"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya.
"Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu.
"Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hingga mata.
"Wah yang ini keren ya ma," ucap seorang gadis kecil kepada mamanya. Ia menunjuk gambar sebuah naga merah yang sedang menyemburkan api. Mamanya pun juga mengiyakan perkataan gadis kecilnya itu.
"Iya dek, itu gambar naga api yang sangatlah kuat dan berbahaya," begitu ucap Dimas. Dimas pun menjelaskan dengan ekspresi yang begitu kuat agar si gadis kecil itu dapat memahami maksud perkataannya. Pameran tersebut pun terus berlangsung hingga waktu menunjukkan jam 12 siang, itu waktunya pameran istirahat untuk sementara.
"Bagaimana pameranmu dim? Ramai?" tanya Rusli kepada Dimas dengan tangannya membawa sebuah kresek berisikan makanan. Di pameran pun Rusli masih saja membawakan makanan kepada Dimas. Kebaikan Rusli memang begitu tulus kepada Dimas.
"Keren paman, banyak pengunjung yang datang dan mengagumi lukisanku paman," begitulah jawab Dimas. Wajahnya tersenyum sumringah menunjukkan kebahagiaan yang luar biasa. Dia tidak menyangka bahwa dirinya bisa sampai sejauh ini. Menjadi seorang pelukis yang mampu memamerkan.
"Bagaimana dengan gadis itu, apakah sudah kesini?" tanya Rusli. Ia menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Memang, Mita lah yang telah membuat Dimas mampu untuk mengikuti pameran. Mita memasang harga yang terlalu mahal terhadap lukisan Dimas sehingga Dimas pun dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti pameran yang juga terlalu mahal baginya.
"Belum paman, mungkin siang ini dia akan kesini," jawab Dimas kepada Rusli. Dimas sendiri juga sangat berterimakasih kepada Mita. Ia juga menceritakan kepada Mita bahwa uang pemberiannya telah ia gunakan untuk mengikuti pameran. Tentunya Mita hanya membalas cerita dalam W******p itu dengan balasan yang singkat dan apa adanya. Mita hanya mengatakan iya tanpa imbuhan apapun.
"Coba kamu telpon!" Rusli menyuruh Dimas dengan tangan yang menunjuk telepon milik Dimas yang berada di dalam saku celana Dimas.
"Baik paman," jawab Dimas dengan tangannya berusaha merogoh saku celananya. Ia meraih telepon yang tercepat di saku celana bagian kirinya. Dan ia mengeluarkan telepon miliknya kemudian mencoba menelepon Mita. Dimas mulai mencari kontak Mita dalam telponnya dan memanggilnya.
"Halo," jawab Mita dalam telepon yang cukup cepat menerima panggilan Dimas. Dimas pun sedikit kaget dan bingung mau berkata apa. Seketika jantung Dimas berdebar kencang dan keringat dinginnya mulai keluar. Mulutnya pun juga mendadak kering seakan sulit untuk berkata.
"Ha.. lo.., kamu jadi ke pameranmu kan?" tanya Dimas dengan sedikit terbata-bata. Dimas pun juga tidak berbasa-basi sedikitpun. Ia langsung mengatakan poin yang ingin dia sampaikan. Sebenarnya Dimas sudah menanyakan itu di dalam pesan WhatsAppnya kemarin, dan Mita pun menjawab ya. Itu mengapa Rusli menanyakan kehadiran Mita, karena kemarin memang sudah mengatakan akan melihat pameran Dimas.
"Iya," begitulah jawab Mita singkat, nada suaranya juga terdengar sangat datar. Mita pun mematikan telepon itu tanpa sepatah kata apapun. Dimas pun benar-benar masih heran dengan sikap Mita yang begitu aneh itu. Benar-benar gadis yang begitu datar.
"Gimana Dim?" tanya Rusli penasaran. Rusli juga sangatlah penasaran dengan sosok Mita. Sosok seorang gadis aneh yang memberi uang begitu banyak kepada Dimas. Rusli sendiri belum pernah menemui Mita dan berharap dirinya dapat menemui Mita hari ini.
"Iya, gitu katanya paman," jawab Dimas sebal. Ia sepertinya sedikit sebal dengan jawaban Mita yang benar-benar datar itu. Seperti tidak ada keseriusan untuk menjawab pertanyaan Dimas. Apalagi Mita pun langsung mematikan telepon itu.
"Ya udah kalo begitu, kamu makan aja, pasti gadis itu akan datang kesini," ujar Rusli optimis. Tangannya pun menunjuk sekotak nasi yang sudah ditaruhnya di meja. Menyuruh Dimas untuk memakan makanan yang sudah ia bawa dari rumahnya tadi. Memang, makanan yang diberikannya setiap hari ke Dimas, adalah makanan masakan istrinya, bukanlah makanan yang ia beli di warung.
"Baik paman," jawab Dimas mengiyakan Rusli. Dimas pun tahu bahwa dirinya harus makan sekarang karena memang dia sudah sangat lapar. Apalagi kini jam telah menunjukkan jam setengah satu. Itu menunjukkan bahwa pameran sebentar lagi akan dibuka. Dimas harus segera menyelesaikan makanannya sebelum jam satu siang.
"Ayo ayo buk, boleh dilihat pameran lukisan saya buk," sebuah suara dari ruangan seberang yang juga memamerkan lukisannya. Orang tersebut telah membuka pamerannya bahkan sebelum jam satu. Dimas pun menjadi terburu-buru untuk segera menyelesaikan makanannya dan membuka pamerannya lagi. Tangannya begitu cekatan dalam menggerakkan sendoknya dan mulutnya begitu lahap dalam menyantap makanannya.
"Ayo pak, buk, boleh mampir kesini, bisa lihat lukisan saya pak, buk, mari," begitulah ucap Dimas bersemangat.
"Eh, Pak Hasan, mampir sini pak, lihat, ini lukisannya keponakan saya pak, bagus-bagus kan?" ucap Roni yang juga membantu Dimas menarik perhatian pengunjung. Dimas pun tidak menyangka ternyata Rusli memiliki banyak kenalan. Tidak seperti dirinya yang hanya memanggil pak, buk dan kakak. Rusli pun langsung memanggil beberapa pengunjung dengan namanya langsung seperti Pak Hasan. Ia merupakan kenalan Rusli ketika Rusli masih muda dulu.
"Ini kamu yang melukis sendiri?" tanya Hasan sambil memandangi lukisan yang ada di hadapannya itu. Lukisan belajar bersama yang pernah Dimas gambar dulu.
"Iya pak," jawab Dimas sopan dengan senyum ramahnya.
"Bagus, emang hebat ya keponakan kamu Rus, lukisannya bagus kayak lukisan kamu," ucap Hasan yang dibuat kagum dengan karya milik Dimas.
"Paman Rusli bisa melukis?" tanya Dimas heran kepada Rusli. Dimas heran dengan ucapan Hasan yang mengatakan bahwa lukisannya bagus seperti lukisan milik Rusli. Dimas pun tidak menyangka bahwa Rusli sebenarnya bisa melukis.
"Nggak kok, paman cuma bisa melukis, tapi nggak bagus," jawab Rusli merendah.
"Ih, lukisan kamu bagus sekali, kamu kan juga pernah juara lomba lukis dulu, apalagi lukisanmu juga ada yang terjual mahal," sela Hasan menyangkal perkataan Rusli. Dimas pun terperangah saat itu juga. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa orang yang selama ini bersamanya, ternyata juga memiliki kemampuan melukis yang luar biasa.
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima