Hari itu Adinda dihubungi pihak butik terkait fitting baju pengantin untuk pernikahannya dengan Ardiaz. Hampir delapan puluh persen persiapan telah terlaksana. Hari demi hari yang terlewati juga semakin mengikis waktu hingga sampai pada hari yang seharusnya bahagia itu.
Semua orang begitu bahagia dan tak sabar menantikan hari besar bagi dua keluarga. Tapi berbeda bagi Adinda yang dipenuhi dengan ketakutan dalam batinnya. Harapan terlaksananya akad nikah perlahan dia hapuskan dari angan. Belum tentu impiannya untuk menjadi istri Ardiaz akan menjadi kenyataan setelah kejujuran yang akan dia sampaikan.
Setelah menimbang berkali-kali, Adinda memutuskan hari itu akan menyampaikan segalanya pada sang calon suami. Dia dan Ardiaz berjanji akan bertemu langsung di butik. Adinda berniat menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan kebenaran dirinya pada Ardiaz.
Adinda bahkan tidak terlalu bersemangat untuk pergi ke sana. Dia takut dirinya belum benar-benar siap dengan kemungkinan buruk yang mungkin akan dia terima dari Ardiaz. Meski begitu dia tetap berangkat setelah berpamitan pada kedua orang tuanya.
Sesampainya di butik, kedatangan Ardiaz yang lebih dulu membuat Adinda sempat ragu untuk melangkahkan kaki. Rasanya dia tak punya muka untuk berhadapan dengan laki-laki itu. Dia sungguh malu karena tak mampu menjaga diri sebelum hari pernikahan mereka.
“Assalamualaikum, Din. Apa kamu datang sendiri?” sapa Ardiaz dibubuhi dengan senyuman saat melihat calon istrinya tiba.
“Waalaikumsalam. Iya tadi aku naik ojek online,” jawab Adinda seadanya. Sesungguhnya dia sedang menahan rasa gugup.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Ardiaz karena melihat ekspresi wajah Adinda yang tak seperti biasanya.
“Eh, apa? Aku tidak apa-apa,” jawab Adinda gelagapan semakin membuat Ardiaz menatap heran.
“Kamu yakin?” tanya laki-laki itu ragu.
Tapi sebelum Adinda sempat merespon kembali, mereka tiba-tiba dipanggil oleh salah seorang pelayan butik untuk melakukan fitting baju pengantin. Obrolan mereka pun terhenti dan mengikuti arahan sang pelayan. Sejenak Adinda dapat menghirup napas lega karena dapat menghindar dari pertanyaan Ardiaz.
Pasangan calon pengantin itu diminta untuk mencoba baju pengantin yang sudah disiapkan untuk mereka. Ardiaz tampak gagah dengan setelan jas berwarna abu-abu. Sementara Adinda mengenakan gaun panjang berwarna putih bahan brukat dan full payet yang membuatnya tampak sangat anggun. Adinda menatap bayangan dirinya di depan cermin besar yang disediakan. Seharusnya dia berbahagia akan segera menjadi pengantin. Namun yang kini dia rasakan hanya ada ketakutan.
Pernikahan impian itu tidak akan sempurna lagi karena kondisinya sudah berbeda. Sekarang dia begitu menyayangkan gaun indah yang sedang melekat di tubuhnya yang sudah ternoda. Gaun itu belum tentu akan terpakai nantinya.
Adinda merasa tak kuasa untuk mengenakan baju pengantin itu terlalu lama. Dia pun memutuskan untuk melepasnya meski tak lama baru memakainya.
“Saya ingin melepas baju pengantin ini, Mbak” ujar Adinda pada salah seorang karyawan butik yang mendampingi untuk membantunya.
“Tapi ini baru beberapa menit saja. Apa ada yang membuat Mbak Adinda merasa tidak nyaman? Biar nanti bisa kami perbaiki jika ada yang kurang,” balas sang karyawan.
“Tidak ada. Gaunnya sangat indah hanya saja saya ingin segera berganti baju,” elak Adinda.
“Kenapa terlihat panik dan terburu-buru, Din? Apa ada sesuatu?” ujar Ardiaz ikut menegur. Dia merasa aneh dengan sikap Adinda yang tampak gusar.
“Kita harus bicara, Mas. Ada hal penting yang perlu kamu ketahui. Aku akan menunggumu di luar setelah berganti baju,” jawab Adinda sekaligus mengungkapkan ajakan.
