Share

BAB 3

“Bitha!” Panggil seseorang.

Tabitha menoleh. Langkah kaki gadis itu terhenti. Kedua mata bulatnya menatap seorang pemuda yang berdiri di depan pagar sebuah rumah besar dengan garasi yang sudah disulap menjadi studio musik. Tempat sang empunya rumah menyalurkan hobi bermusiknya, sekaligus memperoleh pendapatan dari hasil menyewakan studio atau peralatan musik miliknya.

Pemuda itu bergegas menghampiri Tabitha. Wajahnya memang tampan, walau rambut ikalnya terlihat sedikit berantakan. Di telinga kirinya terpasang anting perak. Padanan celana jeans belel berwarna hitam, dan kaus yang juga berwarna hitam melekat pas di tubuhnya yang nampak ideal untuk menjadi seorang fotomodel. Siapa pun gadis yang belum tahu kelakuan pemuda itu yang sebenarnya, yang senang bergonta-ganti pasangan alias playboy sebagaimana juga kelakuan ayahnya, pasti akan langsung jatuh cinta ketika melihat Armandi dan bermimpi untuk menjadi pasangan hidupnya.

Iya! Pemuda yang baru saja memanggil Tabitha adalah Armandi, putra sulung Juhari yang usianya terpaut lima tahun lebih tua dari Tabitha.

Hampir semua gadis di kampung itu jatuh cinta kepada Armandi. Tentu saja selain karena mereka terpesona oleh ketampanan wajah dan kegagahan pemuda itu, juga karena mereka silau melihat kekayaan dari keluarga besar Armandi.

Entahlah! Sepertinya ketampanan wajah dan kekayaan membuat gadis-gadis itu begitu mudah terpedaya oleh cinta.

Apakah karena mereka memang kurang pintar dalam memilih pria yang pantas untuk mereka cintai, atau karena Cinta yang memang terlalu pintar memperdaya mereka?

Tetapi, tidak dengan Tabitha. Hanya gadis itu yang tidak menyukai Armandi karena masih sadar akan kebiasaan buruknya yang terkenal hobi selingkuh dari kekasihnya, dan tidak pernah bisa setia dengan satu orang gadis saja.

“Kamu dari mana? Sudah hampir gelap begini kok masih di luar rumah? Biasanya kalau aku ajak jalan-jalan sore saja malah nggak pernah mau! Malas keluar rumah katamu!” tanya Armandi, ketika mereka berdua sudah berdiri saling berhadapan.

“Dari rumah Tita, Mas! Ada apa?” Tabitha balik bertanya. Merasa malas untuk mendengarkan kritikan dari seorang pemuda yang sendirinya saja terkenal hobi keluyuran malam.

“Nggak ada apa-apa! Mas cuma mau menunjukkan sesuatu sama kamu! Ikut sebentar ke dalam, yuk!” ajak Armandi.

Tabitha menurut. Gadis itu lalu berjalan mengekor di belakang Armandi. Mengikuti langkah kaki si pemuda yang kemudian memasuki halaman rumah besar miliknya. Rumah miliknya sendiri. Pemberian dari ayahnya, Juhari, juragan kaya raya, untuk putra sulungnya, Armandi, sang penerus tahta keluarga.

Tabitha memang tidak pernah menyukai Armandi, tetapi bukan berarti mereka berdua tidak berteman. Dan, ini memang bukan pertama kalinya Tabitha memasuki bangunan rumah besar itu.

Studio musik yang berada di samping rumah itu sering sekali menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda di sekitar kampung mereka, termasuk Tabitha.

Tetapi, kalau untuk memasuki kamar tidur dari sang empunya rumah?

Eh? Tunggu dulu!

Tabitha berhenti melangkah. Gadis itu menatap Armandi penuh ragu. Sedangkan Armandi malah sudah membuka pintu kamar tidurnya, dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.

“Mas Arman! Mas kok malah masuk ke kamar sih? Mas mau apa?” tanya Tabitha, curiga.

Armandi tertawa terkekeh.

“Tidak usah curiga begitu! Aku nggak akan apa-apakan kamu kok! Tenang saja! Ayo masuk!” ajak Armandi.

Tabitha menurut, meski masih dengan penuh keraguan. Gadis itu melirik sejenak ke arah beberapa orang pemuda dan gadis-gadis yang duduk berkumpul di depan teras rumah itu. Hatinya mulai sedikit tenang.

Setidaknya kalau nanti memang terjadi apa-apa, atau seandainya Armandi tiba-tiba berani berbuat macam-macam pada dirinya, dia bisa berteriak meminta tolong pada mereka. Begitu pikir Tabitha.

Armandi lalu membuka pintu lemari pakaian miliknya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis kain beludru merah dari dalam laci lemari itu.

Tabitha menatap kotak itu.

“Apa isi kotak itu, Mas?” tanya Tabitha ketika Armandi menyodorkan kotak itu langsung kepadanya.

“Lihat saja sendiri!” ujar Armandi.

Tabitha menerima kotak itu dengan ragu, lalu mulai membuka tutupnya.

Wow!

Mata bulat Tabitha terbelalak ketika melihat isinya.

