Sakitnya akan terasa nggak ya? Atau ... aku malah sama sekali nggak akan sempat merasakan sakitnya, dan langsung pergi ke alam baka, begitu?Sekali lagi, gadis itu melihat ke bawah.“Ada di mana dia, San? Lu yakin kita kagak salah tempat ini ya? Beneran ini dia ada di sini? Kalo kita salah tempat yang ada dia malah udah mejret duluan, Sandra! Dia keburu lompat dah ke bawah!” ujar Anwar, kawatir.“Iiissh ... berisik! Sembarangan banget sih lo kalo ngomong! Doain aja dia itu masih baik-baik aja gitu kenapa sih! Bisa nggak sih lo?" protes Sandra sambil melotot.“Iya! Iya! Semoga itu bocah masih sehat wal afiat dah ya! Jangan sampe lompat dulu kèk! Tunggu sampe kita udah dateng aja gitu, baru dah dia boleh lompat gitu ya!”Sandra tambah melotot.Anwar langsung mingkem.“Lo bisa diam nggak, War? Mendingan lo nggak usah ngomong aja deh sekalian!” bentak Sandra.“Iya, ini gua udah diem! Udah mingkem! Masih salah aja sih kalo gua ngomong di depan lu! Makanya lu kalo lagi ngomong sama gua kagak
“Yang mana calon suami lo?” tanya Tabitha.“Itu! Cowok yang duduk di meja ujung itu!” tunjuk Sandra. Jari telunjuknya mengarah ke seorang pria yang duduk tidak jauh dari sudut mereka berdiri.Tabitha memandang pria itu, yang langsung bangkit dari duduknya ketika melihat Sandra, dan memamerkan senyum manisnya.Pria yang tampan. Tubuh tinggi tegap dengan bahu lebar. Kulit sawo matang. Penampilannya sangat rapi dengan setelan formal, celana panjang dengan kemeja, lengkap dengan dasinya. Tipe pria yang sudah dewasa dan mapan.“Itu calon suami lo?” bisik Tabitha."Iya!" Sandra mengangguk.“Keren ya? Ganteng juga sih sebenarnya! Tapi ... gue nggak cinta!” ujar Sandra.Tabitha terkejut.“Kalo lo nggak cinta, kenapa lo mau waktu dijodohin sama dia?” Tabitha menatap Sandra, bingung.Sandra mengangkat bahu.“Karena ... gue lihat dia cowok yang baik kali ya? Jadi yaa ... kenapa nggak?”Tabitha terdiam.Semudah itukah Sandra membuat keputusannya?Pria itu sekarang berdiri di hadapan mereka.“Bitha
Mimpi apa aku semalam? Sandra selingkuh? Nggak salah tuh? Ada apa sebenarnya dengan Sandra? Apa sih yang dilakukan si jantan itu sama Sandra sampai Sandra nggak takut kehilangan Andre, dan lebih memilih pria yang sosoknya aja baru dia kenal? Astaga!Tabitha geleng-geleng kepala.Ke mana perginya Sandra yang pernah ngajarin aku untuk bisa menerima perjodohan, dan belajar untuk mencintai?“Bith? Bitha!”Suara Sandra di seberang telepon mengejutkan Tabitha. Membuat dia tersadar bahwa gagang telepon itu masih ada dalam genggamannya, dan masih menempel di telinganya.“Iya! Kenapa?” sahut Tabitha.“Bagaimana? Lo mau kan temani gue nanti malam ya? Mau kan ya?” tanya Sandra. Nada suaranya memelas."Temui dia sendiri aja kenapa sih?""Nggak mau! Gue kan butuh pendapat lo juga tentang dia!"Tabitha menghela nafasnya. Berat.“Hmm ... memangnya … kalau besok pas hari Sabtu aja ketemuannya nggak bisa ya?” Tabitha balik bertanya.“Besok Sabtu? Ya ampun, kok besok sih, Bith? Gue maunya malam ini, Bit
Tabitha merasa kecewa. Dia merasa dibohongi oleh Sandra. Ingin rasanya dia mengamuk saat ini juga. Memarahi pria itu, dan juga Sandra. Tetapi, tidak pantas rasanya.Baiklah, malam ini dia akan mencoba untuk tetap "diam". Berusaha melupakan semua yang pernah dia dengar.“Apa ... Anda tahu kalau sebenarnya dia ... sudah menikah?” Tabitha mencoba menahan emosinya.“Iya, saya tahu! Ada masalah dengan itu?” Kening pria itu berkerut.Fix! Pria ini ganteng, tapi perebut bini orang! Tabitha geram.“Iya! Tentu saja ada masalah!” Tabitha mengangguk yakin. Hilang sudah kesabarannya!“Harusnya Anda tidak boleh seperti itu!” bentak Tabitha, marah.Pria itu terkejut. Keningnya semakin berkerut. Alis tebalnya hampir bertaut. Mata cokelatnya menatap Tabitha dengan tajam. Namun anehnya, ekspresi di wajahnya tetap terlihat tenang.“Maksud Anda?” tanyanya, tanpa ada sedikit pun nada emosi di suaranya.“Maksud saya, Anda kan tahu kalau Sandra itu sudah menikah tapi ....”“Sandra? Sudah menikah?" Pria itu
Kisah hidupku sejauh ini memang bukan kisah hidup yang dramatis, penuh derai air mata.Memang bukan kisah tentang perceraian, perselingkuhan suami, atau mertua yang jahat seperti yang sering kubaca di novel-novel online selama ini. Juga bukan cerita tentang azab dari Tuhan seperti yang sering kutonton di televisi bersama ibu, bapak dan Dilla dulu. Sejauh ini, ya memang hanya seperti ini kisah hidupku.Aku juga bukan anak sultan yang punya banyak uang, karena orangtuaku hanya pengrajin batik kecil-kecilan. Kami cuma punya toko batik kecil di tengah pasar di pusat kota, dan sebidang tanah yang di atasnya dibangun sebuah rumah tempat kami tinggal, serta sedikit lahan kecil tempat Bapak memproduksi kain batiknya.Ya, aku memang hanya anak gadis biasa yang pergi merantau sendirian ke Ibukota Jakarta. Aku belum tahu tentang perceraian, perselingkuhan suami, atau tentang pertengkaran suami dan isteri dalam rumah tangga, karena aku memang belum menikah.Aku masih gadis lajang.Aku belum tahu t
Seperti petir di siang bolong yang berbunyi tepat di depan gendang telinganya, suara itu berhasil membuat Tabitha terkejut, lantas menoleh ke belakang, dan memandang seorang gadis yang berdiri di hadapannya saat ini.Vina.Tabitha menelan ludah.Putri kedua Bu Ambar yang ternyata sudah setahun lebih dulu diterima bekerja di perusahaan yang sama dengan Tabitha. Setelah sekian lama mereka berdua tidak bertemu, kenapa mereka harus bertemu di sini?Tuhan, cobaan apa lagi ini? Tabitha menghela nafasnya.Sabaar ... ya, Tabitha! Tabitha mengelus dada.“Bisa sopan sedikit tidak bicaranya? Maksud kamu apa sih? Kok saya tidak mengerti ya?” sahut Tabitha.Tetap berusaha tenang, itu yang sedang Tabitha coba lakukan. Walaupun di dalam hati rasanya dia ingin sekali menarik rambut panjang sebahu milik gadis yang selalu memandangnya rendah dan hina sejak dulu itu. Bahkan hingga saat ini, sepertinya.Dulu, ketika dia menumpang tinggal di rumah keluarga gadis itu, dia sudah diperlakukan seenaknya oleh m
Pria itu tersenyum lebar.“Harusnya aku yang tanya begitu! Kamu kenapa ada di sini? Sudah pindah kerja rupanya?” tanya pria itu dengan mata berbinar menatap gadis yang berdiri di depannya.“Iya, Mas!” Tabitha mengangguk.Pria itu adalah Andre, suami Sandra.“Wah, kejutan banget dong! Sejak kapan kamu kerja di sini?” tanya Andre.“Belum lama kok, Mas! Baru dua bulan yang lalu! Eeng ... Mas Andre juga kerja di sini?”“Hah? Ya iya lah! Memangnya selama ini kamu belum tahu?” Andre terheran-heran.Tabitha menggeleng.“Belum, Mas!” Tabitha tersenyum malu.Andre tertawa terkekeh.“Ya sudah, nggak apa-apa! Eh, hampir lupa! Aku mau ke kantin dulu ya, Bith! Mau beli titipan Sandra!” ujar Andre.“Ooh … iya, Mas!” Tabitha mengangguk."Eeh ... Mas! Mas, tunggu dulu!" panggil Erika dan Anna."Kenapa?" Andre mengerutkan keningnya."Mas yang namanya Surya Anemia itu ya? Yang artis itu? Yang host acara kuis buat emak-emak itu?" tanya Anna."Ooh ... bukan! Nama saya Andre Insomnia. Insomnia ... karena s
“Silahkan, Mbak! Ini titipan dari Pak Andre ya!” ujar resepsionis itu, sambil tersenyum ramah.“Iya, terimakasih!” Tabitha balas tersenyum sambil menerima bungkusan berisi kotak plastik yang diulurkan kepadanya. Harum dimsum segera menyeruak keluar, menggoda perut Tabitha yang mulai terasa lapar.Dari balik dinding kaca yang membatasi ruang resepsionis dengan ruang kantor di sebelahnya, seorang pria terlihat berjalan keluar dari ruang rapat di dalam kantor itu.Pria itu tersenyum gembira ketika melihat Tabitha bersiap melangkah keluar dari kantornya sambil menenteng bungkusan berisi sekotak dimsum di tangan. Pria itu pun segera mempercepat langkah kakinya dan menghampiri Tabitha.“Bith!” panggil pria itu.Tabitha menoleh.“Loh, Mas? Sudah selesai rapatnya?” tanya Tabitha.Pria itu tersenyum.“Sudah! Ternyata rapatnya nggak selama yang aku kira! Kita pulang bareng aja yuk!” ajaknya.“Loh kok?” Tabitha bingung.“Nggak apa-apa! Kan kita memang searah!” ujar pria itu.Dan akhirnya, setelah