Share

BAB 4

"AYO ... JAWAB AKU!" bentak Armandi.

Tabitha terlonjak saking terkejutnya. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir. Sedangkan air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.

Melihat Tabitha hanya berdiri terdiam sambil menggigit bibir, Armandi mulai tergoda. Entah makhluk apa yang merasuki pemuda itu sehingga tiba-tiba dia mencengkeram bahu Tabitha, dan berusaha mencium bibir merah alami yang entah sejak kapan mulai berani mengganggu tidur malamnya, dan membangkitkan gairahnya.

Spontan Tabitha memberontak dan mendorong tubuh Armandi dengan sekuat tenaga. Lalu, ditamparnya wajah tampan pemuda itu dengan keras.

Armandi jatuh terhuyung ke belakang. Namun, pemuda itu segera bangkit berdiri. Dengan ibu jarinya dia menghapus darah yang menetes keluar dari bibirnya yang terluka.

Armandi menatap nyalang ke arah Tabitha. Kedua matanya kelihatan merah. Emosi kemarahan mulai memuncak di kepalanya. Kedua tangannya kembali mengepal. Rahangnya kembali mengeras.

Tabitha membalas tatapan nyalang Armandi dengan berani. Sedikit pun gadis itu tidak merasa takut.

“Aku calon isterimu atau bukan, bukan berarti Mas Arman boleh memperlakukan aku seenaknya! Lebih baik bapak punya hutang sama paklèk Juhari daripada aku harus menikah sama Mas Arman!” ujar Tabitha dengan suara gemetar menahan amarah yang juga ikut memuncak di kepalanya.

Armandi mendengus.

Beraninya gadis itu menolak untuk menikah denganku! pikir pemuda itu.

Selesai berkata seperti itu, tanpa menunggu balasan kata-kata dari Armandi, Tabitha lekas berlari keluar dari dalam kamar pemuda itu. Dan, dia sudah tidak kuasa untuk menahan air mata yang akhirnya berhasil menerobos keluar dari pelupuk mata, dan mengalir di pipinya. Tidak dihiraukannya beberapa orang pemuda yang masih duduk di teras depan rumah itu, dan yang menatapnya dengan kebingungan.

“Si Bitha kenapa? Keluar dari kamar sampèyan kok sambil menangis begitu? Sampèyan apakan toh?” tanya salah seorang pemuda yang duduk di teras kepada Armandi yang kemudian juga keluar dari dalam kamarnya.

Armandi tidak menjawab. Pemuda itu hanya tersenyum menyeringai, lalu menatap nanar ke arah Tabitha yang sudah berlari semakin menjauh dari rumahnya. Tidak terpikir sedikit pun oleh Armandi untuk memanggil Tabitha agar kembali, apalagi untuk berlari mengejar gadis itu.

Untuk apa aku mengejar dia? Beberapa bulan lagi, setiap malam aku bahkan akan melihat dia tertidur di sampingku! Sebagai istriku! Pikir Armandi.

Armandi memang pemuda playboy. Senang bergonta-ganti pasangan. Tidak pernah setia menjalin hubungan hanya pada satu orang gadis saja. Tetapi, siapa yang sangka bahwa hati pemuda itu ternyata sudah lama terpaut dan bertekuk lutut pada seorang gadis yang bernama Tabitha.

Gadis yang mulai semakin menarik perhatiannya semenjak gadis itu mulai beranjak remaja, dan semenjak kecantikan dan kemolekan tubuhnya semakin bertambah.

Sekalipun ada gadis-gadis lain yang mengelilingi Armandi, namun di hati pemuda itu hanya ada Tabitha.

Pernikahan mereka yang sebentar lagi akan diadakan tentu sangat membuat Armandi bergembira hati. Tidak perduli apakah gadis itu benar-benar mau menerima dirinya sebagai suami atau tidak.

Yang penting, Tabitha sudah resmi menjadi isterinya.

----------------------------------------

BRAK!

Tabitha mendorong pintu rumahnya dengan kasar.

Rismanto dan Lasmi, kedua orangtua Tabitha yang sedang duduk di tengah ruang keluarga langsung terlonjak di kursi mereka masing-masing.

Tidak lama kemudian, Dilla dan Rangga, kedua adik Tabitha pun keluar dari kamar mereka karena terkejut mendengar suara keras dari pintu yang terhempas.

Tabitha menatap Bapak dan Ibunya bergantian dengan tatapan nyalang. Kedua mata bulatnya yang indah terlihat merah karena menangis di sepanjang jalan menuju pulang tadi.

“Bapak jahat!” Teriak gadis itu, tiba-tiba.

Rismanto terperangah.

“Bapak jahat? Jahat opo toh, Nduk? Kamu pulang dari rumah temanmu, ndak ucap salam masuk ke rumah, banting-banting pintu, terus kamu bilang Bapak yang jahat itu piyè toh? Opo ndak salah?” Ujar Rismanto, menegur putrinya.

“Bitha sudah tahu semua, Pak! Semuanya! Kenapa sih Pak? Bapak kenapa mau menikahkan Bitha sama Mas Arman? Bapak kenapa tega sekali sama Bitha sih, Pak?” tanya Tabitha dengan marah.

Pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Rahasia itu akhirnya terbuka juga. Tentang perjodohan itu. Tentang rencana pernikahan itu.

Tetapi, kenapa pertanyaan itu harus muncul di saat Rismanto dan isterinya masih merasa belum siap untuk memberi jawaban?

Rismanto menatap putrinya tanpa bisa sedikit pun membantah, atau berucap apa-apa.

Lasmi juga demikian. Wanita itu sama saja seperti suaminya. Hanya bisa duduk terdiam sambil menatap putri sulungnya.

Mereka berdua seolah hilang kemampuan untuk menegur putrinya yang sedang marah.

Hilang kemampuan untuk balas memarahi putrinya yang tiba-tiba berani membanting pintu di depan mata kedua orangtuanya.

Malam ini, mereka hanya mampu menyiapkan hati. Bersiap untuk melihat kemarahan yang sebentar lagi akan meluap dari putri sulung mereka, dan sepertinya saat ini sudah tinggal menghitung detik saja.

“Bapak dan Ibu kenapa tega sama Bitha? Kenapa sih Pak? Ibu? Pokoknya, Bitha nggak mau disuruh menikah sama Mas Arman! Titik! Bitha nggak akan mau!” bentak Tabitha, marah. Suaranya keras, seolah sudah tidak perduli bahwa yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah kedua orang tuanya sendiri.

Rismanto menghela nafasnya. Mencoba untuk tetap bersikap tenang, walau emosinya sendiri sebenarnya sudah mulai naik.

Belum pernah satu kali pun putri sulungnya yang selalu bicara lemah lembut dan penurut itu berani bersuara keras di depan orangtuanya. Tetapi, malam ini ... yaah ... mungkin karena salahnya juga sebagai Bapak.

“Dari mana kamu mendengar berita itu, Nduk? Siapa yang bilang begitu sama kamu?” tanya Rismanto. Masih mencoba untuk menutupi kebenarannya.

“Mas Arman sendiri yang bilang sama Bitha! Nggak mungkin kalau Mas Arman bohong sama Bitha! Bitha juga sudah lihat sendiri undangan pernikahannya! Bapak ... tolong batalkan, Pak! Bitha nggak mau menikah sama Mas Arman, Pak! Tolong!" ujar Tabitha, memohon.

Rismanto menggelengkan kepala.

“Ndak mungkin, Nduk! Ndak mungkin kalau Bapak batalkan! Ini sudah menjadi kesepakatan antara keluarga kita dengan keluarga paklèk Juhari! Pernikahan kamu dan Arman itu juga sudah dekat! Sudah ndak mungkin untuk dibatalkan lagi!” ujar Rismanto.

"Masih mungkin kok, Pak! Masih ada waktu kan? Pasti masih bisa!" rengek Tabitha.