Satu set perhiasan emas yang sangat indah! Sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk huruf T berukir, sebuah cincin emas berhiaskan permata biru, sebuah gelang besar berukir dan berhiaskan permata yang juga berwarna biru, serta sepasang giwang emas berbentuk bunga dengan hiasan batu permata berwarna sama.

Melihat Tabitha terperangah dan memandang takjub perhiasan itu, Armandi tersenyum bangga. Perhiasan pilihannya ternyata tidak salah.

“Bagus kan, Bith?” tanya Armandi.

Tabitha mengangguk dengan antusias.

“Iya! Bagus banget, Mas! Untuk siapa ini?” tanyanya, sambil mata bulatnya seolah tidak mau berhenti memandangi kilau cantik perhiasan itu.

Armandi tersenyum.

“Tentu saja untuk calon isteriku lah!” sahutnya.

Tabitha langsung menoleh. Ekspresi wajahnya sedikit terkejut. Namun, sedetik kemudian gadis itu sudah tersenyum sumringah.

“Ooh ... Mas Arman sudah mau menikah? Sebentar lagi ya? Waah ... dengan siapa, Mas?” tanyanya dengan senyum dan nada menggoda yang tidak disembunyikan.

Armandi menatap Tabitha lekat-lekat.

“Memangnya ... kamu belum tahu toh, Bith?” tanyanya, heran.

“Tahu apa?” Tabitha balik bertanya, sambil balas menatap Armandi dengan bingung.

Kening gadis itu berkerut. Sedangkan Armandi malah berhasil dibuatnya geleng-geleng kepala.

Astaga! Sulit dipercaya! Pikir pemuda itu.

Aku sudah sibuk ke sana ke mari demi mempersiapkan pernikahan kami yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, eh gadis ini malah belum tahu kalau dia sendiri yang nanti akan jadi calon isteriku!

“Yo wès, nanti juga kamu tahu sendiri!” ujar Armandi sedikit ketus karena kesal.

Tabitha cemberut.

“Iih ... Mas Arman marah? Loh, aku kan memang nggak tahu kok, Mas! Mas nggak perlu sampai marah begitu! Sudah ah! Aku mau pulang!” ujar Tabitha sambil meletakkan kotak perhiasan itu di atas meja kecil di samping lemari pakaian Armandi.

Armandi hanya menatap Tabitha. Tetapi, ketika dia melihat Tabitha ternyata benar-benar hendak melangkah keluar dari kamarnya, pemuda itu langsung memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Tentu saja yang dilakukannya membuat Tabitha sangat terkejut.

Gadis itu langsung memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Armandi. Tubuhnya meronta ketika pemuda itu tidak juga melepaskan pelukannya.

“Mas Arman, maksudnya apa sih!” bentak Tabitha, penuh dengan kemarahan ketika Armandi akhirnya membebaskan dirinya.

“Ah kamu, Bith! Aku peluk sedikit saja sudah marah!” sungut Armandi, tanpa rasa bersalah.

“Ya jelas aku marah, Mas! Memangnya aku ini siapa, Mas main peluk-peluk saja!” bentak Tabitha lagi.

“Halaah ... kamu ini loh! Kalau kita sudah menikah nanti juga kamu sudah bukan aku peluk lagi, Bith! Malah langsung tak bawa kamu ke kasurku! Aku tiduri kamu! Kamu itu kan calon isteriku, Tabitha!” ujar Armandi. Pemuda itu lalu tertawa terkekeh.

Tabitha terkejut.

“Maksud ... maksud Mas Arman apa sih? Calon isteri apa? Memangnya siapa yang jadi calon isteri Mas Arman?” tanya Tabitha, marah sekaligus bingung.

Armandi mengerutkan keningnya. Namun, sekejab kemudian pemuda itu kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala.

“Oalaah ... Tabitha! Jadi kamu itu memang benar-benar belum tahu toh? Kamu itu calon isteri aku, Bitha! Calon isteri! Sebentar lagi kita akan menikah karena ayahku sudah lama melamar kamu untuk jadi isteriku! Bagaimana mungkin kamu sendiri malah belum tahu tentang perjodohan kita? Bercanda kamu ya? Atau ... bapak dan ibumu memang belum pernah memberitahu kamu? Astagaaa!”

Armandi menepuk keningnya sendiri.

“Pernikahan kita itu sudah tinggal menghitung bulan! Masa’ sampai sekarang kamu masih belum tahu! Benar-benar bercanda kamu!” ujar Armandi lagi.

Pemuda itu lalu sedikit tertawa kecil.

Tabitha pun semakin terkejut. Sayangnya, dia juga terlanjur emosi.

“Bercanda? Ada juga Mas Arman yang bercanda! Iya kan? Selama ini kita itu nggak pernah ada hubungan apa-apa, Mas! Mana mungkin aku mau langsung menikah sama Mas Arman! Bercanda kamu, Mas!" balas Tabitha.

Tabitha lalu ikut tertawa kecil. Berusaha mengenyahkan pemikiran-pemikiran yang mulai timbul di benaknya.

