Sudah tiga hari Nadira dirawat di rumah sakit setelah melahirkan, dan hari ini dokter memperbolehkan dia untuk pulang.
Setelah menutup laptopnya, Dira menghubungi seseorang lewat ponselnya."Hallo, Assalamualaikum, Vivi, apa yang Aku minta sudah kamu siapkan?""Waalaikumsalam, udah beres, Bu Bos. Kapan mau di jemput?""Tunggu intruksi berikutnya! Aku ingin bicara dulu dengan Uda Farhan.""Udahlah Dira, kamu tinggalin aja suamimu itu. Bisanya cuma nyakitin hatimu aja."Nadira terdiam mendengar ucapan asisten pribadi sekaligus sahabatnya itu. Memang benar kata Vivi. Selama hidup setahun bersama Farhan, hanya sakit yang dia rasakan. Farhan terang-terangan mengatakan bahwa dia punya kekasih dan sama sekali tidak mencintai dirinya. Hampir setiap hari Farhan mengingatkan Dira tentang perjanjian mereka.Walau demikian Nadira dengan ikhlas tetap melayani dan mengurus Farhan dengan baik. Walau berkali-kali suaminya itu melarangnya.Nadira pun teringat saat-saat baru menikah dengan Farhan dulu."Sudah kubilang tidak usah repot-repot mengurusku!" pinta Farhan pagi itu saat Nadira telah menyiapkan pakaian serta sarapan untuk Farhan."Selama Aku masih menjadi Istri Uda, mohon izinkan Aku tetap mengurus Uda dengan baik. Tolong jangan larang aku untuk meraih surgaku."Farhan tertegun mendengar ucapan lembut dari mulut Nadira. Sekesal dan semarah apapun Farhan padanya, Gadis sederhana itu selalu berusaha untuk berbicara lemah lembut padanya. Tidak sekalipun Nadira meninggikan suaranya pada Farhan.Dia selalu ingat pesan ibu dan mamaknya, suamimu adalah surgamu dan nerakamu.Kamu akan masuk surga karena keridhoan suamimu, sebaliknya kamu akan masuk neraka karena kemarahannya."Hallo Dira, kamu masih di sana?"Panggilan Vivi membuyarkan lamunannya."Ya, Vi. Aku masih di sini. Maaf!" sahut Nadira parau, seraya menyusut air mata yang entah sejak kapan meluruh di kedua pipinya."Jangan sedih terus, Dira. Kamu harus bisa melupakan segala kesedihan ini. Ayo bangkit lagi, perusahaan menantimu untuk bisa aktif lagi.""Nantilah, Vi. Setelah Aku resmi bercerai dari Uda Farhan."Vivi berdecak kesal, Nadira rela meninggalkan perusahaannya demi berbakti pada suaminya. Namun apa yang dia dapat, hanya rasa sedih dan luka yang mendalam."Kamu nggak apa-apa aku titip perusahaan sampai urusanku beres, kan Vi?" bujuk Nadira dengan nada memohon."Untuk sahabat sebaik kamu apapun akan kulakukan. Yang terpenting kamu bisa bahagia," sahut Vivi tulus dari seberang sana. "Terima kasih, Vi. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Nadira menutup ponselnya."Telphon dari siapa, Dira?" Dira dikejutkan oleh suara Bu Ani yang tiba-tiba masuk ke ruang rawat"Dari Vivi, Bu.""Vivi teman Kau waktu kulliah dulu? Bagaimana kabarnya kawan kau itu? Di mana dia kerja?" tanya Bu Ani bersemangat."Di perusahaan online, Bu," jawab Nadira sambil merapikan kembali laptopnya."Pagi, Bu Nadira. Ini bayinya diberi ASI dulu!" Nadira tersenyum lebar saat seorang perawat mengantarkan bayinya.Perawat itu meletakkan bayi merah itu di pangkuan Nadira. Wanita yang suka memakai hijab instan itu mencium anaknya dengan penuh cinta. Bu Ani memandang anak dan cucu pertamanya itu dengan senyum hangat."Sudah kau kasih nama anakmu ini Dira?"Nadira menggeleng."Kasihlah cepat! Biar bisa ibu panggil-panggil namanya." Bu ani mengusap lembut cucu tercintanya."Biar Uda Farhan saja yang kasih nama nanti, Bu."Setelah menutup tirai di depannya, Nadira mulai memberi ASI pada anaknya...."Assalamualaikum, Bu." Farhan mencium tangan ibu mertuanya saat baru saja tiba."Waalaikumsalam. Kamu indak kerja, Nak Farhan?""Tidak, Bu. Aku mau jemput Dira. Dokter bilang hari ini sudah bisa pulang.""Dira sedang menyusui anaknya. Masuklah ke dalam jika ingin bicara dengannya."Sedang menyusui? Bagaimana jika dia marah kalau aku main masuk aja?Farhan ragu. Walau dia tau Nadira tidak akan marah sekalipun dia melihat Nadira polos. Bagaimanapun juga Farhan berhak atas istrinya. Namun sejak ada perjanjian itu, keduanya seolah menjaga jarak. Farhan lebih sering tidur di ruang kerjanya. Akan tetapi Nadira paham dengan kewajibannya sebagai istri. Wanita itu tak pernah menolak jika Farhan sesekali meminta kebutuhan biologisnya. Nadira selalu melayani suaminya dengan baik."Aku tak ingin berdosa. Melayani Uda adalah ladang pahala untukku. Semua kulakukan ikhlas karena Allah."Jawaban Nadira seakan menampar dirinya, kala dia bertanya kenapa Istrinya tak pernah menolak, padahal dia tahu bahwa Farhan memiliki kekasih dan mereka akan bercerai.Farhan terkesiap saat tiba-tiba tirai didepannya terbuka. Senyum Nadira muncul persis di depan matanya. Jantungnya berdegup kencang saat mata mereka bertemu.Nadira menggeser tubuhnya mendekat pada Farhan. Diraihnya tangan kokoh dengan jemari kekar milik suaminya, kemudian diciumnya."Uda sudah datang ..." lirihnya.Tidak hanya saat ini Nadira mencium tangannya setiap dia datang ataupun hendak pergi. Namun kenapa ada desiran aneh yang dia rasakan kali ini."Iy-iyaa. Mau pulang jam berapa?" tanyanya tanpa sedikitpun berpindah dari tempatnya berdiri. Farhan merasakan degup jantungnya tak karuan melihat Nadira sedang memasang kancing bajunya. Ada apa dengannya?"Maaf, Uda!" Wajah Nadira memerah menahan malu saat tersadar Farhan sedang memperhatikannya. Sontak wanita bertubuh langsing itu memiringkan badannya membelakangi Farhan."Farhan, Dira, Ibu ke musholla dulu!" teriak Bu Ani, kemudian wanita paruh baya itu beranjak keluar dari kamar rawat VVIP itu."Duduklah, Uda." Nadira turun dari tempat tidur, kemudian meletakkan bayinya yang sudah tertidur, di box bayi yang berada di sebelahnya.Farhan yang diminta duduk oleh Nadira malah mendekat dan memandang bayinya."Lihat, Dira! Dia mirip sekali denganku." Farhan terkekeh.Nadira tersenyum."Uda akan kasih nama siapa anak kita?"Farhan mendongakkan kepalanya. Mata mereka kembali bertemu."Bolehkah aku yang kasih namanya?""Tentu, Uda kan papanya." kali ini Nadira yang terkekeh.Tanpa mereka sadari hati keduanya menghangat."Bagaimana jika kita kasih nama Nafa. Nafa Adiguna.""Nafa ...? Bagus ...," sahut Dira seraya mengangguk."Sekarang, bersiaplah! Kita pulang!" ajak Farhan. Namun matanya masih terus memandang buah hatinya dengan senyuman. Nafa, adalah nama gabungan antara nama Nadira dan Farhan. Sejak semalam dia telah menyiapkan nama itu untuk putri tercintanya.Nadira terdiam. Sejenak menyiapkan diri untuk mengatakan sesuatu pada suaminya. Setelah menghela napas panjang, wanita yang tetap cantik tanpa riasan tebal itu mulai bicara. "Uda ..., jika diizinkan, Aku dan Ibu sebaiknya pulang ke rumahku saja." Dengan sangat hati-hati Nadira bicara."Apaa? Rumah di kampung?" Farhan mengernyitkan dahinya. ."Bukan. Beberapa waktu lalu aku membeli sebuah rumah. Tidak jauh dari rumah Uda."Farhan tersentak mendengar perkataan istrinya."Untuk apa kamu beli rumah?" tanya Farhan dengan dada bergemuruh. "Untuk ...untuk tempat tinggalku dan Nafa setelah kita berpisah nanti," sahut Nadira tertunduk.Sontak Farhan menegang. Matanya menatap nanar pada Nadira. Entah kenapa hatinya seakan tidak terima. Kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. Sesak di dada bagaikan dihimpit batu besar. Dia terdiam. Tenggorokannya tercekat."Kamu dan Nafa harus pulang ke rumah kita! Berkemaslah, Aku tunggu di luar!" Suara bariton Farhan berucap datar dan dingin. Nadira hanya mematung mendengar perintah suaminya. Sungguh dia tak mengerti dengan jalan pikiran Farhan. Bukankah dulu suaminya itu berkali-kali mengingatkan bahwa setelah dia melahirkan mereka akan bercerai? Nadira menatap punggung tegap itu hingga menghilang di balik pintu. Perlahan dia masukkan pakaiannya ke dalam tas, sambil menanti perawat yang mempersiapkan kepulangannya dan bayi Nafa. "Hendak kemana suamimu, Dira? Sini ibu bantu berkemas!" Bu Ani terheran melihat wajah Nadira yang murung. "Ada apa sebenarnya, Nak?" Wanita berhijab lebar yang tak lagi muda itu menyentuh lengan Nadira karena tak mendengar pertanyaannya. "Eh, ... maaf tadi ibu bilang apa?" Nadira terperangah dan gugup. "Suamimu mau kemana? Tadi ibu lihat dia sedang berjalan di lorong rumah sakit ini. Nampaknya Farhan sedang kesal. Apa kamu sudah membuatnya marah?" Nadira menggeleng.
Fahran melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalan kota jakarta yang akrab dengan kemacetan. Tujuannya kali ini adalah sebuah rumah yang terletak di wilayah menteng. Daerah yang dekat dengan perkantoran dan segitiga emas. Pria beralis tebal itu mengumpat dalam hati karena jalanan mulai tidak lancar. Di tengah kemacetan Farhan mencoba menghubungi seseorang dengan ponselnya. "Hallo, Erika kamu di mana?" "Hai, Sayang. Aku baru sampai rumah," sahut Erika manja dari seberang sana. "Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana, sebentar lagi aku datang!" tegas Farhan singkat. "Benarkah? So sweet bangeeet. Akhirnya kamu datang juga. Aku tau kamu pasti kangen sama aku, kan, Sayang?" Erika terpekik saking senangnya. Farhan menutup ponselnya secara sepihak. Dia kembali menambah kecepatan mobilnya saat jalan raya mulai lancar. Hingga Farhan berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Rumah yang dulu dia beli untuk Erika setahun yang lalu, tepatnya beberapa hari sebelum dia p
Erika memandang kagum pada bayangan dirinya di cermin. Pagi ini, wanita berkulit putih dengan mata agak sipit itu sengaja berhias dengan penampilan memukau. Dress selutut berwarna peach dengan high heels berwarna senada membuatnya tampil segar dan cantik. Gadis itu berniat hendak membuat kejutan untuk kekasih hatinya. Mobil sport keluaran terbaru telah terparkir cantik di depan rumahnya. Seorang supir pribadi telah siap mengemudi dan membawa Erika ke tempat tujuan. "Ke mana, Non?" Tanya Dipa sang supir pribadi seraya melirik majikannya dari kaca spion dalam mobil ini.. "Kita ke kantor Farhan!" "Baik, siap, Non!" Dipa langsung melajukan mobil ke arah jalan Jendral Sudirman, yang memang tak jauh dari lokasi rumah Erika. Kantor Farhan memang berada di pusat kota Jakarta, diantara gedung-gedung pencakar langit. Perjalanan belum begitu macet, hingga mereka hanya menempuh waktu lima belas menit sudah tiba di area parkir PT. Elang Naga, milik Farhan Adiguna. Erika turun di lobby utama
Nadira terjaga mendengar tangisan Nafa dari box bayinya. Namun sesuatu yang melingkar diperutnya membuatnya sulit untuk bangkit. Jantung Nadira bedetak cepat saat menyadari sebuah tangan kokoh memeluknya dari belakang. Hembusan napas hangat di belakang lehernya meciptakan desiran hebat di dadanya. "Sejak kapan Uda Farhan tidur di sebelahku?" pikirnya dalam hati. Semalam, setelah mereka berpelukan cukup lama, Farhan masuk ke ruang kerjanya lewat pintu tembus dari kamar mereka, dan tidak kembali hingga Nadira tertidur pulas. Dia mengira , seperti biasanya, Farhan akan tidur di sofa panjang di ruang kerjanya itu sampai pagi. Namun entah kapan suaminya itu kembali dan tertidur di sampingnya. Perlahan Nadira mengangkat tangan kekar yang masih melingkar di perutnya. Namun Tangan itu begitu erat. Tangisan Nafa mulai terdengar kencang. "Uda, maaf! Nafa nangis." Nadira menepuk pelan lengan suaminya. Sontak Farhan terjaga dan melepaskan tangannya. Nadira pun bangkit lalu menghampiri Nafa
