Share

Bab 7. Jagalah Hatinya

Nadira terjaga mendengar tangisan Nafa dari box bayinya. Namun sesuatu yang melingkar diperutnya membuatnya sulit untuk bangkit. Jantung Nadira bedetak cepat saat menyadari sebuah tangan kokoh memeluknya dari belakang. Hembusan napas hangat di belakang lehernya meciptakan desiran hebat di dadanya.

"Sejak kapan Uda Farhan tidur di sebelahku?" pikirnya dalam hati.

Semalam, setelah mereka berpelukan cukup lama, Farhan masuk ke ruang kerjanya lewat pintu tembus dari kamar mereka, dan tidak kembali hingga Nadira tertidur pulas. Dia mengira , seperti biasanya, Farhan akan tidur di sofa panjang di ruang kerjanya itu sampai pagi.

Namun entah kapan suaminya itu kembali dan tertidur di sampingnya.

Perlahan Nadira mengangkat tangan kekar yang masih melingkar di perutnya. Namun Tangan itu begitu erat. Tangisan Nafa mulai terdengar kencang.

"Uda, maaf! Nafa nangis." Nadira menepuk pelan lengan suaminya.

Sontak Farhan terjaga dan melepaskan tangannya. Nadira pun bangkit lalu menghampiri Nafa dan meraih bayi cantik itu.

Kali ini Nadira menyusui baby Nafa di atas sofa, karena suaminya kembali terlelap di ranjangnya.

Wanita itu sesekali melirik pada Farhan. Dirinya merasakan adanya perubahan sikap Farhan sejak dia melahirkan.

Dulu, Farhan tidak pernah tidur hingga terlelap di sampingnya  Setiap hari Farhan selalu tidur di sofa besar di ruang kerja. Dia sengaja membuat pintu tembus, agar tidak ada yang mengetahui tentang keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya.

Sesekali Farhan meminta hak kebutuhan biologisnya walau tanpa rayuan ataupun kata-kata mesra layaknya pasangan suami istri. Lalu setelah selesai, dia akan kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan Nadira sendirian.

Tak jarang Nadira mendengar obrolan mesra suaminya dengan sang kekasih hingga malam hari. Karena dinding ruang kerja Farhan menyatu dengan dinding kamarnya.

Memang awalnya  semua terasa menyakitkan. Perlahan Nadira berusaha berdamai dengan hatinya. Mencoba untuk ikhlas menjalani rumah tangga yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya  

Dia terpaksa menyetujui perjanjian itu. Sepakat bercerai setelah Nadira melahirkan. Karena dia tak punya pilihan lain. Andai saja waktu bisa berputar kembali ke masa lampau. Ingin rasanya menolak perjodohan itu. Ingin rasanya menolak permintaan Ibu dan Mamak. Namun Nadira adalah anak yang sangat tahu balas budi. Dia tak ingin mengecewakan Mamak yang telah menyekolahkannya sejak dia SMA.

"Turuti saja  permintaan mamakmu, Dira. Kita banyak hutang budi pada beliau. Kalau tidak ada Mamak Sutan Sati, mana bisa kamu melanjutkan sekolah." 

Walaupun Nadira membiayai kuliahnya sendiri, tapi dia sadar, kalau bukan karena Mamaknya, mungkin dia tak sekolah sejak lulus SMP. Mamaknya pula yang memberinya ongkos untuk merantau ke Jakarta.

Sikap Farhan  beberapa hari ini sungguh berbeda dari biasanya. Farhan menjadi lebih betah di rumah. Sejak pulang dari rumah sakit, Nadira belum pernah mendengar lagi percakapan Farhan dengan kekasihnya lewat ponselnya. Sikap dan cara bicara Farhan juga berbeda. Tidak datar dan dingin seperti biasanya.

Apa semua perubahan ini karena hadirnya  Nafa? Atau karena saat ini ada Ibu di tengah-tengah kita?

Adzan subuh telah berkumandang. Nafa kembali tertudur. Seperti biasa, Nadira menyiapkan pakaian farhan. Namun dia tak berani membangunkan suaminya itu. Setelah membersihkan diri, Nadira memilih keluar kamar dan memeriksa pekerjaan para pelayan di dapur.

Setelah semuanya sudah selesai, Nadira menyiapkan sarapan untuk suaminya di meja makan.

Farhan baru saja selesai manunaikan salat subuh saat Nadira kembali masuk ke kamarnya. Nadira mengulum senyum melihat Farhan salat tepat di samping box bayi Nafa, bukan di ruang kerja seperti biasanya.

"Sarapan sudah siap, Uda."

Farhan mengangguk.

"Mamak berangkat dengan pesawat pagi. Setelah ini Aku akan ke bandara menjemput beliau. Suruhlah para pelayan memasak lebih banyak dan enak. Biar Mamak menginap di sini saja selama di Jakarta."

Sungguh Nadira tak percaya dengan apa yang  Farhan katakan. Kenapa kini suaminya itu sangat peduli dengan keluarganya.

"Iya, Uda. Terima kasih."

Nadira mengikuti Farhan ke ruang makan seraya mendorong stroller Baby Nafa. Seorang Baby sitter mengambil alih Baby Nafa dan membawanya ke taman belakang. Seperti biasa, Nadira menemani dan melayani suaminya sarapan.

Tiba-tiba ponsel Farhan berdering. Suami Nadira itu melirik sekilas pada layar, sebuah nama dan foto terpampang membuatnya enggan untuk menerima panggilan yang baru saja masuk. Farhan meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

Diam-diam Nadira memperhatikan sikap Farhan  yang tidak seperti biasanya. Dia menduga itu adalah panggilan telphon dari kekasih Farhan. Nadira hapal betul dengan tampilan fotonya. Walau tak begitu jelas, namun Nadira mengenali foto itu, karena sebelumnya tak jarang Farhan menerima panggilan telphon dari kekasihnya itu, di dekat Nadira.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Farhan bangkit dari kursi, kemudian menghampiri Bu Ani yang sedang menonton televisi.

"Bu, Aku ke Bandara dulu jemput Mamak. Ibu mau ikut?" tanyanya .

"Indak usah, Nak. Ibu mau bantu-bantu masak sajalah di dapur."

"Jangan terlalu lelah, Bu. Biar pelayan yang mengerjakannya! Saya pamit, Bu!" Farhan mencium tangan Bu Ani sebelum beranjak menuju mobilnya.

Nadira melihat jelas tatapan bangga Bu Ani pada menantunya. Dia menghela napas kasar. Bagaimana jika suatu saat Ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangganya

.

Nadira melepas kepergian Farhan menuju bandara. Kemudian kembali disibukkan dengan Baby Nafa hingga sore hari. Nadira memang ingin mengurus sendiri putrinya sebelum dia aktif kembali di perusahaan, setelah bercerai nanti dengan Farhan.

.

.

.

Mamak Sutan Sati berdecak kagum melihat besarnya rumah Farhan. Pria paruh baya itu berkeliling mengitari rumah Farhan dan memuji setiap kemewahan yang berada di setiap sudutnya.

Tak henti-hentinya Mamak Sutan Sati memuji-muji menantu kebanggaannya itu. Jika di kampung, dialah yang paling dipuji oleh orang-orang karena telah berhasil menikahkan keponakannya dengan orang terkaya dan terpandang dikampungnya.

"Mamak sangat bangga padamu, Farhan. Hampir semua orang menginginkan punya menantu seperti kamu ini. Sudah sukses,  taat agama, santun dan tidak sombong."  Mamak Sutan Sati menepuk-nepuk punggung menantunya yang bertubuh dua kali lipat lebih besar darinya.

Farhan hanya tersenyum mendengar ucapan Mamak Sutan Sati. Saat ini mereka berdua sedang bersantai melepas penat di salah satu saung taman belakang,  setelah perjalanan jauh dari bandara.

Nadira dan  Bu Ani datang menghampiri mereka,  membawa satu nampan berisi makanan dan minuman..

"Silakan di cicipi, Mak, Uda!" Nadira menghidangkan isi nampan itu di depan dua pria berbeda usia yang sedang serius berbicara.

"Farhan, Nadira ini adalah keponakan yang Aku besarkan sejak umur enam belas tahun.. Karena sejak Ayahnya meninggal, dia adalah tanggung jawabku. Sejak menikah denganmu, Dia menjadi tanggung jawabmu dunia dan akhirat. Tolong jaga dia! Bukan hanya fisiknya, tapi jagalah juga hatinya. Jika sampai dia terluka karena kamu, Aku tidak akan pernah memaafkanmu." Mamak Sutan Sati berkata tegas seraya menatap dalam pada Farhan.

Suami Nadira itu sontak terdiam menahan sesak. Selama ini dia memang tak pernah melukai Nadira secara fisik. Namun dia tahu betul bahwa dirinya telah menciptakan luka yang dalam di hati istrinya.

Kini sepasang suami istri itu saling menatap lekat. Ada penyesalan tersirat dari mata tegas milik Farhan. Sementara Nadira kembali merasakan gemuruh di dadanya. Mengingat semua yang telah dia alami selama menjadi istri Farhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status