Share

Cinta yang Kau Bawa Pergi
Cinta yang Kau Bawa Pergi
Penulis: Lis Susanawati

Part 1 Pernikahan

"Aku nggak mungkin nikah sama perempuan kurang waras, Pa. Batalin ajalah acara lamaran besok." Ibarra bicara dengan nada kesal pada kedua orang tuanya ketika mereka sedang makan malam bersama. Setelah beberapa kali menolak, inilah kesempatan terakhirnya untuk berkompromi dengan sang papa, supaya membatalkan perjodohannya.

"Nggak mungkin kita batalin, Barra. Lamaranmu tinggal besok. Dua belas jam lagi dari sekarang," bantah Pak Adibrata sambil menyudahi makannya. "Sudah ada pembicaraan matang tentang pertunanganmu dengan Delia. Jadi jangan membuat ulah yang akan mengacaukan bisnis dan karir politik papa. Ingat juga kesalahanmu yang membuat perusahaan kita rugi milyaran rupiah."

Pria muda itu bungkam seketika. Ia ingat akan kesalahan fatalnya beberapa tahun lalu yang membuat perusahaan hampir gulung tikar. Namun jika ingat kalau ia harus menghabiskan sepanjang hidupnya dengan seorang perempuan yang depresi membuat selera makan Ibarra mendadak musnah. Rica-rica ayam kesukaannya terasa hambar di lidah, padahal pedasnya level paling gila.

"Barra, sebenarnya Delia itu nggak gila. Dia seperti itu karena depresi setelah menyaksikan perampokan di rumahnya. Melihat kakaknya di perkosa hingga meninggal, lalu dua pembantunya di hajar habis-habisan dan salah satunya meninggal dunia. Percayalah dia sebenarnya sudah sembuh. Hanya saja menjadi lebih pendiam sekarang ini." Bu Ratih memberi penjelasan pada putranya.

Ibarra yang biasa dipanggil Barra itu mendengkus kesal. Satu gelas air putih di tenggak habis tak bersisa. Bunyi gelas yang diletakkan di atas meja menimbulkan suara gemeletak sangat keras. Kaca beradu dengan kaca. Membuat adik perempuan Barra tersedak karena kaget.

"Kita banyak berhutang budi pada Pak Irawan. Tentu kamu masih ingat, berapa ratus juta dia gelontorkan untuk menyelamatkan kita dari kebangkrutan. Delia nggak gila, kamu harus ingat itu. Seperti yang mamamu bilang, dia sebenarnya sudah sembuh. Tapi masih perlu minum obat dan terapi."

Pria muda itu bangkit dari duduknya dan menaiki tangga lalu masuk ke dalam kamarnya. Berdiri di balkon kamar. Tidak bisa dibayangkan bagaimana berita pernikahan Ibarra dan Delia akan menjadi trending topik di antara teman-teman mereka. Pria terkeren di kampus dulu, sekarang menikahi perempuan kurang waras. Eksekutif muda yang karirnya mulai meroket memiliki istri yang depresi. Dan Cintiara? Ah, dia akan kehilangan pujaan hatinya itu. Padahal mereka telah banyak membuat perencanaan untuk pernikahan. Cintiara gadis yang baik, sangat baik malah. Itu bagi Ibarra yang memang tergila-gila padanya, tapi tidak dengan penilaian orang tuanya. Dia tak lebih hanya gadis pemburu kejayaan keluarga Ibarra.

Hendak lari dari rumah? Terus pergi ke mana? Banyak yang ia pertaruhkan jika kabur. Reputasinya, karirnya yang merangkak cemerlang, dan orang tua bisa mendepaknya dari anggota keluarga karena telah mempermalukan mereka.

Namun, apa bedanya jika ia tetap menikahi Delia. Tentu orang-orang juga bakalan tahu kalau istrinya perempuan setengah waras. Memang sekarang ini tidak banyak yang tahu kondisi Delia. Karena semuanya di tutup rapat oleh keluarga. Tapi apa selamanya bisa dirahasiakan? Tidak mungkin, bukan?

Ibarra mengambil ponsel dari saku celananya. Kemudian menyentuh nama yang di sematkan paling atas dalam daftar kontaknya. Cintiara, My Beloved Girl.

