Share

Part 10

“Nggak ah, ngapain aku pergi ke sana. Mendingan sih buat tidur aja.”

“Payah! Diajak senang-senang malah nggak mau.”

“Biarlah, aku takut dosa! Dah ya, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang saja. Hahaha.” Nara pergi mencari motornya.

“Hah! Payah! Nggak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Hmm, apa aku ajak Henri saja ya?”

Aku duduk di atas motor untuk sejenak memikirkan hal yang tidak teramat penting. Di dalam kepalaku hanya memikirkan kesenangan saja. Padahal usiaku akan menginjak 25 tahun. Ya, begitulah jika masa laluku dalam pantauan orang tua yang begitu ketat. Merasakan kebebasan dan kesenangan saat usia semakin bertambah dewasa.

“Coba telepon Henri saja deh. Awas saja kalau dia menolak ajakanku. Aku seret agar dia mau!” Aku menggambil ponsel dan mencari namanya untuk meneleponnya.

“Hen! Malam ini ke klub malam yuk.” Tanpa panjang lebar, aku langsung mengutarakan maksudku.

“Ngapain telepon aku lagi, hah? Sudah menodai pacarku, sekarang tanpa dosa kamu mengajakku pergi ke klub malam? Apa kamu nggak malu, hah?”

‘Songong banget nih orang, minta dilibas kali ya!’ Aku hanya membatin saja di dalam hati. Sebisa mungkin menahan emosi untuk membujuknya terlebih dulu. Jika dia tetap saja tidak mau pergi bersamaku, aku tetap akan datang ke indekosnya dan memaksa untuk menemaniku ikut ke klub malam.

“Iya, iya … aku minta maaf. Aku ‘kan sudah ngomong kalau pacarmu itu yang datang sendiri ke kosanku.”

“Kenapa kamu layani dia, hah? Kamu tau dia pacarku ‘kan?”

“Aku nggak bisa melihat wanita bersedih, Hen. Ya sudah sih, dia ‘kan nggak kenapa-kenapa. Sudahlah lupakan saja. Kita cari yang lebih hot di klub malam nanti. Mau ya?”

“Laki-laki br*ngs*k! Kamu mau mempermainkan pacarku, hah?”

Henri masih saja memancing emosi padahal aku sudah mencoba untuk sangat bersabar meladeni ucapannya.

“Halah … wanita lain masih banyak, Hen. Kalau sudah bobrok ya bobrok aja. Kamu tinggal cari yang masih gadis apa susahnya? Sudahlah jangan dibahas lagi. Ayo kita bersenang-senang.”

“Sialan emang kamu, Dan. Bisa-bisanya ngomong segampang itu. Dia pacarku, Dan. Br*ngs*k!”

“Sekarang aku tanya, kamu mau pergi ke klub malam atau nggak? Kalau masih nggak mau, aku akan datang ke kosanmu dan menyeretmu agar mau ikut denganku. Mau yang mana? Datang sendiri dengan senang hati atau aku harus menyeretmu! Aku sudah terlalu sabar menanggapi ucapanmu, Hen. Cewek banyak! Dan aku nggak pernah menggoda pacarmu. Dia yang datang sendiri kepadaku. Paham! Awas saja kalau masih menolak, kamu bakalan habis, Hen!”

Ya, akhirnya aku menggunakan jurus terakhir. Memaksanya untuk mau menuruti apa kataku. Jika tidak, siap-siap saja akan babak belur.

“Br*ngs*k! Jemput aku di kosan. Aku nggak bawa motor. Aku bonceng kamu saja.”

Akhirnya, mulutnya diam juga. Dia mau ikut denganku asalkan aku menjemputnya. Baiklah. Aku sudah punya teman untuk bersenang-senang.

“Nah, gitu ‘kan enak. Jangan bahas Amel lagi. Aku muak. Gara-gara dia kita harus berantem kayak anak kecil. Iya, aku janji nggak bakalan berhubungan sama pacarmu lagi. Pegang saja janjiku itu, Hen.”

“Iya, Dan. Itu lebih baik.”

“Ya sudah, aku otw ke kosanmu.”

Aku mematikan telepon dan bergegas pergi menjemputnya. Sebelum pergi, aku harus berpenampilan menarik. Aku mengenakan kaos putih dan jaket berbahan kulit warna hitam, serta celana jeans berwarna hitam juga. Para wanita tidak akan berkedip saat melihatku yang sangat tampan seperti ini.

“Sebenarnya aku ingin ketampanan ini hanya untuk Faniza saja. Tapi berhubung dia menyuruhku untuk bersenang-senang, ya sudah, wanita lain boleh menikmati juga.”

Di depan cermin aku bergumam seraya memuji diri sendiri. Wajah dan segala yang aku punya adalah kesempurnaan yang Tuhan anugerahkan kepadaku.

*** 

Tin! Tin!

