpes, nih!" ucap joni seraya melemparkan dompetnya."Rencananya gue baru mau ke sana habis nganter Lora. Tapi malah para kecoak itu bikin rese.""Ayo, cabut ke pasar!"Rey dan joni berangkat ke pasar sedangkan yang lain membubarkan diri. Rey melakukan pungli di pasar. Mereka adalah preman pasar daerah tersebut menjaga keamanan pasar dari para pengganggu. Namun, Rey tidak pernah melukai para pedagang, mereka mengingatkan Rey pada sang Ibu yang juga seorang pedagang.Hari beranjak siang. Matahari berada tepat di bawah kepal
Di basecamp.Rey dan teman-teman nya sedang merencanakan sesuatu yang sangat beresiko."Loe kenapa ngajak ngumpul jam segini Rey? Tumben," tanya Eman seraya menyalakan sebatang rokok yang terselip di telinganya."Begini gue butuh bantuan kalian. Gue butuh duit banyak kali ini." Rey menatap semuanya satu persatu."Banyak? Buat apaan?" tanya yang lain."Sahabat kita Jejen butuh biaya buat Ibunya operasi. Dia lagi ketimpa masalah berat, bro." "Jejen, anak bu Romlah?" tanya Eman lagi."Iya, semalem dia dateng baru cerita kalau dia lagi ada masalah.""Begini aja, tadi gue baru dapet info dari Ali kalo ada target kita di kampung jati luhur. Gimana kalo kita satroni tu rumah. Nanti hasil dari situ kita serahin semua sama Jejen. Gimana?" usul teman Rey yang lain."Gila loe, ya! Jejen lagi di sini masak kita mau ngerampok," protes Rey."Loe mau bantuin Jejen, gak?" ujar Eman. "Sikon nya gimana?""Tenang, kita udah mengintai seminggu lebih dan sekarang rumah itu kosong ditinggal penghuninya p
"Astaga, apa yang barusan loe lakuin, Rey..?" teriak Eman frustasi."Sorry, gue reflek karena dia melawan," ucap Rey seraya melepaskan belati dari tangannya."Gimana sih, Rey, loe yang ingetin kita-kita. Malah loe sendiri yang melanggar," hardik Eman."Trus kita harus gimana ini?" tanya yang lain."Ayo, kita tinggalin rumah ini sekarang. Kita bawa aja yang udah kita dapet. Keburu dateng polisi,"Anton yang melihat semua temannya berlari dengan panik ia pun ikut panik. Ia sudah menduga jika aksi mereka gagal. Satu persatu sudah naik ke atas mobil pick up yang sudah ia persiapkan."Loe bilang gak ada orang di rumah itu, tapi nyatanya masih ada penghuninya," ucap Rey seraya mengusap wajahnya."Kita udah cek, Rey, kalau rumah itu emang kosong. kita gak tau kalau ada penghuni rumahnya," Eman meyakinkan Rey"Tapi Man sebenarnya bukan satu tapi dua orang," Rey menatap Eman."Tu- tunggu maksud loe ada dua orang yang ada di rumah itu?" Rey menganggukkan kepalanya. Yang lain hanya terdiam,
Siang hari yang begitu terik ada sebuah taksi masuk ke halaman rumah ustaz Yusuf. Seorang pria tampan turun dari mobil. Pria berparas manis berjambang tipis menghiasi dagunya. Sang supir menurunkan kopernya dari bagasi."Assalamualaikum, Bude," sapa pria itu dari ambang pintu."Waalaikumsalam."Tak berselang lama keluarlah wanita paruh baya yang tak lain Umi Nissa yang ternyata Bibi dari pemuda tampan itu."Ya Allah, gusti ... Faruq kapan sampai? Kok gak ngabarin Bude dulu kalau mau dateng ...?""Sengaja mau bikin surprise biar kayak orang-orang gitu ....""Kamu bisa aja, Yuk masuk kamu pasti capek. Mau Bude buatin minum?""Gak usah repot-repot Bude keluarin aja semua yang ada." Faruq terus menggoda Budenya."Kamu bercanda terus, ah." Umi Nissa berlalu menuju dapur untuk membuatkan minuman.Karena merasa penat dan panas Faruq ingin mandi. Ia menuju kamarnya yang selama ini jika ia mampir ke tempat bude nya. Ketika hendak membuka pintu kamar Faruq berpapasan dengan Claudya.Mereka bera