Tanpa menunggu lama, panggilannya di jawab. Ada suara isak tangis gadisnya di seberang.

"Kamu nangis?" tanya Ibarra dengan suara bergetar, tak kalah pedih.

"Besok kamu tunangan," jawab Cintiara terbata.

"Ya. Tapi percayalah itu hanya tunangan. Belum tentu aku akan menikah dengannya. Karena semua sudah terlanjur dibicarakan, hutang budi, dan demi bisnis kami. Yang penting kamu harus yakin, aku hanya mencintai kamu dan kita pasti akan menikah." Ibarra meyakinkan gadisnya.

Terdengar Cintiara menyusut hidungnya yang berair. "Aku tunggu janjimu."

"Ya, aku pasti akan menepatinya. Sudah malam, kamu tidur ya. Besok sore kita ketemu."

Setelah dijawab oleh Cintiara, Ibarra menyudahi panggilannya. Lantas kembali menerawang menatap kelamnya malam. Tak ada rembulan, bahkan satu bintang pun tak menampakkan diri.

Laki-laki itu duduk di kursi balkon kamar. Menyalakan rokok sambil mengenang kisah cintanya dengan Cintiara yang berjalan hampir empat tahun ini. Gadis yang dikenalnya semenjak duduk di bangku kuliah. Namun dulunya mereka hanya sebatas teman dekat. Kemudian saling menyadari telah jatuh cinta dan akhirnya berikrar menjadi sepasang kekasih.

Entah berapa batang rokok yang habis ia hisap hingga tengah malam dan putungnya menjadi menghuni asbak di meja sebelahnya.

* * *

Begitu cepatnya pagi datang, rasanya Ibarra baru terlelap sebentar saja. Sekarang sang mama sudah menggedor pintu kamarnya berkali-kali. Pria itu menggeliat sambil melihat ke arah jam dinding. Pukul enam pagi. Kenapa masih jam segitu ia dibangunkan? Bukankah acaranya masih dua jam lagi.

"Barra, bangun. Ayo, bersiap!" teriak sang mama dari luar.

"Ya," jawab Barra masih tengkurap.

"Mama tunggu di bawah!"

Sepuluh menit setelah kepergian mamanya, Ibarra baru bangkit dari pembaringan dan melangkah ke arah kamar mandi. Kemudian memakai kemeja warna maroon yang disiapkan sang mama sejak semalam.

Ini hari yang amat meresahkan baginya. Babak baru dalam hidupnya di mulai. Tapi ini hanya pertunangan, masih banyak kesempatan untuk mencari alasan membatalkan pernikahan. Yang penting hari ini lolos dulu. Besok dipikirkan lagi.

Ibarra meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Banyak pesan masuk yang dikirimkan oleh Cintiara. Tentu gadis itu tidak bisa tidur semalaman. Hampir tiap jam mengirimkan beberapa pesan.

Baru saja hendak menelepon, teriakan mamanya sudah terdengar dari arah tangga. Ibarra memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, kemudian menyambar jam tangan dan memakainya sambil keluar kamar.

* * *

Di ruang tamu mewah rumah Pak Irawan telah berkumpul dua keluarga yang mengadakan pertemuan, untuk melangsungkan pertunangan dan membicarakan pernikahan antara Ibarra dan Delia.

Keceriaan terpancar dari wajah para orang tua. Tapi tidak dengan Ibarra yang tak banyak bicara. Dia tidak peduli sama sekali apa yang dibahas keluarga.

Tepat di depannya, duduk seorang gadis cantik umur dua puluh tujuh tahun memakai kebaya warna tosca dan rambut di sanggul rapi. Delia diam tanpa ekspresi. Entah apa yang ada dalam benaknya, bahagia atau sebaliknya. Atau sebenarnya dia tidak paham sama sekali tentang acara pagi itu. Mungkinkah depresinya tengah kambuh?

Ibarra ingin memaki, kenapa dia harus menyanggupi perjodohan konyol ini. Orang tuanya begitu tega menjodohkannya dengan gadis depresi yang mungkin dia tak akan paham kalau telah bersuami. Hanya demi balas budi dan kemajuan perusahaan, mereka sanggup menggadaikan kebahagiaannya.

Ibarra yang menunduk diam sangat kaget ketika orang tua mereka sepakat kalau pagi itu juga dirinya akan menikah siri dengan Delia. Dikarenakan tidak mungkin mereka akan mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran sementara mengingat kondisi Delia yang belum pulih sepenuhnya.

"Bagaimana Delia, kamu akan menikah siri dulu dengan Barra? Setelah itu kalian bisa mengurus pernikahan di KUA. Nanti jika kondisi kamu membaik, kita adakan pesta pernikahan?" Pak Irawan bertanya pada putrinya dengan penuh perhatian.

Delia menatap Ibarra cukup lama. Laki-laki itu pun menatapnya dengan pandangan dingin. Meski psikisnya belum benar-benar pulih, dia bisa tahu kalau tatapan pria di depannya menunjukkan rasa tak suka.

"Bagaimana, Delia?" tanya Pak Irawan lagi. Dan dijawab anggukan kepala oleh putrinya.

Bagai hipnotis, Ibarra sama sekali tidak bisa berkata tidak. Keinginan orang tua dituruti. Dia akhirnya sah menikahi Delia meski masih siri.

Pagi ini seperti mimpi bagi pria berahang kokoh itu. Dia seperti terjebak dalam labirin yang diciptakan kedua orang tuanya sendiri. Kenapa mereka begitu tega dengan anak kandungnya sendiri?

Lantas bagaimana dengan Cintiara? Ibarra tidak bisa membayangkan hancurnya perasaan sang kekasih.

Dalam hati Ibarra terbayang remuknya perasaan Cintiara. Namun mereka yang ada di ruangan itu juga tidak menyadari bahwa ada hati lain yang tak kalah hancur melihat gadis pujaannya menikah dengan pria lain.

Dokter muda itu hanya bisa menunduk dalam-dalam. Samudra, kesempatan untuk memiliki perempuan yang dicintai menguap seperti pudarnya kabut pagi.

Sebenarnya dia bisa melihat kalau Ibarra hanya terpaksa menikahi Delia, karena perencanaan keluarga. Samudra tahu semuanya. Sebab setelah kedua orang tuanya tiada dalam sebuah kecelakaan pesawat, Samudra yang saat itu baru berusia sepuluh tahun akhirnya diasuh oleh Pak Irawan. Menjadi kakak angkat untuk Melia, Delia, dan Nira. Melia meninggal dunia di rumah sakit setelah menjadi korban perampokan di rumahnya.

Samudra akan menjadi pria tak tahu diri jika nekat berterus terang ingin menikahi Delia. Sementara Pak Irawan sudah menganggapnya seperti anak sendiri.

"Usiamu sudah tiga puluh tiga, Sam. Menikahlah. Sampai kapan mau ngejomblo. Kamu sudah mapan untuk membangun rumah tangga," kata Pak Irawan ketika mereka makan malam bersama suatu hari.

Setelah Samudra mulai bekerja di sebuah rumah sakit swasta di kota Surabaya, laki-laki itu memilih tinggal di sebuah rumah kontrakan dekat rumah sakit. Kadang seminggu sekali di waktu luangnya, dia berkunjung ke rumah Pak Irawan. Atau pas ada acara tertentu, ia selalu menyempatkan untuk datang. Inilah bentuk balas budinya pada orang yang telah membuatnya seperti sekarang ini. Jasa Pak Irawan tidak akan pernah ia lupakan.

"Mak Ni, obatnya Delia masih ada, kan?" tanya Samudra pada wanita setengah baya yang bekerja di rumah papa angkatnya. Wanita itu yang mengurusi segala keperluan Delia.

"Alhamdulillah, masih ada, Mas."

"Oke. Kalau dia ikut suaminya, tolong obatnya jangan sampai ketinggalan."

"Njih, Pak Dokter. Nanti saya ingatkan Mbak Delia."

Samudra yang hendak pulang, berhenti di dekat tangga ketika melihat Delia turun. "Hai, selamat pengantin baru adikku yang cantik dan sholehah," ujar pria itu sambil tersenyum pada Delia. Meski perasaannya telah lebur, dia akan berusaha tetap menjadi kakak yang baik untuk Delia dan Nira.

"Makasih, Mas."