Ardiaz tidak tahu apa yang memicu keanehan sikap calon istrinya. Meski begitu dia hanya bisa menuruti keinginan Adinda. Setelah selesai berganti baju, Ardiaz pun keluar dari butik dan menemui Adinda yang sudah lebih dulu menunggunya.
“Hal penting apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan denganku, Din? Apa ini menyangkut pernikahan kita?” tanya Ardiaz semakin memicu kegugupan Adinda.
“Aku rasa lebih baik pernikahan kita dibatalkan, Mas.”
Berat tapi harus tetap terucap. Adinda menelan ludah kasar setelah berhasil mengutarakan kata itu. Walau sebenarnya beban dalam hati belum tersampaikan dengan tuntas.
“Apa maksudmu tiba-tiba berkata seperti itu, Adinda?” tanya Ardiaz tak percaya.
“Aku ingin mundur dari semua ini, Mas. Akhiri saja hubungan kita sebelum semuanya terlambat,” jawab Adinda kali ini diikuti dengan isak tangis yang mulai terdengar. Dia juga tertekan harus membuat keputusan yang tidak sejalan dengan harapannya. Dia harus berperang dengan nuraninya untuk mengucapkan hal itu.
Sementara Ardiaz hanya kebingungan. Perkataan Adinda yang dia dengar dan sikap perempuan itu yang tiba-tiba menangis sangat sulit untuk dia pahami. Sebanding dengan rasa terkejutnya atas permintaan Adinda untuk membatalkan pernikahan. Padahal Ardiaz merasa tidak ada masalah apa pun di antara mereka berdua yang bisa menjadi pemicunya.
"Tenangkan dirimu dulu, Adinda. Aku tidak tahu masalah apa yang sebenarnya kamu hadapi hingga berpikir untuk membatalkan pernikahan kita. Tapi ini adalah komitmen kita untuk hidup bersama. Tidak bisa digagalkan begitu saja apalagi hanya tinggal menghitung hari. Kalau ada sesuatu yang sedang memberatkan pikiranmu, tolong berbagilah denganku tapi jangan memutuskan secara sepihak tanpa alasan yang aku tahu," ujar Ardiaz berusaha meredam suasana komunikasi mereka agar tidak memanas dan menjadi perdebatan.
Ardiaz mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saat dia melihat sebuah bangku panjang di pinggir jalan, dia pun mengajak Adinda untuk duduk di sana. Adinda menurut walau sesampainya di sana tak ada kelanjutan dialog yang mengisi ruang di antara mereka berdua.
Hanya suara isak tangis Adinda yang menyesali keadaannya. Sementara Ardiaz hanya diam menatap tak tega pada perempuan di sampingnya yang tampak sedang sangat terluka. Ardiaz tidak tahu apa yang membuat Adinda menangis tergugu.
Seandainya hubungan mereka sudah halal, dalam kondisi seperti itu pastilah dia akan merengkuh tubuh Adinda ke dalam pelukannya. Ardiaz sadar masih ada batasan di antara mereka.
Cara yang bisa Ardiaz lakukan hanyalah dengan memberikan waktu bagi Adinda untuk menuntaskan tangisnya terlebih dahulu. Setelah perempuan di sampingnya tampak lebih tenang, barulah dia kembali memulai pembicaraan.
"Sekarang berbicaralah dengan tenang. Sebenarnya masalah apa yang membuatmu sampai mengatakan ingin membatalkan pernikahan kita? Kamu tidak serius mengucapkannya bukan? Kita sudah dewasa, Din. Jangan gegabah memutuskan sesuatu apalagi berkaitan dengan pernikahan. Ini akan menjadi ibadah seumur hidup nantinya," ujar Ardiaz.
"Justru karena pernikahan adalah ibadah seumur hidup, Mas. Kamu tidak bisa menghabiskan seumur hidupmu dengan orang yang salah," balas Adinda setelah berusaha menata kembali kata-katanya.
"Tidak, Din. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku yakin pada keputusanku untuk memilihmu," bantah Ardiaz.
"Itu dulu, Mas. Sekarang kondisiku berbeda. Aku sudah tidak pantas lagi untukmu, Mas Ardiaz."
"Tapi kenapa, Din?"
"Aku...sebenarnya aku...aku sudah tidak suci lagi."
"Apa?"
Ardiaz menatap lekat perempuan bergamis abu-abu yang sedang terisak di hadapannya. Dia sadar butuh keberanian yang besar bagi Adinda untuk mengutarakan kejujuran seburuk itu pada laki-laki yang merupakan calon suaminya.Ardiaz bisa mengerti ketakutan Adinda. Hanya saja dia tidak menyangka jika ternyata pakaian longgar dan panjang itu bahkan tak mampu melindungi kehormatan calon istrinya. Sesungguhnya tanpa membutuhkan penjelasan dari Adinda, Ardiaz sudah bisa memahami bahwa semua itu terjadi tanpa keinginan dari Adinda sendiri.Ardiaz sudah cukup mengenal pribadi baik Adinda. Tapi tetap saja kali ini dia ingin mendengar cerita hingga kejadian naas itu menimpa Adinda. Ardiaz pun bertanya dengan hati-hati karena tak ingin semakin menyinggung perasaan Adinda yang jelas sedang terluka.“Bagaimana semua itu bisa terjadi padamu, Din?” tanya Ardiaz setelah memberikan jeda yang cukup lama bagi Adinda untuk mengurai tangisnya.“Aku tidak berniat untuk mengkhianatimu dengan sengaja, Mas. Maafka
“Gawat, Bos! Saya baru saja mendapat informasi terbaru mengenai perempuan bernama Adinda itu,” ujar Andre yang tiba-tiba datang dengan tergesa ke ruangan Rasya.Rasya yang sedang memeriksa beberapa berkas laporan pun mengalihkan perhatiannya. Entah mengapa selama beberapa waktu belakangan, topik Adinda menjadi sesuatu yang seolah tak ingin dia lewatkan. Dia memang memerintahkan Andre untuk selalu mengawasi perempuan yang merupakan korbannya itu.“Ada apa dengan perempuan itu? Apa dia frustasi dan ingin bunuh diri?” ujar Rasya menduga hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan oleh seorang korban pelecehan.“Bukan itu, Bos” elak Andre.“Lalu apa?”“Ternyata Nona Adinda sudah memiliki calon suami dan sebentar lagi mereka akan menikah.”“Apa?” ucap Rasya refleks.Laki-laki itu langsung terdiam begitu mendengar penuturan dari Andre. Entah mengapa ada gejolak tak nyaman saat mendengar tentang pernikahan Adinda. Walau tak mengenal Adinda dengan baik, tapi kejadian malam itu sudah membuat Ras
“Sekarang pengantinnya sudah siap. Wah...Mbak Adinda cantik sekali. Pasti Mas Ardiaz akan pangling melihatnya,” puji seorang perias pengantin yang membantu menyiapkan Adinda. Tarian jemarinya sudah menyulap Adinda bak ratu sehari. Adinda yang memang aslinya cantik dibuat semakin cantik.Adinda hanya menanggapi pujian itu dengan senyum datar. Dia tak begitu bersemangat menyongsong hari pernikahan karena keadaannya sudah berbeda. Setiap diamnya dipenuhi gelisah dan takut. Keraguan di hati menari-nari tanpa henti.Adinda menatap lekat dirinya di cermin. Binar kebahagiaan tak memancar di sana. Batinnya bermonolog tanpa ada seorang pun yang mampu memahaminya.“Awalnya aku adalah sebuah bunga yang indah tapi berduri. Aku tidak membiarkan seseorang menyentuh apalagi merenggut kelopakku dengan mudah. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apakah duriku sudah tidak lagi tajam hingga tak mampu menghalau tangan jahat yang ingin menghancurkan? Oh bahkan sekarang aku hanya seperti setangkai bunga layu ta
Malam itu Adinda mematung di dekat jendela kamarnya. Kini dia sudah tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Setelah resmi menjadi istri dari Ardiaz, sore harinya setelah acara selesai, Ardiaz langsung memboyong Adinda ke rumah pribadinya. Rumah yang memang disiapkan untuk dihuni mereka berdua.Ardiaz adalah laki-laki yang memiliki pemikiran dewasa. Sejak awal dia bertekad untuk hidup mandiri dan membangun rumah tangganya sendiri. Itu sebabnya dia memilih tinggal terpisah dari orang tua maupun mertuanya.Sebenarnya rencana awal Ardiaz tidak ingin langsung memisahkan Adinda secepat itu dari keluarganya. Namun kini kondisinya sudah berbeda. Dia berpikir keputusan untuk pindah rumah akan lebih baik jika segera dilakukan. Ardiaz tidak mau ada orang lain yang tahu tentang aib sang istri yang dia sembunyikan.Sejak masih berlangsungnya acara pernikahan saja Adinda sudah menunjukkan gelagat yang berbeda. Beban pikiran mungkin tak bisa ditutupinya. Beberapa kali ia mendapati Adinda melamun s
