"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis.
"Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana.
"Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu.
"Eh, gak tau juga paman, aku juga tidak pernah menghubunginya, dia itu aneh paman," jawab Dimas jujur. Mukanya terlihat bete dengan pertanyaan pamannya itu. Pasalnya Dimas sendiri merasa bahwa Mita adalah gadis yang aneh. Jadi dia juga cukup malas jika disuruh membahas tentang Mita.
"Iya sih, gadis itu aneh, tapi dia baik loh," ucap Rusli bijak. Sepertinya Rusli memang orang yang sangat berpikir positif. Ia selalu menilai orang dari sifat baiknya. Bagi Rusli, seburuk-buruknya manusia, pasti masih ada sisi positifnya.
"Coba hubungi lagi, ajak kesini, hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih Dim," lanjut Rusli yang lagi-lagi menyuruh Dimas. Dimas sebenarnya sudah sangat malas menghubungi Mita. Mita sangatlah tidak adik baik di obrolan telepon maupun secara langsung. Tidak ada menariknya sama sekali.
"Pagi," jawab Mita yang tiba-tiba datang ke ruko tersebut. Entah ada angin apa, Mita tiba-tiba saja sudah berada disini. Dimas pun nampak kaget dengan kedatangan Mita yang tiba-tiba. Entah mengapa kini jantungnya berdebar begitu kencang dan tubuhnya kaku terdiam.
"Pagi," jawab Rusli membalas salam dari Mita. Dimas pun tak memberi jawaban apapun, ia bahkan langsung menundukkan kepalanya dan pergi ke kamar mandi. Entah apa yang terjadi pada Dimas, dia benar-benar merasakan hal yang aneh.
"Kamu?" tanya Rusli yang seakan tahu siapa gadis yang baru dilihatnya itu. Gadis itu mirip sekali dengan lukisan yang pernah dilukis oleh Dimas dan dialah yang pernah membayar lukisan Dimas dengan sangat mahal. Rusli mencoba mengingat-ingat nama gadis itu, namun tidak kunjung muncul dalam ingatannya.
"Mita om," jawab Mita kepada Rusli yang mengernyitkan dahinya mencoba mengingat nama Mita.
"Nah, Mita, kamu duduk sini Mita," ucap Rusli sedikit berteriak. Rusli pun akhirnya lega karena ia berhasil mengingat nama Mita. Ya, meskipun sebenarnya Mita sendiri yang memberitahunya.
"Saya mau dilukis om, Dimasnya tadi kemana ya om?" ucap Mita yang masih seperti biasa, langsung tanpa berbasa-basi.
"Eh, Dimas kayaknya lagi ke kamar mandi itu, gimana kalo kamu paman lukis?" ucap Rusli mencoba memberikan penawaran kepada Mita. Sepertinya Rusli yang tadi terpaksa untuk melukis kini sudah mulai menemukan kenyamanan lagi dalam melukis.
"Iya om," jawab Mita enteng seperti tidak ada beban sama sekali. Sepertinya memang Mita hanya ingin dilukis saja, tidak peduli siapa yang akan melukisnya. Mita pun kini juga berdandan dengan sangatlah serius. Semua dandannya dikonsep secara rapi dan memiliki tema yang serupa, yaitu tema klasik. Dia mengenakan kemeja hitam kotak kotak, dengan celana kulot yang memiliki tali yang ia ikatkan di pundaknya.
"Jangan panggil saya om, panggil saya paman saja," ucap Rusli yang sepertinya memang tidak mau dipanggil om. Mungkin panggilan itu membuatnya terasa tua, sehingga dia pun lebih nyaman jika dipanggil paman.
"Iya paman," jawab Mita singkat. Dia benar-benar tanpa ekspresi. Wajah datarnya itu benar-benar aneh. Tapi Rusli sendiri tidak terlalu mempedulikannya.
"Mau dilukis seperti apa?" tanya Rusli kepada Mita. Rusli sebenarnya sudah tau jika Mita lebih suka dilukis satu tubuh dan dia akan bergaya layaknya model-model majalah. Itu semua diketahui Rusli karena Dimas yang kerap menceritakan tentang Mita yang aneh ini.