"Aku belum nyiapin kado buatmu. Kamu mau kado apa?"

Delia diam sambil menunduk. "Doakan saja aku bahagia, Mas. Itu akan jadi kado terindah buatku."

Perasaan Samudra tersentuh. Dadanya terasa penuh dan sesak. "Tentu. Mas akan doain kamu. Telepon Mas jika kamu butuh sesuatu atau ada apa-apa."

"Hu um."

Samudra menatap gadis yang kini sudah bergelar istri orang itu cukup lama. Selama ini kepadanya saja Delia mau banyak bicara. Berhadapan dengan orang baru hanya menimbulkan ketakutan baginya. Jika Ibarra tidak memahami hal ini, akan memperburuk psikis adik angkatnya. Entah apa tujuan papa angkatnya menjodohkan Delia dengan Ibarra yang tampaknya tidak memiliki perasaan terhadap gadis yang diam-diam ia cintai. Samudra menarik napas sejenak. "Mas pulang dulu ya!"

"Iya."

Delia menatap punggung pria itu hingga hilang di balik pintu. Kemudian kembali naik ke lantai dua. Berada satu kamar dengan Ibarra membuat Delia kebingungan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Lelaki itu pun sangat dingin dan enggan memandangnya.

* * *

"Mbak Delia nggak mau minum obat, Pak." Asisten rumah tangganya memberitahu Ibarra yang ada di ruang kerjanya. Sudah hampir sebulan ini dia mengajak Delia tinggal di salah satu apartemen milik keluarganya. Supaya teman-temannya tidak tahu bahwa ia menikahi perempuan yang terganggu psikisnya.

Pria umur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kesal. Meletakkan bolpoinnya di meja lantas ke kamar mereka.

Ibarra mengambil obat dan air minum di nampan yang disediakan oleh ART-nya. Kemudian meletakkan obat itu di telapak tangan Delia. "Kamu minum obatnya. Jangan menambah masalahku dengan hal sepele begini," ucap Ibarra sambil mengangsurkan segelas air putih.

Delia tidak ingin berdebat, meskipun sebenarnya sudah bosan minum obat. Tidak ada perhatian layaknya seorang suami pada istrinya. Sebulan ini mereka tetap menjadi orang asing yang terjebak hidup dalam satu atap.

Namun Delia juga tahu, ia sering mendengar Ibarra bicara dengan seseorang. Berkata mesra dan membujuknya. Dia memang depresi tapi tidak gila. Jadi masih bisa menyimpulkan apa yang dilakukan suaminya. Orang yang sering di teleponnya itu pasti kekasihnya. Lalu untuk apa setuju menikahinya jika ada perempuan lain yang Ibarra cintai.

Setelah pria itu keluar kamar, Delia menatap hampa pada lantai marmer di kamarnya. Terus hubungan mereka ini sebagai apa? Terikat pernikahan tapi tidak saling bercanda. Bicara pun hanya seperlunya saja. Delia rubuh di pembaringan, peristiwa kejam itu kembali terbayang dan membuatnya menggigil ketakutan.

"Kamu kenapa?" tanya Ibarra saat kembali masuk kamar dan melihat Delia meringkuk dengan tubuh dibasahi keringat.

Delia menggeleng.

Ibarra menyentuh kening istrinya yang basah berpeluh.

"Aku nggak apa-apa," ucap Delia lirih.

"Harusnya kamu rutin minum obat. Siang tadi kata Mak Ni obatnya juga nggak kamu minum." Ibarra geram juga. Jika terjadi apa-apa, dialah orang yang sekarang paling bertanggungjawab.

"Maaf, aku hanya menyusahkanmu saja," ucap Delia lirih. Namun jelas di dengar oleh Ibarra.

"Jika nggak ingin menyusahkan aku. Sebaiknya kamu harus baik-baik ngurusi dirimu sendiri."

Delia ketakutan saat memandang wajah tampan Barra yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan sebagai seorang suami.

* * *

Selamat datang di kisahnya Delia, guys. Selamat membaca dan selamat mengikuti.

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Yeyeh Masriah
gak pernah bosa. baca nya
goodnovel comment avatar
STwrite80
bab awal bikin mewek
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Kasihan Delia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status