Share

Bab 8. Rencana Erika

Farhan geram karena sejak kemarin Erika tak henti-hentinya menghubungi ponselnya. Dia sengaja tak mengangkatnya karena seharian kemarin Farhan berada di rumah. Dia tidak mungkin menerima panggilan dari kekasihnya itu saat ada Mamak dan mertuanya di rumah.

Pagi-pagi sekali Farhan sudah berangkat ke kantor. Banyak pekerjaan yang tertunda. Beberapa meeting dengan relasi bisnis terpaksa diganti jadwalnya. Semua ini karena keinginan  Farhan yang lebih suka berada di rumah akhir-akhir ini.

Mobil mercy keluaran terbaru milik Farhan telah terparkir sempurna di area parkir khusus untuknya sebagai CEO.  Dengan langkah panjang Farhan berjalan menuju lobby hingga menaiki lift ke ruang kerjanya di lantai dua puluh lima.

"Selamat pagi, Pak! " Sekretaris Farhan langsung berdiri menyapa atasannya.

"Pagi!, Apa semua berkas sudah di letakkan di meja saya, Dian?"

"Sudah,Pak. Satu jam lagi ada rapat dengan semua kepala divisi di ruang meeting."

Dian, sang sekretaris membacakan jadwal Farhan hari ini yang begitu padat. Pria itu menghempas napas kasar. Membayangkan kesibukan yang akan dia hadapi hari ini.

Tiba-tiba langkah Farhan terhenti saat sebelum memasuki ruangannya.

"Dian, pesanan saya apa sudah jadi?"

"Sudah, Pak. Sudah saya pajang di atas meja kerja Bapak."

Farhan tersenyum, tak sabar ingin melihat sesuatu yang dia pesan pada sekretarisnya itu kemarin.

Farhan tersenyum behagia melihat pigura foto yang saat ini berada di atas meja kerjanya. Diraihnya pigura itu, kemudian dipandangnya tak berkedip. Betapa cantik dua wanita berbeda usia yng berada dalam foto itu. Kemarin sore, diam-diam farhan memotret istrinya yang sedang menggendong Nafa, kemudian dia mengirim foto itu pada Dian-sekretarisnya untuk di cetak. Ada rasa hangat yang tak dapat dilukiskan saat dia memandang foto itu.

Mata Farhan kemudian beralih pada tumpukan pekerjaan yang harus dia hadapi. Pria itu menghempas napas kasar membayangkan padatnya jadwal kerjanya hari ini.

***

Ponsel Farhan terus bergetar sejak sedang meeting tadi. Farhan mendengkus kesal melihat nama yang tertera pada layar. Seperti biasa Erika pasti akan mengajaknya makan siang. Farhan memilih untuk mengabaikan dan kembali ke ruangannya, menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk.

Tok tok tok!

"Masuk!"

"Farhan, kenapa akhir-akhir ini kamu mengabaikanku?" Mata Farhan melebar saat melihat Erika meyerobot masuk melewati Dian.

Wanita cantik yang kerap memakai dress selutut itu menatap tajam pada sang kekasih.

"Aku sangat sibuk, Erika," sahut Farhan dingin.

"Halah, alasan saja! Ada apa denganmu? Apa perempuan kampung itu telah berhasil mempengaruhimu?"

"Jaga bicaramu, Erika! Aku sudah bilang untuk memikirkan kembali hubungan kita," sanggah Farhan pelan namun penuh penekanan.

"Kenapa? Kenapa harus kamu memikirkan kembali? Bukankah kamu sudah berjanji akan menceraikan istrimu setelah anakmu lahir, dan kemudian menikahiku?"  pekik Erika frustasi.

Farhan terdiam. Ada penyesalan dihatinya karena telah menjanjikan sesuatu pada Erika. Dia memang salah. Dulu betapa dia sangat mencintai Erika hingga dia membuat surat perjanjian itu dan memaksa Nadira menandatanganinya.

Namun entah apa yang membuatnya saat ini meragu. Farhan tidak yakin dengan janjinya pada Erika, juga tidak yakin dengan surat perjanjian yang dia buat delapan bulan yang lalu.

Namun ada sesuatu yang menguatkan dalam dirinya untuk tetap mempertahankan rumah tangganya saat ini.

"Jawab, Farhan!"teriak Erika tepat di hadapan Farhan.

Pria itu semakin tak respek pada kekasihnya. Selama menikah, tak pernah sekalipun Nadira meninggikan suaranya jika bicara dengannya. Padahal dirinya selalu membuat luka di hati Nadira.

