Share

Part 2 Rindu

Samudra meraih ponselnya yang tergeletak di meja kamar. Ada panggilan tak terjawab dari Delia. Dokter itu langsung melakukan panggilan balik. Namun berulang kali di telepon tak ada jawaban. Kenapa Delia meneleponnya malam-malam begini?

Lelaki yang masih memakai handuk sebatas pinggang itu gelisah duduk di pinggir pembaringan. Delia meneleponnya waktu dia masih mandi tadi. Samudra memandang jam dinding di kamarnya. Jam sepuluh malam. Perasaannya tak tenang. Semenjak menikah dan ikut Barra pindah, Delia hampir tidak pernah menghubunginya. Gadis yang dulunya periang itu kini jadi pendiam setelah kejadian perampokan setahun yang lalu.

Mak Ni, Samudra mencari nomer asisten rumah tangga yang menemani Delia. Namun ia hanya memandang sederetan angka itu tanpa melakukan tindakan. Sudah malam, Samudra tidak enak kalau nanti akan mengganggu wanita itu. Kasihan, dia juga butuh istirahat.

Samudra bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Kemudian menunaikan shalat isya.

Kekhawatirannya pada adik angkat membuatnya tidak bisa segera terlelap. Padahal di rumah sakit tadi ia sudah sangat mengantuk. Nyatanya satu panggilan dari Delia mengacaukan pikirannya. Padahal bisa jadi Delia tak sengaja menekan nomernya.

"Mas, aku takut!" kata Delia suatu hari sambil duduk memeluk lutut di lantai kamarnya. Wajahnya pias berkeringat.

"Apa yang kamu takutkan?"

Delia tidak menjawab. Dia hanya menggeleng sambil memeluk lututnya yang gemetar.

"Jangan takut. Sini!" Dan Samudra duduk di sebelah Delia, membiarkan bahunya untuk tempat bersandar. Setelah diam beberapa saat, Delia akan kembali tenang.

Samudra tahu batasannya. Antara dia dan Delia bukan saudara kandung yang boleh saling bersentuhan. Namun semenjak gadis itu mengalami trauma yang dalam, ia sering membiarkan bahunya untuk bersandar.

Namun sekarang, bagaimana keadaan Delia yang hampir pulih itu bisa saja kambuh lagi jika Barra tidak memperlakukannya dengan baik. Samudra bisa melihat kalau pria itu hanya terpaksa menikahi adik angkatnya.

Dia saja bisa merasakan keganjilan itu. Apakah papa dan mamanya tidak peka dengan kondisi putrinya sendiri? Kenapa juga nekat menikahkan Delia dalam keadaan belum benar-benar pulih dengan pria yang belum tentu mencintainya.

Hanya demi reputasi, persahabatan, dan bisnis membuat mereka tega dan tidak memikirkan perasaan putrinya.

Samudra menghela nafas panjang sambil menatap langit-langit kamar. Ingin rasanya dia memberontak dan menentang rencana mereka saat ia diajak bicara oleh papanya. Namun siapa dia? Meski telah dianggap seperti anak sendiri, tapi tetap saja Samudra hanya anak angkat. Tentu tidak berani lancang pada keluarga yang telah membesarkannya dengan penuh cinta dan harta.

* * *

Sejak malam di mana Ibarra memaksa Delia minum obat, perempuan yang belum pernah disentuhnya itu selalu menunduk tiap kali berhadapan dengannya. Bahkan semalaman sanggup tidur miring tanpa berani bergerak, karena takut dengan dirinya yang tidur di sebelahnya.

Di apartemennya hanya ada dari dua kamar tidur dan sebuah ruangan sempit yang dimanfaatkan untuk tempat kerja Ibarra. Jadi memang terpaksa tidur sekamar dengan Delia. Supaya Mak Ni tidak bercerita tentang hubungan mereka pada keluarga mertuanya.

Pagi ini, Ibarra melihat Delia hanya duduk bengong di balkon. Susu dan roti bakarnya masih terbiar di meja. Mak Ni sibuk membujuk perempuan itu supaya mau masuk ke dalam dan sarapan. Namun Delia bergeming.

Tiba-tiba pikiran Ibarra pun menjangkau kemungkinan yang paling buruk. Bagaimana kalau Delia melompat dari balkon? Pria itu melangkah cepat menghampiri istrinya. "Delia, ayo masuk. Jangan di sini!" ajak Ibarra dengan suara pelan. Takut kalau kasar, Delia makin ketakutan.

Delia menatap suaminya sekilas, lalu melangkah pelan masuk dan duduk di ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih. Ibarra langsung menggeser dan mengunci pintu kaca yang menghubungkan balkon dan ruang dalam.

"Simpan dan jangan di buka lagi, Mak." Barra memberikan kunci pada ART-nya.

Mak Ni langsung memasukkan kunci ke dalam saku bajunya. Dia paham maksud dari majikan laki-lakinya.

Ibarra duduk berhadapan dengan sang istri. Sambil makan nasi goreng, diperhatikannya wanita yang membiarkan rambut panjang setengah bergelombang itu terurai.

Gadis itu jauh berbeda dari Delia yang dikenalnya beberapa tahun lalu. Delia dulunya sangat cerdas, bahkan paling cantik di antara kedua saudara perempuannya. Juga paling lincah.

Ternyata peristiwa naas malam itu telah merubah segalanya. Karirnya juga tumbang seketika.

Delia masih diam tak menyentuh sarapannya. Dia tetap menunduk menghindari tatapan Ibarra. Membuat sang suami malas menghabiskan sarapan. Ibarra lekas berdiri dan pamitan pada Mak Ni untuk berangkat ke kantor.

Hidup bersama Delia, lama-lama dirinya ikutan tidak waras. Terus mau sampai kapan begini?

Dalam perjalanan ke kantor, Ibarra menelepon Cintiara.

"Halo, aku menunggu teleponmu sejak tadi," suara gadis di seberang sana.

"Maaf, honey. Aku masih di perjalanan ke kantor ini."

"Malam ini kita jadi dinner?"

Ibarra diam sejenak. Dia tidak lupa dengan janjinya untuk mengajak makan malam sang kekasih. Apalagi setelah menikah, dia tidak punya banyak waktu untuk bertemu Cintiara. Sekarang ia harus berhati-hati, supaya tidak ada keluarganya sendiri atau keluarga Delia yang memergoki.

"Barra, kamu nggak lupa kan?"

"Enggak. Hanya saja aku belum tahu nanti bisa keluar kantor jam berapa. Kita juga nggak bisa dinner di dalam kota. Jadi, tunggu dulu kabar dariku ya. Nanti aku kabari via W******p."

"Oke, aku tunggu kabarmu."

Ibarra menyudahi panggilan. Pria itu kembali fokus pada macetnya lalu lintas kota pahlawan di setiap pagi begini. Harusnya tadi ia bisa berangkat lebih awal lagi.

* * *

Delia berdiri di dekat jendela kaca kamarnya. Menatap jauh pada gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi di sana. Seperti biasa, Delia hanya diam. Namun perasaannya menjadi lega setiap Ibarra tidak ada di rumah. Dia seperti terbebas dari sesuatu yang menakutkan baginya. Walaupun jika Ibarra keluar, bisa saja ia bertemu dengan perempuan lain.

Padahal jika di rumah pun, mereka juga jarang berbincang. Ibarra juga tidak melakukan apapun padanya, bahkan terkesan cuek. Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja atau menelepon berjam-jam perempuan di seberang sana. Entah itu siapa, Delia tidak tahu.

Delia beringsut menuju cermin rias. Menatap tubuhnya sendiri yang tampak di bayangan kaca. Meraba dari dada hingga panggulnya. Tinggi semampai, lengan bahu, dada, perut, panggul, dan kaki jenjang yang tampak proporsional. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam panjang melewati bahu dan sedikit bergelombang. Semua orang mengakui tubuhnya sempurna. Memiliki wajah aristokrat yang menawan banyak pria. Tapi itu dulu, ketika dia belum keluar masuk rumah sakit untuk mengobati depresinya. Sekarang jangankan orang lain, suaminya saja enggan memandang apalagi menyentuhnya. Delia merinding.

Lama Delia termangu di depan cermin. Lantas meraba wajahnya yang tanpa sapuan bedak. Alisnya yang hitam tebal berbaris rapi meski tanpa sentuhan pensil alis atau perawatan di salon. Dia tidak suka alisnya yang melengkung indah itu di cukur.

"Delia, alismu rapiin dikit napa? Biar agak ramping gitu," ujar Melia sambil menatap sang adik dari pantulan cermin rias di sebuah salon. Suatu hari ketika Delia menemani sang kakak melakukan perawatan.

Mengingat Melia membuat kaki Delia gemetar tiba-tiba. Bayangan sang kakak yang dinodai oleh kekasihnya sendiri di atas ranjangnya membuat Delia bergidik, ngeri, dan lari keluar kamar. Kemudian duduk dengan napas ngos-ngosan di atas sofa. Lelaki yang dicintai kakaknya tega menodai dan menjadi otak perampokan di rumah mereka.

"Mbak Delia, minum air dulu!" Mak Ni yang sudah hafal kebiasaan Delia segera mengangsurkan segelas air putih, sambil duduk di sebelah gadis itu dan mengusap punggungnya.

"Makasih, Mak," ucap Delia lirih.

"Kalau Mbak bosan di rumah, kita bisa pergi jalan-jalan. Nanti Mak Ni telepon Cak Rohmat biar nganterin kita keliling kota."

Delia memandang ART-nya cukup lama. Dia tertarik dengan tawaran Mak Ni. Semenjak menikah ia tidak pernah jalan-jalan. Setelah bertemu dokter Era sepuluh hari yang lalu, Delia juga langsung pulang.

Dokter Era adalah seorang psikiater yang menangani Delia sejak pertama mengalami depresi. Setahun ini dokter itu yang melakukan psikoterapi dan memberikan obat-obatan untuk mengatasi kecemasan serta stres yang dialami Delia.

Setelah Delia mengangguk, Mak Ni segera menghubungi sopir pribadi mamanya Delia. Wanita itu sudah berpesan, kalau Ibarra sibuk dan Delia ingin jalan-jalan, Mak Ni disuruh menghubungi Cak Rohmat saja.

Setengah jam kemudian Cak Rohmat sudah membawa Mak Ni dan Delia keliling kota Surabaya. Gadis itu menikmati perjalanannya sambil menepis ketakutan melihat orang-orang asing di luar sana.

"Delia, tidak semua orang jahat. Banyak orang baik di dunia ini. Terapkan positive thinking dalam dirimu. Banyaklah ber-husnudzan. Lawan pikiran buruk yang berusaha mempengaruhimu." Delia ingat ucapan Samudra. Dokter umum yang menjadi kakak angkatnya. Mereka pernah dibesarkan bersama-sama dalam satu rumah. Satu-satunya lelaki di antara empat bersaudara. Namun dialah yang memanjakan ketiga adik perempuannya.

Dulu ke mana-mana Delia membawa kendaraan sendiri. Dia gadis yang sangat mandiri. Namun sekarang berbalik seratus delapan puluh derajat. Tanpa mereka, Delia tidak bisa apa-apa. Sungguh itu sangat menyedihkan baginya.

"Mak Ni, kita ke rumah sakit. Bertemu Mas Sam sebentar," pintanya pada wanita setengah baya yang duduk di sebelahnya.

"Oke, Mbak," jawab wanita itu dengan wajah sumringah. Sedapat mungkin Mak Ni harus menunjukkan kegembiraannya di hadapan Delia, itu saran dari Samudra.

"Cak Rohmat, mampir ke rumah sakit sebentar ya! Ada yang kangen sama abangnya." Ucapan Mak Ni membuat Delia ikut tersenyum. Wajahnya tak lagi semurung tadi.

"Ashiaapp, Nyonya," jawab Cak Rohmat sambil mengangkat tangannya ke udara.

"Nyonya siapa?" sahut Mak Ni cepat.

"Nyonya Barra lah, masa Nyonya Mak Ni." Cak Rohmat memandang putri majikan dan rekan kerjanya dari spion tengah. "Dulu Nona, sekarang kan udah jadi Nyonya."