Aku mengelakson beberapa kali di depan indekosnya Henri. Aku malas turun dari motor dan menjemputnya seperti bayi. Biar saja berisik, enak saja aku harus menjemputnya sampai di depan pintu. Memangnya dia putri kerajaan?

“Woy! Berisik!” Henri keluar kamar dengan berteriak memprotes kelakuanku.

“Mangkanya, buru!” Aku menjawab sama lantangnya.

“Iya, ini mau ke situ. Nggak usah diklakson lagi!”

Aku menuruti ucapannya. Sekarang aku diam dan melihat Henri memakai sepatu. Sebenarnya dia tidak terlalu jelek, hanya kurang tinggi saja dan badannya tidak berisi. Apalagi jika berjalan denganku, dia semakin terlihat kurang menarik.

“Sudah, Hen! Jangan lama-lama. Nggak bakal ada yang berubah sama penampilanmu, Hen. Pasti gitu-gitu aja. Mau pakai sepatu atau pakai sandal juga. Hahaha.”

“Br*ngs*k!” ketusnya. Aku mau berbicara apa saja, dia tetap tidak akan berani untuk melawanku.

Tawaku pecah melihat wajah suramnya. Sepertinya dia ingin sekali memberi pelajaran padaku, tetapi nyalinya terlalu ciut untuk beradu otot denganku. Ya, aku yang berpawakan tinggi besar membuatnya mundur sebelum berperang.

Henri menghampiriku dengan sangat terpaksa. Pacarnya sudah kunikmati, sekarang dia harus mau menemaniku pergi ke klub malam. Di dalam hatinya tentu sangat keberatan. Namun, apalah daya, nyalinya seperti kerupuk terkena air saat sudah bersamaku.

“Sudah siap, Hen? Ayo kita berangkat.”

“Ya!” Jawabannya masih saja ketus. Biarkan saja, yang penting sekarang ada teman untuk bersenang-senang.

Motor melaju cukup kencang. Bukan hanya aku saja yang terlihat keren, motor pun tidak kalah kerennya denganku. Jadi, semua penampilanku sangat mendukung. Motor gede dan wajahku yang tampan, membuat para wanita tidak berdaya saat melihat pesonaku.

*** 

“Hay, Dan,” sapa seorang wanita.

Aku sudah berada di klub malam. Saat ini aku sedang duduk di bar menunggu minuman diracik. Sedangkan Henri sudah tidak terlihat lagi. Bukannya duduk denganku di sini, justru dia sudah menghilang entah ke mana. Ya sudahlah, yang penting ada teman pergi ke tempat ini.

“Oh, hay.” Aku menjawab sapaannya. Jujur saja, aku lupa dengan namanya.

Wanita itu tersenyum dan perlahan mendekatiku dengan gaya yang menggoda. Tubuhnya berbalut dengan mini dress berwarna merah maroon yang melekat sangat ketat memperlihatkan lekukan penuh sensasi. Bagian dada pun sengaja diperlihatkan keindahannya. Wajar sih, namanya juga di klub malam. Pakaian pasti bebas seperti orang yang ada di dalam tempat ini. Ingin bebas tidak terikat dengan peraturan mana pun, apalagi tentang agama. Aku yakin, mereka melupakannya.

“Dan, apa boleh malam ini aku bersamamu?”

Dia sudah berada di sampingku dan membelai rambutku dengan mesra. Apa kataku. Mulut ini tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang rayuan, mereka sendiri yang tiba-tiba datang menawarkan diri. Aku ini bagaikan berlian yang sangat berkilau dan banyak diinginkan oleh wanita. Tetapi, Faniza tetap saja menolak permintaanku untuk menikahinya. Sebenarnya dia yang rugi, namun hatiku sudah terpatri untuknya. Hah … rumit sekali.

“Ya? Apa?” Aku berpura-pura tidak mendengar ucapannya. Tentu dengan bibir yang tersenyum agar dia semakin meleleh oleh ketampananku.

“Aku menginginkan belaianmu, Dan. Apa boleh aku menemanimu malam ini?” bisiknya penuh erotis. Dia sengaja mendekatkan tubuhnya ke badanku.

“Oh iya, dengan senang hati, Sayang.” Tanganku merangkul pinggangnya dan bergegas bangkit dari tempat duduk.

“Terima kasih,  Dan. Kamu selalu menuruti keinginanku.” Sikapnya semakin agresif. Apa aku semenarik itu sampai-sampai dia bertingkah seperti ini padahal aku belum beraksi.

“Iya, nggak masalah. Asal kamu bahagia, Sayang.” Barulah, mulut ini melancarkan rayuan agar libidonya semakin terpancing. “Minumannya buat nanti saja, Bro. Aku mau bersenang-senang dulu!” Aku berbicara pada bartender saat dia menyajikan pesananku.

Aku dan wanita itu pergi untuk memesan kamar. Di sana kami akan bersenang-senang melepas rasa gundahku karena ditinggal oleh Faniza  yang sedang melakukan pekerjaan sampingannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status