Share

Bab 2. Baralek Gadang

Setahun yang lalu

"Bunda ini sudah tua, Farhan. Bunda ingin menyaksikan  kamu menikah sebelum ajal menjemput. Pulanglah! Menikahlah dengan gadis pilihan Bunda. Nadira gadis yang baik dan pintar. Bunda yakin dia akan menjadi istri yang baik untukmu."

Farhan tak kuasa menolak permintaan Bundanya. Hanya Bunda yang dia miliki satu-satunya di dunia ini.

"Bunda ingin kamu sering-sering pulang ke kampung, makanya kamu bunda nikahkan dengan gadis sekampung dengan kita."

Walau dengan terpaksa, Farhan tetap menerima perjodohan ini. Sejak dulu, Bunda memang tak menyetujui hubungannya dengan Erika, wanita modern yang sudah terbiasa hidup mewah di Jakarta. Erika itu bukan orang Minang, itu alasan Bunda.

"Jika kamu tidak menikah dengan orang Minang, selamanya kamu akan lupa dengan kampung halaman kita,"

Entah kenapa pikiran Bunda sangat kolot di jaman digital ini. Namun Farhan tak mampu menolak. Dia sangat menyayangi Bundanya. Walau sebenarnya dia pun tak tega melihat Erika yang terus menangis melepas kepergianya ketika di bandara..

"Kamu tega ninggalin aku, Farhan!"

"Bersabarlah, Aku hanya ingin membahagiakan Bunda. Setelah ini kita pikirkan lagi langkah selanjutnya agar kita bisa tetap bersama!" bujuk Farhan yang berhasil membuat Erika berhenti menangis. Sungguh wanita itu tak ingin kehilangan Farhan. Pria kaya raya pemilik  perusahaan yang bergerak di bidang investasi dan perdagangan. Apapun yang Erika minta selalu dipenuhi oleh Farhan. Hanya satu yang Farhan tidak bisa memenuhi permintaan Erika, yaitu menolak permintaan Bundanya. Bunda adalah segala-galanya bagi Farhan. Setahun belakangan ini, Bunda memilih untuk tinggal di kampung saja. Hingga dia dijodohkan dengan gadis sekampungnya.

Farhan tiba di kampung halamannya menjelang sore, dengan dijemput oleh supir pribadi bunda di bandara international Minangkabau. Perjalanan dari bandara sampai ke kampung halamannya yang berada di kabupaten Solok memakan waktu kurang lebih dua jam. Sepanjang perjalanan ke Solok yang dilalui jalan berliku serta keindahan tanah minang yang memanjakan mata. Membuat mata Farhan tak lepas terus memandang keluar jendela. Terakhir kalinya dia pulang kampung ketika masih sekolah di SMA.

Berkali-kalli Erika berusaha menghubunginya. Namun karena sinyal yang kurang mendukung, Farhan memutuskan untuk mematikan saja ponselnya.

Farhan sengaja mengambil cuti hanya beberapa hari saja. Sungguh dia tak ingin berlama-lama berada di kampung. Pria tampan dengan tubuh tegap dan tinggi di atas rata-rata itu, tiba di kampung halamannya sehari sebelum acara akad nikah dan upacara adat berlangsung. Bahkan dia sama sekali tidak ingin melihat siapa calon istri yang dijodohkan sang bunda.

"Apa kamu tidak mau pergi ke rumah Dira dan menemuinya sebentar, Farhan? Kamu harus mengenal lebih dulu calon istrimu," bujuk Bunda Aisyah, wanita yang sudah melahirkannya.

Pria berdarah campuran Minang dan Jerman itu menggeleng.

"Aku lelah, Bunda. Mau istirahat."

Bunda Aisyah hanya menghela napas panjang. Tak ingin memaksa.  Dalam hatinya dia berdoa agar acara pernikahan Farhan berjalan dengan lancar.

-------

Acara akad nikah berjalan dengan lancar. Setelah selesai, Farhan sama sekali tak ingin melihat wajah istrinya dengan lekat. Tatapannya  hanya lurus ke depan. Sesekali melihat istrinya hanya sekilas, saat mengikuti arahan dari panitia.

Saat malam tiba, acara baralek gadang berlangsung ramai. Hampir dari setiap penjuru kampung datang ingin melihat kedua mempelai. Terutama mempelai pria yang menjadi topik pembicaraan hampir seluruh warga kampung Kinari, karena ketampanannya bak artis ibukota. Anak tunggal Bunda Aisyah, orang terkaya dan terpandang di kampung itu, sudah lama sekali tak pulang. Sehingga membuat penasaran bagi setiap warga kampung yang hendak melihatnya.

