Beranda / Rumah Tangga / Cintai Aku / 3. Rivano Menemukan Helena

Share

3. Rivano Menemukan Helena

Penulis: biancaveana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 10:33:04

"Hentikan!" Helena menjerit, sekuat tenaga mendorong wajah pemuda berambut ikal itu yang hendak mencumbunya. Barang belanjaannya hancur berantakan di atas aspal. Gelak tawa ketiga pemuda lain bersautan, memantul di dinding gang yang sempit.

"Come on, luv... don't play hard to get. We can give you proper good time," si pirang menyeringai, lengannya semakin mengunci tubuh Helena dari belakang.

Air mata Helena jatuh deras. Ia memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya dipaksa menghadap oleh si curly. Jemarinya yang kotor menekan pipinya, bibirnya kian mendekat.

"No... stop! Please!" jeritnya.

Bruggg!

Tiba-tiba rambut si curly ditarik kasar dari belakang. Tubuhnya dihantam brutal ke dinding bata, suaranya nyaring menghantam batu lembap. Sebelum ia bisa sadar, tinju Rivano mendarat telak di wajahnya.

Crack! Darah menyembur dari hidungnya, tubuhnya limbung jatuh ke aspal.

"Rivano.." airmatanya jatuh begitu saja. Ia menatap pria itu. Ia di temukan.

"Who the fuck are you all?!" si pirang berteriak panik, masih berusaha mengunci tubuh Helena

Ia tidak menjawab. Tangannya meraih kerah baju si pirang, menariknya kasar hingga tubuh pemuda itu terangkat dari aspal. Ia menubrukkan tubuhnya ke dinding.

"Let... me... go!" erang si pirang dengan suara tercekik, wajahnya memerah karena kesulitan bernapas.

Rivano tak memberi ampun. Tinju kerasnya menghantam wajah si pirang.

Dumm! Dumm! darah langsung mengalir, tubuhnya merosot dan jatuh di kaki Helena.

Helena menjerit histeris, tubuhnya gemetar ketakutan, kedua tangannya berusaha menutup wajah namun pandangannya tetap mencari Rivano. Napasnya terisak, matanya penuh ketakutan bercampur lega saat Helena melangkah mendekat.

Jemarinya bergetar saat meraih ujung jas Rivano, seolah hanya itu jangkar yang membuatnya tetap bertahan.

Sementara itu, bodyguard Rivano yang lain langsung bergerak. Dua orang membekuk si curly yang masih tergeletak, menekan wajahnya ke aspal dan mengunci tangannya di belakang.

Tiga orang lainnya menghadang pemuda ketiga yang berusaha kabur. Teriakan panik terdengar saat ia dipukul bertubi-tubi, suaranya memantul di gang sempit.

Bayu berdiri tegap di samping Rivano, ekspresinya dingin, tangannya siap bila ada yang berani mendekat.

"Rivano..." tangis Helena pecah. Ia menatap suaminya, air mata mengalir deras, berharap ada pelukan, perlindungan, atau setidaknya sentuhan lembut darinya.

Tapi Rivano hanya menatap balik dengan wajah beku. Sorot matanya dingin, tanpa kata, tanpa gerakan yang mengisyaratkan kasih.

Saat Helena semakin terisak, berharap akan digendong atau setidaknya ditenangkan, Rivano justru menarik napas kasar. Rahangnya mengeras, lalu tangannya membetulkan jas yang kusut, seolah berusaha menghapus noda dari pertarungan barusan.

"Bayu," ucapnya dingin, suaranya berat dengan nada kesal. "Antar dia pulang. Aku ada urusan."

Tanpa menoleh sedikit pun pada istrinya, Rivano melangkah pergi. Bayangan tubuh tegapnya perlahan menghilang di ujung gang, meninggalkan Helena terduduk di aspal—gemetar, dengan pandangan nanar penuh luka.

"Nyonya, Anda tidak apa-apa?" suara Bayu terdengar lembut. Ia segera berjongkok di hadapan Helena, menatapnya penuh khawatir.

Helena hanya menangis makin keras. Air matanya pecah begitu saja saat menyadari suaminya meninggalkannya tanpa satu pun kata penghiburan.

