Yara tidak punya pilihan selain memilih permainan baru yang bisa mereka mainkan bersama.Hanya saja waktu bermain, Yudha yang pemula dan mendominasi, membuat keduanya bertengkar.Tidak jauh dari sana, Kakek Susilo yang mendengarkannya merasakan kenyamanan di dalam hatinya. Karena sekarang Yudha terdengar lebih hidup.Dia tidak salah, Yara itu adalah penyelamat Yudha.Menjelang tengah hari, tugas memasak secara alami jatuh ke tangan Yara lagi.Dia sibuk memasak dan membuat pasta untuk mereka bertiga.Yudha tidak terlalu peduli dengan makanannya. Tetapi, entah kenapa dia merasa pasta di tangannya sangat harum, mungkin karena Kakek Susilo terlalu banyak memujinya."Ini sangat harum, Yara pandai memasak.""Warnanya bagus dan harum, lebih baik dari masakan restoran berbintang.""Kenapa Yara bisa sehebat ini? Kakek bisa makan tiga piring."Yara tertawa terbahak-bahak, Kakek Susilo memujinya berlebihan sampai dia merasa malu.Sementara itu, Agnes di rumah tua akhirnya menyadari Kakek Susilo s
Revan tiba segera setelah Yudha pergi.Yara dan Kakek Susilo tinggal di danau untuk sementara waktu dan kemudian memutuskan untuk kembali.Dalam perjalanan, Kakek Susilo tampak lesu, sama sekali tidak terlihat kegembiraan seperti ketika baru tiba."Kakek" Yara sengaja menggodanya. "Hari ini semuanya berkat Kakek, sudah lama aku nggak bersenang-senang seperti ini."Kakek Susilo menoleh untuk menatapnya, wajahnya penuh dengan rasa sakit hati. "Benar-benar senang?"Yara mengangguk dengan serius.Setahun ini, jangan bilang perjalanan, duduk bersama Yudha untuk makan santai saja belum pernah terjadi."Meski anak bajingan itu kabur di tengah jalan?" Makin memikirkannya, Kakek Susilo makin marah dan nadanya sedikit meningkat."Nggak masalah." Yara menarik sudut bibirnya. "Terkadang, akhir cerita nggak terlalu penting, setelah menikmati prosesnya, aku puas.""Gadis konyol." Kakek Susilo menyentuh kepala kecil Yara dengan perasaan sedih.Setelah kembali ke rumah, Agnes sudah menunggu di depan p
Agnes menatap Yudha dengan serius. "Kalau begitu, kamu bisa bilang sama Ibu dulu. Ibu bisa membantumu mengaturnya, kenapa kamu harus diam-diam pergi?""..." Yudha terdiam."Itu karena kamu tahu itu bukan hal yang benar dan Ibu nggak akan setuju." Agnes menjawab untuknya."Ibu!" Yudha menunduk. "Maafkan aku.""Kamu nggak perlu meminta maaf pada Ibu, hari ini kakekmu kembali dengan selamat dan sehat, kalau ada yang terjadi padanya ...."Agnes menghela napas berat, "Kamu mau minta maaf sama siapa juga nggak ada gunanya.""Kamu sudah dewasa." Agnes melihat ke arah jendela. "Kamu punya pemikiranmu sendiri dan kata-kata tidak mendengarkan kata-kata Ibu lagi. Tapi, jangan lupa bagaimana kamu bisa sampai di posisimu sekarang."Yudha masih menundukkan kepalanya, tulang belakangnya yang lurus dipenuhi dengan sikap keras kepala yang samar-samar tidak terdeteksi.Agnes memahami putranya dan juga tahu kata-katanya berpengaruh.Setidaknya sekarang, Yudha masih dalam kendalinya, jika ini menjadi masa
Begitu Agnes pergi, Yudha duduk di sofa."Berhenti pura-pura!" katanya tajam sambil memandang wanita di tempat tidur itu.Yara membalikkan badan dengan canggung, menguap dan berkata, "Aku ngantuk, mau tidur. Kamu cepat tidur juga.""Yara!" Rahang Yudha terkatup rapat. "Kamu bilang apa ke ibu tadi pagi?"Yara diam-diam menarik selimut menutupi kepalanya.Yudha bangkit berdiri, mengambil beberapa langkah mendekat dan mengangkat selimutnya dengan kasar. "Ngaku!"Yara saat ini mengenakan baju tidur, berbaring menyamping. Selimutnya tiba-tiba terangkat, memperlihatkan leher dan sebagian bahunya.Dia cepat-cepat duduk dan merapikan pakaiannya. "Kalau bukan sesuatu menarik minatnya, mana mungkin dia mau mendengarkanku?""Apa yang kamu bilang?" Yudha memaksakan diri untuk tidak menatap dada Yara."Cuma ...." Yara menundukkan kepalanya dan mendesak keluar kata demi kata. "Cuma sesuatu yang membuatnya peduli, tentang ... kita nggak punya anak, itu ... itu karena ... kamu ada masalah di bagian sa
Yudha merasa sangat tidak tahan dan ingin pergi ke kamar mandi untuk meredakannya sendiri.Dia berdiri, memandang Yara yang duduk meringkuk, dan memberi tahunya tanpa basa-basi, "Sebagai istri, memangnya sebagai apa lagi?"Dia merasa wanita ini terkadang sulit dinalar.Setelah Yudha pergi, Yara berbaring lagi.Sebenarnya, dia tidak sedang datang bulan. Dia bahkan sudah terlambat seminggu.Namun, masih wajar-wajar saja.Dia kehilangan banyak darah setelah pergelangan tangannya disayat, kemudian dua kali donor darah untuk Zaina. Yara semakin curiga darah di tubuhnya hanya tinggal sedikit.Dia sudah sangat mengantuk dan akhirnya terlelap dalam waktu singkat.Saat Yudha keluar dan melihat ke arah Yara yang sudah tertidur, dia benar-benar tertawa marah.Di vila dulu, mereka kadang-kadang berbagi ranjang yang sama. Saat itu, ketika dia terbangun di tengah malam, dia selalu melihat Yara masih terjaga.Entah itu memandanginya dalam kegelapan, atau memang kesulitan tidur.Sekarang, di rumah kel
"Tunggu."Kakek Susilo menghentikan kepergian Yudha."Ajak istrimu beli baju baru hari ini.""Kakek." Yara memandang lelaki tua itu dengan tatapan penuh pinta. "Nggak perlu, aku sudah punya baju, nggak perlu beli baru lagi."Yudha seketika teringat waktu itu di Bar Mistique, saat Yara memakai pakaian yang sangat terbuka.Wajahnya berubah gelap. Dia mengeluarkan sebuah kartu black card dan menyerahkannya kepada Yara. "Aku ada pertemuan penting hari ini. Kamu pergi sama temanmu saja.""Oke." Yara cepat-cepat mengangguk, takut Kakek mengatakan sesuatu lagi.Setelah sarapan, Yara pergi berpamitan kepada Kakek saat hendak keluar."Sana, jalan-jalan sama temanmu. Siangnya cari tempat makan yang enak." Kakek Susilo selalu ingin memanjakan Yara."Ya." Yara sudah sangat lama tidak pergi jalan-jalan bersama Siska.Semua rencana jalan-jalan dengan Siska selalu gagal akhir-akhir ini. Gadis itu rupanya sedang dimabuk kepayang dengan pacarnya sampai lupa dia punya teman."Oh iya, jangan lupa beli pe
Tiba-tiba, suara tidak asing terdengar dari belakang mereka."Ngobrol nggak penting tentang apa kalian perempuan?"Saat Yara berbalik, ternyata itu Tanto."Paman, kamu di sini juga?"Mata Tanto menyapu wajah mereka berdua. "Tentu saja, aku juga sedang mencari persiapan untuk pesta besok."Yara mengangguk mengerti. Dia melihat ada seorang gadis di sebelah Tanto. Wajah itu seperti tidak asing, sepertinya seorang artis.Seolah melihat tatapannya, Tanto mengambil inisiatif dan berkata, "Perkenalkan, ini Rita Ramana. Dia yang menemaniku ke pesta besok."Gadis bernama Rita Ramana ini menggelendot di tubuh Tanto seakan tidak punya tulang.Seperti bandul yang tidak bisa lepas."Halo, Kakak-Kakak." Begitu bibirnya terbuka, suara yang keluar sungguh sangat lembut.Yara tertawa datar. Dia sudah tahu sejak lama bahwa Tanto adalah seorang playboy sejati.Dan dia memang benar-benar ahli. Setelah bertahun-tahun lamanya, dia tidak pernah terjerat skandal sekali pun.Setelah meraih tangan Siska, Yara m
"Lagian kamu nggak menghabiskan uangmu sendiri untuk membelinya."Tanto dengan santai mengambil sebuah gaun putih dan mencocokkannya di depan Siska."Nona Siska, kamu coba yang ini. Menurutku sangat cocok.""Nggak, aku nggak suka warna putih."Siska berjalan menjauh dan berdiri di belakang Yara, seolah ingin menghindar dari orang asing.Yara tahu alasan sebenarnya bukan karena Siska tidak suka warna putih, tapi dia tidak suka dengan Tanto.Akan tetapi, dia kagum dengan selera Tanto. Baru pertama bertemu, dia bisa memilih pakaian yang sangat cocok untuk Siska. Sungguh menakjubkan.Dia berinisiatif bertanya pada Tanto, "Paman, Rita yang tadi di mana?""Gadis lemah, dikata-katai sedikit saja langsung pergi."Kata-kata Tanto terdengar seperti berusaha menyenangkan Siska.Yara melirik Siska yang masih tanpa ekspresi dengan tatapan dingin.Yara membeli kedua gaun dan meminta Siska memilih untuknya sendiri, tetapi Siska selalu menolak meski telah dibujuk.Tanto masih enggan pergi. "Ya sudah,