Maksud Cak Rohmat ingin mencerahkan suasana, tapi justru membuat Delia kembali diam. Dirinya hanya menjadi nyonya di atas kertas saja. Mak Ni yang paham bagaimana kehidupan Delia dan Barra menyentuh tangan majikan perempuannya. Membuat wanita cantik itu menoleh dan membiarkan Mak Ni menggenggam tangannya.

Mobil telah terparkir di halaman rumah sakit. Tidak lama kemudian seorang laki-laki muda dengan tubuh tinggi, memakai celana hitam dan kemeja warna biru menghampiri Delia di dalam mobil yang pintunya terbuka.

"Assalamu'alaikum," sapa Samudra.

"Wa'alaikumsalam," jawab Delia sambil tersenyum. Mak Ni dan Cak Rohmat pun ikut menjawab salam.

"Ada yang kangen sama, Mas dokter," ucap Mak Ni pada Samudra. Membuat laki-laki itu tersenyum lebar. Kangen di sini tentunya memiliki makna yang berbeda. Delia kangen padanya sebagai adik kepada seorang kakak, tapi dirinya ....

Semenjak Delia menikah, mereka jarang bertemu. Biasanya tiap akhir pekan pasti ketemuan di rumah, meski sebentar untuk makan malam bersama.

"Kamu baik-baik saja, kan? Kamu keluar ini pamit nggak sama Barra?" tanya Samudra menatap wajah Delia yang terlihat lebih kurus.

"Ya, aku baik-baik saja. Tadi aku nggak pamit."

"Nggak boleh gitu dong! Kalau keluar rumah harus bilang dulu sama suami." Samudra mengingatkan.

Delia tersenyum sambil mengangguk. "Mas Samudra weekend ini pulang ke rumah papa, kan?"

"Tentu. Weekend kemarin Mas juga pulang. Kamu yang nggak pulang."

"Hu um. Tapi Minggu nanti aku pulang."

"Oke, kita bisa ketemu nanti. Oh ya, tadi malam kamu nelepon Mas. Ada apa?"

Delia diam sejenak kemudian menggeleng. Samudra tidak bisa percaya begitu saja, tapi ia tidak mengejar pertanyaan. Pandangannya tak beralih dari wajah polos Delia, gadis yang sangat dirindukannya. Gadis yang mungkin tidak bahagia dalam pernikahannya. Seandainya saja dia mampu menentang semuanya waktu itu ....

"Mas, aku pulang dulu ya. Selamat bekerja!" pamit Delia setelah beberapa lama mereka hanya saling diam.

"Oke. Weekend ini kita ketemu di rumah. Kalau ada apa-apa telepon saja ya." Samudra mundur menjauh dan membiarkan Cak Rohmat memundurkan kendaraan dan melaju pergi dari sana.

Mobil kembali membelah padatnya lalu lintas kota pahlawan. Suara decit rem, klakson, dan deru knalpot menyatu dalam satu aspal. Mentari tanpa kompromi, bersinar garang membakar bumi.

"Kita berhenti di toko lapis Surabaya, Cak," pinta Delia. Dijawab anggukan kepala oleh Cak Rohmat. Tiga ratus meter kemudian lelaki itu berhenti di sebuah toko kue yang berada di deretan pertokoan jalan pakis haji.

Mak Ni ingin turun sendirian saja, tapi Delia ingin ikut. Dia hendak memilih kue lain yang ia sukai.

Ketika Mak Ni sedang bicara dengan karyawan toko, Delia yang menoleh bersitatap dengan Ibarra yang tengah berjalan di koridor pertokoan sambil menggamit pinggang seorang gadis cantik. Delia mengalihkan pandangan pada etalase roti. Beberapa menit kemudian bilang ke Mak Ni bahwa akan menunggu wanita itu di mobil saja.

Ternyata Ibarra sudah menunggunya di sana. Bersandar pada bodi mobil dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana. Apa pria itu akan bilang bahwa gadis tadi adalah kekasihnya?

* * *

Selamat membaca

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
delia g pingin sembuh kayaknya.
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
malang sekali nasib mu Del
goodnovel comment avatar
istriyangdisyng
kasian delia, bkn nya sembuh bisa jd mlh nambah depresi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status