Share

BAB 2

Melamar?

Rismanto terkejut. Seperti ada sebuah granat kecil yang sengaja dilemparkan oleh seseorang dan meledak di dalam hatinya.

Kening pria itu langsung berkerut.

“Melamar? Melamar sopo toh, Ju? Melamar putriku? Maksudmu ... melamar untuk opo?” tanya Rismanto, bingung.

Juhari geleng-geleng kepala.

“Oalah Maas...! Ucapanku opo kurang jelas toh? Aku mau melamar putrimu ya untuk dinikahi! Lah putrimu ono piro, Mas? Dua toh? Yo ndak mungkin aku mau melamar Dilla! Bocah kelas dua SMP! Isih cilik tenan! Aku mau melamar Tabitha, putri sulungmu itu! Piyè? Opo isih kurang jelas, Mas?” ujar Juhari. (Bagaimana? Apa masih kurang jelas?) (Ono piro = ada berapa)

Rismanto kembali terkejut. Tetapi, kali ini bukan karena granat lagi, melainkan karena ada bom nuklir yang sengaja dilemparkan oleh Juhari dan meledak persis di depan kupingnya.

“Melamar Tabitha? Arep dinikahi ... Tabitha arep dinikahi karo sopo toh?” tanya Rismanto. Hatinya mulai kebat-kebit. (Tabitha mau dinikahi sama siapa?)

“Yo karo anak sulungku, si Armandi! Sampèyan iki piyè toh?” ujar Juhari. (Ya sama anakku, si Armandi! Kamu ini bagaimana?)

Juhari lagi-lagi geleng-geleng kepala.

“Oalaah ... karo si Armandi? Tak pikir arep dinikahi karo sampèyan, Ju!” ujar Rismanto, menghela nafas lega. Entah kenapa, seketika kelegaan itu memang langsung muncul di hati Rismanto.

Mauku memang begitu! Juhari berkata di dalam hatinya.

Seandainya saja usia gadis itu sudah jauh lebih dewasa, dia tidak akan mungkin datang ke rumah ini dan meminta gadis itu untuk dijadikan calon anak menantunya.

Buat apa gadis itu dia berikan ke Armandi, putera sulungnya, kalau dia sendiri saja sebagai pria yang jauh lebih berpengalaman dengan wanita merasa masih sanggup melayaninya sebagai suami?

Selagi boleh memiliki isteri lebih dari satu, kalau memang dia masih sanggup kenapa tidak? Begitu prinsip Juhari.

Tetapi sayang, usia gadis itu masih muda belia. Juhari sudah harus berpuas diri seandainya Rismanto mau menerima lamaran darinya, dan mengizinkan puteri sulungnya untuk diangkat menjadi menantu di keluarga besar Juhari.

Calon menantu kesayanganku? Ooh ... itu sudah pasti!

Juhari menyembunyikan senyum liciknya.

Juhari memang tidak bisa dibilang pria yang tidak tampan walau usianya sudah tidak lagi muda.

Meski kebiasaannya yang sering menenggak minuman keras sejak jaman dia masih muda dulu mengakibatkan wajahnya jadi terlihat jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya, namun garis ketampanan di wajahnya itu jelas masih terlihat. Meskipun begitu, kalau bukan karena uang, mungkin tidak akan ada wanita yang mau dijadikan istri oleh Juhari. Kalau tidak karena diiming-imingi uang belanja yang berlimpah setiap bulan, wanita mana yang mau bersuamikan pria tampan dan kaya raya, tetapi suka minum minuman keras dan senang bergonta-ganti pasangan?

“Piyè, Mas? Mas Risman mau menerima lamaranku toh? Urusan biaya pernikahan mereka nanti ndak usah dipikir! Aku sèng tanggung semuanya! Sampèyan nanti tahu beres saja!” ujar Juhari.

“Tapi, Ju ... Tabitha ... anakku itu belum lulus sekolah toh, Ju! Masih kelas tiga SMU!" sahut Rismanto, sedikit gugup.

Juhari tertawa terkekeh.

“Aku yo tahu, Mas! Lah aku kan ndak minta pernikahan mereka itu diadakan besok! Maksudku, begitu Tabitha lulus sekolah nanti, kui mesti langsung dinikahi karo anakku, si Armandi! Lah kalau Mas setuju, pokokè hutang sampèyan yang sudah ratusan juta sama aku itu langsung tak anggap lunas!”

Rismanto tercengang.

“Se_semua hutangku, Ju?”

“Lah iyo! Semua! Hutangmu plus bunga! Piye, pènak toh? Anggap saja itu uang mahar dariku untuk Tabitha! Pokokè, ojo kuwatir, Mas! Aku ora bakal ngapusi sampeyan! Sèng penting Mas Risman setuju Tabitha jadi anak menantuku!” ujar Juhari. Nada suaranya sangat meyakinkan.

(Ora bakal ngapusi = tidak akan membohongi)

Rismanto menghela nafasnya. Berat, sekaligus ringan. Di satu sisi, dia merasa senang dan bangga karena Juhari telah memilih puterinya, Tabitha, yang akan menjadi anak menantu di keluarga besar mereka yang terkenal kaya-raya dan terpandang di kampung, daripada anak-anak gadis lainnya yang ada di kampung mereka. Apalagi ditambah dengan janji bahwa seluruh hutangnya plus bunga akan seketika dianggap lunas oleh Juhari!

Anggap saja itu adalah mahar dari Juhari untuk melamar putrinya, katanya.

Namun, di lain sisi, bila dia mengingat kelakuan putra sulung Juhari yang sebelas duabelas, alias tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan ayahnya yang pecinta wanita, dia merasa kawatir dengan pernikahan puterinya nanti.

Apa jadinya kalau putri sulungnya bersuamikan seorang lelaki yang tidak bisa menjaga kesetiaannya? Apalagi tidak bisa menjaga "barang pribadi"nya agar hanya bisa dinikmati oleh istrinya saja?

Sakit hati pasti menjadi makanan putrinya sehari-hari nanti.

Lasmi berdiri terpaku di tempat. Wanita itu baru hendak melangkah masuk ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi dua gelas teh manis dan sepiring pisang goreng ketika kedua orang pria itu, Juhari dan suaminya sendiri, sedang merencanakan pernikahan antara putri sulungnya, Tabitha, dengan putra sulung sang juragan.

Hati Lasmi langsung ketar-ketir.

Puteriku akan jadi menantu di keluarga Mas Juhari? Bagaimana nasibnya nanti? Pikir Lasmi.

Rismanto menoleh, lalu menatap isterinya yang masih berdiri terpaku di ambang pintu menuju ruang tamu.

“Bu?”

Lasmi tergagap.

“Eh ... ee ... iya, Pak! Ini pisang gorengnya, dan ini teh manisnya! Mas Ju, silahkan diminum dulu!” Lasmi buru-buru melangkah memasuki ruang tamu, dan segera meletakkan dua gelas teh manis serta sepiring pisang goreng di atas meja kopi di hadapan tamu dan suaminya.

“Piyè, Bu? Ibu pasti sudah dengar semua toh?” tanya Rismanto, pelan.

Lasmi terdiam. Wanita itu sekejab memandang suaminya, lalu berganti memandang Juhari.

“Ibu ... ibu mengikuti Bapak saja! Baiknya Bapak yang memutuskan!” ujar Lasmi sambil menundukkan kepala.

Juhari tersenyum sumringah.

Rencananya sepertinya akan berjalan dengan sangat sempurna. Tabitha akan segera menjadi anak menantu di keluarga besarnya.

Tinggal menghitung bulan sampai anak gadis itu lulus dari sekolah dan sudah cukup umur untuk dinikahkan.

Pasangan muda yang baru menikah itu nanti akan dia suruh menempati rumah mungil yang ada di dekat kebun kelengkeng miliknya. Lalu si Armandi, putera sulungnya itu akan dia suruh mengelola kebun kelengkeng itu.

Dengan begitu, sambil mengamati hasil kerja putra sulungnya di kebun kelengkeng miliknya, dia juga bisa sekaligus mengamati kehidupan pasangan muda itu.

Sambil mengecek kebun kelengkeng miliknya, dia juga bisa sekaligus mengecek "kebun" milik Tabitha. Maksudnya ... mengecek kebun jeruk yang ada di samping kebun kelengkeng miliknya!

Rencananya kebun jeruk itu memang akan dia berikan untuk Tabitha, menantu kesayangannya itu nanti! Begitu! Sekali mendayung, dua tiga pulau bisa terlampaui toh?

Hasrat hatinya tiba-tiba bergejolak. Juhari tersenyum-senyum sendiri ketika membayangkan betapa indah hari-hari yang akan dia lewati di rumah mungil itu nanti.

Kebun jeruk, kebun kelengkeng, "kebun" Tabitha.

Ooh ... indahnyaa!

Burungnya pasti akan betah bermain di sana.

----------------------------------------

“Ibu, lihat! Nilai Bitha di ijazah bagus-bagus loh, Bu!”

Dengan bangga gadis belia itu memperlihatkan angka-angka yang tertera di lembar ijazahnya sambil memeluk ibunya.

Lasmi yang sedang duduk di kursi teras rumah tersenyum bangga.

“Iya, Nduk! Bagus-bagus sekali! Putri ibu memang anak yang pintar!” puji Lasmi.

Tabitha tersenyum senang.

“Bapak juga lihat ijazah Bitha dong, Pak!” ujar Tabitha, manja, sambil menyodorkan ijazahnya ke Rismanto yang duduk tidak jauh dari ibunya.

Rismanto meletakkan selembar kertas berisi pola kain batik yang sedang digambarnya ke atas meja kecil di samping kursinya. Kemudian, dia menerima lembar ijazah itu dan melihat setiap angka yang tertera di sana, sebagaimana yang diinginkan oleh putrinya.

Kepala Rismanto lalu mengangguk-angguk puas.

“Iya, Nduk! Nilaimu bagus-bagus sekali!” puji Rismanto.

Pria itu tersenyum bangga sambil memberikan ijazah itu kembali ke putrinya.

Tabitha lagi-lagi tersenyum senang.

"Bitha mau simpan ijazah ini di lemari Bitha dulu ya, Bu!" Ujar gadis itu.

Lasmi mengangguk.

"Iya, Nduk! Kamu simpan ijazahmu baik-baik, ya! Jangan sampai rusak!" Ujar Lasmi.

"Iya, Bu!"

“Kalau ijazah Bitha sudah diambil berarti Bitha sudah lulus dari sekolahnya toh, Bu?” tanya Rismanto, setengah berbisik ke Lasmi. Tentu setelah dia yakin bahwa putrinya sudah melangkah masuk ke dalam rumah untuk menyimpan ijazahnya.

“Loh, ya sudah toh, Pak! Kalau ijazahnya sudah keluar, artinya Tabitha sudah lulus dari sekolahnya! Bapak iki piyè toh? Kok seperti ndak pernah sekolah saja!” Lasmi geleng-geleng kepala sambil menatap suaminya dengan heran.

“Iya, Bu! Bapak tahu! Maksud Bapak, berarti anak kita itu sudah bisa menikah dengan si Armandi toh, Bu? Sekarang kita tinggal menunggu umurnya cukup untuk dinikahkan saja! Begitu maksud Bapak!” Rismanto berkata sambil kembali menekuni pola kain batik di atas kertas sketsanya.

Lasmi terdiam.

Wanita itu kemudian melirik ke dalam rumah. Khawatir seandainya putri sulung mereka ternyata diam-diam sedang mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya.

“Ibu ... ibu manut Bapak saja!” jawab Lasmi, pasrah.

Dan, rencana pernikahan itu pun tidak pernah dianggap batal. Hingga akhirnya hari demi hari pun merangkak. Minggu demi minggu berjalan. Bulan demi bulan berlari. Hingga akhirnya di suatu sore, ketika Lasmi sedang duduk sambil merajut di ruang tamu, tiba-tiba Tabitha, putri sulungnya, melangkah keluar dari kamarnya.

“Bu!” panggil Tabitha.

Lasmi menoleh.

“Nopo, Nduk?” tanyanya. (Kenapa, Nak?)

Gadis itu menyingkirkan sekeranjang benang rajut dari bawah lantai di dekat kaki ibunya, lalu memindahkan keranjang itu ke atas meja kopi di depan mereka sebelum kemudian duduk di samping ibunya.

“Bitha mau main ke rumah Tita ya! Boleh? Soalnya ... Bitha sudah bosan kalau harus diam di rumah terus! Bapak itu loh, Bu, kok aneh ya? Masa' sejak Tabitha lulus dari sekolah dulu Bapak selalu melarang Bitha pergi ke mana-mana sendiri sih! Memangnya kenapa sih, Bu? Bitha pernah salah apa sama Bapak ya? Teman-teman dekat Bitha malah sudah mulai kuliah loh, Bu! Sedangkan Bitha ... jangankan pergi kuliah, ini malah selalu disuruh diam di rumah! Memangnya Bapak nggak mau kalau Bitha pergi kuliah ya, Bu? Kenapa sih, Bu?” tanya Tabitha.

Lasmi hanya bisa terdiam. Tidak mampu memberi jawaban walau hanya sepatah kata, sementara tangannya masih terus saja sibuk merajut.

“Bu? Ibu?" Tabitha menggoncang lengan ibunya.

Lasmi menoleh. Wanita itu lalu memandang wajah putrinya.

“Mm ... mungkin ... Bapakmu memang belum berpikir untuk menguliahkan kamu sekarang, Nduk!” ujar Lasmi.

“Memang kenapa, Bu? Karena ... biaya kuliah itu mahal ya, Bu?" tanya Tabitha.

Lasmi menghela nafasnya.

"Hm ... ibu ndak tahu, Nduk!"

Tabitha cemberut.

"Bitha janji kok bu, Bitha akan tetap rajin belajar seperti waktu sekolah dulu, biar Bitha cepat lulus dan jadi sarjana! Janji deh, Bu! Ya, Bu? Bitha boleh kuliah ya, Bu?" Gadis belia itu berusaha merayu ibunya.

Lasmi tersenyum sedih.

“Ibu ... hmm ... nanti Ibu bilang ke Bapakmu ya, Nduk! Oh iya, kamu ... kamu mau main ke rumah Tita sekarang toh? Loh kok malah masih pakai baju tidur? Ganti pakaianmu dulu sana! Hayo, cepat!" Lasmi berbicara dengan gugup sambil memandang pakaian yang dikenakan oleh putrinya sekilas, lalu berpura-pura sibuk merapikan benang-benang rajut di dalam keranjang.

“Iya, Bu!” sahut Tabitha.

Ibu kenapa sih? Kok jadi kelihatan gugup begitu ya? Gadis yang masih polos itu bertanya-tanya di dalam hatinya sambil menatap ibunya. Lalu, berjalan masuk ke kamar.

“Nanti sekalian kamu mampir sebentar ke rumah Bulèk Tari ya, Nduk! Adikmu, Dilla, sedang main di sana! Suruh dia pulang ya! Ibu mau ajak Dilla ke pasar, mumpung masih belum terlalu sore! Ibu mau beli benang lagi untuk merajut!” Pesan Lasmi ketika putri sulungnya itu mencium tangannya.

“Iya, Bu!” ujar Tabitha.

Lasmi menatap punggung putrinya yang sedang melangkah ke luar rumah. Langkah kakinya halus gemulai. Rambut panjang hitam bergelombang yang tergerai di punggung berkilau terkena pantulan cahaya sinar matahari sore. Kulit wajah dan tubuhnya yang kuning langsat tampak halus bersinar.

Cantik dirimu, Nduk! Pantas keluarga Juhari sangat menginginkanmu! Maafkan Ibu ya, Nduk! Ibu masih belum bisa memberi tahu kamu!

Lasmi menghapus air mata yang menitik di sudut matanya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status