"Cukup, Erika! Aku sibuk. Silakan kamu keluar!' Farhan berdiri dan menunjuk pintu.

Erika memandang Farhan tak percaya.

"Kamu mengusirku? Kamu tau, Aku sudah menunggumu selama tiga tahun. Aku relakan kamu menikah demi keinginan ibumu. Aku kesepian setiap malam, sementara kekasihku bersama wanita lain di sana. Tidak mengertikah kamu akan perasaanku, Farhan? Aku telah mengorbankan perasaanku demi kamu!"

Erika terus berbicara sambil tergugu. Sesekali suaranya meninggi sambil menunjuk-nunjuk Farhan.

"Diam, Kamu! Nadira bukan wanita lain. Tapi dia istriku!" geram Farhan.

Erika terus meracau dan menangis. Hingga akhirnya Farhan tidak tega. Bagaimanapun juga sejak awal ini semua memang salahnya. Namun siapa mengira rasa cintanya yang besar dulu pada Erika tiba-tiba saja menguap.

"Maafkan Aku ...!" lirih Farhan. Akhirnya pria itu mengalah.

Melihat pria itu sudah mulai tenang, Erika menjatuhkan dirinya di dada Farhan. Dia menggunakan kesempatan ini untuk kembali mengambil hati Farhan. Namun Farhan hanya diam tak merespon. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Pergilah! Aku sedang tidak ingin diganggu,' ujar Farhan datar dan dingin.

Erika mendongakkan kepalanya. Ditatapnya mata pria itu lekat. Namun tetap saja Farhan tidak membalas tatapannya.

Hati Erika mencelos. Perlahan mundur dan melepaskan diri. Napasnya memburu menahan emosi.

"Baiklah. Aku pergi."  Tanpa menunggu jawaban dari Farhan, Erika membalikkan badannya lalu melangkah menuju pintu. kedua punggung tangannya terus menghapus air mata yang terus mengalir.

Erika terus melangkah keluar, melewati kubikel para karyawan. Dia tak peduli jika para karyawan Farhan saling membicarakan dirinya. Saat di lift, wanita dengan riasan wajah tebal itu menghubungi Dipa-supirnya agar menjemputnya di lobby.

Selama di dalam mobil, Erika sedang merencanakan sesuatu.  Wanita itu menghubungi seseorang lewat ponselnya.

"Hallo, aku butuh nomor ponsel aktif istri Farhan yang kampungan itu. Aku perlu cepat!"  Suara Erika menggeram akibat emosi yang tak terbendung.

Tidak memakan waktu lama, sebuah pesan masuk mengirimkan sederet angka yang merupaan nomor ponsel Nadira.

Erika tersenyum sinis.

"Kau tak perlu susah-susah menceraikan perempuan kampung itu, Farhan. Karena sebentar lagi wanita itu sendiri yang akan meninggalkanmu dan kembali ke kampung halamannya," geram Erika dengan senyum sinisnya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil.

.

.

.

Nadira sedang berbincang dengan Bu Ani dan Mamak Sutan Sati di Saung taman belakang.

"Dira, hari minggu nanti semua keponakan dan adik-adik Mamak akan ke sini menengokmu. Masaklah yang banyak untuk menyambut mereka."

"Baik, Mak. Nanti Dira akan buatkan rendang untuk mereka."

"Jangan lupa asam padeh Ayam buatan Ibumu. Biar suamimu itu juga merasakan enaknya masakan ibumu ini. Hahaha!"

Mereka tertawa bersama.

"Jangankan masakan Ibunya, masakan istrinya saja Farhan sangat jarang mencicipi. Karena Farhan lebih sering makan siang dan makan malam diluar bersama kekasihnya," pikir Nadira dengan hati mencelos,

Tiba-tiba ponsel Nadira bergetar. Ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.

Mata Nadira melebar ketika melihat gambar pada layar ponselnya.

"Astaghfirullah ...!" Nadira membekap mulutnya agar tak berteriak.

"Ada apa, Dira? Ada apa, Nak? Siapa yang menelpon?" Bu Ani terlihat panik melihat wajah Nadira yang memucat.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Azkania Azkania
ahk seolah g blh di baca di kunci trus. kan baca ini bayar loh lewat kuota.
goodnovel comment avatar
Anthy Marasut Manein
buka kunci......
goodnovel comment avatar
Auni Nadiah
bagus..ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status