LOGIN
BAB 1
Pesta meriah telah dimulai. Siska telah berada di atas panggung setelah namanya dipanggil. Ia memberikan sepatah dua patah kata, baik tentang kariernya maupun tentang keinginannya di usianya yang telah menginjak 28 tahun.
Tidak hanya itu, Siska sempat menyebut nama Vero dan memujinya sebagai kolega terbaiknya. Hal itu sontak membuat semua tamu undangan bersorak. Tidak sedikit juga yang ingin menjodohkan mereka tanpa tahu status Vero yang sebenarnya.
“Sial!” seru Vero tertahan. Besok pasti banyak berita yang beredar, baik mengenai kerja samanya dengan perusahaan itu maupun tentang perjodohan dadakan antara dirinya dan Siska.
“Sepertinya hidupmu tambah rumit, Bro.” Evan datang tiba-tiba dari belakang dan langsung merangkul Vero.
“Diam kamu!” Pria yang mengenakan kemeja biru navy itu menyikut pelan perut Evan.
“Bagaimana kamu bisa masuk?” tegur Max. Di luar sana penjagaannya sangat ketat. Bagi yang tidak memiliki undangan, tentu saja tidak diperbolehkan masuk ke pesta ini.
“Aku ternyata diundang juga,” jawab Evan, membuat Vero dan Max menatapnya bersamaan.
“Mama dan papaku kenal dengan Tuan Heri dan Siska.”
“Oh.” Max hanya menanggapi singkat.
Ketiga pria itu pun berbincang ringan, meski sesekali pembicaraan mereka terpotong karena rekan bisnis Vero yang datang menyapa.
“Selamat malam, Tuan Vero, Tuan Max, dan ini?” sapa Siska yang menghampiri mereka.
“Ini Evan, teman kami,” jawab Max.
“Selamat malam, Tuan Evan,” ucap Siska sambil tersenyum.
“Hm.” Evan hanya berdehem. Raut wajahnya terlihat dingin.
“Terima kasih, Tuan, sudah datang memenuhi undangan kami. Saya berharap kalian menikmatinya.”
Siska pun mengajak Vero dan Max berbincang, dan semua itu tak luput dari bidikan kamera awak media serta beberapa pasang mata pengusaha lainnya.
Pemilik nama lengkap Siska Renata Heriawan itu kini tengah merasakan jantungnya berdebar cepat. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena perasaan takut. Meski begitu, wanita yang mengenakan gaun merah maroon, sangat kontras dengan kulit putihnya, tetap menampilkan senyum terbaik di depan semua orang.
Seorang pelayan wanita datang membawa minuman yang sedikit mengandung alkohol, seperti di pesta-pesta besar lainnya. Tanpa banyak bicara, mereka, termasuk Siska, mengambilnya dengan santai.
Di belakang sana, berdiri seorang wanita bernama Andin yang sedari tadi memperhatikan keempat orang itu. Setelah beberapa menit, ia tersenyum sinis.
“Aku yakin, kali ini pasti berhasil.”
Vero menarik diri dari keramaian pesta. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia masih berusaha menahan kantuk yang menyerang. Beruntung, minuman itu tidak mengandung obat aneh, hanya obat tidur—hingga ia merasa sedikit lega.
“Awas saja kalau dua anak itu tidak berhasil. Aku akan mengirim mereka ke Antartika,” gumamnya pelan sambil berjalan menuju toilet. Ia butuh air untuk membasuh wajahnya. Namun belum sampai ke pintu toilet, tiba-tiba seseorang memukul tengkuknya, membuat Vero tak sadarkan diri.
***
“Bagaimana, Andin?” Siska menemui Andin di kamar hotel tempat wanita itu menunggu.
“Ayo kita ke kamar itu sekarang, Nona. Anak buah kita sudah mengantar Pak Vero ke sana dalam keadaan tidak sadar.”
Penjelasan Andin membuat Siska tersenyum puas.
“Kerja bagus, Andin. Kita ke sana sekarang.”
Karena sesuatu hal, Siska rela melakukan apa pun. Wanita itu pantang menyerah untuk menjadikan Vero miliknya. Sekalipun ia tahu bahwa Vero sudah menikah dan memiliki anak, hal itu tak membuatnya mundur. Justru semakin membuatnya nekat.
Siska dan Andin pun berjalan menuju kamar yang telah disiapkan.
“Bagaimana?” tanya Andin pada pria yang berjaga di depan pintu.
“Dia sudah di dalam, Nona,” jawabnya.
“Baiklah. Kerja yang bagus. Tetap berjaga di sini.”
“Baik, Nona,” jawab pria itu seraya menunduk, lalu sempat melirik ke arah pintu kamar di seberangnya.
Siska melangkah masuk ke kamar yang hanya memiliki sedikit pencahayaan. Samar-samar, di atas ranjang king size itu, seorang pria masih memakai pantofel dan tertidur pulas. Siska menarik senyum miring.
“Kali ini kau akan menjadi milikku, Vero,” bisiknya pelan.