"Satu tubuh paman, saya berdiri disini ya paman?" begitulah jawab Mita. Kini Mita pun langsung berdiri di salah satu sisi ruangan mengambil posisi berdiri dan bergaya dengan tas hitam kecilnya bagaikan seorang model kelas dunia.
"Oke," jawab Rusli singkat mengiyakan Mita. Rusli juga sudah tahu jika Mita akan meminta dilukis di Kanvas ukuran A2, jadi ia tidak menanyakannya. Rusli pun langsung melukis Mita yang sudah diam terpaku dengan gaya modelnya itu. Tidak seperti Dimas, ia pun langsung melukis tanpa menggunakan sketsa, sepertinya memang Rusli memiliki kemampuan yang berada di atas Dimas.
"Paman?" Dimas yang baru saja keluar dari kamar mandi pun langsung kaget melihat Rusli yang sedang melukis Mita itu. Dimas tak menyangka jika Rusli mau melukis Mita. Tadi saja Rusli enggan untuk melukis, bahkan sampai Dimas memaksanya. Namun kini, Rusli malah melukis Mita yang aneh itu.
"Paman benar mau melukis Mita?" lanjut tanya Dimas. Kini Dimas duduk di samping Rusli melihat cara melukis Rusli yang benar-benar menakjubkan. Tanpa sketsa apapun Rusli langsung menuangkan warna pada kanvas tersebut. Rusli benar-benar luar biasa.
"Iya Dim, untuk ini biar paman saja yang tangani, kamu istirahat saja," begitulah jawab Rusli. Sepertinya memang Rusli menemukan kembali keasikan dalam melukisnya. Sudah cukup lama Rusli tidak melukis di Kanvas seperti ini. Rusli biasanya hanya menggambar di kertas ketika ingin menggambar.
"Ya udah paman, paman saja yang melukis, aku sendiri kalo suruh melanjutkannya juga nggak akan bisa, nggak ada sketsanya," ucap Dimas dengan sedikit meringis tertawa. Kini Dimas hanya duduk terdiam di samping Rusli yang tengah melukis. Dimas pun sekarang dapat menikmati dua pemandangan yang sangatlah indah. Kemampuan melukis Rusli dan kemampuan berpose Mita yang keduanya sangatlah menakjubkan.
"Ah, akhirnya sudah jadi," begitulah ucap Rusli setelah empat jam dia berjibaku dengan kuas dan cat airnya. Rusli benar-benar cepat dalam menyelesaikan lukisan itu. Lukisan yang biasanya diselesaikan Dimas dalam waktu paling cepat satu hari, dapat diselesaikan oleh Rusli hanya dalam waktu empat jam.
"Paman, backgroundnya jangan tembok polos begini ya," ucap Mita mengingatkan Rusli. Mita mengira bahwa Rusli masih menyelesaikan bingkainya saja.
"Sudah kok, ini lihat hasilnya." Rusli membalik kanvasnya, memberitahukan hasil lukisannya kepada Mita.
"Wow, bagus paman," ucap Mita yang terlihat takjub dengan lukisan Rusli. Sebuah lukisan yang diselesaikan dengan cepat namun hasilnya sangatlah indah. Background yang digambarkan Rusli pun juga sangatlah cocok dengan pakaian Mita. Rusli memilih background putih dengan beberapa aksen tambahan seperti rak bunga, foto-foto yang tertempel di tembok, hingga sofa berwarna putih. Background dengan dominasi warna putih ini sangatlah cocok dengan pakaian Mita yang didominasi oleh warna gelap. Sehingga kesan klasik dalam lukisan ini begitu nyata terlihat.
Dimas pun baru kali ini melihat Mita dengan ekspresi yang berbeda, tidak datar seperti biasanya. Mita terlihat begitu bahagia oleh hasil lukisan yang sangat menakjubkan itu.
"Ya sudah ya paman, besok lukisannya saya ambil, soalnya saya belum bawa uang paman," begitulah ucap Mita dan dia langsung pergi meninggalkan Ruko itu.
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima