LOGIN"Hentikan!" Helena menjerit, sekuat tenaga mendorong wajah pemuda berambut ikal itu yang hendak mencumbunya. Barang belanjaannya hancur berantakan di atas aspal. Gelak tawa ketiga pemuda lain bersautan, memantul di dinding gang yang sempit.
"Come on, luv... don't play hard to get. We can give you proper good time," si pirang menyeringai, lengannya semakin mengunci tubuh Helena dari belakang.
Air mata Helena jatuh deras. Ia memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya dipaksa menghadap oleh si curly. Jemarinya yang kotor menekan pipinya, bibirnya kian mendekat.
"No... stop! Please!" jeritnya.
Bruggg!Tiba-tiba rambut si curly ditarik kasar dari belakang. Tubuhnya dihantam brutal ke dinding bata, suaranya nyaring menghantam batu lembap. Sebelum ia bisa sadar, tinju Rivano mendarat telak di wajahnya.
Crack! Darah menyembur dari hidungnya, tubuhnya limbung jatuh ke aspal."Rivano.." airmatanya jatuh begitu saja. Ia menatap pria itu. Ia di temukan.
"Who the fuck are you all?!" si pirang berteriak panik, masih berusaha mengunci tubuh Helena
Ia tidak menjawab. Tangannya meraih kerah baju si pirang, menariknya kasar hingga tubuh pemuda itu terangkat dari aspal. Ia menubrukkan tubuhnya ke dinding.
"Let... me... go!" erang si pirang dengan suara tercekik, wajahnya memerah karena kesulitan bernapas.
Rivano tak memberi ampun. Tinju kerasnya menghantam wajah si pirang.Dumm! Dumm! darah langsung mengalir, tubuhnya merosot dan jatuh di kaki Helena.
Helena menjerit histeris, tubuhnya gemetar ketakutan, kedua tangannya berusaha menutup wajah namun pandangannya tetap mencari Rivano. Napasnya terisak, matanya penuh ketakutan bercampur lega saat Helena melangkah mendekat.
Jemarinya bergetar saat meraih ujung jas Rivano, seolah hanya itu jangkar yang membuatnya tetap bertahan.
Sementara itu, bodyguard Rivano yang lain langsung bergerak. Dua orang membekuk si curly yang masih tergeletak, menekan wajahnya ke aspal dan mengunci tangannya di belakang.
Tiga orang lainnya menghadang pemuda ketiga yang berusaha kabur. Teriakan panik terdengar saat ia dipukul bertubi-tubi, suaranya memantul di gang sempit.
Bayu berdiri tegap di samping Rivano, ekspresinya dingin, tangannya siap bila ada yang berani mendekat.
"Rivano..." tangis Helena pecah. Ia menatap suaminya, air mata mengalir deras, berharap ada pelukan, perlindungan, atau setidaknya sentuhan lembut darinya.
Tapi Rivano hanya menatap balik dengan wajah beku. Sorot matanya dingin, tanpa kata, tanpa gerakan yang mengisyaratkan kasih.
Saat Helena semakin terisak, berharap akan digendong atau setidaknya ditenangkan, Rivano justru menarik napas kasar. Rahangnya mengeras, lalu tangannya membetulkan jas yang kusut, seolah berusaha menghapus noda dari pertarungan barusan.
"Bayu," ucapnya dingin, suaranya berat dengan nada kesal. "Antar dia pulang. Aku ada urusan."
Tanpa menoleh sedikit pun pada istrinya, Rivano melangkah pergi. Bayangan tubuh tegapnya perlahan menghilang di ujung gang, meninggalkan Helena terduduk di aspal—gemetar, dengan pandangan nanar penuh luka."Nyonya, Anda tidak apa-apa?" suara Bayu terdengar lembut. Ia segera berjongkok di hadapan Helena, menatapnya penuh khawatir.
Helena hanya menangis makin keras. Air matanya pecah begitu saja saat menyadari suaminya meninggalkannya tanpa satu pun kata penghiburan.
Dengan cekatan, Bayu melepas jaketnya lalu menyampirkannya ke kepala dan bahu Helena, berusaha melindungi tubuh rapuh itu dari dinginnya malam. Gestur kecil itu membuat tangisanHelena semakin pecah.
"Bayu... maaf..." kata itu keluar lirih di sela isaknya, hampir tak terdengar.
Bayu menatapnya heran, alisnya berkerut. "Kenapa Nyonya minta maaf?" tanyanya hati-hati, suaranya pelan seolah takut melukai.Rivano menunduk, bahunya berguncang karena tangis. "Sepertinya... Rivano marah besar padaku..." suaranya patah, getir, seakan setiap kata menusuk dadanya sendiri.
Bayu menarik napas dalam, sorot matanya ikut meredup menatap perempuan malang di depannya. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa mencoba menenangkan dengan tindakannya. Perlahan, ia menyodorkan tangannya, membantu Helena berdiri.
"Ayo, Nyonya. Saya antar pulang," ucapnya lirih, berusaha memberi pegangan ketika langkah Helena goyah.
Helena mengangguk lemah, membiarkan dirinya dituntun. Hatinya hancur—bukan karena rasa takut dari ancaman tadi, tapi karena suaminya sendiri yang memilih pergi, seakan-akan dirinya bukan siapa-siapa.
Helena memasuki sebuah mobil hitam yang terpakir di depan gang. Ia duduk di kursi belakang, tubuhnya masih gemetar, jaket BayuPark melilit di bahunya.Jemarinya tak henti mengusap sudut mata yang masih basah.
Ia menoleh ke jendela. Dari balik kaca, ia melihat Rivano berdiri tegak bersama dua polisi setempat. Sorot matanya dingin, rahangnya kaku, tangannya sesekali menunjuk ke arah gang seolah memberi penjelasan. Aura otoritasnya begitu kuat hingga para polisi itu tampak menunduk hormat setiap kali ia bicara.
Sedikit lebih jauh, Bayu tampak sibuk berbicara dengan beberapa bodyguard. Tangan mereka bergerak cepat, memberi kode, mungkin soal pengamanan. Sesekali, Bayu melirik ke arah mobil, memastikan Helena baik-baik saja.
Pintu mobil akhirnya terbuka. Bayu masuk, duduk di samping supir, lalu menoleh pada Helena. "Nyonya, apakah Anda merasa lebih baik?" tanyanya hati-hati.
Helena menggeleng pelan, suaranya parau. "Bayu... ada apa? Kenapa Rivano masih di sana? Katanya dia ada urusan?"Bayu menarik napas dalam, menunduk sebentar sebelum menjawab. "Tuan... sepertinya ingin mengurus preman-preman itu sendiri, Nyonya. Beliau ingin memastikan mereka masuk penjara dalam waktu lama. Beliau tidak ingin ada satu pun yang bisa lepas."
Helena terdiam. Matanya kembali melirik keluar jendela. Sosok Rivano masih di sana, berbicara dingin dengan polisi. Batin Helena teraduk-aduk—antara takut, lega, tapi juga perih karena ia tetap merasa tak dianggap.Mobil mulai bergerak pelan meninggalkan lokasi. Helena bersandar lemah di kursi, matanya tetap terpaku pada bayangan Rivano yang semakin menjauh di kaca belakang, hingga akhirnya benar-benar hilang ditelan gelapnya jalan.
Penthouse megah itu menyambut dengan sepi dan dingin. Begitu sampai, Bayu membuka pintu mobil untuknya. Helena melangkah turun dengan langkah gontai, rasa lelah dan hampa menghantui tubuhnya.
"Saya antar sampai pintu kamar, Nyonya," ujar Bayu sopan, masih menjaga jarak dengan penuh hormat.Helena hanya mengangguk. Saat memasuki living room penthouse yang sunyi, ia berhenti sejenak di depan pintu, memejamkan mata. Harapannya untuk melihat Rivano pulang bersamanya kandas. Yang tersisa hanyalah jaket Bayu di bahunya—sebuah kehangatan kecil dari orang lain, bukan dari pria yang ia cintai.
Saat larut, penthouse semakin terasa sunyi. Helena berbaring di tepi ranjang, matanya masih sembab. Jangankan makan malam romantis. Perutnya sendiripun tidak terisi sejak tadi siang.
BRAKK!
Pintu kamar terbanting begitu keras hingga gagangnya bergetar, suaranya memantul ke seluruh ruangan. Helena tersentak, matanya membelalak, napasnya tercekat saat melihat Rivano berjalan, di ambang pintu dengan sorot mata yang membara.
Rivano memasuki kamar dengan sorot mata tajam.
"Apa yang ada di otakmu keluar rumah dengan keadaan ponsel mati?!" bentaknya keras. Suaranya memecah kesunyian malam, membuat Helena refleks bangkit dari ranjang."Aku..." suara Helena bergetar, tangannya mengepal di pangkuan. Ia mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya terputus.
Rivano maju dua langkah, jaraknya semakin dekat. Rahangnya mengeras, wajahnya menunduk menatap Helena seperti singa yang siap menerkam.
"Jika ingin mati konyol, lakukan di kampungmu!" suaranya setajam cambuk. Ia mengayunkan tangannya ke arah pintu, menunjuk dengan geram.
"Ini di Amerika!! Kau tak tahu segila apa orang disini!!" bentaknya lagi, lebih keras, penuh bara yang menyulut udara.
Helena terisak, bahunya bergetar. "Aku hanya ingin membeli—"
"Jangan membantah!" potong Rivano, tangannya mengepal di sisi tubuh. "Kau pikir aku punya waktu untuk mengurus kebodohanmu?!"
Helena menunduk, air matanya jatuh membasahi gaun tidurnya. Suaminya berdiri di depannya, tapi yang ia rasakan hanya jarak yang semakin lebar.
Rivano menoleh ke samping, berusaha menahan gejolak di dadanya.
Hening sejenak. Helena mengangkat wajahnya, suaranya lirih. "Rivano... aku ketakutan tadi. Aku pikir aku akan mati..."
Kalimat itu menusuk Rivano, tapi ekspresinya tak berubah. Ia hanya menarik napas panjang, menutup mata sejenak, lalu berkata dingin, "Jangan ulangi lagi. Sekali lagi kau keluar tanpa izin dan ponsel mati, jangan pernah berharap aku akan datang menjemputmu." ancaman ia lontarkan begitu saja.
Rivano beranjak pergi dengan membiarkan pintu kamar Helena setengah terbuka.
Helena hanya terduduk, wajahnya tertutup kedua tangan. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Ia sadar—bahkan di tengah kemarahannya, Rivano tetap datang menolongnya. Tapi kata-kata pria itu begitu tajam, meninggalkan luka yang jauh lebih dalam daripada ketakutan yang tadi ia alami di gang sempit.
Di sisi lain, Rivano memasuki kamarnya yang berada di ujung lorong, tidak jauh dari kamar Helena.
Ironisnya kamar yang di tempati Rivano lebih kecil daripada kamar utama yang ditempati Helena.
Ia melempar jasnya dengan kasar ke atas ranjang, lalu merenggangkan dasinya yang terasa mencekik leher. Sambil memegangi pelipis, kepalanya dipenuhi bayangan tentang Helena yang disentuh pria lain.
Bayangan itu membuat dadanya sesak, amarah bercampur dengan rasa sakit.
"Malam, Tuan," sapa Bayu sambil melangkah masuk, menundukkan tubuhnya dengan hormat.
"Hmm..." JRivano hanya menoleh sekilas, berusaha menahan gejolak di dadanya. Ia tampak dingin, tapi sorot matanya menyala tajam.
"Apa alasannya keluar rumah hari ini?" tanyanya, suaranya datar namun penuh tekanan.
Bayu menunduk semakin dalam, suaranya bergetar. "Maaf, Tuan... ini semua kesalahan saya. Nyonya keluar karena persediaan makanan di kulkas habis. Ia pergi ke supermarket. Saya—"
"Apa?! Habis?" Rivano membentak, nadanya tajam bak cambuk. Ia melangkah maju dengan tatapan membara. "Kau gila?!" Suaranya meninggi, penuh amarah yang meledak-ledak. "Kau biarkan istriku mati kelaparan, hah?!"
Bayu terdiam, Ia tak berani mengangkat kepala, sementara Rivano mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
Rivano segera berjalan cepat menuju dapur. Ia melewati kamarHelena yang begitu saja, seolah tak ingin menoleh sedikit pun. Helena sempat melihat sekilas langkah Rivano yang tergesa-gesa, penuh amarah yang ia sembunyikan di balik wajah datarnya.
Suara pintu kulkas dibuka dengan kasar terdengar jelas. Dan benar saja—hanya ada sebotol minuman dan sisa buah yang sudah tampak layu, tak layak disantap.
"Tuan, maaf... saya sudah memerintah orang untuk segera mengisi stok makanan," kata Bayu, yang ternyata sejak tadi mengikuti langkah sang majikan.
Suaranya terdengar hati-hati, ia tahu Rivano bukan atasan yang baik hati. Dan ia tahu kali ini Rivano marah besar.
Rivano menoleh dengan tatapan menusuk, rahangnya mengeras.
"Sekali lagi kau begini... jangan pernah tampakkan wajahmu di hadapanku," ucapnya dingin, sembari berlalu pergi.Tak lama ia berhenti sejenak di ambang pintu dapur, melirik sekilas tanpa benar-benar menatap Bayu.
"Siapkan makan malam untuknya," perintah Rivano. Suaranya rendah, tetap tegas, tapi kali ini tak terdengar segarang biasanya.Ia menoleh sebentar, pandangannya menyapu dapur sejenak sebelum kembali lurus ke depan.
"Pastikan ia memakan makan malamnya," ucapnya, dan meski terdengar seperti perintah, ada kelembutan samar yang menyelinap di antara nada suaranya.
Bayu mengangguk cepat, sembari menundukkan kepala. Ia cukup lama bekerja untuk mengenali nada itu—nada kepedulian yang berusaha disamarkan.
Dari balik pintu kamarnya, Helena berdiri terpaku. Ia mendengar dengan jelas kalimat itu, membuat dadanya hangat tanpa alasan. Tangannya mencengkeram gagang pintu, seolah itu satu-satunya yang bisa menahan tubuhnya agar tidak goyah.
Ia peduli...? gumamnya dalam hati.
Senyum kecil, hampir tak kasat mata, muncul di bibir Helena. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, perasaan yang belum berani ia namai.
Saat langkah Rivano menjauh, Helena mengikuti siluet punggungnya dengan tatapan yang lembut—penuh tanya, sekaligus harapan yang tak sengaja tumbuh.
Sebenarnya apa yang di pikirkannya.
Sesampainya Helena kembali di Indonesia, ia menatap hamparan langit negeri itu yang tampak sesendu dulu. Udaranya masih sama dengan segala hiruk pikuknya.“Apa sebaiknya kita pulang dulu dan beristirahat? Aku khawatir dengan kandunganmu. Sebelas jam perjalanan pasti membuatmu lelah, juga bayi di dalam perutmu,” ucap Adrian lembut, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin menemuinya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawab Helena, suaranya lirih namun tegas.“Baiklah, kalau itu keinginanmu,” ujar Adrian seraya membuka pintu mobil.Mereka sudah dijemput oleh sopir pribadi Adrian di bandara. Namun, Adrian meminta kunci mobil itu.
Sudah empat bulan sejak kepergian Helena. Empat bulan panjang yang menghapus warna dari dunia Rivano. Ia kembali ke Indonesia dengan harapan yang nyaris gila—bahwa mungkin, hanya mungkin, bayangan Helena masih berkelana di udara Jakarta yang dingin.Namun kenyataan jauh lebih kejam dari itu. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—patah, kosong, dan hancur perlahan.Setiap malam, Rivano menenggelamkan diri dalam alkohol. Botol-botol menumpuk di lantai seperti saksi bisu kehancurannya.
Sekejap, lampu kamar menyala terang. Helena membeku di ambang pintu. “Kalian…” ucapnya dengan suara gemetar, melihat Rivano berada di bawah selimut—seoraang wanita di dalam pelukannya.Wanita itu terlonjak, panik. “Maaf… bagaimana kamu bisa di sini?” Ia buru-buru meraih pakaiannya. Rivano, masih mabuk, menyipit karena silau. “Sayang… ada apa? Kenapa dinyalakan lampunya? Terang sekali,” gerutunya sambil mengusap mata, belum sadar siapa yang berdiri di sana.“Jadi… ini caramu membalasku?” suara Helena pecah. “Setidaknya… tunggu aku pergi dulu.”
Baskara kembali menjejakkan kaki di Jepang setelah beberapa minggu menghilang. Ia kembali menginap di lantai yang sama dengan Helena. Dengan santai, ia mengirimkan pesan singkat untuk seseorang.Pesan di kirim : Aku sudah mentransfer sejumlah uang kepadamu. Lakukan malam inipesan di terima : Iya, akan kulakukan Sore itu, ia belum memberitahukan kedatangannya kepada Helena. Baskara memilih untuk merahasiakannya. Sebaliknya, ia menghubungi Rivano.“Aku ingin bertemu denganmu malam ini, di parkiran hotelmu,” tulis Baskara. “Aku tidak ada urusan denganmu!!” balas Rivano singkat. “Ini akan menjadi urusanmu. Karena aku sudah melamar Helena. Sebagai laki-laki, aku perlu bertemu denganmu sebelum aku dan dia menikah. Tapi jika kau merasa sudah tak mengurusnya, aku akan membawanya pergi sekarang.” Baskara mengirim pesan “Bangsat! Aku akan datang membunuhmu!” balas Rivano “Jam delapan malam. Aku tunggu di sana,” balas Baskara tenang.Di sisi lain, Helena tengah mengemasi barang-barangnya d
Sudah dua minggu ini Rivano menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar, atau mengurung diri di ruang kerjanya. Kadang, perempuan itu menemukannya tertidur di depan meja kerja — kepala bersandar di tumpukan kertas, wajah lelah tertutup bayang cahaya lampu meja.“Sayang, kenapa tidur di sini? Kenapa tidakk di kamar aja?” tanyanya pelan, suara bergetar di ujung nada.Rivano tersentak, terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menatap layar laptop yang baru saja menyala.“Hmm… aku masih ada pekerjaan. Kamu tidurlah dulu,” jawabnya datar tanpa menatap.Reaksi dingin itu membuatnya makin yakin — Rivano sedang menghindarinya.“Kamu tidak sedang menghindariku, kan?” tanyanya pelan, mencoba tersenyum.Namun Rivano tetap diam. Hanya suara jari-jarinya di keyboard yang terdengar.“Riv…” panggilnya lagi, mencoba menyentuh tangan pria itu.“Aku lagi kerja,” balas Rivano tanpa menoleh.“Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu,” desaknya. Tangannya kini meraih wajah Rivano,
Pagi itu, ia terbangun karena rasa mual yang menusuk ulu hatinya. Dada terasa sesak, tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga tersedot habis. Dengan mata yang masih berat, ia mencoba bangkit dari ranjang—namun gerakannya tertahan oleh sesuatu yang melingkar hangat di pinggangnya.Tangan Rivano.Baru ia sadar, semalaman pria itu memeluknya erat, mungkin untuk memastikan tubuhnya tetap hangat. Apa tangannya nggak mati rasa, ya? batinnya, menatap tangan Rivano yang terhimpit tubuhnya.Perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan itu. Namun baru saja tangannya bergerak, Rivano langsung tersadar.“Kenapa, sayang? Masih demam?” suaranya lembut, sedikit serak. Ia segera menyentuh kening pasangannya dengan telapak tangan hangat.“Aku mual…” ucapnya cepat, lalu berlari ke arah kamar mandi.Begitu sampai di wastafel, tubuhnya membungkuk, memuntahkan cairan bening. Tak ada makanan yang keluar—memang sejak kemarin nafsu makannya berkurang.“Sayang, kamu kayaknya makin parah,” ujar Rivano panik. Ia mengham