Hidup baru Ardiaz dan Adinda sudah dimulai. Mereka menjalani hari-hari bersama di rumah baru. Sudah satu minggu mereka resmi menjadi suami istri. Tapi sampai saat itu Adinda tetap tak juga memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri untuk menyerahkan diri pada Ardiaz. Semua upaya dia lakukan agar bisa menjadi istri yang baik. Dia menyiapkan segala kebutuhan Ardiaz setiap hari. Hanya saja untuk urusan ranjang, dia masih belum bisa memenuhi. Ardiaz rupanya juga sangat memahami. Setelah penolakan Adinda di malam pertama mereka, Ardiaz tidak pernah meminta hal itu lagi. Membahasnya pun tidak. Ardiaz seolah benar-benar berlapang dada menyikapi ketidak siapan istrinya. Namun sikap Ardiaz itu justru membuat Adinda tidak enak sendiri. Adinda mulai menyadari ada yang tidak normal dalam hubungan pernikahannya. Dia tidak mau ketakutan dan trauma masa lalu mempengaruhi rumah tangganya. Adinda berpikir dia harus berusaha untuk melawan rasa takutnya sendiri dan menjadi istri Ardiaz seutuhnya. “M
Setelah kejadian ketika Adinda menangis histeris malam itu, Ardiaz pun berpikir untuk mulai berkonsultasi dengan dokter atau psikolog. Dia tidak tega membiarkan istrinya terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bukan demi kepentingannya, semua dia lakukan semata demi membuat sang istri bisa hidup normal kembali.Meski begitu Ardiaz tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Bagaimana pun juga dia tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan dari Adinda. Oleh karena itu dia pun menyampaikan niatnya pada Adinda ketika mereka hendak sarapan bersama pada suatu pagi.“Setelah kejadian malam itu, aku berpikir untuk membawamu ke rumah sakit,” ujar Ardiaz membuat Adinda menghentikan aktivitasnya yang sibuk menata makanan di meja makan. Adinda menatap lekat pada Ardiaz.“Bagaimana pendapatmu?” imbuh Ardiaz merasa suasana di antara mereka mulai cukup tegang. Ardiaz sadar membicarakan masalah itu harus dilakukan dengan hati-hati agar Adinda tidak tersinggung atau pun salah paham.Adinda hanya diam.
Setelah diberi pemahaman dengan baik, Adinda akhirnya setuju untuk pergi ke rumah sakit. Ardiaz bahkan mengantarnya sendiri untuk berkonsultasi dengan dokter. Adinda menemui salah satu dokter yang bernama Dokter Sylva.Tidak seperti pemeriksaan kesehatan secara umum, masalah yang menyangkut psikis Adinda membuat proses yang dilalui cukup berbeda. Bahkan proses identifikasi justru seperti sesi curhat. Adinda diminta untuk menceritakan kejadian yang memicu traumanya.Adinda tak begitu nyaman jika harus menceritakan kejadian memilukan ketika kehilangan kehormatannya. Apalagi saat itu Ardiaz tepat berada di sampingnya. Dia memikirkan bagaimana perasaan Ardiaz jika mendengar peristiwa yang merenggut kesucian istrinya.Adinda hanya bergeming tak kunjung bicara. Dia justru melirik tak nyaman ke arah suaminya. Rupanya gelagat Adinda dapat dibaca oleh Dokter Sylva. Dengan penuh pengertian dokter itu meminta Ardiaz meninggalkan mereka berdua saja agar Adinda lebih leluasa untuk membuka diri ter
Pertemuan dengan Adinda membuat Alvia merasa nyaman. Bahkan tanpa sungkan dia menceritakan masalah yang sedang ia hadapi pada pertemuan pertama mereka. Setelah perkenalan singkat di koridor rumah sakit, dua perempuan itu berbincang santai sembari duduk di sekitaran taman samping rumah sakit.“Tunanganku mengalami koma karena sebuah kecelakaan. Padahal tadinya kami juga sudah berencana untuk menikah setelah kuliah magisterku selesai. Tapi sekarang entahlah. Aku hanya berharap semoga dia bisa sembuh dan kembali pulih seperti sebelumnya. Aku sangat mencintai dia,” ungkap Alvia menceritakan tentang sosok Rasya.“Aku mengerti kesedihan dan kecemasanmu. Kita doakan saja semoga tunanganmu baik-baik saja. Tapi kalau boleh tahu, apa yang membuatmu begitu bersedih hingga menangis seperti tadi?” tanya Adinda.Entah mengapa Aldinda merasa sangat peduli pada Alvia yang baru saja dia temui. Adinda tahu semua orang datang ke rumah sakit dengan kecemasan masing-masing. Rumah sakit adalah tempat yang