Dimas merupakan anak dari seorang ibu tunggal bernama Sonya. Ayahnya telah meninggalkan keluarga mereka karena masalah yang terjadi dengan ibunya di masa lalu. Dimas tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pandai melukis. Hingga dia berhasil masuk di salah satu SMA favorit. Di SMA itu Dimas mulai menemukan cintanya. Refita merupakan kekasih pertama Dimas yang ia kenal selama di SMA. Mereka telah saling mengenal selama 6 bukan dan akhirnya mereka memutuskan untuk pacaran. Namun, semenjak itu Refita malah menghilang dan tidak pernah ke sekolah lagi. Refita masih bisa dihubungi lewat telepon dan ia mengatakan bahwa dirinya pergi ke Bandung. Itu merupakan kata-kata terakhir Refita setelah dirinya sudah tidak bisa ditelepon lagi Dimas tidak bisa berbuat apa-apa karena harus menuntaskan study di SMA-nya. Setelah lulus SMA, Dimas akhirnya memutuskan pergi ke Bandung berniat mencari Refita. Namun, Dimas tidak memiliki petunjuk apa-apa selain wajah kekasihnya yang pernah ia lukis tempo hari. Dimas pun harus menjadi pelukis jalanan untuk bertahan hidup di Bandung. Dia juga memasang lukisan wajah Refita di tempat ia bekerja. Selain untuk alat promosi, ia juga berharap ada orang yang mengenali wajah pada lukisannya itu. Hingga ia bertemu dengan seorang pria paruh baya bernama Rusli. Pria itu sering menemui Dimas dan mengajaknya untuk mengobrol. Hingga Rusli menceritakan bahwa dirinya merupakan ayah kandung Dimas. Ia menjelaskan bahwa Dimas merupakan hasil hubungan gelapnya dengan Sonya. Ia juga menjelaskan bahwa Refita merupakan hasil hubungan dengan Raya, istrinya yang sah. Rusli yang waktu itu mengetahui bahwa Dimas dan Refita berpacaran. Lantas mencoba memisahkan mereka karena tidak ingin terjadi hubungan yang sedarah. Rusli memutuskan untuk membawa Refita ke Bandung dan menyekolahkannya disana. Setelah bercerita, Rusli pun memberikan kesempatan kepada Dimas untuk menemui Refita. Rusli meminta Dimas untuk menerima Refita sebagai kekasihnya, namun sebagai adiknya. Dimas pun akhirnya menemui Refita dan mau menerimanya sebagai seorang adik.
View MoreDimas benar-benar bingung terhadap keadaan di SMA barunya sekarang. Lantaran ia dimasukkan ke jurusan bahasa, padahal dia memilih jurusan MIPA saat pendaftaran SMA kemarin. Nilai matematikanya juga jauh lebih tinggi dari nilai bahasa Indonesianya. Dia kini harus mengurusi surat pindah jurusannya kepada pihak kesiswaan agar dirinya bisa masuk ke jurusan yang diinginkannya.
"Pagi pak," salam Dimas, pria tinggi berkulit putih dengan rambut sedikit ikal itu. Dia masuk ke ruang kesiswaan dimana sudah ada seorang guru berjenggot lebat dengan kulit tubuh sedikit legam duduk di ruangan tersebut.
"Iya, pagi, silahkan duduk," Pak Drajat yang merupakan guru di bagian kesiswaan itu mempersilahkan Dimas untuk duduk.
"Ada yang bisa saya bantu nak?" tanya dia sopan dengan senyum manis yang sebenarnya gak cocok dengan muka seramnya itu.
"Maaf pak, saya ingin mengajukan surat perpindahan jurusan pak, karena saya sejak awal tidak menginginkan untuk masuk ke jurusan bahasa, namun malah dimasukkan sama pihak sekolah pak," ujar Dimas sembari menyodorkan sebuah kertas yang baru saja ia cetak tadi pagi. Dimas membuat surat itu sendiri dan terkesan asal-asalan. Yang penting keinginannya untuk pindah jurusan sudah tertuang dalam surat itu. Pak Drajat yang membaca surat itu lantas sedikit tertawa. Lantaran suratnya tidak ada formal-formalnya sama sekali.
"Oke, kamu masuk saja ke kelas X MIPA 7, untuk perpindahan jurusan kamu, nanti saya yang urus," ungkap Pak Drajat santai sembari mengembalikan surat asal-asalan milik Dimas. Pak Drajat juga menunjukkan kelas X MIPA tujuh yang terlihat dari kaca ruangan kesiswaan.
"Baik pak, trimakasih atas bantuannya pak, jadi sekarang saya langsung masuk kelas itu ya?" ungkap Dimas seakan membutuhkan kepastian sambil menunjuk kelas tadi menggunakan jempolnya agar terlihat sopan.
"Iya, masuk aja," jawab pak Drajat singkat, dia tetap tersenyum manis kepada Dimas.
"Baik pak, makasih ya pak," Dimas mencium tangan pak Drajat untuk kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Dimas pergi ke gedung yang ditunjuk pak Drajat tadi dan sesampainya di depan gedung itu, Dimas dibuat heran. Ia membaca bahwa nama gedung itu ialah laboratorium Kimia. Namun, kenapa di dalam seperti ruangan kelas dimana ada guru dan murid yang sedang melakukan pembelajaran. Pak Drajat tadi juga mengatakan bahwa ini ruang kelas X MIPA 7.
"Tok.. tok.. tok.. ," Dimas mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka. Sontak Bu Sandra, guru Kimia yang sedang mengajar di kelas itu langsung menghentikan pembicaraannya kepada murid-muridnya. Bu Sandra langsung menoleh ke pintu laboratorium kimia yang sekarang juga menjadi kelas X MIPA 7 itu dimana ada Dimas yang sedang berdiri disitu.
"Permisi Bu, apakah ini benar kelas X MIPA 7?", tanya Dimas kepada Bu Sandra dengan sedikit melirihkan suaranya dan menundukkan kepalanya. Dimas sekarang menjadi pusat perhatian murid-murid di kelas itu. Semua murid menatapnya dan itu membuat Dimas sedikit merasa malu. Bu Sandra langsung menghampiri Dimas. Langkahnya begitu anggun bak model yang berjalan di catwalk. Dilengkapi dengan sepatu hak tingginya dan rok hitam ketatnya memberikan kesan casual pada Bu Sandra.
"Iya, ada apa ya nak?", tanya Bu Sandra setelah menghampiri Dimas.
"Saya anak pindahan dari kelas bahasa dan disuruh masuk di kelas ini sama Pak Drajat Bu," jawab Dimas kepada Bu Sandra yang rambutnya terikat dengan kacamata berbingkai hitamnya yang juga memberikan kesan casual. Bu Sandra termasuk salah satu guru muda yang sangat menjaga penampilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kesopanan.
"Oh iya, silahkan masuk, tapi nanti perkenalan dulu ya! soalnya yang lain tadi sudah perkenalan," syarat Bu Sandra. Dimas pun masuk ke kelas dan memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi semuanya, nama saya Dimas Ristian Putra, biasa dipanggil Dimas, saya sebelumnya adalah anak jurusan bahasa, namun hanya sehari kemarin saja, dan sekarang saya pindah ke kelas ini," ucap Dimas mengenalkan dirinya kepada murid-murid di kelas itu yang kini akan menjadi teman kelasnya dan mungkin nanti akan menjadi teman-teman yang berarti bagi hidupnya.
Setelah memperkenalkan dirinya, Dimas pun duduk dipersilahkan oleh Bu Sandra untuk duduk di bangku kosong di kelas itu. Yaitu di barisan kedua dari belakang tepat di depan wanita cantik bermuka bulat dengan kacamata tebalnya.
Entah apa yang terjadi dengan Dimas. Perasaannya menjadi berubah setelah melihat wajah wanita itu. Sepanjang pembelajaran pun Dimas sering mencuri pandang ke wanita yang ada dibelakangnya. Sesekali Dimas menyempatkan untuk menoleh ke belakang hanya untuk melihat wajah wanita itu secara diam-diam.
Hingga pelajaran terakhir yang merupakan salah satu pelajaran kesukaannya, yaitu matematika. Dimas pun masih tetap menyempatkan untuk memanjakan matanya dengan melihat wajah wanita di belakangnya yang baginya wajahnya begitu manis dibalut dengan kerudung putih yang membentuk wajah wanita itu menjadi semakin bulat.
Mengingat pembelajaran matematika akan berakhir, dan sebentar lagi mereka akan pulang. Dimas pun merobek kertas yang ada di bukunya. Dia mengambil bolpoin hitam dengan cetekan di atasnya lalu menuliskan nomor WhatsAppnya di robekan kertas itu.
"Baik anak-anak, pelajaran hari ini selesai, silahkan kemas barang-barang kalian dan kalian boleh pulang," ujar Pak Abed, guru matematika kelas X MIPA 7 yang kebagian mengajar di jam terakhir hari ini. Semua murid mengemasi barang-barangnya. Buku, bolpon, pensil dan alat tulis lainnya satu per satu dimasukkan ke dalam tas.
Namun berbeda dengan Dimas. Ia menyempatkan untuk membalikkan badannya dan memberikan sobekan kertas tadi kepada wanita di belakangnya itu. Si wanita nampak heran, namun tetap menerima sobekan kertas itu. Sobekan kertas itu tidak dilipat ataupun digulung oleh Dimas. Dibiarkan begitu saja sehingga wanita itu langsung tahu apa yang diberikan oleh Dimas. Sebuah angka dengan awalan 0 yang tersusun menjadi sebuah nomer W******p.
"Nanti chat aku ya, ada yang mau aku omongin, penting," ungkap Dimas dengan percaya dirinya setelah memberikan sobekan kertas itu. Setelah itu, Dimas pun langsung membalikkan badan dan bergegas mengemasi bukunya agar tidak ketinggalan oleh teman-temannya.
Seperti sekolah pada umumnya. Sebelum pulang, seisi kelas berdoa bersama yang dipimpin oleh ketua kelas. Namun karena belum ada ketua kelas, Dimas ditunjuk oleh Pak Ubed untuk memimpin doa karena dia yang paling lambat saat kemas-kemas tadi.
"Berdoa mulai!" ucap Dimas singkat diikuti dengan teman-temannya yang mulai berdoa dengan gayanya masing-masing. Ada yang melipatkan tangannya, ada yang memejamkan matanya sambil memegang tas ranselnya, dan Dimas sendiri memangkukan tangannya di atas meja, dan dia menundukkan kepalanya menempel pada kesua tangannya persis seperti gaya murid tidur saat pembelajaran.
"Berdoa selesai!" ucap Dimas beberapa menit kemudian. Satu per satu Siswa mulai meninggalkan kelas dengan mencium tangan pak Abed sebelum keluar dari kelas.
Di sepanjang perjalanan pulang, Dimas nampak gembira. Dia berjalan dengan sangat riang bak seorang anak yang baru saja dibelikan mobil-mobilan oleh ayahnya. Raut mukanya begitu semringah dengan hati yang berbunga-bunga. Sepertinya Dimas sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau
"Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias
"Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga
"ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin
"Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa
"Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments