Share

Cinta untuk Tabitha
Cinta untuk Tabitha
Penulis: AYA RAYA

BAB 1

Sambil menyeruput kopi hitam dari gelasnya Juhari memandang seorang gadis belia berseragam putih abu-abu yang sedang berjalan melewatinya. Wajah cantik nan ayu dengan mata bulat, alis yang melengkung sempurna, bibir merah alami, rambut hitam panjang bergelombang, dan kulit yang kuning langsat. Sungguh kecantikan dan lemah gemulai gerak langkah kakinya sangat menarik perhatian Juhari!

“Sopo kui, Dar?” tanya Juhari. (Siapa itu, Dar?)

Pria tua bernama Darmin yang duduk di atas dipan bambu tidak jauh dari Juhari langsung menoleh. Pria itu lalu ikut memandang seorang gadis belia yang baru saja lewat di depan warung kopi miliknya.

Gadis belia nan cantik itu berjalan santai sambil terdengar bersenandung kecil. Entah lagu apa yang sedang disenandungkan oleh gadis belia itu.

Yang pasti, yang sedang dia pikirkan saat ini hanya segera sampai di rumah, lalu makan siang dengan nasi hangat dan lauk ikan nila goreng hasil masakan ibu tercinta, kemudian mengerjakan tugas dari sekolah.

Tidak terlintas sedikit pun di benak gadis belia itu bahwa kecantikan wajah dan gerak langkah kakinya yang gemulai akan menarik perhatian dari dua orang pria dewasa yang sedang duduk bersantai di warung kopi yang baru saja dilewatinya.

“Ooh ... kui Tabitha! Sampèyan lali opo piyè? Kui cah wèdhok tonggomu dèwè toh?” sahut Darmin. (Kamu lupa atau apa? Itu anak perempuan tetanggamu sendiri toh?)

“Tabitha sopo?” tanya Juhari lagi. (Tabitha siapa?)

“Laah ... Tabitha cah wedhokè Rismanto!” sahut Darmin lagi, dengan nada heran. (Tabitha anak perempuannya Rismanto).

Oalaah ... anak gadis Mas Rismanto rupanya! Ayu tenan kowè, Nduk! Juhari membatin. (Cantik sekali kamu, Nak!)

Pria itu lalu kembali memandangi gadis belia yang saat ini sudah berada di kejauhan sambil kemudian tersenyum-senyum sendiri.

“Ooh ... iya, Dar! Aku lali!” ujar Juhari kepada Darmin sambil tertawa mèsem.

“Sibuk yo sibuk! Mosok anak tonggo dèwè yo ora kenal!” ujar Darmin sambil geleng-geleng kepala. (Masa’ anak tetangga sendiri ya tidak kenal!)

Juhari hanya menanggapi sindiran itu dengan tertawa kecil. Belum habis kopi hitam di dalam gelasnya, pria itu tiba-tiba bangkit berdiri.

“Loh, sampèyan mau ke mana toh? Kopinè urung entè, Ju!” tegur Darmin. (Kopinya belum habis, Ju!)

“Aku arep ngidul!” sahut Juhari. (Aku mau ke selatan!)

“Arep ngidul opo ngidul? Kui isih cilik, Ju! Ora pantes karo sampèyan!” ujar Darmin. (Mau ke selatan apa selatan? Itu masih kecil, Ju! Tidak pantas sama kamu!)

Juhari tertawa terkekeh, lalu mulai menyalakan mesin motornya.

Siapa pun yang sudah lama tinggal di kampung itu dan mengenal siapa Juhari, pasti tahu bahwa Juhari memang selalu menyukai gadis-gadis muda dan cantik. Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi kebiasaannya sejak masih muda dulu sepertinya memang tidak pernah berubah. Selalu menyukai gadis-gadis cantik.

Tidak perduli sekalipun usia mereka seringkali jauh lebih muda darinya. Yang mampu membangkitkan gairahnya bahkan malah ditawarinya jadi gundik. (Gundik = selir atau wanita simpanan).

Entah sudah berapa banyak wanita-wanita cantik dan muda di kampung itu yang pernah dijadikan gundik oleh Juhari. Anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang kelihatan menyesal karena pernah menyandang predikat itu. Gundik Juhari.

Entahlah! Apakah karena bagi mereka predikat itu memang setara dengan predikat “mantan finalis kontes putri kecantikan sejagat”?

Namun, di sini Juhari yang bertindak sebagai jurinya? Sepertinya hanya mereka yang tahu alasannya!

----------------------------------------

Tabitha Anastasia.

Gadis belia yang hampir lulus dari bangku Sekolah Menengah Umum itu sedang mengerjakan tugas dari sekolah di ruang tamu ketika seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya.

Tabitha lalu bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Di depan pintu rumahnya, seorang pria yang usianya sedikit lebih muda dari ayahnya sedang berdiri sambil tersenyum memandang dirinya.

“Bapakmu ada, Nduk?” Tanya pria itu.

“Ada, Pak lèk!” sahut Tabitha.

“Tolong panggilkan ya, Nduk! Pak lèk mau ketemu sama bapakmu!” ujar tamu pria itu.

Siapa lagi kalau bukan Juhari? Memang pria setengah tua itu lah yang saat ini berdiri di depan pintu rumah gadis belia itu.

Darmin pasti langsung bersorak gembira bila dia tahu bahwa tebakannya tadi memang sangat benar. Juhari memang tidak akan membuang-buang waktu untuk segera mencari tahu tentang siapa gadis belia yang baru saja berhasil memikat hatinya lewat "pandangan pertama" di depan warung kopi.

Tabitha mengangguk. Tetapi, ketika gadis itu berbalik dan hendak melangkah pergi untuk memanggil ayahnya, Lasmi, sang ibu, ternyata sudah berdiri di belakangnya.

“Ono sopo, Nduk?” tanya Lasmi. (Ada siapa, Nak?)

“Pak lèk Juhari, Bu! Katanya mau ketemu sama bapak!” sahut Tabitha.

“Ooh ... biar ibu yang temui dulu! Kamu kerjakan tugas sekolahmu saja ya, Nduk!” ujar Lasmi.

“Iya, Bu!” Tabitha mengangguk patuh.

Lasmi pun lekas menemui Juhari yang masih berdiri di teras rumahnya.

“Looh ... Mas Ju? Ono opo toh, Mas?” tanya Lasmi.

Wajar kalau Lasmi bertanya, karena memang bukan kebiasaan Juhari untuk sekedar berkunjung ke rumah tetangga, kecuali ada perlu untuk menagih hutang. Maklum, profesi Juhari memang rentenir paling terkaya dan tersibuk sejagat kampung. Jadi wajar kalau beliau tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha di rumah para tetangga, kecuali punya urusan tagih menagih hutang piutang dengan mereka.

“Bojomu ngendi, Las?” Juhari malah balik bertanya. (Suamimu di mana, Las?)

“Ada, Mas! Mas Risman sedang ngelir di belakang. Ono opo toh?”

(Ngelir : tahap pewarnaan kain pada proses pembuatan kain batik)

“Aku mau ada perlu bicara sebentar! Penting, Las!” ujar Juhari, dengan mimik wajah serius.

Lasmi mengerutkan keningnya.

“Yo wès, sebentar! Biar saya panggilkan dulu! Monggo! Mas Ju silahkan duduk!” ujar Lasmi. Mempersilahkan tamunya untuk duduk di kursi yang selalu tersedia di teras.

Setelah Lasmi masuk kembali ke dalam rumah, diam-diam Juhari mencuri pandang ke dalam, ke arah ruang tamu untuk mencari sosok gadis belia yang awal tadi menyambut kedatangannya.

Ah, itu dia cah ayuku!

Juhari tersenyum ketika menemukan sosok yang sedang dicarinya itu masih berada di tengah ruang tamu, sedang duduk bersila di lantai.

Dengan santai, Juhari melangkah masuk.

“Sedang mengerjakan opo toh, Nduk? Serius sekali!”

Juhari berbasa-basi.

Tabitha menoleh.

Gadis belia itu memandang sekilas pria setengah tua yang sekarang sudah duduk di sofa, tidak jauh dari dirinya.

“PR Matematika, Pak lèk!” Sahut Tabitha.

“Ooh ... susah ndak soal-soalnya?” Juhari masih berbasa-basi.

Tabitha menggeleng sambil tersenyum. Gadis belia itu kemudian kembali menekuni bukunya.

Duh ... manis sekali senyummu, cah ayuku! Juhari membatin.

Sambil menyalakan rokok, diam-diam Juhari memandangi Tabitha. Rambut hitam panjang bergelombang gadis itu sudah tidak lagi tergerai di punggung seperti siang tadi ketika pertama kali dia melihatnya, tetapi digelung di puncak kepala. Memperlihatkan bulu-bulu halus yang tumbuh menghiasi tengkuk yang putih mulus. Kedua bukit kembar yang dulu kecil ternyata sudah mulai membesar dan kelihatan membusung.

Jauh berbeda dibandingkan lima tahun lalu ketika gadis belia itu masih sering bermain dengan Risa, puteri bungsunya, di depan rumah.

Dan, bibir merah alami itu ....

Aduh cah ayu, bibir mungil merahmu!

Juhari menahan hasrat hatinya, dan terpaksa hanya bisa menelan salivanya.

Sementara itu, di bagian belakang rumah yang sedang dikunjungi oleh Juhari, seorang pria yang juga sudah setengah tua sedang sibuk mencelup kain ke dalam panci berukuran besar berisi air berpewarna. Lasmi terlihat terburu-buru menghampirinya.

“Pak, ada Mas Juhari menunggu di teras!” ujar Lasmi. Sedikit mengejutkan pria setengah tua itu, yang tidak lain adalah Rismanto, suaminya.

Rismanto menoleh. Menatap isterinya sejenak, lalu menghela nafas pelan. Tanpa banyak bicara, pria itu segera berhenti mencelup kain batik yang masih dipegangnya.

“Man, ini tolong diteruskan ya!” ujarnya pada seorang pemuda yang berdiri di sampingnya, sambil menyerahkan kain batik itu.

“Nggih, Pak!” sahut Lukman, si pemuda itu. (Baik, Pak!)

“Ono opo Juhari ke sini toh, Bu?” tanya Rismanto kepada isterinya, sambil mencuci tangan di kran air di belakang rumah.

Meski sudah dibilas dengan air bersih, noda keunguan dari pewarna kain batik di tangannya masih kelihatan membekas. Sudah puluhan tahun Rismanto menekuni batik sebagai sumber mata pencaharian untuk keluarganya. Pewarna kain yang melekat di tangan sudah menjadi makanannya sehari-hari.

Lasmi mengedikkan bahu.

“Ibu yo ndak tahu toh, Pak!” sahut wanita itu.

“Apa mungkin Mas Juhari ke sini karena mau nagih hutang kita lagi?” Lasmi malah balik bertanya.

Rismanto tampak berpikir sebentar.

“Ndak mungkin toh, Bu! Baru dua minggu yang lalu Bapak bayar cicilan hutang kita. Kalau hari ini Juhari sudah mau nagih hutang lagi yo kebangetan tenan!” ujar pria itu, kemudian.

“Pak, sampai kapan toh kita harus bayar cicilan hutang ke Mas Juhari? Rasanya kok ... yo ndak lunas-lunas ya, Pak! Masih banyaaak ... saja! Wes capek aku, pak!" keluh Lasmi, sambil berjalan mengiringi langkah suaminya memasuki rumah.

Rismanto terdiam.

Pria itu lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya pelan. Mau bagaimana lagi? Hutang yang mereka punya pada Juhari memang masih tersisa lumayan banyak. Sementara, cicilan hutang yang mereka bayar rutin setiap bulan sepertinya hanya untuk membayar bunga dan sedikit mengurangi jumlah hutang pokoknya.

Juhari memang rentenir yang terlalu tega. Bunga tinggi yang dia berikan memang selalu membuat siapapun yang meminjam uang darinya menjadi sulit untuk mengembalikan hutang pokok mereka.

Tetapi, apa mau dikata? Ibarat kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur, Rismanto terlanjur meminjam uang kepada Juhari untuk menyelamatkan usaha batiknya yang hampir bangkrut beberapa tahun yang lalu. Sekarang ya dinikmati saja proses membayar cicilan hutangnya! Toh banyak mengeluh pun tidak akan bisa mengurangi jumlah hutangnya pada Juhari.

Begitu pikir Rismanto.

Lasmi melangkah lebih dulu memasuki ruang tamu. Sedangkan Rismanto melangkah masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya yang kotor karena terkena pewarna kain.

Di ruang tamu, Lasmi melihat putri sulungnya masih duduk bersila di lantai sambil mengerjakan tugas dari sekolahnya. Sementara Juhari yang menjadi tamu di rumahnya sore hari itu ternyata sudah tidak lagi berada di teras depan rumahnya, sebagaimana terakhir kali dia temui. Tetapi, pria itu malah sudah berpindah tempat ke dalam ruang tamunya.

Lasmi memandang jengah ke arah pria setengah tua yang sibuk merokok sambil sibuk pula memandangi putri sulungnya yang masih muda belia.

Wanita itu lalu bergegas menghampiri putrinya.

“Nduk, kerjakan tugas sekolahnya di dalam kamarmu saja ya! Bapak nanti mau bicara serius sama Pak lèk Juhari di ruang tamu ini!” ujar Lasmi, sambil mengelus puncak kepala putrinya.

“Iya, Bu!” sahut Tabitha, patuh.

Gadis itu segera membereskan buku dan peralatan tulis miliknya yang sebelumnya dia gelar di lantai, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar.

Pintu kamar itu langsung tertutup.

Juhari pun langsung memberengut.

Pria itu merasa kesal karena tidak bisa lagi memandangi "wanita kecil"nya.

"Pandangan hidup"nya seketika meredup.

Dunia khayalannya seketika buyar.

“Mas Juhari mau minum apa? Biar saya buatkan!” Tanya Lasmi, sambil menoleh ke arah Juhari.

“Bojomu kok lama sekali toh, Las? Sebentar lagi aku harus berangkat ke kota! Aku bisa kesorean nanti! Bisnisku bisa gagal! Piye iki, Las?" Juhari malah balik bertanya, sekaligus mengeluh karena masih merasa kesal.

Lasmi menghela nafasnya.

“Sebentar, Mas! Mas Risman sedang berganti pakaian! Sabar! Saya buatkan teh manis dulu ya!” ujar Lasmi.

Juhari mengangguk.

Itulah yang dia suka dari Lasmi sejak dulu. Selain cantik, tutur katanya pun selalu lembut, menenangkan. Sayang sekali, cintanya kepada Lasmi dulu hanya bertepuk sebelah tangan karena Lasmi lebih memilih Rismanto untuk menjadi pendamping hidupnya ketimbang Juhari.

Padahal, kalau Juhari membandingkan dirinya dengan Rismanto, dia merasa dirinya jauh lebih baik daripada Rismanto, si pria 'cungkring' itu. Bahkan, jauh lebih tampan dan jauh lebih kaya raya.

Yaa ... mungkin karena waktu itu Lasmi memang butuh kacamata, sehingga ketampanan dan kekayaan keluarga Juhari sepertinya malah jadi tidak tampak di matanya!

Juhari geleng-geleng kepala sendiri bila mengingat masa mudanya dulu.

Tidak lama kemudian Rismanto melangkah masuk ke ruang tamu. Tanpa banyak sapa, pria itu langsung duduk di sofa, berdampingan dengan Juhari.

“Ono opo toh, Ju?” tanya Rismanto, tanpa basa-basi.

Juhari menoleh. Menatap Rismanto sejenak, sebelum dia mengutarakan keinginannya.

“Aku sengaja datang ke sini karena mau melamar puterimu, Mas!” jawab Juhari, juga tanpa basa-basi.

****

Komen (3)
goodnovel comment avatar
AYA RAYA
boleh. nama akun sosmedmu apa?
goodnovel comment avatar
rky.p2022
cakep nih ceritanya!
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status