“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”
Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.
“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.
“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”
“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”
Aku kembali meletakkan kondom beserta jarum ke dalam laci nakas. Ada bercak darah saat genggaman tangan dibuka. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membasuhnya. Untung saja Faniza tidak melihat saat aku meletakkan benda-benda itu di dalam laci dan tanganku yang sedikit berdarah.
“Ngapain cuci tangan?” selidiknya. Aku sudah selesai membuang bercak darah itu.
“Apa nggak boleh?” Aku menghampiri dan mengecupnya. Dia sedang memakai baju.
“Ya boleh sih.”
“Semua sudah dipersiapkan, Ay.”
“Kondom tadi? Sudah dibuka ‘kan? Apa masih steril?”
“Masih dong. Kan belum dipakai.” Dia hanya mengangguk.
***
“Ya, inilah saatnya. Semoga yang aku harapkan akan terwujud. Faniza hamil dan kami menikah.” Aku bergumam saat mengambil benda lentur itu di dalam laci nakas.
“Sudah dipasang?” tanya Faniza saat sudah di dekatnya.
“Sudah. Ayo kita bertempur, Sayang. Hehehe.”
Kami melakukannya begitu saja. Tanpa ada rasa takut akan dosa. Semua mengalir. Hari-hari kulewati hanya sebatas ini saja. Kerja, istirahat dan bermain dengan wanita. Kadang juga pergi ke klub malam dan bersenang-senang di sana. Minuman beralkohol sudah menjadi teman hidupku saat ini. Didikan orang tuaku sudah tidak ada bekasnya lagi. Biarlah, ini pilihanku dan hatiku sangat nyaman hidup seperti ini.
Malam ini, kami melakukannya beberapa kali. Aku sengaja tidak mengganti alat kotrasepsi. Hanya dibilas saja dan memakainya lagi. Keinginanku sangat menggebu. Tentu saja kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan.
“Sudah, Dan. Aku capek.” Dia menggeliat ingin lepas dari cengkramanku.
“Iya Ay, sebentar lagi.”
Tidak beberapa lama, aku melepaskannya. Rasanya sangat lelah, tetapi juga sangat bahagia. Semoga rencanaku akan berjalan mulus sesuai keinginan. Masalah yang akan terjadi, biarlah dipikir belakangan.
***
“Gimana, Dan? Kamu jadi melakukan rencana konyolmu itu?”
Nara bertanya kepadaku. Kami akan masuk ke kantor. Kebetulan posisi kami memang sama. Beda dengan Faniza, dia menjabat sebagai sekretaris. Mungkin saja dia menjadi simpanan para bos besar yang ada di sini juga. Sudah banyak rumor yang mengatakan hal semacam itu. Padahal gaji seorang sekretaris sudah cukup besar, kenapa Faniza masih kerja sampingan seperti itu? Sebenarnya apa yang membuatnya membutuhkan banyak uang?
“Sudah dong. Semoga lancar. Doakan ya? Hahaha.” Senyumku mengembang. Aku harus yakin rencana akan berhasil.
“Ya deh, iya. Nanti kalau Faniza hamil, kamu langsung pulang kampung, Dan?”
“Kayaknya sih gitu, Ra. Aku mau mengenalkan Faniza kepada orang tuaku. Meski harus dengan cara kayak gitu. Semoga saja masalahnya nggak didramatisir. Aku mau hidupku tenang dan bahagia bersama Faniza. Kalau memang orang tuaku tetap nggak mau menerima kami, ya sudah, aku pergi berdua sama Faniza.”
“Ck! Matamu sudah dibutakan oleh cinta, Dan. Semua nggak akan jadi halangan kalau sudah cinta buta kayak gitu. Orang tua saja kamu lawan. Kamu yakin mau melakukannya demi seorang wanita?”
“Semoga saja sih mereka menerima dan nggak mengusir kami. Itu 'kan seumpama saja. Aku rela diusir asal hidup bersama dengan Faniza. Dia segalanya bagiku, Ra. Aku bahagia saat bersamanya.”
“Kalau sudah gitu susah sih mau ngomong apa juga. Semoga rencanamu berhasil sesuai kemauanmu, Dan.”
Percakapan selesai, kami sudah sampai di dalam kantor dan pergi ke tempat masing-masing. Dalam satu ruangan ada beberapa bilik agar tidak mengganngu pekerjaan satu sama lain.
Hari ini aku bekerja dengan semangat penuh. Bayangan tentang pernikahan menari-nari di dalam kepala. Tentu saja menikah dengan Faniza. Dalam anganku, kami hidup bahagia sampai menua bersama. Ada malaikat kecil juga yang akan hadir mewarnai hari-hari kami. Indah sekali bayanganku sampai bibir ini tidak berhenti untuk terus tersenyum.
“Faniza, sebentar lagi kamu akan menjadi milikku seorang. Maafkan aku, melakukannya dengan cara kayak gini. Kalau bukan dengan cara itu, kamu pasti nggak akan mau menikah denganku.”
Aku bergumam seolah berbicara dengan Faniza. Tanganku menopang dagu. Di dalam bayangan mataku terlukis wajah Faniza yang cantik. Dia tersenyum manis padaku.
***
Segala tugas kantor hari ini selesai dengan sangat memuaskan. Ini berkat mood-ku yang sedang membaik. Berkat Faniza yang sebentar lagi akan mengandung buah hatiku. Belum pasti, tetapi hatiku sudah sangat yakin. Semua itu menjadi mood booster-ku yang sangat luar biasa.
“Dan, aku nggak bisa pulang bareng kamu. Bos booking aku hari ini.”
Mendengar ia berbicara, seperti ada hati yang sedang patah. Sakit tak berdarah. Melarangnya pun tidak akan mungkin. Aku mengangguk dengan berat hati.
“Nggak usah sedih gitu. Biasanya juga kayak gini ‘kan? Aku masih butuh banyak uang, Dan. Kalau sudah selesai, aku akan kembali kepelukanmu.”
Ucapannya mengisyaratkan jika dirinya memang cinta dan membutuhkanku. Tetapi, kenapa dia sangat berat melepaskan pekerjaan itu? Butuh uang banyak? Aku akan mengusahakannya. Kenapa malah tidak mau? Aku hanya bisa menghela napas untuk melegakan sedikit rasa sesak di dalam dada.
“Iya, kamu hati-hati.” Aku bicara dengan nada yang ketus.
“Iya, aku pasti hati-hati. Jangan cemberut dong. Akhir-akhir ini kamu jadi aneh banget sih. Ya sudah, aku pergi dulu ya?”
Dia mengecup pipi dan meninggalkanku sendiri. Kami masih di dalam ruangan, jadi ia berani melakukannya padaku.
“Baru mau dijawab, sudah pergi duluan. Gimana dia tau alasanku cemberut begini. Mendingan nggak usah tanya sekalian daripada membuat perasaanku bertambah sebal. Cinta memang butuh pengorbanan. Hah!” Aku bergumam seraya membereskan meja kantor sebelum pulang ke indekos.
“Heh, Bro! Itu wajah kenapa? Kok lusuh amat kayak cucian kotor!”
Nara datang menghampiriku. Dari ucapannya, sepertinya dia tidak melihat dan mendengar percakapanku dengan Faniza, atau entah dia hanya berpura-pura saja agar aku mau bercerita langsung padanya.
“Hah! Biasalah Faniza. Dia di booking sama pak bos. Sebel nggak sih? Pastilah. Hatiku berkobar hebat. Huh! Dasar! Om-om gatal!”
Bertanya sendiri, dijawab sendiri pula. Karena cinta, aku jadi aneh seperti ini. Tadi bahagia dan tersenyum sendiri. Sekarang justru kebalikannya, rasanya cemburu dan ingin sekali marah.
Seandainya bisa, aku sudah melabrak pak bos meski mempertaruhkan pekerjaanku. Itu tidak masalah yang penting Faniza tidak dijamah olehnya. Ya, itu hanya imajinasiku saja.
“Ya udah sih, memang begitu ‘kan pekerjaannya? Kalau nanti rencanamu berhasil, Faniza pasti akan menjadi milikmu seorang. Sabar saja dulu. Nggak usah emosi begitu. Capek sendirilah. Aku saja yang melihatmu begitu, jadi males dekat-dekat denganmu. Ayo pulang! Nggak usah marah-marah begitu!”
Nara merangkul leherku dan menariknya pergi dari ruangan ini. Dasar memang, baru juga beres, main tarik-tarik saja.
“Tunggu dong! Jangan ditarik! Sakit!”
“Hahaha. Jangan berisik! Cepat pulang! Biar nggak ditekuk terus tuh muka. Hahaha.”
Tanpa mempedulikan ucapanku, dia tetap menarik leherku seenak hatinya. Ya, mau bagaimanapun dia tetap temanku.
“Daripada bosen, aku mau main ke klub malam saja. Kamu ikut nggak, Ra? Aku mau minum sama main cewek di sana.” Nara sudah melepaskan rangkulannya dan kami sudah berada di tempat parkir.
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama