"Anak sudah besar, sekarang aku juga tidak bisa melakukan aborsi." Tangan adikku mengepal lalu dilepaskannya lagi, mengeluarkan suara yang hampir tidak terdengar: "Aku bukan memungut barang bekas." Ibu menjulurkan kepala dari dapur: "Di rumahku tidak ada tahta yang harus diwariskan, anak dan wanita yang tidak jelas asal-usulnya tidak kami terima." "Kalian berdua jangan terdiam lagi, datang sini bantu bawa mangkok dan sendok, tamu sebentar lagi datang." Tasya masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi adikku sudah menutup pintu dengan wajah dingin. Beberapa hari kemudian, mantan ibu mertua menyuruh kenalan datang untuk menjadi perantara.Orang itu baru saja membuka mulut, langsung dipotong dengan tidak sabar oleh ibu: "Aku sudah bosan dengan cerita busuk dari keluarganya itu. Kalau kamu datang untuk meminta anak perempuanku rujuk, kita juga nggak perlu berteman lagi." "Orang normal mana yang mau mendorong anak perempuannya ke dalam jurang api?" Kata-kata perantara itu terhenti ole
Aku menghentikan langkah kakiku: "Kamu ingat hari itu? Aku memberimu kesempatan.""Aku sebenarnya tidak suka minum sup ayam, tapi aku pikir, masak itu perlu beberapa jam, kalau sudah malam kamu tidak akan keluar lagi.""Tapi kamu tidak sabar dan mau pergi.""Itu adalah kesempatan terakhir yang kuberikan padamu."Aku mengakhiri cuti dan kembali masuk kerja lebih awal.Hidup tampak kembali tenang seperti sebelumnya, di waktu senggang aku bersosialisasi dan bertemu teman-teman baru.Ada gadis muda yang beberapa kali bertemu dengan adikku yang datang mengantar barang untukku, dan tersipu sambil bertanya-tanya samaku.Tak lama kemudian, aku mendengar dari ibu bahwa adikku mendapatkan banyak perhatian dari wanita.Gadis itu meninggalkan kesan yang sangat baik, kepribadiannya ceria dan ramah.Keduanya sering berkencan, dan aku melihat adikku semakin ceria setiap harinya.Dengan semua kontak yang terputus, Gino seperti menghilang dari duniaku.Beberapa bulan kemudian, ibu tiba-tiba dengan sem
"Keluarga kami bersalah sama Lina, dan juga Leo. Aku tahu kalian mungkin meremehkan kami, tapi aku juga tidak punya pilihan."Aku duduk di sofa tanpa bergerak, seolah-olah apa yang dia katakan sekarang sudah tidak ada hubungannya lagi dengan aku.Ibu mertua berkata, dia terus mendesak Gino sampai akhirnya dia setuju untuk menandatangani perceraian:"Tapi dia yang mengusulkan untuk pergi tanpa apa-apa, Lina, dia tidak mau pergi darimu, semuanya aku yang memaksanya, aku yang salah."Aku sudah tidak ingin lagi memikirkan pendapatnya, bagaimana bisa ada kata tidak mau pergi?Saat dia terus-menerus mencari alasan untuk keluar malam dan tidur dengan Tasya.Saat dia dan orang lain mengomentari keadaanku setelah hamil.Apakah dia ada pikirkan aku?Sebulan kemudian, ibu membelikan tiket pesawat untukku dan memaksa adikku untuk membawaku pergi:"Keluar jalan-jalan, bersantai, apa pun yang kamu mau biar adikmu yang belikan."Sebenarnya aku ingin mengatakan kalau aku sudah jauh lebih baik, perasaa
"Bukannya kita melakukan pencegahan......"Dia menatapku sejenak, kemudian menghentikan kata-katanya.Adikku sudah mengepalkan tinjunya, suara gemeretak terdengar.Tiba-tiba dia berlari, dengan kasar memegang pergelangan tangan Tasya dan menarik gelang emas itu dengan paksa."Sakit, sakit... hiss..." Matanya terbelalak, kesakitan sampai air mata bercucuran."Benar-benar kotor."Adikku berjalan dengan langkah besar dan cepat, dengan terburu-buru melemparkan pakaian dan koper ke luar.Aku menghela napas panjang, melihat ke arah Gino:"Bagus juga, sepertinya kita sudah menyelesaikan masalah.""Perjanjian cerai aku juga akhirnya berguna, kalau kamu tidak menandatanganinya, kamu akan masuk penjara."Gino menundukkan kepalanya dan terdiam lama, ketika dia mengangkat kepalanya melihatku, matanya penuh kecemasan:"Lina, bukan seperti yang kamu pikirkan, aku..."Wajah ibu terlihat sangat serius, sambil menarik dan mendorong ibu mertua dan Gino keluar.Pintu tertutup dengan suara yang keras.Sua
"Bisa nggak jangan pergi? Aku... Aku tahu kalau kamu sudah pergi, hubungan kita tidak ada kesempatan untuk diperbaiki lagi.""Perbaiki?"Aku hanya merasa setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat lucu.Aku melepaskan satu per satu jarinya:"Apa yang perlu diperbaiki? Sekarang kamu punya banyak waktu untuk bersamanya."Setelah naik ke mobil, adik melihat handphonenya.Tangannya sedikit gemetar saat di kemudi.Dia menoleh dan melihatku, dengan ekspresi sedih:"Bagaimana bisa ada orang yang begitu tidak tahu malu?"Di layar, ada pesan yang dikirim oleh Tasya:[Karena kamu sudah tahu semuanya, tidak ada yang perlu aku katakan lagi.][Dia mana pun membuat aku menyukainya, aku tidak bisa menahannya.]Adik tiba-tiba memukul kemudi dengan keras:"Sial, aku tidak tahan lagi."Dia menelepon Tasya, tetapi terdengar suara sibuk.Jelas sekali, dia sudah memblokir kami.Dia tidak bisa menahan diri, setetes air mata jatuh dari matanya, dan dengan cepat dia mengangkat tangan untuk mengusapnya."Aku
Adik menjauhkanku dengannya, dengan nggak sopan berkata:"Sudah melakukan hal yang menjijikkan, masih mau suruh kakakku lahirin anak?""Kamu nanya dulu sama anakmu, saat lagi main di luar, mikirin nggak perasaan kakakku yang lagi hamil?"Gino tiba-tiba berteriak dengan marah:"Cukup!"Seketika aku merasa sangat lucu, sudah sampai detik ini, dia masih merasa punya hak untuk marah."Tanya aku?""Tanya aku apa?""Ada nggak yang tanyain apakah aku mau anak ini?"Dia tertawa dingin."Lina, kita sudah bilang nggak mau punya anak, kamu yang mau menjebakku, sekarang masih menyalahkanku?""Kalau nggak ada anak ini, mana mungkin aku begini?"Dia menarik nafasnya lalu melihat sekeliling:"Aku tiap hari di luar mencari uang dan menghidupi keluarga, begitu pulang harus fokus samamu.""Untuk anak yang sebenarnya tidak aku inginkan ini, lihatlah kehidupan kita sekarang, masih ada artinya?""Sudah berapa lama kita tidak pergi traveling?""Keranjang belanjaan penuh dengan barang-barang anak, dulu valen