Nadira, gadis minang itu sungguh beruntung mendapatkan Farhan. Warga kampung pun memuji kecantikan Nadira, gadis yang juga baru beberapa hari ini pulang ke kampung atas permintaan ibunya dengan meninggalkan bisnisnya di Jakarta.

 

Nadira memanglah seorang gadis yang patuh pada ibu dan Mamaknya. Sejak Ayahnya meninggal dunia tujuh tahun yang lalu, hidup Nadira menjadi tanggung jawab Mamaknya yang bernama Sutan Sati, adik kandung  dari Bu Ani. Nadira pun dengan ikhlas menerima perjodohan yang telah diatur oleh Ibu dan Mamaknya.

Acara adat berlangsung hingga malam. Setelah acara selesai kedua mempelai kembali ke rumahnya masing-masing..

------

"Bunda, pekerjaanku banyak, sore ini aku kembali ke jakarta."

Lagi-lagi Bunda Aisyah banya bisa menghela napas.

"Malam ini adalah malam pertamamu dengan Dira. Apa kamu tidak ingin menikmati satu malam lagi di kampung halamanmu ini?" Bunda Aisyah berusaha membujuk anaknya.

"Maafkan aku, Bunda. Perusahaan sedang banyak masalah. Harus Aku sendiri yang mengurusnya."

Wanita yang sudah berumur enam puluhan itu hanya bisa menahan sesak, tak ingin berdebat.

"Baiklah, bawa sekalian istrimu ke Jakarta! Nadira sudah menjadi tanggung jawabmu sekarang," tegas Bunda membuat wajah Farhan bingung.

"Bagaimana mungkin aku langsung membawanya ke jakarta? Kami belum saling mengenal," celetuk Farhan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Halah! Nanti juga kau akan terbiasa dengan kehadiran Dira ....," Bunda Aisyah terkekeh, mencoba menggoda anak laki-lakinya.

Akhirnya sore itu mereka berdua berangkat ke Jakarta. Sepanjang jalan Farhan hanya bersikap dingin. Tak bicara jika tak perlu. Begitu juga dengan Nadira, gadis berhijab itu pun tak berani memulai pembicaraan dan memilih untuk diam  hingga tiba di Jakarta. Dia bisa memahami, mungkin suaminya belum terbiasa dengan situasi seperti ini.

Sepanjang perjalanan Dira menyibukkan dirinya dengan ponselnya. Begitu banyak pekerjaannya yang tertunda. Namun dia telah memutuskan untuk mempercayakan bisnis onlinenya pada sahabatnya. Karena mulai saat ini Dira ingin berbakti pada suaminya.  Seperti ibunya dulu, yang  selalu mengurus dan melayani Almarhum Ayahnya dengan baik.

Namun sesuatu yang dia tidak duga sama sekali. Ternyata Farhan tidak pernah menginginkan pernikahan ini.

Saat malam tiba, Farhan mengajaknya bicara.

"Maafkan Aku, mungkin kita tidak akan bahagia dengan pernikahan ini. Seharusnya, suatu pernikahan dilakukan oleh orang yang  saling mencintai. Jadi janganlah pernah berharap untuk bahagia hidup denganku."

Nadira tersentak, hatinya terasa diremas setelah mendengar ucapan Farhan.

"Maaf Uda, bukankah cinta itu bisa tumbuh seiring waktu?" tanyanya dengan suara bergetar menahan buliran bening yang seakan mendesak ingin keluar.

"Aku ... sudah punya kekasih. Maaf ...!" Akhirnya Farhan mengakuinya.

Lolos sudah air mata Dira. Betapa nyeri dan perih rasa di hatinya.

Nadira memang belum mencintai suaminya. Namun saat ini dia merasa harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya.

Namun tak mungkin dia pulang kembali. Semua sudah terjadi. Saat ini dia sah sebagai istri Farhan di mata Allah. Begitu banyak kewajiban yang harus dia jalankan, begitu yang ibu ajarkan padanya. Nadira bertekad akan tetap menjalankan pernikahan ini, akan tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, serta melayani suaminya dengan baik. Walaupun dia tahu, suaminya sama sekali tak mencintainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status