Dengan cekatan, Bayu melepas jaketnya lalu menyampirkannya ke kepala dan bahu Helena, berusaha melindungi tubuh rapuh itu dari dinginnya malam. Gestur kecil itu membuat tangisanHelena semakin pecah.

"Bayu... maaf..." kata itu keluar lirih di sela isaknya, hampir tak terdengar.

Bayu menatapnya heran, alisnya berkerut. "Kenapa Nyonya minta maaf?" tanyanya hati-hati, suaranya pelan seolah takut melukai.

Rivano menunduk, bahunya berguncang karena tangis. "Sepertinya... Rivano marah besar padaku..." suaranya patah, getir, seakan setiap kata menusuk dadanya sendiri.

Bayu menarik napas dalam, sorot matanya ikut meredup menatap perempuan malang di depannya. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa mencoba menenangkan dengan tindakannya. Perlahan, ia menyodorkan tangannya, membantu Helena berdiri.

"Ayo, Nyonya. Saya antar pulang," ucapnya lirih, berusaha memberi pegangan ketika langkah Helena goyah.

Helena mengangguk lemah, membiarkan dirinya dituntun. Hatinya hancur—bukan karena rasa takut dari ancaman tadi, tapi karena suaminya sendiri yang memilih pergi, seakan-akan dirinya bukan siapa-siapa.

Helena memasuki sebuah mobil hitam yang terpakir di depan gang. Ia duduk di kursi belakang, tubuhnya masih gemetar, jaket BayuPark melilit di bahunya.

Jemarinya tak henti mengusap sudut mata yang masih basah.

Ia menoleh ke jendela. Dari balik kaca, ia melihat Rivano berdiri tegak bersama dua polisi setempat. Sorot matanya dingin, rahangnya kaku, tangannya sesekali menunjuk ke arah gang seolah memberi penjelasan. Aura otoritasnya begitu kuat hingga para polisi itu tampak menunduk hormat setiap kali ia bicara.

Sedikit lebih jauh, Bayu tampak sibuk berbicara dengan beberapa bodyguard. Tangan mereka bergerak cepat, memberi kode, mungkin soal pengamanan. Sesekali, Bayu melirik ke arah mobil, memastikan Helena baik-baik saja.

Pintu mobil akhirnya terbuka. Bayu masuk, duduk di samping supir, lalu menoleh pada Helena. "Nyonya, apakah Anda merasa lebih baik?" tanyanya hati-hati.

Helena menggeleng pelan, suaranya parau. "Bayu... ada apa? Kenapa Rivano masih di sana? Katanya dia ada urusan?"

Bayu menarik napas dalam, menunduk sebentar sebelum menjawab. "Tuan... sepertinya ingin mengurus preman-preman itu sendiri, Nyonya. Beliau ingin memastikan mereka masuk penjara dalam waktu lama. Beliau tidak ingin ada satu pun yang bisa lepas."

Helena terdiam. Matanya kembali melirik keluar jendela. Sosok Rivano masih di sana, berbicara dingin dengan polisi. Batin Helena teraduk-aduk—antara takut, lega, tapi juga perih karena ia tetap merasa tak dianggap.

Mobil mulai bergerak pelan meninggalkan lokasi. Helena bersandar lemah di kursi, matanya tetap terpaku pada bayangan Rivano yang semakin menjauh di kaca belakang, hingga akhirnya benar-benar hilang ditelan gelapnya jalan.

Penthouse megah itu menyambut dengan sepi dan dingin. Begitu sampai, Bayu membuka pintu mobil untuknya. Helena melangkah turun dengan langkah gontai, rasa lelah dan hampa menghantui tubuhnya.

"Saya antar sampai pintu kamar, Nyonya," ujar Bayu sopan, masih menjaga jarak dengan penuh hormat.

Helena hanya mengangguk. Saat memasuki living room penthouse yang sunyi, ia berhenti sejenak di depan pintu, memejamkan mata. Harapannya untuk melihat Rivano pulang bersamanya kandas. Yang tersisa hanyalah jaket Bayu di bahunya—sebuah kehangatan kecil dari orang lain, bukan dari pria yang ia cintai.

Saat larut, penthouse semakin terasa sunyi. Helena berbaring di tepi ranjang, matanya masih sembab. Jangankan makan malam romantis. Perutnya sendiripun tidak terisi sejak tadi siang.

BRAKK!

Pintu kamar terbanting begitu keras hingga gagangnya bergetar, suaranya memantul ke seluruh ruangan. Helena tersentak, matanya membelalak, napasnya tercekat saat melihat Rivano berjalan, di ambang pintu dengan sorot mata yang membara.

Rivano memasuki kamar dengan sorot mata tajam.

"Apa yang ada di otakmu keluar rumah dengan keadaan ponsel mati?!" bentaknya keras. Suaranya memecah kesunyian malam, membuat Helena refleks bangkit dari ranjang.

"Aku..." suara Helena bergetar, tangannya mengepal di pangkuan. Ia mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya terputus.

Rivano maju dua langkah, jaraknya semakin dekat. Rahangnya mengeras, wajahnya menunduk menatap Helena seperti singa yang siap menerkam.

"Jika ingin mati konyol, lakukan di kampungmu!" suaranya setajam cambuk. Ia mengayunkan tangannya ke arah pintu, menunjuk dengan geram.

"Ini di Amerika!! Kau tak tahu segila apa orang disini!!" bentaknya lagi, lebih keras, penuh bara yang menyulut udara.

Helena terisak, bahunya bergetar. "Aku hanya ingin membeli—"

"Jangan membantah!" potong Rivano, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Kau pikir aku punya waktu untuk mengurus kebodohanmu?!"

Helena menunduk, air matanya jatuh membasahi gaun tidurnya. Suaminya berdiri di depannya, tapi yang ia rasakan hanya jarak yang semakin lebar.

Rivano menoleh ke samping, berusaha menahan gejolak di dadanya.

Hening sejenak. Helena mengangkat wajahnya, suaranya lirih. "Rivano... aku ketakutan tadi. Aku pikir aku akan mati..."

Kalimat itu menusuk Rivano, tapi ekspresinya tak berubah. Ia hanya menarik napas panjang, menutup mata sejenak, lalu berkata dingin, "Jangan ulangi lagi. Sekali lagi kau keluar tanpa izin dan ponsel mati, jangan pernah berharap aku akan datang menjemputmu." ancaman ia lontarkan begitu saja.

Rivano beranjak pergi dengan membiarkan pintu kamar Helena setengah terbuka.

Helena hanya terduduk, wajahnya tertutup kedua tangan. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Ia sadar—bahkan di tengah kemarahannya, Rivano tetap datang menolongnya. Tapi kata-kata pria itu begitu tajam, meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada ketakutan yang tadi ia alami di gang sempit.

Di sisi lain, Rivano memasuki kamarnya yang berada di ujung lorong, tidak jauh dari kamar Helena.

Ironisnya kamar yang di tempati Rivano lebih kecil daripada kamar utama yang ditempati Helena.

Ia melempar jasnya dengan kasar ke atas ranjang, lalu merenggangkan dasinya yang terasa mencekik leher. Sambil memegangi pelipis, kepalanya dipenuhi bayangan tentang Helena yang disentuh pria lain.

Bayangan itu membuat dadanya sesak, amarah bercampur dengan rasa sakit.

"Malam, Tuan," sapa Bayu sambil melangkah masuk, menundukkan tubuhnya dengan hormat.

"Hmm..." JRivano hanya menoleh sekilas, berusaha menahan gejolak di dadanya. Ia tampak dingin, tapi sorot matanya menyala tajam.

"Apa alasannya keluar rumah hari ini?" tanyanya, suaranya datar namun penuh tekanan.

Bayu menunduk semakin dalam, suaranya bergetar. "Maaf, Tuan... ini semua kesalahan saya. Nyonya keluar karena persediaan makanan di kulkas habis. Ia pergi ke supermarket. Saya—"

"Apa?! Habis?" Rivano membentak, nadanya tajam bak cambuk. Ia melangkah maju dengan tatapan membara. "Kau gila?!" Suaranya meninggi, penuh amarah yang meledak-ledak. "Kau biarkan istriku mati kelaparan, hah?!"

Bayu terdiam, Ia tak berani mengangkat kepala, sementara Rivano mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.

Rivano segera berjalan cepat menuju dapur. Ia melewati kamarHelena yang begitu saja, seolah tak ingin menoleh sedikit pun. Helena sempat melihat sekilas langkah Rivano yang tergesa-gesa, penuh amarah yang ia sembunyikan di balik wajah datarnya.

Suara pintu kulkas dibuka dengan kasar terdengar jelas. Dan benar saja—hanya ada sebotol minuman dan sisa buah yang sudah tampak layu, tak layak disantap.

"Tuan, maaf... saya sudah memerintah orang untuk segera mengisi stok makanan," kata Bayu, yang ternyata sejak tadi mengikuti langkah sang majikan.

Suaranya terdengar hati-hati, ia tahu Rivano bukan atasan yang baik hati. Dan ia tahu kali ini Rivano marah besar.

Rivano menoleh dengan tatapan menusuk, rahangnya mengeras.

"Sekali lagi kau begini... jangan pernah tampakkan wajahmu di hadapanku," ucapnya dingin, sembari berlalu pergi.

Tak lama ia berhenti sejenak di ambang pintu dapur, melirik sekilas tanpa benar-benar menatap Bayu.

"Siapkan makan malam untuknya," perintah Rivano. Suaranya rendah, tetap tegas, tapi kali ini tak terdengar segarang biasanya.

Ia menoleh sebentar, pandangannya menyapu dapur sejenak sebelum kembali lurus ke depan.

"Pastikan ia memakan makan malamnya," ucapnya, dan meski terdengar seperti perintah, ada kelembutan samar yang menyelinap di antara nada suaranya.

Bayu mengangguk cepat, sembari menundukkan kepala. Ia cukup lama bekerja untuk mengenali nada itu—nada kepedulian yang berusaha disamarkan.

Dari balik pintu kamarnya, Helena berdiri terpaku. Ia mendengar dengan jelas kalimat itu, membuat dadanya hangat tanpa alasan. Tangannya mencengkeram gagang pintu, seolah itu satu-satunya yang bisa menahan tubuhnya agar tidak goyah.

Ia peduli...? gumamnya dalam hati.

Senyum kecil, hampir tak kasat mata, muncul di bibir Helena. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, perasaan yang belum berani ia namai.

Saat langkah Rivano menjauh, Helena mengikuti siluet punggungnya dengan tatapan yang lembut—penuh tanya, sekaligus harapan yang tak sengaja tumbuh.

Sebenarnya apa yang di pikirkannya.

Ban berdecit.

"AAHHH!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintai Aku    15. Rivano berlari ke arah Helena

    Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters

  • Cintai Aku    14. Helena Ingin One Night Stand

    Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc

  • Cintai Aku    13. Kode Biru

    Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.

  • Cintai Aku    12 - Sisi Gelap Rivano Mahesa

    “Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men

  • Cintai Aku    11. Masa Lalu Rivano

    Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman

  • Cintai Aku    10. Jangan Pergi Helena

    Dibawah deras hujan Manhattan, Helena berlari tanpa menoleh. Kakinya berjalan cepat, terburu buru hingga sesekali ia tampak jatuh dan bangkit lagi. Pergi tak tentu arah, langkahnya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi. Malam itu, ia tinggalkan semua kemewahan yang ditawarkan suaminya. Penthouse megah, gaun-gaun mahal, perhiasan yang memenuhi lemarinya—semua terasa hampa. Ia tak pernah menginginkan itu. Ia pun bukan perempuan gila harta.Yang ia minta hanya satu: cintanya. Sedikit saja. Sedikit ruang untuk dirinya di hati Rivano. Sedikit kesempatan agar pernikahan mereka terasa nyata—bukan sekadar nama di selembar kertas pernikahan yang setiap malam ia takutkan akan berakhir dengan tanda tangan dingin di pengadilan.Helena marah bukan karena cintanya tak berbalas. Tapi… jika memang Rivano tak bisa membuka hati, kenapa harus merusak dirinya? Kenapa harus merenggut kehormatannya lalu seakan semua itu tak berarti appaun.Hujan menampar wajahnya. Ia menarik rapat coat panjang ke tubuhnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status