"Kemungkinan besar mereka yang kita benci adalah seseorang yang paling berarti, ingat itu."
-Sagara Affandra-
"Kau terlihat semakin seksi jika sedang marah. Ah, tidak, bahkan lebih dari itu. Sangat menggairahkan dan—"
"Kya! Stop bicara jorok, itu menjijikan, dasar mesum!"
"Terkadang yang menjijikan itu bisa membuatmu melayang, Sayang." Sagara semakin gencar dengan godaannya. Cara ampuh untuk mengesampingkan rasa sendu yang sebelumnya ia rasa.
"Cih, oh Tuhan izinkan aku membunuhnya hari ini!" geram Fidella, gadis itu mengatakannya dengan gigi yang sudah menggertak lantaran menahan emosi.
"Aku tidak menyesal kau membunuhku jika hasratku sudah terpuaskan," balas Sagara dengan tatapan yang mampu membuat puluhan wanita melemah sedang i
Udara malam di Manhattan cukup menusuk, tetapi tak lantas menciutkan nyali Sagara untuk membenamkan diri dalam dinginnya alam terbuka. Terhitung dua puluh menit sudah berlalu sejak pria itu berdiam diri di kursi taman belakang kediaman sang istri.Termenung memeluk sepi tanpa ada yang menemani. Udara segar dan suasana tentram menjadi pertimbangan utama Sagara menyukai tempat itu.Di setiap sudut taman dihiasi oleh tanaman dan aneka jenis bunga yang sangat indah. Cahaya lampu taman setia menyoroti kesendirian Sagara.Beruntung rembulan sedang berbaik hati. Dia seakan ingin menghadirkan cahaya paling terang untuk pria itu malam ini. Untuk yang kesekian kalinya, angin malam menusuk kulit Sagara dan meninggalkan jejak es pada kulit wajah dan bagian lain yang tak terselimuti helai kain.Mata Sagara menatap lurus
"Ayah Mertua tidak perlu sungkan. Tanyakan saja," interupsi Sagara lagi saat mendapati ayah mertuanya justru terhanyut dalam diam dan memperhatikannya."Kau sangat pintar membaca pikiran orang ternyata," cetus Tuan Reno Vinandra, Sagara tersenyum tipis."Baiklah, jika kau yang meminta," cakap Tuan Reno Vinandra yang setuju dengan saran Sagara."Langsung saja, apa kau juga membenci putriku?"Sagara termenung, ia sedikit ragu untuk menjawab. Pria itu menghela napas sekilas, dengan masih mempertahankan lengkungan bibir yang sempurna seperti sedia kala."Sebelumnya maaf jika Ayah Mertua tersinggung. Aku memang sangat membencinya," jawab Sagara hati-hati, Tuan Reno Vinandra terhenyak kemudian ia mengangguk paham dengan air muka kecewa."Tapi itu dulu dan sekarang hanya dia yang membencik
"Fidella," panggil Sagara menggantung, nampak ragu-ragu."Apa?" tanya Fidella seraya menoleh ke arah Sagara. Namun, pria itu justru terdiam kembali."Kenapa kau memanggilku?" desak Fidella menuntut penjelasan."Tidak, itu tidak penting.""Masih saja aneh," gumam Fidella, kini bibir Sagara melengkung saat mendengarnya."Kau tidak lelah?" kata Sagara menggantung lagi.Fidella mengernyit. "Lelah apa?""Lelah ... membenciku?" tambah Sagara melengkapi pertanyaannya."Tidak sama sekali." Fidella mengalihkan pandangannya ke arah lain dan kini giliran Sagara yang menoleh ke arahnya."Aku masih sangat membencimu dan akan seterusnya begitu, kupikir."
"Entahlah, aku malas," jawab Kanza tak acuh. Ia mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengar lagu bertempo up bit yang terputar disaluran radio yang Fidella pilih.Fidella menoleh dan berdecak. "Kau masih kesal pada kakakmu?" tanyanya dan Kanza mengangguk."Jangan seperti itu, bagaimanapun dia itu kakakmu. Kau harus menghadiri hari bahagianya," jelas Fidella memberi saran."Dia merusak mobilku dan aku masih tidak terima! Aku kerja keras mengumpulkan uang di sini untuk membeli mobil itu. Kau tahu, mobil sport itu limited edition, usahaku tidak mudah untuk mendapatkannya. Aku sudah mewanti-wanti padanya untuk tidak memakai mobilku saat aku tidak ada. Tapi dia tetap saja memakainya tanpa izinku.""Balapan liar di jalanan Jakarta yang padat, hingga akhirnya—""Arghhhh, manusia itu minta kuhajar!" Binar su
"Kenapa, kau cemburu?" tanya Kanza menyelidik."Aku ... tidak, bukan begitu. Hanya saja kau terus mengabaikanku karenanya," elak Fidella."Itu artinya kau cemburu, Sweatheart!" ujar Kanza setengah mendengkus dan tertawa."Terserah saja. Jadi, benar gosip itu?" dakwa Fidella penasaran."Gosip apa?" tanya Kanza pura-pura polos, tidak tahu apa-apa."Aku tidak mengerti maksudmu," lanjutnya kembali memakan hidangan di depannya.Fidella mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan bersidekap. Ia memicingkan mata sipitnya, membiarkan ujung ekor mata itu menusuk pandangan Kanza dengan intens."Aku sedang menunggu penjelasanmu, Mrs. Jakarta!" tukas Fidella penuh penekanan kata. Kanza memutar bola matanya ke sembarang arah, menghindari tatapan selidik Fidella."Hei, aku masih menunggu
"Bagus! Sekarang kau punya dua musuh di rumahmu sendiri," gumam Fidella berkacak pinggang."FIISIS, CEPAT KELUAR!" teriak Daniel dari teras depan. Fidella mendengkus sebal, dengan kesal ia berjalan menghampiri dua orang menyebalkan itu."Mana?" pinta Sagara sambil menengadahkan tangannya. Fidella mengernyit di sela wajah kaku yang sedari tadi ditunjukannya."Apa?" tanya Fidella."Kau sedang minta uang jajan padaku?""Dia sedang bergurau, Kak. Tertawakan saja," sela Daniel yang berdiri di sebelah Sagara.Fidella ingin melayangkan satu sentilan di dahi adiknya. Namun, dengan sigap tubuh Sagara menghalanginya."Mana kunci mobilnya? Aku yang akan mengemudi," pinta Sagara sekali lagi. Delikan Fidella semakin tajam, ia memutar bola matanya dan mendengkus. 
Mulai dari sekarang dan beberapa hari ke depan Fidella akan sibuk mencicipi peran barunya sebagai ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Ditinggal oleh sang ibu membuat gadis itu harus menyiapkan segala sesuatu sendiri.Terlebih pembantu di rumah Fidella sedang sakit parah, minggu lalu ia meminta izin untuk pulang kampung. Tanpa mempersulit, Nyonya Hara Finanda langsung menyetujuinya.Ibu dari Fidella itu berpesan pada pembantunya untuk istirahat yang cukup dan tidak perlu mengkhawatirkan pekerjaannya di rumah ini. Nyonya Hara Finanda menyuruh pembantu itu kembali setelah ia benar-benar sehat.Sungguh mulia hati nyonya rumah itu, beruntung sekali orang-orang yang bekerja dengannya. Nyonya Hara Finanda memang terkenal sebagai pribadi pemurah dan berhati lembut seperti sutra.Tak heran wanita yang nampak anggun dengan segala keramah-tamahannya itu kerap membuat orang-orang di sekitarnya merasa nya
"Kudengar dari teman-temanku makanan di sini sangat murah dan lezat. Aku tidak akan menghabiskan uangmu, Kak. Kau tenang saja," ujar Daniel penuh semangat.Ia baru saja memesan beberapa menu untuk dirinya sendiri, sepertinya bocah itu benar-benar memanfaatkan kesempatan yang jarang ia dapat ini. Perhatian Sagara teralihkan dari ponsel, kemudian menerbitkan senyuman manis untuk Daniel."Kau memang tidak tahu malu, Bocah!" cibir Fidella menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia menatap sebal ke arah Daniel dan memberi delikan singkat pada Sagara yang duduk di sebelah bocah itu."Pesan saja sesukamu. Kakak tidak keberatan sama sekali," ungkap Sagara memberi lampu hijau, sontak saja wajah Daniel semakin berseri tak tertahan.Fidella menggeser kursinya agar mendekat dengan Sagara. Gadis itu langsung mencubit perut Sagara sekenanya dan berkata, "Kau terlalu memanjakannya!"&nb