“BAPAAAK...!” Lasmi menangis sambil berteriak memanggil suaminya.Rismanto terkejut.Setengah tersadar dari tidurnya, pria itu langsung melompat dari atas tempat tidur, dan mendapati isterinya sudah terbaring di lantai.“Bu! Bu! Ono opo toh, Bu? Bu! Èling, Bu! Bu’e!” (èling = sadar) Rismanto menepuk-nepuk wajah Lasmi, sementara wanita itu masih terus menangis.“Bapaaak ... Bitha, Pak! Bithaa ... anakkuu ....” “Bitha nopo, Bu?”“Bitha paak ....”Di tengah kebingungan, pandangan Rismanto langsung teralihkan ke secarik kertas yang ada di dalam genggaman tangan isterinya.Kertas opo toh kui?Rismanto mengerutkan kening sambil masih memeluk Lasmi.Dengan tangan sedikit gemetar, Rismanto memberanikan diri untuk mengambil secarik kertas itu dari genggaman Lasmi, lalu membaca isinya.Tidak butuh waktu lama, pria setengah tua itu pun ikut menangis. Hatinya terasa sakit, perih seolah baru saja teriris sembilu.Putriku pergi karena aku ...!Rismanto memeluk isterinya erat-erat. Keduanya sama-sa
“Telepon dari Ibu kok masih ndak diangkat-angkat sama Tabitha ya, Pak? Piye toh, Pak?” Lasmi mengeluh. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. Wajahnya kelihatan sedih. Dengan telapak tangannya wanita itu mengusap air mata yang mulai menitik lagi.Rismanto menghela nafas. Dia tidak mampu memberikan jawaban apa pun. Dilihatnya Lasmi, istrinya, langsung meletakkan kembali ponsel miliknya ke atas meja, lalu melangkah masuk ke kamar. Langkah wanita itu kelihatan lemas, seolah hampir tidak bertenaga.Tidak usah diikuti dan ditengok pun Rismanto sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Lasmi di dalam kamar. Isterinya itu pasti akan menangis lagi, menangisi putri mereka, persis seperti semalam. Atau seperti hari kemarin, dan kemarin, dan kemarinnya lagi.Sudah hampir satu bulan berlalu. Tetapi, kabar dari puteri sulungnya sampai hari ini masih belum ada. Satu kali pun Tabitha bahkan tidak pernah menjawab panggilan telepon dari bapak atau ibunya.Bisa jadi puteri sulungnya itu memang masih mara
Pemuda tampan itu lalu menghampiri Tabitha."Ooh ... jadi ini pekerjaan kamu? Jauh-jauh kabur dari kampung ternyata di sini kamu cuma jadi pelayan rumah makan toh, Bith? Bitha ... Bitha ...!” sindir pemuda itu, yang kemudian tertawa terkekeh sendiri, menertawakan Tabitha.Pemuda dengan perawakan sedang, berwajah tampan, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan. Mengenakan pakaian serba hitam, dan sebuah anting perak di telinga kiri yang selalu menjadi ciri khasnya. Pemuda itu berdiri di belakang Tabitha sambil berkacak pinggang.Prak!Nampan plastik yang sedang dipegang oleh Tabitha langsung terjatuh ke lantai. Untung nampan itu sudah kosong!Tidak usah menengok ke belakang untuk melihat siapa yang barusan bicara menyindirnya pun Tabitha sudah tahu siapa pemilik suara itu."Kamu mengantar kopi? Itu tugasmu di sini? Cuma jadi kacung! Pelayan!” sindir pemuda itu lagi, dengan nada sangat menghina.Lidah Tabitha langsung terasa kelu. Gadis itu bahkan tidak sanggup untuk sekedar membalas
Sekian menit yang lalu bis yang ditumpangi oleh Tabitha dan Armandi sudah mulai menempuh perjalanan. Dan, dalam beberapa jam ke depan mereka akan segera sampai di kota tujuan. Kota yang terkenal dengan lumpia. Kota kelahiran mereka berdua.Biasanya, setiap orang yang pulang ke kampung halaman pasti akan merasa senang dan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan sanak keluarga dan saudara mereka. Tetapi, tidak begitu dengan Tabitha.Pikiran gadis itu malah kacau tidak karuan. Hatinya tidak tenang. Smenjak dia naik ke dalam bus itu, yang dia pikirkan hanya satu, dia akan segera dinikahkan dengan Armandi. Pemuda yang tidak pernah dia cintai.Beban pikiran itu yang membuat Tabitha duduk dengan gelisah di bangkunya. Sebentar dia menyandarkan kepala ke kaca jendela. Sebentar kemudian dia menyandarkan kepala ke bangku di depannya. Sebentar kemudian lagi dia malah duduk tegak tanpa bersandar sama sekali.Armandi yang duduk di samping Tabitha mulai memperhatikan kelakuan gadis itu denga