Farhan geram karena sejak kemarin Erika tak henti-hentinya menghubungi ponselnya. Dia sengaja tak mengangkatnya karena seharian kemarin Farhan berada di rumah. Dia tidak mungkin menerima panggilan dari kekasihnya itu saat ada Mamak dan mertuanya di rumah. Pagi-pagi sekali Farhan sudah berangkat ke kantor. Banyak pekerjaan yang tertunda. Beberapa meeting dengan relasi bisnis terpaksa diganti jadwalnya. Semua ini karena keinginan Farhan yang lebih suka berada di rumah akhir-akhir ini. Mobil mercy keluaran terbaru milik Farhan telah terparkir sempurna di area parkir khusus untuknya sebagai CEO. Dengan langkah panjang Farhan berjalan menuju lobby hingga menaiki lift ke ruang kerjanya di lantai dua puluh lima. "Selamat pagi, Pak! " Sekretaris Farhan langsung berdiri menyapa atasannya. "Pagi!, Apa semua berkas sudah di letakkan di meja saya, Dian?" "Sudah,Pak. Satu jam lagi ada rapat dengan semua kepala divisi di ruang meeting." Dian, sang sekretaris membacakan jadwal Farhan hari in
Nadira masih shock melihat foto yang muncul pada layar ponselnya. Namun segera dia tutup ketika Bu Ani hendak mendekatinya. "Ada apa, Dira? tanya Bu Ani penasaran. "Tidak apa-apa, Bu. Hanya orang salah kirim. "Ooo ....Ibu kira ada apa." "Dira ke kamar dulu mau lihat Nafa!" pamit Dira seraya berjalan tanpa menunggu jawaban dari Ibu dan Mamaknya. Nadira menutup pintu kamarnya dan kembali membuka ponselnya. Hatinya semakin terluka melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain. Wanita itu sangat cantik dan seksi. Raut wajah Farhan terlihat bahagia merangkul wanita itu. Tanpa di sadarinya genggaman tangannya semakin kuat saat mencengkeram ponsel itu. Tubuhnya luruh ke lantai bersandar pada pintu. Selama ini Nadira tahu kalau suaminya memiliki kekasih jauh sebelum menikahinya. Tapi dia masih bisa bertahan untuk tetap bersama Farhan hingga detik ini. Hampir setiap sepertiga malam Nadira memanjatkan doa untuk kebahagiaan keluarga kecilnya. Namun pertahanan yang dia jaga selama i
Mata Farhan melebar melihat seseorang yang sangat dikenalnya, saat ini berada di halaman rumahnya. "Erika ...!' Farhan menggeram. kedua tangannya mengepal. Matanya menatap nanar pada wanita yang telah menjadi kekasihnya sejak tiga tahun yang lalu. Napas Farhan memburu. Kecemasan tingkat tinggi merajai perasaannya kini. Bagaimana tidak. Erika datang saat keluarga besar Nadira sedang berkumpul di rumahnya. Mamak dan ibu mertuanya juga ada di sini. Apa yang akan dia jelaskan nanti? Dia yakin Erika akan nekad. Perempuan itu keinginannya selalu harus terpenuhi. Termasuk agar dirinya segera menceraikan Nadira. Sementara Nadira membelalakkan matanya kala melihat wanita yang sangat persis dengan foto-foto yang di kirim orang tak dikenal ke ponselnya. "Apakah wanita ini yang selalu menerorku akhir-akhir ini?" pikir Nadira dalam hati. Erika masih berusaha untuk masuk ke dalam. Namun security masih belum mengizinkannya. "Mbak Erika, di dalam sedang ada acara keluarga besar Bu Dira. Saya mo
"Uda, mungkin ini sudah saatnya. Mari kita katakan yang sebenarnya pada Mamak danIbu. Setelah itu, ceraikan aku. InsyaAllah aku sudah siap." Parau suara Nadira karena menahan sesak. Susah payah dia menahan agar air mata ini tidak tumpah. Dia tak ingin terlihat rapuh di depan suaminya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkannya. Farhan menatap dalam pada manik gelap milik Nadira. Dipandanginya wajah wanita yang sudah setahun ini menjadi istrinya. Kenapa rasa itu baru hadir di saat-saat seperti ini. Rasa takut kehilangan yang kini mengerogoti relung hatinya. Kemana saja dia selama ini. Kenapa baru sekarang dirinya sadar akan arti kehadiran seorang istri sholehah seperti Nadira. Seharusnya dia bersyukur memiliki istri seperti Nadira. Wanita itu tak pernah meminta apapun apalagi menyusahkan dirinya. Bertubi-tubi penyesalan menghantui perasaannya kini. Berkali-kali Farhan merutuki kebodohannya selama ini. "Tidak, Dira. Aku tidak akan menceraikanmu!" Sontak Nadira ternganga mendengar