Ibu dan Bapak menjodohkan aku dengan Mas Armandi? Paklèk Juhari sudah melamar aku untuk dinikahkan dengan Mas Arman? Nggak mungkin! batinnya.

Armandi mulai sedikit kesal.

“Aku bercanda? Sembarangan kamu, Bith! Kalau kamu masih nggak mau percaya, silahkan kamu tanya sendiri sama bapak dan ibumu! Sekalian tanyakan juga kenapa sampai hari ini mereka belum juga memberi tahu kamu kalau kamu itu sudah dijodohkan denganku!” Armandi lalu melangkah mendekati Tabitha yang akhirnya terpaksa semakin merapat ke dinding di belakang tubuhnya.

“Lalu ... kalau mereka bilang aku yang benar, aku harap kamu nggak akan membuat aku kecewa, Bitha! Karena aku sudah terlalu lama menunggu kapan waktunya aku bisa membawa isteriku yang cantik ini ke kasurku!” ujar Armandi dengan suara bergetar menahan hasrat yang tiba-tiba saja muncul. Pemuda itu lalu membelai wajah Tabitha dengan tangannya yang kemudian segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu.

Armandi tersenyum sinis.

“Sekarang kamu masih boleh kasar sama aku, Bith! Aku maafkan, karena aku memang belum jadi suamimu! Tapi, sebelum kamu melangkah keluar dari kamarku, ada satu lagi yang mau aku tunjukkan sama kamu!”

Armandi lalu membuka laci meja kecil yang ada di samping lemari pakaiannya. Meja di mana Tabitha sebelumnya meletakkan kotak berisi perhiasan.

Pemuda itu lalu mengeluarkan dua buah kartu undangan pernikahan dengan desain dan warna yang berbeda dari dalam laci meja kecil itu, yang kemudian ditunjukkannya kepada Tabitha.

Tabitha menatap kedua undangan itu. Tertera nama kedua mempelai di bagian depannya.

Tabitha & Armandi.

Astaga! Tabitha menutup mulutnya.

“Keduanya adalah desain undangan pernikahan kita! Aku sudah menyiapkannya! Apa kalau sudah seperti ini kamu masih bisa berpikir kalau aku ini bercanda? Terima kenyataan, Tabitha! Kamu itu sudah jadi calon isteriku!” ujar Armandi.

“Nggak! Nggak mungkin!” Tabitha bersikeras, dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Nggak mungkin Bapak dan Ibu mau menikahkan aku sama Mas tanpa bertanya dulu sama aku! Ini semua nggak mungkin!" bantah Tabitha lagi.

“Terserah kalau kamu masih mau membantah! Tapi, ini memang kenyataannya! Kenapa sih kamu nggak mau terima kalau sebentar lagi kita itu akan menikah?” tanya Armandi, penuh emosi.

Tabitha menatap Armandi dengan tidak percaya.

“Bagaimana mungkin Mas berharap aku bisa terima? Kita nggak pernah ada hubungan apa-apa, Mas! Aku nggak mencintai Mas Arman! Aku juga belum mau menikah! Aku masih ingin bebas! Aku mau kuliah! Aku punya cita-cita! Kenapa Mas nggak bisa mengerti?”

Tabitha merasakan kedua matanya mulai memanas.

Sementara Armandi malah menatap Tabitha dengan tajam.

Tabitha berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan pemuda itu.

“Kamu jangan salahkan aku, Bitha! Salahkan bapak dan ibumu sendiri yang menerima lamaran dari ayahku, dan setuju untuk menikahkan kamu denganku!” ujar Armandi.

“Nggak! Pokoknya aku nggak mau! Aku nggak akan pernah menikah sama Mas Arman!” Tabitha setengah berteriak.

Armandi mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.

“Kamu jangan macam-macam ya, Bith! Aku sudah hampir selesai menyiapkan semuanya, dan kamu mau menolak pernikahan kita? Terlambat! Lagipula, kalau kamu memang mau menolak pernikahan kita, itu artinya kamu harus bayar semua hutang orangtuamu yang ratusan juta itu!” ujar Armandi dengan geram.

Tabitha terperangah.

“Maksud ... maksud Mas ... apa?”

Armandi tersenyum menyeringai. Tabitha sangat tidak suka melihat senyuman itu.

“Ooh ... jadi itu pun kamu belum tahu ya? Bapakmu punya hutang tiga ratus juta pada ayahku, Bitha! Belum termasuk bunganya! Kalau dia bersedia menikahkan kamu denganku, maka seluruh hutangnya akan dianggap lunas oleh ayahku! Tapi, kalau kita nggak jadi menikah, maka hutang tiga ratus juta belum termasuk bunga itu tentu saja harus dilunasi oleh bapakmu! Apa kamu sanggup melunasi hutang bapakmu berikut bunganya, Tabitha? Supaya kita nggak usah menikah? Hah? Apa kamu sanggup?” Armandi bertanya dengan nada sinis.

Tabitha lagi-lagi terperangah.

Hutang bapak? Jadi ... bapak mau menerima lamaran dari paklèk Juhari itu karena bapak ingin hutangnya sama paklèk lunas?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status