Armandi memang mencintai Tabitha. Tetapi, bukan Armandi namanya kalau dia masih terus berharap pada satu orang gadis saja, yang bahkan tidak mau membalas cintanya sama sekali!Memangnya perempuan cantik di dunia ini cuma dia? Rugi waktu, rugi uang, rugi tenaga juga kalau aku masih saja mengejar-ngejar dia! Di kampung ini, perempuan mana sih yang nggak mau menikah sama aku, Armandi putra juragan Juhari, kecuali si perempuan sok jual mahal itu? Semua perempuan di sini pasti mau menjadi istriku! Apalagi perempuan yang satu ini! Nggak kubalas cintanya pun dia nggak perduli! Dia tetap saja mengejar aku!Armandi berbicara sendiri di dalam hatinya.Pemuda itu lalu menatap tubuh molek seorang gadis yang terbaring tanpa busana di sampingnya, di balik selimut tipis yang hanya menutupi sebagian dari tubuh mereka.Waktu masih jauh dari kata "pagi". Mereka berdua baru saja menyelesaikan “acara senang-senang”, yang entah sudah untuk ke berapa kali mereka lakukan semenjak gadis itu dengan senang hati
“Sepenggal Cerita Malam”. Kalau saja Tabitha pandai menulis novel, atau biasa menulis di buku harian, mungkin dia akan memberi judul seperti itu pada halaman buku yang akan dia tulis malam ini.Usianya belum lagi genap dua puluh tahun. Belum pernah merasakan punya pacar. Belum pernah membaca novel dewasa, apalagi menonton film khusus orang dewasa. Tetapi, malam ini dia malah langsung disuguhi tontonan adegan khusus untuk orang dewasa di depan matanya.“Sayang, sabar dong! Aku kan lagi kunci pintu dulu! Iih ... sayang suka begitu deh! Suka nggak sabaran ah!”“Tapi kamu suka kan?”“Iya, suka! Tapi tadi kan sudah dua kali, masa’ masih mau minta lagi!”“Iya dong! Aku memang mau minta lagi! Boleh kan ya? Masa’ nggak sih? Kan kamu juga suka!” ujar pria itu, sambil mulai menciumi leher Ambar."Iya, boleh! Tapi ... sayang, lepasin aku dulu dong ah! Gelii...! Aaah ...! Sayang ... aaah!" Ambar mendesah. Lalu, terdengar suara tawa cekikikannya dari arah ruang tamu. Tabitha mengerutkan keningnya
Mama hobi selingkuh!Siapa sebenarnya papanya Vina?Bukan papa?Kata-kata Dian masih terngiang-ngiang dan terdengar bagai petir yang terus menyambar di telinga Vina, adiknya. Dan terdengar bagai granat di telinga Ambar, ibu tirinya.Ambar berdiri mematung.Vina ternganga.Mama ... jadi ... Vina itu bukan ... bukan anak papa?Vina jatuh terduduk lemas.“PERGI KAMU, DIAN! MULUT KAMU ITU SUDAH LANCANG SAMA MAMA! MAMA NGGAK MAU LIHAT KAMU LAGI!” teriak Ambar, histeris, tanpa menyadari bahwa putri keduanya sudah terduduk lemas di lantai, di samping kakinya.Emosi Ambar meledak. Marah, kecewa, malu, campur aduk menjadi satu."Ooh ... jadi sekarang Mama juga berani mengusir Dian? Kenapa, Ma? Mama malu karena ternyata Dian sudah lama tahu rahasia Mama? Nggak usah, Ma! Nggak usah malu! Mama juga nggak usah usir Dian! Dian juga sudah lama ingin pergi dari rumah ini! Walau sebenarnya ini rumah Dian! Mama yang dulu datang ke rumah ini! Jadi seharusnya Mama yang keluar kan? Dian menyesal, Ma! Terny
Bapak! Ibu! Dilla! Rangga!Air mata Tabitha merembes seketika.“Ibuuu...!”Bitha langsung berlari menghambur ke pelukan Lasmi. Tangis Ibu dan anak itu pecah. Keduanya lantas saling berpelukan sambil menangis tersedu-sedu. Kerinduan dan penyesalan bertumpuk menjadi satu.“Ibuuu...! Bitha kangen sama Ibu! Bitha minta maaf ya, Bu! Maafkan Bitha, Bu!”“Iya, Nduk! Iya!”Lasmi tidak mampu berkata banyak. Cukup air mata yang mengalir deras yang memberi jawaban untuk semua pertanyaan, sekaligus menjadi pernyataan untuk semua yang tidak mampu terucapkan.“Bapaaak...!”Tabitha lantas memeluk Rismanto yang berdiri di samping Lasmi.“Maafkan Bitha ya, Pak! Bitha minta maaf!”“Iya, Nduk! Iya! Bapak sudah memaafkan kamu!” Rismanto berkata dengan suara terbata-bata.“Bapak dan Ibu juga minta maaf ya, Nduk! Maafkan kami! Kami juga sudah buat salah sama kamu! Kami lupa memikirkan perasaan kamu! Kamu mau memaafkan Ibu dan Bapak kan, Nduk? Mau ya?” tanya Rismanto dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk