Beranda / Rumah Tangga / Cintai Aku / 2. Aku tersesat di Manhattan

Share

2. Aku tersesat di Manhattan

Penulis: biancaveana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-15 16:51:25

"Tuan akan pulang sore ini."

Helena menatap layar ponselnya lama sekali. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya bergetar—seolah kalimat singkat itu bisa menghangatkan seluruh kesepian yang ia rasakan.

Sudah satu bulan berlalu sejak ia menginjakkan kaki di Manhattan. Satu bulan... tinggal di apartemen yang luas, megah, dan penuh kaca, tapi terasa hampa.

Hari-harinya berlalu dengan rutinitas sederhana: bangun seorang diri, sarapan seadanya dengan sisa roti panggang dan susu kotak, lalu menatap keluar jendela tinggi yang menampilkan kerlip lampu kota New York di malam hari. Semua tampak indah, namun keindahan itu terasa jauh, asing, dan dingin.

Seminggu sudah Rivano tak pulang. Katanya ada urusan bisnis di luar kota. Tak ada kabar pasti, hanya pesan singkat dari pengawal pribadinya, Bayu, yang selalu menempel layaknya bayangan.

"Akhirnya dia... pulang," gumam Helena pelan, bibirnya melengkung tipis.

Tanpa sadar, ia berlari kecil menuju kamar mandi. Air dingin musim semi menyambutnya begitu keran diputar. Sudah tiga hari ia tak benar-benar mandi—sekadar cuci muka dan sikat gigi saja—karena cuaca bulan April yang menusuk tulang membuatnya selalu menunda. Tapi kali ini berbeda. Rivano pulang, dan ia ingin menyambutnya dengan rapi.

Usai mandi, rambutnya masih basah, hitam berkilau dan tertatah indah, Helena melangkah perlahan menuju dapur. Ia membuka kulkas dengan harapan menemukan sesuatu untuk diolah. Namun begitu pintu kulkas terbuka, wajahnya meredup.

Kosong. Hanya botol air mineral, selai kacang yang hampir habis, dan beberapa buah yang sudah mulai layu.

"Sepertinya... Rivano lupa menyuruh seseorang mengisi kulkas ini," desisnya sambil menggigit bibir bawah.

Seharian ini, ia hanya mengandalkan snack di kamar tidurnya. Ia terlalu malas keluar menatap penthouse besar yang begitu kosong. Tangannya meremas erat pegangan kulkas, kemudian matanya berbinar kecil—seolah menemukan alasan untuk menjelajah kota Manhattan.

"Apa boleh buat... kalau begitu aku saja yang pergi berbelanja. Pasti dia akan lapar begitu pulang."

Bayangan hangat muncul di benaknya: meja makan panjang dengan lilin kecil menyala, aroma masakan rumahan yang sederhana, dan Rivano duduk di seberangnya. Hatinya bergetar. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Manhattan, ia punya tujuan yang membuatnya bersemangat.

Cepat-cepat Helena melirik dompet kecilnya. Masih ada uang pound sterling yang telah ia tukar di money changer. Sepertinya cukup, batinnya yakin.

Meskipun ia bersuamikan seorang pengusaha kaya, Ia belum pernah merasakan nafkah batin sekaligus nafkah materi dari suaminya. Ia tak pernah meminta, dan Rivano hanya memastikan apa yang ada di rumah tercukupi, tanpa menanyakan apakah ia membutuhkan uang.

Dengan mantap, Helena mengambil mantel panjang, menyampirkan syal tipis di lehernya, lalu melangkah keluar. Angin dingin Manhattan menyambut begitu pintu besar penthouse terbuka. Lobi luas dengan lantai marmer mengkilap dan hiruk-pikuk mobilitas kota menyapa setiap langkahnya. Udara April yang menusuk kulit bercampur dengan aroma aspal basah dan kopi dari kedai sekitar.

Untuk pertama kalinya, Helena merasa seperti gadis kecil yang berani menantang dunia asing ini. Ia menoleh sekali, mengingat gedung pencakar langit di mana ia tinggal—besar dan megah. "Kurasa aku pasti akan mengingat tempat ini." ucapnya sembari mantap melangkah.

Mengandalkan peta di ponselnya, akhirnya Helena sampai di sebuah supermarket, berjalan kaki melewati trotoar yang masih diselimuti angin April yang menusuk.

Di dalam, ia mendorong troli melewati lorong-lorong panjang, dikelilingi rak-rak tinggi penuh warna: tomat merah mengkilap, paprika hijau segar, dan buah-buahan eksotis yang sama sekali asing baginya. Ia menatap daftar belanja kecilnya, bibir bergerak perlahan membaca di layar ponsel: "tomato, onion, milk... ramyeon..."

Mata Helena berbinar. Ramyeon... aku harus menemukannya. Aku bosan sekali makan roti terus. Aku sangat ingin makan mie instan.

Ia melihat seorang pramuniaga berdiri dekat rak sabun. Dengan gugup, Helena mencoba bertanya, "Ekcus me... uh... where... ramyeon?" tanya Helena dengan terbata bata.

Pramuniaga itu menatapnya dari atas ke bawah, ekspresinya dingin, matanya menusuk seakan menilai. "Ramyun? What?"

Helena tersenyum canggung, menekankan kata itu perlahan. "Uh... ram..yeon... aa... maaf... noodle... noodle is ramyeon?" Ia mencoba menjelaskan kembali. Matanya menatap ramah berharap mendapatkan balasan yang serupa.

Pegawai itu mengerutkan alis, menatapnya sinis, lalu menunjuk dengan tangan ke arah lorong sebelah kiri sambil berkata dengan nada dingin. "If you can't speak English, at least don't be lazy—read the signs!"

Helena menelan ludah, pipinya memerah. Ia merasa seolah berdiri di lorong yang salah, sebagai orang asing yang tidak sepantasnya ada di sini. Beberapa pembeli menatapnya—ada yang mengernyit, ada yang bergumam pelan. Rasa malu dan kesal bercampur menjadi satu. Apakah ini karena aku orang Asia? Atau karena aku tak bisa bahasa Inggris? Ia di perlakuan buruk.

Ia menunduk, menatap rak-rak lain, mencari label "instant noodles". Mata Helena menangkap harga di bawahnya: USD 2.99 per bungkus. Ia menghitung cepat dalam kepala, mengonversi ke rupiah. Wajahnya merengut. Bisa-bisanya... satu bungkus mie semahal ini...

Dengan tangan gemetar, ia mengambil beberapa bungkus mie instan dan daging. Ia memegang troli seolah itu perisai dari tatapan sinis orang-orang di sekitarnya. Lalu ia berkeliling mengambil tomat (USD 1.50 per pound), susu kotak (USD 3.20), bawang bombay (USD 2.75 per pound), dan beberapa apel merah segar (USD 0.99 per buah).

Setiap kali menaruh barang di troli, jantungnya berdetak lebih cepat. Aku sedang menyiapkan makan malam untuk Rivano. Aku bisa. Aku harus bisa.

Namun, rasa frustrasi tetap ada. Harga-harga ini, semuanya terasa mahal untuk wanita yang tak bekerja. Troli belanjaannya tidak terlalu banyak, tapi rasanya sudah membuat dompetnya menipis dan hatinya sedikit berat.

Helena mendorong troli menuju kasir. Weekend di Manhattan selalu ramai, dan antrian panjang di depan membuatnya menelan ludah beberapa kali. Beberapa orang tampak kesal, beberapa sibuk memeriksa ponsel, dan suara berisik kasir yang bercampur dengan interkom supermarket membuat Helena semakin gugup.

Ia menatap layar ponselnya—low battery. Satu bar tersisa. Panik merayap di dada. Bagaimana kalau aku tersesat di jalan pulang? Atau kalau ada darurat bagaimana nih?

Tangannya menggenggam pegangan troli, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang. "Ini... cuma belanja... cuma belanja," gumamnya pelan, tapi kata-kata itu terdengar rapuh bahkan di telinganya sendiri.

Antrian bergerak lambat. Setiap kali troli orang di depannya maju sedikit, jantung Helena ikut melonjak. Ia melihat kasir menatapnya beberapa kali, ekspresinya netral, tapi bagi Helena itu sudah terasa menakutkan.

Ia berusaha menatap sekeliling, mencari tanda-tanda familiar—rak, pintu, peta supermarket—tapi semuanya tampak sama, luas, dan membingungkan.

"Please... cepat... cepat..." batinnya, tapi tak ada yang bergerak lebih cepat.

Dan ketika akhirnya ia hampir sampai di depan kasir, ponselnya mati total. Layar gelap, indikator baterai hilang. Helena terhenti, gemetar, tangan menggenggam troli semakin kencang. Dunia seakan melambat, dan kesadaran bahwa ia benar-benar seorang diri di kota asing membuatnya menelan ludah beberapa kali.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, Helena akhirnya berhasil membayar belanjaannya. dua kantong belanja, dompet menipis, dan tangan mulai pegal menuntunnya keluar dari supermarket. Di luar, angin Manhattan yang dingin menyambutnya, menusuk jaket tipis yang ia kenakan.

Ia menatap sekeliling, berharap menemukan tanda familiar dari perjalanan pulang sebelumnya, tapi jalanan ramai, kendaraan melaju cepat, dan papan petunjuk terasa membingungkan. Ponselnya mati total, sehingga ia tak bisa mengecek peta digital.

"Ok... tenang... tenang... aku bisa," gumam Helena sambil menarik napas panjang. Tapi langkahnya semakin ragu ketika melihat papan nama gedung pencakar langit yang tampak mirip semua.

Beberapa pejalan kaki menatapnya singkat, lalu melanjutkan langkah mereka. Helena merasa mata mereka penuh pertanyaan—atau mungkin heran melihat seorang gadis Asia tersesat di tengah keramaian Manhattan. Sebuah rasa kesepian dan keterasingan menghantamnya.

Ia mencoba mengingat jalan pulang: belok kanan di Starbucks, lalu lurus sampai taman kecil, kemudian... ah, hilang! Semuanya terasa sama, dan ia menatap ke atas, gedung pencakar langit menjulang tinggi, seakan menertawakan kebingungannya.

Tangannya menggenggam tas belanja erat, napasnya memburu, dan jantungnya berdegup cepat. "Kenapa semua ini terasa sulit... padahal hanya jalan pulang?" batinnya lirih.

Helena merasa benar - benar bodoh. sudah ada disini selama satu bulan tapi baru kali ini ia keluar rumah.

Ia melihat sebuah tanda petunjuk jalan—namun tulisan kecil di papan itu membuatnya semakin bingung. Semua huruf terlihat sama, dan ponsel mati membuatnya tak punya cara lain. Sambil menggigit bibir bawah, Helena melangkah perlahan, setiap langkah penuh waspada, berharap menemukan penthouse dengan selamat.

Helena menatap sekeliling, kantung belanja di kedua tangannya mulai terasa berat. Jalanan tampak sama semua—lampu jalan temaram, gedung tinggi menjulang di kanan-kirinya.

"Eh... gang ini... apa benar aku lewat gang ini ya?" gumamnya pelan, hampir tenggelam oleh deru mobil. Hari semakin gelap, bayangan panjang merayap di trotoar.

Di ujung jalan sempit, matanya menangkap empat pria duduk di bangku, botol minuman di tangan. Mereka tertawa, bercampur dengan kata-kata kasar yang terdengar samar.

Hati Helena mencelos. Ia berbalik, mencoba mengambil jalan lain, tapi langkahnya tersendat. Tubuhnya kaku, kantung belanja menggantung berat di tangan.

Salah satu pria mencondongkan tubuh, menatapnya tajam. "Oi, love... where d'you think you're goin'?" suaranya berat dengan aksen British, senyum sinis menghiasi wajahnya.

Mereka berlari menghampiri.

Helena tersentak dengan sapaan itu. Tubuhnya gemetar. Napasnya cepat, jantung berdetak kencang. Ia memutar tubuh, ingin segera menjauh, tapi kantung belanja yang berat membuatnya tersandung sedikit.

"Come on then, luv... don't just stand there," seorang pria lain menambahkan, nada penuh ejekan dan aksen British yang tebal.

Salah satu dari mereka melangkah lebih dekat. "Careful now... wouldn't want you losin' your way, eh?" ucapnya, senyum sinis tetap menempel di wajahnya.

Panik menguasai Helena. Langkahnya tercekat. Kantung belanja di tangan terasa makin berat. Helena berlari sekuat tenaga di gang sempit, napasnya tersengal.

Tiba-tiba, kakinya tersandung sendiri di trotoar yang retak—jatuh keras, dengkulnya memar. Kantung belanja terlempar, buah dan sayur berhamburan di aspal.

"Ah..." ringis Helena melihat telapak tangannya tergores aspal.

"Beb... you need help," seorang pemuda mendekat dengan gerakan cepat, mencoba meraih pinggang Helena.

Helena menepis, wajah pucat, tangan gemetar.

"Jangan... jangan sentuh aku!" teriaknya, panik, mencoba menepis pria itu.

Empat pria itu mulai mengepungnya, tawa sinis terdengar, belanjaan berserakan di jalan, telur pecah berceceran. Helena semakin ketakutan, Ia berusaha mangangkat tubuhnya sendiri.

Panik menguasai Helena. Ia mundur, napas tersengal. "Please... don't..." gumamnya lirih, menatap ke sekeliling untuk mencari jalan keluar.

Tatapan pria itu liat menatap Helena dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Come beb...." ucap salah satu pemuda itu menarik tubuh Helena. Ia di dekap, tangan lelaki itu dengan liar masuk kedalam rok yang dikenakan Helena.

"Stop....." Jerit tangis Helena mengema.

"Rivano... tolong aku." rintih batin Helena.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintai Aku    15. Rivano berlari ke arah Helena

    Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters

  • Cintai Aku    14. Helena Ingin One Night Stand

    Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc

  • Cintai Aku    13. Kode Biru

    Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.

  • Cintai Aku    12 - Sisi Gelap Rivano Mahesa

    “Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men

  • Cintai Aku    11. Masa Lalu Rivano

    Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman

  • Cintai Aku    10. Jangan Pergi Helena

    Dibawah deras hujan Manhattan, Helena berlari tanpa menoleh. Kakinya berjalan cepat, terburu buru hingga sesekali ia tampak jatuh dan bangkit lagi. Pergi tak tentu arah, langkahnya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi. Malam itu, ia tinggalkan semua kemewahan yang ditawarkan suaminya. Penthouse megah, gaun-gaun mahal, perhiasan yang memenuhi lemarinya—semua terasa hampa. Ia tak pernah menginginkan itu. Ia pun bukan perempuan gila harta.Yang ia minta hanya satu: cintanya. Sedikit saja. Sedikit ruang untuk dirinya di hati Rivano. Sedikit kesempatan agar pernikahan mereka terasa nyata—bukan sekadar nama di selembar kertas pernikahan yang setiap malam ia takutkan akan berakhir dengan tanda tangan dingin di pengadilan.Helena marah bukan karena cintanya tak berbalas. Tapi… jika memang Rivano tak bisa membuka hati, kenapa harus merusak dirinya? Kenapa harus merenggut kehormatannya lalu seakan semua itu tak berarti appaun.Hujan menampar wajahnya. Ia menarik rapat coat panjang ke tubuhnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status