Home / Rumah Tangga / Cintai Aku / 4.Ternyata Ini Pertemuanku Dan Dia

Share

4.Ternyata Ini Pertemuanku Dan Dia

Author: biancaveana
last update Last Updated: 2025-09-15 22:03:23

New York, 18 April.

Dua minggu berlalu sejak pertengkaran malam itu. Rivano dan Helana tak lagi saling bicara. Hanya derit suara sepatu langkah Rivano, pengobat rindu yang selalu dinantikan Helena setiap malam.

Meski hanya menatap punggungnya.. Biarlah—

Bukan berarti Helena tak pernah mencoba bicara. Tapi setiap kali ia membuka mulut, Rivano seolah punya alasan untuk pergi. Pagi-pagi ia sudah menghilang, dan malam hari kembali di saat Helena hampir terlelap—seakan sengaja memilih waktu di mana percakapan tak mungkin terjadi.

Hari ini tanggal 18 April—ulang tahunnya. Tapi tak ada kue. Tak ada lilin. Tak ada yang mengingatnya. Hanya hujan ringan yang turun sejak sore, seakan ikut meninggalkan jejak di hari yang akan segera berakhir.

Namun ada yang tampak berbeda. Rivano hadir dirumah yang selama ini tampak kosong. Di hari liburnya pria itu di rumah. Tak seperti biasanya Ia duduk living room.

Di sofa panjang, Duduk santai dengan pakaian serba hitam. Kemeja hitam sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan leher jenjang dan garis rahang yang tegas. Lengan bajunya tergulung hingga siku, menampakkan pergelangan tangan dengan jam hitam klasik yang elegan. Celana panjang hitam.

Rivano selalu tampan. Lelaki itu semakin sulit di gapai.

"Hm... aku sudah rapi. Aku akan ke sana," ucap Rivano sambil mematikan panggilan telpon.

Suaranya terdengar lembut. Selama setahun menikah dengannya Helena belum pernah mendengar Rivano bicara dengan selembut itu dengannya.

Dari ambang pintu kamarnya, Helena berdiri, memperhatikannya dari jauh. Tak berani mendekat, tapi juga tak sanggup mundur. Rivano tahu ia di sana, tapi ia tak langsung menoleh.

"Sudah berapa lama kamu berdiri di situ?"

Tiba - tiba Rivano akhirnya melontarkan tanya.

Helena menggenggam ujung baju tidurnya, jemarinya sedikit gemetar. Perasaan wanita itu tak menentu. Rasanya ragu tapi ia tak ingin mundur. Setidaknya untuk malam ini. Malam ia berulang tahun.

"Baru sebentar..." akhirnya Helena menjawab. "Ada yang ingin kukatakan,"

Rivano menatap. Ponselnya masih tergenggam erat, namun senyum samar yang tadi sempat muncul sudah lenyap, tersapu udara hening di antara mereka. Ia menatap Helena, seakan memberi ruang agar wanita itu berbicara. Tapi sorot matanya, tajam sekaligus gelisah, justru jatuh pada jemari Helena yang menggenggam baju tidurnya—gemetar, rapuh.

"Hari ini... ulang tahunku," ucap Helena pelan, hampir seperti berbisik. "Dan sebentar lagi hari itu akan berakhir." Tatapannya melirik jam di dinding.

Dua puluh menit menuju dini hari.

Bagi seorang wanita, ulang tahun seharusnya terasa istimewa. Tapi bagi Helena, ia tak menginginkan pesta atau hadiah mahal. Yang ia dambakan hanya satu: waktu bersama lelaki itu.

Rivano mendesah singkat, membuka layar ponselnya. Jemarinya lincah menyentuh layar. "Apa yang kau mau dariku? Akan kusuruh Bayu membelikannya untukmu."

Tatapannya kembali jatuh pada lelaki itu—sosok yang membuatnya jatuh cinta sejak pandangan pertama. Semua bermula saat genggaman tangan Rivano meraih jemarinya di hari paling kelam dalam hidupnya—acara pemakaman kedua orang tuanya.

"Ada aku... aku akan mendampingimu dan menjagamu," ucap Rivano waktu itu.

Kedua orang tua mereka bersahabat lama. Helena dan Rivano pernah dipertemukan semasa kecil, entah masih tersimpan dalam ingatan mereka atau sudah terlupakan. Yang jelas, kedua keluarga itu sempat bersepakat menikahkan anak-anak mereka suatu hari nanti.

Namun ketika kabar duka itu datang, keluarga mahesa hadir. Dan di tengah kehilangan yang begitu dalam, Helena mendapati setitik harapan.

Saat itu Helena menatap mata Rivano lekat-lekat. "Dia kah yang akan melindungiku setelah ayah dan ibu pergi?" batinnya waktu itu.

Dan ketika air matanya diusap untuk pertama kalinya oleh lelaki itu, hatinya pun tergetar.

Sesederhana itu cinta seorang Helena bermula.

Suasana hening beberapa detik. Rivano menarik napas panjang hingga membuyarkan lamunan Helena. Matanya masih tertuju pada layar ponsel.

"Aku hanya ingin bersamamu." Suaranya terdengar pelan.

"Kamu yakin? Aku akan datang ke club, bertemu Davin—sepupuku. Di sana tempat para lelaki. Kamu tidak akan senang di sana," tolak Rivano tegas.

"Dan itu disana—"

Helena memotong perkataan Rivano.

"Di manapun asal bersamamu aku senang,"

Rivano menekan pelipisnya seakan mempertimbangkan.

Ia melangkah maju satu langkah, menatap mata Rivano penuh harap. "Ku mohon... hanya malam ini saja."

Suara helena bergetar, begitu rapuh. "Aku... hanya sendiri di rumah ini. Setidaknya, hanya malam ini saja, aku tak merasa seperti hantu di rumah besar ini."

Rivano sontak menoleh. Tatapannya jatuh pada wajah Helena—wajah putus asa yang tak meneteskan air mata, tapi jelas-jelas sedang menangis di dalam hati. Rivano benci melihat ekspresi itu.

Ia tahu Helena terlalu cenggeng. Seorang wanita yang mudah tersentuh hatinya, bahkan sampai menangis hanya karena film menyedihkan di televisi. Betapa sering Rivano tiba-tiba mematikan TV saat melihat Helena terisak menonton drama Korea.

Ingatannya melayang ke suatu malam—saat Helena terisak hanya karena seekor anjing dalam drama zombie.

"Kenapa dimatikan?" protes Helena waktu itu.

"Jangan ditonton kalau cuma buatmu menangis. Lagi pula, itu hanya anjing yang mati," sahut Rivano datar sambil menggenggam remote.

"Tapi... anjingnya dimakan zombie," lirih Helena, matanya berkaca-kaca.

"Terserah kau." Rivano melempar remote sembarangan lalu masuk ke kamar, meninggalkan Helena sendirian.

Itulah Rivano. Sulit dimengerti—terasa seperti duri yang menusuk, tapi tetap indah di mata. Seperti mawar merah yang mempesona, tapi siapapun tahu jangan sembarangan menyentuhnya, karena pasti akan terluka, karna sang mawar memiliki banyak duri.

Kini, Rivano menatap wajah Helena yang begitu memelas, Ia menghela napas panjang. "Baiklah... tapi ada syarat," ucapnya lirih. Tatapannya tajam, meski ada keraguan yang samar.

Helena langsung mengangguk, matanya berbinar, seolah baru saja mendapat keajaiban. "Apa?" tanyanya penuh harap.

"Jangan macam-macam di sana. Jangan bertindak bodoh. Jangan merengek minta pulang. Dan jaga jarak denganku. Kamu paham?" tatap Rivano dalam-dalam, menekankan setiap kata.

"Aku paham..." jawab Helena cepat, nyaris tanpa pikir panjang.

Rivano bangkit berdiri, mengambil kunci mobil. Tapi sebelum melangkah pergi, ia sempat menatapnya sebentar, tatapannya sulit terbaca.

"Pakai coat panjang. Nanti kamu kedingian disana," ucap Rivano singkat.

Lalu ia berjalan ke arah pintu tanpa menunggu jawaban.

Saat pintu tertutup, Helena tetap berdiri di tempat. Senyum mengembang di bibirnya, jantungnya berdentum tak beraturan.

"Astaga... kenapa aku malah melamun?" gumamnya, buru-buru menepuk pipinya sendiri. Sebuah senyum kecil lolos tanpa sadar, matanya berbinar—terkesima oleh perhatian sederhana itu.

Ia segera berlari menuju kamar, jemarinya tergesa menyingkirkan baju yang ia kenakan, bergegas berganti pakaian.