Dengan cepat, ia mengganti dress mewahnya dengan tank top dan celana pendek. Setelah itu, ia menyuruh Andin keluar untuk melaksanakan tugas lain.
Siska perlahan merangkak ke atas tempat tidur sambil memegang ponselnya. Ia ingin mengabadikan kebersamaannya dengan Vero sebelum melanjutkan rencana berikutnya.
Ia merapatkan tubuh ke lelaki yang tertidur pulas itu. Wajah pria itu tidak tampak jelas, karena minimnya cahaya, tetapi dari aromanya, Siska yakin bahwa itu Vero.
Perlahan, ia membuat seolah-olah pria itu bersandar di dadanya. Dengan cepat, ia membidik kamera ponsel dan mengambil beberapa foto. Setelah puas, Siska menyimpan ponselnya lalu kembali menatap pria di sampingnya. Ia meraba wajah itu dengan lembut.
“Maafkan aku kalau harus memakai cara seperti ini. Tapi aku benar-benar membutuhkanmu, Vero,” ucapnya pelan sambil mendekatkan wajah.
Namun saat bibir mereka hampir bersentuhan, Siska tersentak. Lelaki itu tiba-tiba mencekik lehernya lalu menghempaskannya dengan kasar.
“Dasar wanita murahan!” hardik pria itu.
“Siapa kau?” Siska terbatuk, berusaha bernapas. Ia baru menyadari suara itu bukan suara Vero.
Ruangan itu seketika terang benderang setelah pria itu menyalakan lampu.
“Kau!” seru Siska sambil menunjuk. “Bukankah kau teman Vero yang tadi?”
Evan hanya tersenyum sinis tanpa menjawab. Ya, lelaki yang kini di depannya adalah Evan.
Sebenarnya, Evan masih ingin pura-pura tidur dan mendengarkan perkataan wanita itu. Namun begitu Siska berusaha menciumnya, ia memilih menghentikan segalanya. Ia tidak sudi disentuh wanita seperti itu—meski cantik—karena baginya, Siska adalah tipe wanita yang terlalu murahan.
“Di mana Vero? Kenapa kau yang di sini?” seru Siska marah.
“Cih. Vero sudah pulang ke rumah, tidur dengan tenang bersama istrinya,” jawab Evan dengan nada sengaja menyindir.
“Ah, sial!” teriak Siska. Ia mengambil bantal dan melemparkannya satu per satu ke arah Evan. Hingga bantal terakhir mengenai pria itu tepat di dada.
“Dasar laki-laki sialan! Kenapa kau harus ikut campur urusanku!”
Evan menangkap bantal itu dan membuangnya dengan kasar, membuat Siska hampir terjatuh.
“Aku peringatkan padamu,” tunjuk Evan kepada Siska. “Sahabatku sudah menikah dan hidup bahagia. Jadi jangan coba-coba merusak rumah tangganya hanya karena obsesi gilamu. Aku pikir kau butuh rumah sakit jiwa untuk memeriksa kejiwaanmu.”
Tamparan keras mendarat di pipi Evan. Siska tersenyum sinis.
“Aku memang gila!” Siska tertawa keras. “Sekarang, kau akan masuk dalam jebakan gilaku. Gara-gara kau, aku tidak bisa memiliki Vero! Sekarang kau tanggung akibatnya dan menggantikannya!”
Evan menoleh ke arah pintu saat terdengar suara riuh dari luar. “Kau … kau memanggil media?”
Siska tertawa keras tanpa menjawab.
Evan segera menarik baju Siska hingga tubuh mereka bertubrukan. “Hentikan mereka sekarang juga!” bentaknya sambil menatap tajam.
Wanita itu hanya menatap balik, sama intensnya.
“Aku pun sudah tidak bisa menghentikannya.”
Setelah kalimat itu meluncur dari bibirnya, beberapa orang telah berhasil
masuk ke dalam ruangan dan membidik kamera ke arah mereka.
***
BAB 5Langit masih tampak gelap ketika Siska sudah sibuk di dapur. Semalam, sebelum tidur, ia kembali membuka tutorial “Resep Nasi Goreng Enak dan Simpel.” Kali ini, tekadnya bulat. “Aku pasti bisa!” serunya semangat sambil mengikat rambut tinggi-tinggi dan mengenakan celemek coklat tua.Wajahnya terlihat serius saat memotong bahan-bahan sederhana. Aroma bawang goreng mulai memenuhi dapur dan senyum kecil terbit di wajahnya. Siska menatap nasi goreng yang kini mulai berwarna kecoklatan. Ia mengambil sendok, meniup pelan, lalu mencicipinya.“Masya Allah … ini enak!” serunya antusias, menggeleng tak percaya. Akhirnya, nasi goreng buatannya bisa dimakan manusia juga. Ia teringat dulu, saat beberapa kali belajar di rumah Andin, hasilnya malah bikin kucing minggat karena rasanya amburadul. Tetapi pagi ini, Siska merasa bangga pada dirinya sendiri.“Semoga saja dia menyukainya,” ucapnya lirih, menata piring nasi goreng di meja makan dengan tambahan hiasan sederhana di atasnya. Ia tersenyum
BAB 4 “Aku harus mulai dari mana nih?” gumam Siska serius memperhatikan bahan-bahan makanan yang telah ia pilih. Ada ikan untuk lauk, bahan sup untuk sayur dan jagung manis untuk rencana membuat perkedel. Tetapi belum juga mulai, Siska sudah meringis pelan sambil menjambak ujung rambut panjangnya.“Aku menyesal dulu nggak pernah masuk dapur,” keluhnya penuh penyesalan.“Oke, Siska, jangan menyerah sebelum berperang. Sekarang zaman sudah serba canggih. Orang yang nggak bisa masak pun bisa jadi jago dengan bantuan si Tubtub. Ayo, semangat, cayo!” ujarnya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, kemudian membuka ponselnya. Aplikasi video tutorial memasak jadi penyelamatnya hari ini.Dulu, di rumahnya, Siska hanya sekali menginjak dapur — waktu mencoba membuat nasi goreng. Tetapi gara-gara satu piring pecah, Ibu tirinya, Bu Sesil, memarahinya habis-habisan. Sejak itu, ia dilarang masuk dapur lagi. Semua sudah disiapkan untuknya, tanpa pernah boleh menyentuh apapun.“Sekarang aku beb
BAB 3Keesokan harinya. Siska sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sejak subuh tadi, dia sudah menyiapkan sarapan sederhana untuk Evan, sekadar roti dan kopi, agar pria itu tidak lagi berteriak seperti kemarin.Semalam, Siska sebenarnya menunggu Evan pulang. Bukan karena rindu, tetapi karena dia takut sendirian di apartemen baru itu. Lingkungan sekitar masih asing dan dia belum tahu bagaimana keamanan di kawasan tersebut. Tetapi hingga jam sepuluh malam, Evan tak kunjung datang. Akhirnya Siska menyerah dan memutuskan untuk tidur lebih dulu.“Oke, aku sudah siap.” Siska menatap jam di pergelangan tangannya, memastikan tidak terlambat. “Aku harus berangkat sekarang.”Baru saja ia keluar kamar, Evan juga muncul dari kamarnya. Pria itu sudah rapi dengan kemeja panjang dan rambut yang disisir klimis.“Aku sudah buatkan kamu roti di meja makan dan juga kopi. Aku berangkat, ya!” seru Siska sambil bergegas menuju pintu. Tetapi baru dua langkah, ia berhenti, berbalik, lalu berlari kecil ke
BAB 2 Malam telah tiba. Di sebuah apartemen.“Kalau kau merasa apartemen ini terlalu kecil, lebih baik kau pulang ke rumah besarmu itu.” Suara tegas itu membuyarkan lamunan seorang wanita yang tengah menarik kopernya. Matanya berkeliling menatap sekitarnya.“Aku pikir apartemenmu ini cukup luas kalau hanya untuk kita berdua.” Wanita itu duduk di sofa dengan angkuh.“Siska, aku rasa kamu tahu kenapa kita menikah?” Ya, mereka adalah Evan dan Siska, pasangan pengantin baru yang menikah karena insiden pemergokan mereka di kamar hotel.Siska menoleh, menatap suaminya yang berdiri di dekat tangga. “Aku sangat tahu. Kamu tidak perlu mengatakannya berulang kali.”“Bagus. Ingat, kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak mengatur ataupun ikut campur dalam urusanku. Begitu pun aku terhadapmu.”Siska terdiam. Ekspresinya sulit terbaca ketika mendengar peringatan itu.“Kamarmu ada di dekat dapur. Semua urusan rumah tangga kamu yang urus. Aku tidak suka ada orang lain di rumahku.” Usai berkata
BAB 1Pesta meriah telah dimulai. Siska telah berada di atas panggung setelah namanya dipanggil. Ia memberikan sepatah dua patah kata, baik tentang kariernya maupun tentang keinginannya di usianya yang telah menginjak 28 tahun.Tidak hanya itu, Siska sempat menyebut nama Vero dan memujinya sebagai kolega terbaiknya. Hal itu sontak membuat semua tamu undangan bersorak. Tidak sedikit juga yang ingin menjodohkan mereka tanpa tahu status Vero yang sebenarnya.“Sial!” seru Vero tertahan. Besok pasti banyak berita yang beredar, baik mengenai kerja samanya dengan perusahaan itu maupun tentang perjodohan dadakan antara dirinya dan Siska.“Sepertinya hidupmu tambah rumit, Bro.” Evan datang tiba-tiba dari belakang dan langsung merangkul Vero.“Diam kamu!” Pria yang mengenakan kemeja biru navy itu menyikut pelan perut Evan.“Bagaimana kamu bisa masuk?” tegur Max. Di luar sana penjagaannya sangat ketat. Bagi yang tidak memiliki undangan, tentu saja tidak diperbolehkan masuk ke pesta ini.“Aku ter