"Umi jangan khawatir, Claudya gak lama kok. Paling lama palingan cuma seminggu. Insya Allah Claudya bisa jaga diri. Tolong ijinkan Claudya pulang ya, Umi? Claudya kangen banget sama Riana," ucap Claudya memohon."Jangan bilang gitu sayang, ini juga rumah kamu. Umi juga gak berhak melarang Claudya pergi menemui Riana adikmu. Tapi Umi juga cemas sayang." "Insya Allah, Allah akan selalu melindungi kita Umi.""Baiklah, kapan kamu berangkatnya?" akhirnya dengan terpaksa Nissa mengijinkan Claudya."Kalau tidak halangan besok pagi setelah sholat subuh Umi.""Restu Umi selalu menyertaimu, nak."Selepas sholat subuh Claudya sudah siap menempuh perjalanan jauhnya. Ia pamit pada kedua orang tua angkatnya. Dan Claudya juga sengaja tidak membawa koper karena ia berjanji akan segera kembali ke pesantren."Umi, Abi Claudya pamit dulu ya! Do'akan selamat sampai di tujuan," ucap Claudya seraya menyalami tangan umi Nissa dan ustaz Yusuf."Iya sayang, kamu hati-hati di jalan ya! Umi pasti merindukanmu.
Satu jam akhirnya semua korban sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Pihak kepolisian sudah memberitahu kepada pihak keluarga para korban termasuk keluarga Jona."Assalamualaikum dengan keluarga Jonathan?" ucap seorang polisi."Waalaikum salam, b-betul, pak saya Ibunya. Ada apa ya Pak? Dan ini maaf dari siapa?"Bu Ainun bingung, karena Jona selalu datang ke rumahnya dan selalu mengatakan jika dirinya adalah Rey anaknya yang telah lama pergi.Dengan melihat tanda lahir di punggungnya barulah ia percaya jika ia adalah Reynaldi anak sulungnya.Ia teringat dengan pesan Rey waktu itu jika ia harus merahasiakan identitasnya dari siapapun. Jona mengatur kembali berkas-berkas dengan nama Jonathan."Saya dari kepolisian ingin memberitahukan kepada keluarga, bahwa mas Jonathan mengalami kecelakaan dan sekarang berada di rumah sakit."Innalillahi, ya Allah Rey... Jadi sekarang gimana keadaan anak saya, Pak?""Ibu langsung saja ke rumah sakit!""Baik, terima kasih Pak saya kesana sekarang juga
"Ada apa, mbak? apa ada yang salah? Atau Jona lagi ada tamu?""Ayo sayang, Bunda temenin, " ucap Hanah sambil menarik tangan Claudya.Mereka bertiga berjalan mendekati ranjang Jona. Claudya menengok ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari seseorang."Ada apa, Mbak? Mbak nyariin siapa?" bisik Riana. Claudya menggelengkan kepalanya.Suasana yang canggung tidak seperti sebelumnya saat Jona dan Claudya berbelanja di pasar dekat pesantren di jawa timur."Nak Jo, kenalkan saya Hanah , Ibu angkatnya Riana dan Claudya," ucap Hanah dengan mengulurkan tangannya.Jona tersenyum menyambut uluran tangan Hanah. Ia memandangi dengan seksama antara Claudya dan Riana. Mereka memang kembar identik mereka bak pinang di belah dua. Jona teringat akan sebuah foto yang pertama kali ia lihat di rumah Pak Burhan. Foto seorang gadis bergaun putih menjuntai. Foto itu yang mengalihkan perhatian Jonq. Jatuh cinta pada pandangan pertama seorang Reynaldi Pratama yang kini menjelma menjadi Jonathan Kendrick.Du