Di depan cermin, Helena menatap dirinya. Bibirnya melengkung tipis. Entah kenapa, kalimat dingin Rivano soal coat terasa seperti hadiah paling berharga yang bisa ia genggam malam ini.

"Bisakah aku membuatmu mencintaiku?" bisiknya lirih pada pantulan dirinya sendiri.

Ia merias wajahnya dengan make up natural, mempertegas paras cantiknya yang lembut. Rambut hitam panjangnya terurai, memberi kesan anggun dan keibuan.

Begitu keluar dari lobi, Rivano yang bersandar di sisi mobil langsung menegakkan badan. Matanya tanpa sadar mengikuti setiap langkah Helena—dress hitam yang jatuh anggun di atas lutut, rambut panjang terurai yang bergerak lembut tertiup angin.

Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

Saat Helena mendekat, ia buru-buru melirik pakaiannya sendiri.

"Apa ada yang salah dengan pakaianku?" tanyanya pelan, seakan cemas.

"Sudahlah. Apa pun yang kau pakai tetap tidak bagus," jawab Rivano ketus. Namun nadanya bertolak belakang dengan wajahnya yang justru tampak gugup.

Cepat-cepat ia masuk ke kursi kemudi, pura-pura sibuk menyalakan mesin. Saat helena hendak membuka pintu kursi penumpang di sebelahnya, suara Rivano terdengar cepat dan tegas:

"Belakang."

Helena mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Duduk saja di belakang," perintah Rivano. Suaranya datar, tapi genggamannya pada setir terlihat kaku. Ia tak mau mengakui betapa gugupnya duduk terlalu dekat dengan wanita itu.

Dengan helaan napas kecil, helena menutup pintu, lalu beralih ke sisi belakang. Ia masuk dan duduk, meski bibirnya merengut.

"Aneh sekali. Kalau seperti ini, aku malah terlihat seperti bepergian dengan supir," gumamnya setengah protes.

Rivano mendengus "Mana ada supir setampan aku! Kalo keberatan, turun saja. Lagi pula, kamu sendiri yang memaksa ikut"

Helena menekuk bibir "Iya... iya aku akan duduk di belakang,"

Ia tak lagi mendebat. Ia merapikan ujung dress-nya lalu bersandar. Jemarinya sibuk menyibak rambut dari wajahnya, Pipinya putih merona tampak jelas, membuat Rivano tak lepas memandang.

Mobil mulai melaju. Rivano menatap jalan dengan fokus yang dipaksakan, tapi beberapa kali matanya naik ke kaca spion tengah. Sekilas cukup, hanya untuk memastikan Helena yang sedang menatap keluar jendela.

Sesekali tatapan mereka nyaris bertemu di spion. Helena melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis—bukan senyum penuh, tapi cukup untuk membuat Rivano buru-buru mengalihkan pandangan. Dada yang berdegup tak karuan, ia sembunyikan di balik ekspresi datarnya.

Ada apa dengan dia? Kenapa menatapku terus? Apa aku terlihat konyol? batin Helena, salah sangka bahwa lelaki itu mungkin tak senang dengan kehadirannya.

Rivano melangkah masuk ke dalam club, dentuman musik langsung menghantam telinga. Bass bergetar hingga terasa menekan dada, cahaya lampu berkelap-kelip menari liar di setiap sudut ruangan. Helena mengikuti di belakangnya, matanya sedikit menyipit menahan silau dan bising.

Tiba-tiba, Rivano menyelipkan jemarinya ke helaian rambut panjang Helena yang terurai, membuatnya sontak terkejut. Lelaki itu mencondongkan tubuh, wajahnya mendekat begitu dekat hingga suara bariton rendahnya nyaris tenggelam dalam gemuruh musik.

"Kamu di sini. Aku ke sana." Bibirnya hampir menyentuh telinga Helena, matanya sekilas melirik ke arah seorang pria yang duduk santai di sofa pojok.

Napas Helena tercekat. Jarak mereka terlalu dekat—desir napas Rivano menyapu kulitnya, aroma maskulin tubuhnya memenuhi inderanya.

"Akan jadi bahan ejekan besar dari Davin kalau aku datang membawamu," ucap Rivano, bisikannya hangat menyusup di telinganya.

Helena hanya bisa menatap mata suaminya dari dekat, lalu mengangguk pelan sebagai tanda setuju.

Rivano sedikit menoleh, suaranya rendah tapi tegas terdengar jelas di tengah riuh sekitar.

"Pesan saja apa pun yang kamu mau. Makanan, minuman. Jangan kemana-mana." Nada suaranya terdengar lembut, meski ketegasan tak bisa disembunyikan.

"Iya..." Helena menuruti dengan patuh. Ia duduk di depan bartender, jari-jarinya gugup menyibak rambut yang menutupi wajah.

Rivano melangkah menjauh, namun langkahnya tertahan. Ia berbalik lagi.

"Jangan minum alkohol." Nada tegas itu meluncur, tapi samar terdengar ada kekhawatiran yang ia coba tutupi.

Helena mendesah, separuh sebal separuh geli. "Iya, iya... kamu kan sudah bilang daritadi."

"Hmmm... ya sudah." Rivano mengangguk, tapi sorot matanya menahan ragu. Ia meliriknya sekali lagi, seolah ingin memastikan benar-benar aman.

"Iya, Rivano. Aku tahu. Aku tak akan mengganggumu," ucap Helena pelan, mencoba menenangkan.

Namun bukannya lega, Rivano malah kembali mengingatkan. "Jangan minum alkohol. Jangan macam-macam." Suaranya keras, nyaris seperti rengekan. Sikapnya kali ini begitu berbeda—rewel, protektif, tapi justru itu yang membuat Rivano diam-diam tersenyum.

Begitulah Rivano—di permukaan tampak dingin, acuh tak acuh, namun bila diselami lebih dalam, ada kepedulian yang tersembunyi. Untuk memahami hatinya lelaki itu Helena harus menyelam hingga ke dasar.

Tiga puluh menit sudah Helena hanya duduk sendirian, memandang ke arah Rivano dari kejauhan. Suasana club terasa asing; lampu-lampu berkedip seperti kilat tanpa henti, musik berdentum keras, asap rokok menusuk mata.

Tapi yang lebih menyakitkan bukanlah kebisingan itu—melainkan pemandangan suaminya sendiri, yang kini tertawa lepas bersama sepupunya, seolah tidak ada.

Gelas di tangan, senyum di wajah. Tapi tidak sekali pun Rivano menoleh ke arahnya.

"Sudah lama rasanya aku tak melihat kamu tersenyum begitu..." bisik Helena pelan, suaranya nyaris tenggelam ditelan musik.

"Sayangnya, senyum itu bukan untukku."

Ia merunduk. Dada sesak, Matanya pedih. Entah matanya pedih karena asap, atau karena sesuatu yang jauh lebih menyakitkan.

Tiba-tiba, suara nyaring menusuk telinganya.

"Rivano... aku merindukanmu!"

Seorang wanita berteriak dan berlari menghampiri Rivano dan langsung memeluknya erat, bahkan mengecup pipinya tanpa ragu.

Tatapan Rivano membeku. Dalam sekejap, hatinya tercabik antara cemburu dan sakit hati. Ia buru-buru memalingkan wajah, seolah tidak melihat apa pun.

"Jadi ini alasan aku tidak boleh duduk di sana... Jadi ini juga alasan semua orang tidak boleh tahu kita sudah menikah." tangan mengepal begitu kuat hingga kukunya melukai kulitnya sendiri.

Dia bilang tidak suka disentuh. Tapi ketika wanita lain melakukannya, dia diam saja... seolah menikmati.

Apa yang kulakukan di sini? Duduk diam, pura-pura buta, sementara suamu direnggut orang lain. Rasanya seperti menonton perselingkuhan... dan aku hanya bisa menahan air mata yang ingin pecah. batinnya mendirih.

Dan terlihat Rivano tidak menghindar. Bahkan sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.

"Kamu makin cantik, Jen," ucapnya sambil melepaskan pelukan wanita itu. Jennie—sahabat lamanya semasa kuliah.

"Percuma cantik kalau kamu tak pernah melihatku," rajuk Jennie manja.

Helena tidak mendengar jelas percakapan mereka, tapi ia tidak butuh telinga. Gestur tubuh Rivano sudah lebih dari cukup untuk menusuk hatinya.

Tangannya terangkat, buru-buru mengusap air mata yang lolos. Ia menunduk, memalingkan wajah, lalu berdiri membelakangi mereka.

Apa yang kau pikirkan, Helena? Dia tidak berselingkuh... dia bahkan tidak pernah benar-benar menganggapmu. Akan konyol kalau kau berjalan ke sana hanya untuk marah. Helena seakan berbicara sendiri dengan dirinya sendiri 

Namun saat ia berusaha menenangkan diri, tanpa sadar seseorang sejak tadi diam-diam memperhatikannya.

Helena memutuskan pergi namun seorang pria tinggi tiba-tiba berdiri menghadang, langkah Helena terhenti. Kemejanya terbuka dua kancing, memperlihatkan sedikit dadanya yang bidang. Wajahnya rupawan dengan garis rahang tegas, tapi bayangan gelap di matanya membuatnya terlihat berbahaya.

Aroma alkohol tercium jelas dari napasnya, kontras dengan senyum miring yang terbit di bibirnya—sebuah senyum yang lebih mirip godaan daripada keramahan.

Tatapannya tajam, seakan menelanjangi Helena hanya dengan pandangan.

"Hey..." ucap pria itu dalam bahasa Inggris. Suaranya berat, serak karena alkohol, tapi ada sesuatu yang dalam—nyaris memikat. "Where are you going, sweetheart?"

Helena spontan mundur selangkah, berusaha menjaga jarak. "Excuse me," ucapnya, bahasa inggris yang terdengar payah..

Pria itu menahan lengannya. Alisnya terangkat, matanya menyipit penuh minat.

senyumnya melebar nakal. "You're Indonesia?"

Nada bicaranya berubah cepat. Ia berganti ke bahasa Indonesia, fasih dan luwes, membuat Helena terkejut.

"Aku juga," bisiknya. "Tapi aku tidak pernah tahu... ada wanita Indonesia secantik kamu."

Jarinya terulur, menyentuh helaian rambut Helena. Tatapan mereka bertemu sesaat.

Helena buru-buru menyela, "Maaf, aku mau keluar—" ia mencoba melewati.

Tapi pria itu kembali menghalangi langkahnya. Tubuhnya mendekat, terlalu dekat. Aroma alkohol bercampur parfum maskulin menyesakkan udara, membuat Helena makin tertekan.

"Aku suka mata kamu," ucapnya, tiba-tiba menarik pinggang Helena, mendekatkannya ke tubuhnya. Wajahnya semakin maju, jarak mereka terhapus.

Napas panasnya terasa di kulit Helena.

Mata mereka bertemu.

"Jangan sentuh aku." Suara Helena bergetar, tapi tegas.

"Sebelumnya aku tak pernah mendengar ada wanita yang menolak untuk kusentuh. Kau mau ku bayar berapa untuk semalam?" Bisikannya makin dekat.

Lalu—ditarik paksa. Kasar. Tangannya menahan pinggang Helena. Bibir pria itu mencium paksa .

"Uuhhmm.." erang Helena berusaha melepaskan diri.

Helena membeku. Dadanya sesak. Napasnya terhenti.

Dan dari seberang ruangan—mata Rivano membelalak. Dadanya seperti disambar api. Rahangnya mengeras. Ia berdiri, siap melangkah.

Namun sekumpulan pengunjung lewat, menutupi pandangannya.

Jennie buru-buru menahan lengannya. "Ada apa?" tanyanya heran.

"Tidak ada apa-apa." Suaranya singkat. Napasnya tertahan, tangannya mengepal, urat di lengannya menegang. Tapi pandangannya tetap terpaku.

Yang ia lihat hanyalah Helena... berciuman dengan pria asing.

Darahnya mendidih. Hatinya terbakar. Tapi harga diri menahannya. Gengsi mengikat kakinya. Ia kembali duduk, ia membuang pandangannya dari Helena.

Sementara itu—

PLAK!

Tamparan Helena mendarat keras di wajah pria itu. Suara tajamnya mengiris udara, membuat beberapa pasang mata menoleh.

Pria asing itu terhuyung. Tangannya refleks menutup pipi yang memerah, matanya membelalak tak percaya. Seumur hidup, tak pernah ada perempuan yang berani menamparnya.

"Beraninya Kau?!" bentaknya, suaranya meninggi.

"Kau yang kurang aja! Jangan pernah menyentuhku," teriak Helena

Helena tak peduli. Pandangannya berkeliling, mencari Rivano. Harapan sempat berkilat di matanya... tapi sia-sia. Helena hanya berdiri, menatapnya dari kejauhan. Tidak melangkah. Tidak menolong.

Dia hanya melihat. Tapi tidak melakukan apa-apa.

Dadanya terasa sesak. Helena berbalik dan berlari keluar dari klub, meninggalkan dentuman musik, lampu yang berkelip, dan tatapan orang-orang.

"Hei! Tunggu...!" teriak pria mabuk itu, siap mengejar Helena. Namun sebuah tangan cepat menahan bahunya.

"Hei... sudahlah. Masih banyak wanita lain. Lagipula, dari tadi aku lihat... dia memang seperti perempuan baik-baik," ucap pria yang menahannya dengan nada tenang.

"Mana ada perempuan baik-baik di klub," dengus pria mabuk itu, mengusap pipinya yang memerah karna tamparan.

"Kau ini... napsuan sekali," timpal temannya, geleng-geleng kepala.

Pria mabuk itu menghentakkan kakinya, wajahnya merah padam.

"Sialan! Tidak pernah ada perempuan yang menolakku! Sialan wanita jalang. Sok jual mahal!" cerocosnya tanpa henti, suaranya meninggi hingga membuat beberapa orang menoleh.

Temannya justru tertawa keras, seolah menikmati amarah itu.

"Sudahlah, Bas. Itu kau lihat?" ujarnya sambil menunjuk ke meja. "Minuman yang ia pesan hanya orange juice. Kau mau apa dengan gadis yang meminum jus di club?"

Pria yang menahannya—Kevin, sahabat karib baskara—menyeringai sambil mengangkat gelas sisa minuman Helena.

"Lihatlah, bahkan ia hanya meminum jus jeruk. Dia bukan tipe yang bisa kau sentuh seenaknya, Bas."

Sepasang mata masih menatap tajam kearah mereka.

Udara malam langsung menyergapnya saat Helena berlari keluar dari Club itu. Terasa dingin dan basah oleh gerimis. Tumit sepatunya menghantam jalan basah, langkahnya terburu, napasnya tersengal.

Helena tak tahu arah. Hanya ingin menjauh.

Dada kirinya mulai sakit. Ia berhenti di trotoar, memegangi dada, berusaha mengatur napas. Tapi paru-parunya tak mau bekerja sama.

Ia melangkah menyeberang. Terlalu cepat. Terlalu panik.

Dari kejauhan, lampu mobil menyala terang, menembus hujan yang turun pelan-pelan. Helena berlari menyeberang jalan tanpa menoleh. Napasnya memburu.

Matanya sembab. Pandangannya kabur.

Klason mobil berbunyi keras.

Ban berdecit.

"AAHHH!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai Aku    15. Rivano berlari ke arah Helena

    Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters

  • Cintai Aku    14. Helena Ingin One Night Stand

    Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc

  • Cintai Aku    13. Kode Biru

    Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.

  • Cintai Aku    12 - Sisi Gelap Rivano Mahesa

    “Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men

  • Cintai Aku    11. Masa Lalu Rivano

    Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman

  • Cintai Aku    10. Jangan Pergi Helena

    Dibawah deras hujan Manhattan, Helena berlari tanpa menoleh. Kakinya berjalan cepat, terburu buru hingga sesekali ia tampak jatuh dan bangkit lagi. Pergi tak tentu arah, langkahnya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi. Malam itu, ia tinggalkan semua kemewahan yang ditawarkan suaminya. Penthouse megah, gaun-gaun mahal, perhiasan yang memenuhi lemarinya—semua terasa hampa. Ia tak pernah menginginkan itu. Ia pun bukan perempuan gila harta.Yang ia minta hanya satu: cintanya. Sedikit saja. Sedikit ruang untuk dirinya di hati Rivano. Sedikit kesempatan agar pernikahan mereka terasa nyata—bukan sekadar nama di selembar kertas pernikahan yang setiap malam ia takutkan akan berakhir dengan tanda tangan dingin di pengadilan.Helena marah bukan karena cintanya tak berbalas. Tapi… jika memang Rivano tak bisa membuka hati, kenapa harus merusak dirinya? Kenapa harus merenggut kehormatannya lalu seakan semua itu tak berarti appaun.Hujan menampar wajahnya. Ia menarik rapat coat panjang ke tubuhnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status