LOGINBAB 2
Malam telah tiba. Di sebuah apartemen.
“Kalau kau merasa apartemen ini terlalu kecil, lebih baik kau pulang ke rumah besarmu itu.” Suara tegas itu membuyarkan lamunan seorang wanita yang tengah menarik kopernya. Matanya berkeliling menatap sekitarnya.
“Aku pikir apartemenmu ini cukup luas kalau hanya untuk kita berdua.” Wanita itu duduk di sofa dengan angkuh.
“Siska, aku rasa kamu tahu kenapa kita menikah?”
Ya, mereka adalah Evan dan Siska, pasangan pengantin baru yang menikah karena insiden pemergokan mereka di kamar hotel.
Siska menoleh, menatap suaminya yang berdiri di dekat tangga. “Aku sangat tahu. Kamu tidak perlu mengatakannya berulang kali.”
“Bagus. Ingat, kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak mengatur ataupun ikut campur dalam urusanku. Begitu pun aku terhadapmu.”
Siska terdiam. Ekspresinya sulit terbaca ketika mendengar peringatan itu.
“Kamarmu ada di dekat dapur. Semua urusan rumah tangga kamu yang urus. Aku tidak suka ada orang lain di rumahku.” Usai berkata demikian, Evan menaiki tangga tanpa menoleh lagi.
Begitu suara pintu tertutup keras, Siska menjatuhkan kopernya. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. “Ini lebih baik,” gumamnya, kemudian menarik kembali kopernya menuju kamar yang terletak tak jauh dari dapur.
Mata Siska berkeliling, menatap setiap sudut ruangan yang luasnya bahkan hanya seukuran kamar mandi di rumahnya. Tetapi bibirnya justru tersenyum kecil. Entah apa yang membuat matanya tampak berbinar.
Tanpa membuang waktu, wanita bertubuh semampai itu mulai merapikan barang-barangnya ke dalam lemari. Dari salah satu tas selempang, ia mengeluarkan beberapa alat untuk menggambar yang diam-diam dibawanya dari rumah ayahnya.
“Akhirnya aku bisa menggambar lagi,” ujarnya sambil memeluk kertas putih kosong di tangannya.
***
Keesokan harinya.
“Siska!”
Suara itu menggema memenuhi apartemen bernuansa putih.
Wanita yang merasa terpanggil namanya bergegas menuju sumber suara sebelum gendang telinganya rusak karena teriakan berikutnya. “Apa-apaan sih kamu, teriak pagi-pagi?” gerutunya.
“Mana sarapannya?” tanya Evan dengan wajah datar dan suara berat.
“Hah? Sarapan?” ulang Siska bingung. Tatapannya beralih ke meja makan kayu yang masih kosong melompong.
Evan membuang napas kasar. Baru tiga hari tinggal bersama wanita yang sialnya kini menjadi istrinya, tetapi rasanya tekanan darahnya sudah naik. Mungkin nanti ia perlu menemui Aiden, sahabatnya, untuk memeriksa kesehatannya.
“Nggak ada bahan makanan. Lagian aku nggak bisa masak. Gimana kalau kita pesan aja?” katanya santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Dasar manja,” tuduh Evan.
Siska mengerecutkan bibirnya. Ia menirukan ucapan Evan dengan nada pelan, menirukan gaya marah suaminya.
“Urus dirimu sendiri, aku mau keluar.” Evan berbalik hendak pergi.
“Kamu mau ke mana?” Siska meraih lengan Evan, menahan langkahnya.
“Bukan urusanmu!” Evan menepis tangan Siska dengan kasar.
“Tapi setidaknya kasih aku uang sebelum kamu pergi.” Siska menengadahkan tangan kanannya.
Evan menatap tangan itu, lalu menatap wajah istrinya sebelum akhirnya berdecak kesal. “Kau ini orang kaya. Untuk apa butuh uang dariku.” Meski berkata begitu, ia tetap membuka dompet dan meletakkan sepuluh lembar uang merah di tangan Siska.
“Kau kan suami. Sudah jadi tugasmu memberi istri uang jajan.”
Evan hanya mendengus. “Itu untuk satu minggu.”
“Apa?” teriak Siska tak percaya.
“Pelankan suaramu!” seru Evan, tidak sadar kalau suaranya sendiri malah lebih keras.
“Sadar, Chef Evan, suaramu itu lebih besar dari suaraku,” balas Siska tak mau kalah.
“Eh, tunggu dulu!”
Siska mengejar Evan yang sudah berjalan menuju pintu. “Ini mana cukup untuk seminggu! Evan!” teriaknya, tapi suaminya tidak menggubris. Pintu pun tertutup keras.
“Aish …” keluh Siska, bibirnya mengerucut kesal. “Dasar suami menyebalkan! Pelit!” teriaknya sambil menghentakkan kaki berulang kali.
Sementara itu, Evan berjalan cepat di koridor apartemen, masih menggerutu. “Dasar wanita manja, menyebalkan.” Ia sibuk merapikan baju hingga tanpa sengaja menabrak seseorang.
“Maaf, maaf, saya tidak sengaja,” ucapnya cepat sambil menunduk dan mengambil buku yang terjatuh.
Begitu ia berdiri, pandangannya langsung tertuju pada sosok wanita berhijab yang memukau. Wanita itu mengenakan gamis putih dan kerudung cokelat muda.
Evan sempat terpaku. Hingga suara lembut wanita itu membuyarkan lamunannya.
“Maaf, Tuan … buku saya.” Suaranya halus, seolah membiaskan udara menjadi lembut di telinga Evan.
“Oh, iya. Ini.” Evan menyerahkan buku itu sambil tersenyum canggung. “Maaf, saya benar-benar tidak sengaja.”
“Tidak apa-apa. Ini juga salah saya.” Wanita itu tersenyum, lalu berpamitan. “Saya permisi.”
Evan hanya berdiri, menatap kepergian wanita itu tanpa berkedip.
“Dia cantik dan lembut,” gumamnya pelan. Senyum kecil terbit di bibirnya. “Dia wanita impianku.”
Pria itu melangkah pergi sambil masih memikirkan sosok berhijab tadi, seolah lupa bahwa ia sudah memiliki istri yang tak kalah cantik.
***
“Selamat pagi, Chef.”
Sapaan itu silih berganti terdengar sejak Evan menginjakkan kaki di restorannya.
Ya, Evan adalah seorang chef terkenal—terutama di kalangan wanita. Tak hanya tampil secara langsung di dapur restoran, ia juga rutin mengunggah video memasak bersama timnya di YouTube dan I*******m.
Kelihaiannya memainkan alat masak selalu dinanti para penggemar. Ditambah lagi wajahnya yang tampan dan karismatik, membuat banyak wanita berdecak kagum setiap kali melihatnya.
“Selamat pagi, Chef Evan. Anda terlihat bercahaya hari ini,” sapa seseorang dengan senyum khas.
Evan mendengkus, lalu duduk di kursi kerjanya. Ia menatap orang itu dengan kening berkerut. “Untuk apa kau senyum-senyum begitu?”
Lelaki yang mengenakan kemeja putih itu tak lain adalah Nando Ravelio, kameramen andalan yang selalu menyelesaikan tugasnya dengan sempurna.
“Bagaimana rasanya punya teman tidur, hah?” bisiknya pelan tapi cukup jelas di telinga Evan.
Evan berdecih, wajahnya kesal. “Kau tahu sendiri aku menikah karena apa.”
“Iya sih,” Nando terkekeh kecil, “Tapi istrimu kan—”
“Sudah. Jangan bahas dia lagi kalau mau kerjaan kita lancar hari ini.”
“Oh, baiklah.” Nando langsung bersandar dan mengangguk-angguk cepat. Ia tahu betul sifat Evan, kalau pria itu sudah kesal, proses syuting yang seharusnya selesai dalam satu jam bisa molor dua kali lipat. Jadi, lebih baik diam.
“Pengambilan video hari ini di mana?” tanya Evan.
“Di AURELLA MODEST WEAR by Fatin Alesha,” jawab Nando sambil menyengir lebar.
Evan menatap heran. “Kenapa kamu kelihatan senang sekali?”
“Siapa yang nggak senang kalau bisa ketemu wanita cantik dan salihah seperti Nona Fatin?” Nando menatap ke atas sambil membayangkan sosok bidadari.
Evan terdiam sesaat. Nama itu terasa familiar di telinganya. Fatin Alesha… di mana aku pernah melihatnya? pikirnya.
Lalu ia teringat. Buku! Ya, buku wanita berhijab yang ditabraknya tadi pagi. Di sampulnya tertulis nama itu dengan jelas.
“Sepertinya semesta sedang mendukungku,” ucapnya pelan sambil tersenyum.
***
BAB 5Langit masih tampak gelap ketika Siska sudah sibuk di dapur. Semalam, sebelum tidur, ia kembali membuka tutorial “Resep Nasi Goreng Enak dan Simpel.” Kali ini, tekadnya bulat. “Aku pasti bisa!” serunya semangat sambil mengikat rambut tinggi-tinggi dan mengenakan celemek coklat tua.Wajahnya terlihat serius saat memotong bahan-bahan sederhana. Aroma bawang goreng mulai memenuhi dapur dan senyum kecil terbit di wajahnya. Siska menatap nasi goreng yang kini mulai berwarna kecoklatan. Ia mengambil sendok, meniup pelan, lalu mencicipinya.“Masya Allah … ini enak!” serunya antusias, menggeleng tak percaya. Akhirnya, nasi goreng buatannya bisa dimakan manusia juga. Ia teringat dulu, saat beberapa kali belajar di rumah Andin, hasilnya malah bikin kucing minggat karena rasanya amburadul. Tetapi pagi ini, Siska merasa bangga pada dirinya sendiri.“Semoga saja dia menyukainya,” ucapnya lirih, menata piring nasi goreng di meja makan dengan tambahan hiasan sederhana di atasnya. Ia tersenyum
BAB 4 “Aku harus mulai dari mana nih?” gumam Siska serius memperhatikan bahan-bahan makanan yang telah ia pilih. Ada ikan untuk lauk, bahan sup untuk sayur dan jagung manis untuk rencana membuat perkedel. Tetapi belum juga mulai, Siska sudah meringis pelan sambil menjambak ujung rambut panjangnya.“Aku menyesal dulu nggak pernah masuk dapur,” keluhnya penuh penyesalan.“Oke, Siska, jangan menyerah sebelum berperang. Sekarang zaman sudah serba canggih. Orang yang nggak bisa masak pun bisa jadi jago dengan bantuan si Tubtub. Ayo, semangat, cayo!” ujarnya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, kemudian membuka ponselnya. Aplikasi video tutorial memasak jadi penyelamatnya hari ini.Dulu, di rumahnya, Siska hanya sekali menginjak dapur — waktu mencoba membuat nasi goreng. Tetapi gara-gara satu piring pecah, Ibu tirinya, Bu Sesil, memarahinya habis-habisan. Sejak itu, ia dilarang masuk dapur lagi. Semua sudah disiapkan untuknya, tanpa pernah boleh menyentuh apapun.“Sekarang aku beb
BAB 3Keesokan harinya. Siska sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sejak subuh tadi, dia sudah menyiapkan sarapan sederhana untuk Evan, sekadar roti dan kopi, agar pria itu tidak lagi berteriak seperti kemarin.Semalam, Siska sebenarnya menunggu Evan pulang. Bukan karena rindu, tetapi karena dia takut sendirian di apartemen baru itu. Lingkungan sekitar masih asing dan dia belum tahu bagaimana keamanan di kawasan tersebut. Tetapi hingga jam sepuluh malam, Evan tak kunjung datang. Akhirnya Siska menyerah dan memutuskan untuk tidur lebih dulu.“Oke, aku sudah siap.” Siska menatap jam di pergelangan tangannya, memastikan tidak terlambat. “Aku harus berangkat sekarang.”Baru saja ia keluar kamar, Evan juga muncul dari kamarnya. Pria itu sudah rapi dengan kemeja panjang dan rambut yang disisir klimis.“Aku sudah buatkan kamu roti di meja makan dan juga kopi. Aku berangkat, ya!” seru Siska sambil bergegas menuju pintu. Tetapi baru dua langkah, ia berhenti, berbalik, lalu berlari kecil ke
BAB 2 Malam telah tiba. Di sebuah apartemen.“Kalau kau merasa apartemen ini terlalu kecil, lebih baik kau pulang ke rumah besarmu itu.” Suara tegas itu membuyarkan lamunan seorang wanita yang tengah menarik kopernya. Matanya berkeliling menatap sekitarnya.“Aku pikir apartemenmu ini cukup luas kalau hanya untuk kita berdua.” Wanita itu duduk di sofa dengan angkuh.“Siska, aku rasa kamu tahu kenapa kita menikah?” Ya, mereka adalah Evan dan Siska, pasangan pengantin baru yang menikah karena insiden pemergokan mereka di kamar hotel.Siska menoleh, menatap suaminya yang berdiri di dekat tangga. “Aku sangat tahu. Kamu tidak perlu mengatakannya berulang kali.”“Bagus. Ingat, kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak mengatur ataupun ikut campur dalam urusanku. Begitu pun aku terhadapmu.”Siska terdiam. Ekspresinya sulit terbaca ketika mendengar peringatan itu.“Kamarmu ada di dekat dapur. Semua urusan rumah tangga kamu yang urus. Aku tidak suka ada orang lain di rumahku.” Usai berkata
BAB 1Pesta meriah telah dimulai. Siska telah berada di atas panggung setelah namanya dipanggil. Ia memberikan sepatah dua patah kata, baik tentang kariernya maupun tentang keinginannya di usianya yang telah menginjak 28 tahun.Tidak hanya itu, Siska sempat menyebut nama Vero dan memujinya sebagai kolega terbaiknya. Hal itu sontak membuat semua tamu undangan bersorak. Tidak sedikit juga yang ingin menjodohkan mereka tanpa tahu status Vero yang sebenarnya.“Sial!” seru Vero tertahan. Besok pasti banyak berita yang beredar, baik mengenai kerja samanya dengan perusahaan itu maupun tentang perjodohan dadakan antara dirinya dan Siska.“Sepertinya hidupmu tambah rumit, Bro.” Evan datang tiba-tiba dari belakang dan langsung merangkul Vero.“Diam kamu!” Pria yang mengenakan kemeja biru navy itu menyikut pelan perut Evan.“Bagaimana kamu bisa masuk?” tegur Max. Di luar sana penjagaannya sangat ketat. Bagi yang tidak memiliki undangan, tentu saja tidak diperbolehkan masuk ke pesta ini.“Aku ter