"Ndak mungkin, Nduk!" Nada Rismanto mulai meninggi.

“Tapi, Pak ... Bitha nggak mau, Pak! Bitha nggak suka sama Mas Arman! Bitha nggak mau menikah sama dia!" Tabitha hampir menangis lagi. Kedua matanya sudah semakin memerah.

Rismanto menghela nafasnya. Tetapi, hatinya sama sekali tidak bergeming. Dia tidak ingin menanggapi ucapan putrinya.

“Tolong, Pak! Bapak tolong Bitha! Tolong batalkan pernikahan itu, Pak! Bitha belum mau menikah! Bitha nggak mau menikah sama Mas Arman, Pak! Bapaak ...!”

Tabitha meratap.

Rismanto kembali menggelengkan kepalanya.

“Ndak bisa, Nduk! Memangnya kamu pikir bisa semudah itu untuk membatalkan pernikahan? Bapak bilang sudah ndak bisa ya ndak bisa!” ujar Rismanto, marah.

“Tapi, Pak ... tolong, Pak! Bapak tolong dengarkan Bitha dulu!” Tabitha kembali merajuk.

“Ndak bisa ya ndak bisa! Ndak mungkin ya ndak mungkin! Harus berapa kali Bapak bilang sama kamu? Kamu ini sengaja mau bikin Bapakmu marah, pusing opo piyè?” bentak Rismanto. Kemarahannya semakin meluap. Emosinya semakin meninggi.

Tabitha terperanjat.

“Tapi Pak ... Bitha ....”

“Sudah! Cukup!" bentak Rismanto lagi.

"Bapak sudah ndak mau dengar alasanmu! Pokokè, kamu harus tetap menikah dengan Armandi! Mau kamu taruh di mana muka Bapak kalau pernikahan ini sampai dibatalkan? Kamu mau bikin Bapakmu malu?” Suara Rismanto membahana di tengah ruangan itu.

Tabitha terkejut, dan akhirnya gadis itu mulai menangis.

“Bapak jahat! Bapak jahat sama Bitha! Jahaat...!” teriak Tabitha, histeris. Tangisannya semakin menjadi.

Lasmi tidak kuasa lagi menahan diri untuk tidak bangkit berdiri, dan memeluk putri sulungnya.

Wanita itu mencoba untuk menenangkan putrinya yang sedang menangis. Walau kenyataannya, putrinya justru menepis pelukan itu.

“Nggak! Bitha nggak mau dipeluk sama Ibu! Ibu juga jahat! Ibu sama seperti Bapak!” teriak Tabitha, marah.

“Nduk ... jangan begitu!" Lasmi masih mencoba untuk kembali memeluk. Namun, lagi-lagi pelukan itu ditepis oleh putrinya.

“Nggak! Bitha nggak mau dipeluk Ibu!” teriak putri sulungnya, sambil berlari masuk ke dalam kamar.

BRAK!

Putrinya membanting pintu kamarnya.

“Piye iki, Pak?” tanya Lasmi, tanpa kuasa untuk menahan air mata yang sedari tadi dia tahan, dan akhirnya mulai mengalir di pipinya.

Rismanto tidak menjawab. Pria itu hanya duduk terdiam di kursi. Keputusannya memang sudah bulat. Sudah tidak ada yang bisa mengganggu gugat.

Putri sulungnya tetap harus menikah dengan putra sulung Juhari, sebagaimana hasil keputusan yang sudah mereka sepakati bersama.

Lasmi mulai menangis sesenggukan.

Sebagai seorang wanita, sekaligus juga seorang ibu, Lasmi tentu tidak tega melihat putrinya sendiri, darah dagingnya sendiri, harus ‘terjepit’ di dalam situasi seperti itu. Terpaksa harus menikah dengan pemuda yang sama sekali tidak dia cintai, hanya karena terlanjur dijodohkan oleh keluarga. Apalagi demi melunasi hutang orangtua.

Hati Lasmi turut sakit, pedih merasakan kesedihan yang pasti sedang dialami oleh putrinya sendiri saat ini.

Sungguh bersalah kami padamu, Nduk! Lasmi terisak.

Rangga, putra bungsu mereka, tiba-tiba berlari memeluk Lasmi.

“Ibu, Mbak Bitha kenapa, Bu? Mbak Bitha kok menangis? Terus, tadi marah-marah sama Ibu dan Bapak? Ibu juga ikut menangis? Ibu sedih ya karena dimarahi sama Mbak Bitha?” tanya anak lelaki kecil itu, polos.

Lasmi tidak mampu menjawab. Wanita itu hanya menggeleng, lalu mengelus puncak kepala putra bungsunya sambil mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. Sementara Dilla, putri kedua mereka, hanya berdiri terpaku di depan pintu kamar sambil memandangi kedua orangtuanya.

“Bitha! Bitha! Nduk! Buka pintu kamarmu, Nduk! Ibu mau ngomong sama kamu .... Bitha!”

Sudah hampir tengah malam, Lasmi masih berdiri di depan pintu kamar putri sulungnya sambil terus mengetuk pintu kamar itu. Tetapi sayang, tetap tidak ada jawaban. Tidak ada sahutan. Hanya suara tangis yang sesekali masih terdengar dari balik pintu kamar itu.

“Nduk ... maafkan Ibu dan Bapak ya, Nduk! Bitha ... Tabitha ...!” Lasmi kembali mengetuk pintu kamar itu.

Tidak lama kemudian, Rismanto datang menghampiri Lasmi dan merengkuh bahunya.

Lasmi menoleh, lalu menatap suaminya. Kedua mata wanita itu kelihatan bengkak dan memerah karena menangis sejak tadi.

“Pak .... Bitha, Pak!”

Lasmi mengusap air mata yang kembali mengalir di pipinya tanpa bisa dicegah.

“Sudah, Bu! Biarkan Bitha sendiri dulu! Sekarang sudah malam, Ibu juga harus istirahat! Besok baru kita bicarakan lagi!” ujar Rismanto, pelan.

Lasmi mengangguk, sambil lagi-lagi mengusap air matanya. Wanita itu menurut ketika Rismanto membimbingnya masuk ke dalam kamar.

----------------------------------------

Ibu, Bapak, Bitha izin pamit. Bitha minta maaf kalau Bitha sudah membuat Ibu dan Bapak kecewa karena keputusan Bitha. Karena Bitha memutuskan untuk pergi dari rumah ini, dan meninggalkan Ibu, Bapak, Dilla, juga Rangga.

Bitha nggak tahu harus bagaimana lagi caranya supaya Bitha bisa menolak pernikahan itu. Bitha benar-benar nggak mau menikah sama Mas Arman, Pak! Ibu! Bitha nggak suka sama Mas Arman! Bitha nggak cinta sama dia! Bitha juga belum mau menikah, Pak! Bitha masih punya cita-cita! Bitha mau kuliah! Bitha juga punya mimpi yang ingin Bitha raih!

Kenapa Bapak nggak mau mengerti? Kenapa Bapak nggak mau mendengarkan Bitha? Kenapa Bapak dan Ibu nggak mau dengar penjelasan Bitha?

Lebih baik Bitha pergi dari rumah ini. Tapi, Bitha harap Ibu dan Bapak mau memaafkan Bitha.

Maafkan Bitha ya, Bu! Bapak!

Bitha sungguh-sungguh minta maaf!

Bitha sangat sayang Ibu dan Bapak.

“BAPAAAK ...!”

Lasmi menangis histeris seketika setelah selesai membaca selembar surat yang diselipkan oleh putrinya di bawah pintu kamar tidur orangtuanya.

Hari masih jauh dari waktu senja, bahkan pagi pun baru menjelang. Tetapi, mulai hari itu matahari seolah tidak akan pernah terbit dan menyinari rumah itu lagi. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Lasmi saat ini.

"BAPAAAAK...!"

Lasmi kembali menangis dan berteriak histeris. Wanita itu langsung terduduk lemas. Menggelosor di lantai.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status