LOGINNew York, 18 April.
Dua minggu berlalu sejak pertengkaran malam itu. Rivano dan Helana tak lagi saling bicara. Hanya derit suara sepatu langkah Rivano, pengobat rindu yang selalu dinantikan Helena setiap malam.
Meski hanya menatap punggungnya.. Biarlah—
Bukan berarti Helena tak pernah mencoba bicara. Tapi setiap kali ia membuka mulut, Rivano seolah punya alasan untuk pergi. Pagi-pagi ia sudah menghilang, dan malam hari kembali di saat Helena hampir terlelap—seakan sengaja memilih waktu di mana percakapan tak mungkin terjadi.
Hari ini tanggal 18 April—ulang tahunnya. Tapi tak ada kue. Tak ada lilin. Tak ada yang mengingatnya. Hanya hujan ringan yang turun sejak sore, seakan ikut meninggalkan jejak di hari yang akan segera berakhir.
Namun ada yang tampak berbeda. Rivano hadir dirumah yang selama ini tampak kosong. Di hari liburnya pria itu di rumah. Tak seperti biasanya Ia duduk living room.
Di sofa panjang, Duduk santai dengan pakaian serba hitam. Kemeja hitam sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan leher jenjang dan garis rahang yang tegas. Lengan bajunya tergulung hingga siku, menampakkan pergelangan tangan dengan jam hitam klasik yang elegan. Celana panjang hitam.
Rivano selalu tampan. Lelaki itu semakin sulit di gapai.
"Hm... aku sudah rapi. Aku akan ke sana," ucap Rivano sambil mematikan panggilan telpon.
Suaranya terdengar lembut. Selama setahun menikah dengannya Helena belum pernah mendengar Rivano bicara dengan selembut itu dengannya.
Dari ambang pintu kamarnya, Helena berdiri, memperhatikannya dari jauh. Tak berani mendekat, tapi juga tak sanggup mundur. Rivano tahu ia di sana, tapi ia tak langsung menoleh.
"Sudah berapa lama kamu berdiri di situ?"
Tiba - tiba Rivano akhirnya melontarkan tanya.Helena menggenggam ujung baju tidurnya, jemarinya sedikit gemetar. Perasaan wanita itu tak menentu. Rasanya ragu tapi ia tak ingin mundur. Setidaknya untuk malam ini. Malam ia berulang tahun.
"Baru sebentar..." akhirnya Helena menjawab. "Ada yang ingin kukatakan,"
Rivano menatap. Ponselnya masih tergenggam erat, namun senyum samar yang tadi sempat muncul sudah lenyap, tersapu udara hening di antara mereka. Ia menatap Helena, seakan memberi ruang agar wanita itu berbicara. Tapi sorot matanya, tajam sekaligus gelisah, justru jatuh pada jemari Helena yang menggenggam baju tidurnya—gemetar, rapuh.
"Hari ini... ulang tahunku," ucap Helena pelan, hampir seperti berbisik. "Dan sebentar lagi hari itu akan berakhir." Tatapannya melirik jam di dinding.
Dua puluh menit menuju dini hari.
Bagi seorang wanita, ulang tahun seharusnya terasa istimewa. Tapi bagi Helena, ia tak menginginkan pesta atau hadiah mahal. Yang ia dambakan hanya satu: waktu bersama lelaki itu.
Rivano mendesah singkat, membuka layar ponselnya. Jemarinya lincah menyentuh layar. "Apa yang kau mau dariku? Akan kusuruh Bayu membelikannya untukmu."
Tatapannya kembali jatuh pada lelaki itu—sosok yang membuatnya jatuh cinta sejak pandangan pertama. Semua bermula saat genggaman tangan Rivano meraih jemarinya di hari paling kelam dalam hidupnya—acara pemakaman kedua orang tuanya.
"Ada aku... aku akan mendampingimu dan menjagamu," ucap Rivano waktu itu.
Kedua orang tua mereka bersahabat lama. Helena dan Rivano pernah dipertemukan semasa kecil, entah masih tersimpan dalam ingatan mereka atau sudah terlupakan. Yang jelas, kedua keluarga itu sempat bersepakat menikahkan anak-anak mereka suatu hari nanti.
Namun ketika kabar duka itu datang, keluarga mahesa hadir. Dan di tengah kehilangan yang begitu dalam, Helena mendapati setitik harapan.
Saat itu Helena menatap mata Rivano lekat-lekat. "Dia kah yang akan melindungiku setelah ayah dan ibu pergi?" batinnya waktu itu.
Dan ketika air matanya diusap untuk pertama kalinya oleh lelaki itu, hatinya pun tergetar.
Sesederhana itu cinta seorang Helena bermula.
Suasana hening beberapa detik. Rivano menarik napas panjang hingga membuyarkan lamunan Helena. Matanya masih tertuju pada layar ponsel.
"Aku hanya ingin bersamamu." Suaranya terdengar pelan.
"Kamu yakin? Aku akan datang ke club, bertemu Davin—sepupuku. Di sana tempat para lelaki. Kamu tidak akan senang di sana," tolak Rivano tegas.
"Dan itu disana—"
Helena memotong perkataan Rivano."Di manapun asal bersamamu aku senang,"
Rivano menekan pelipisnya seakan mempertimbangkan.
Ia melangkah maju satu langkah, menatap mata Rivano penuh harap. "Ku mohon... hanya malam ini saja."
Suara helena bergetar, begitu rapuh. "Aku... hanya sendiri di rumah ini. Setidaknya, hanya malam ini saja, aku tak merasa seperti hantu di rumah besar ini."
Rivano sontak menoleh. Tatapannya jatuh pada wajah Helena—wajah putus asa yang tak meneteskan air mata, tapi jelas-jelas sedang menangis di dalam hati. Rivano benci melihat ekspresi itu.
Ia tahu Helena terlalu cenggeng. Seorang wanita yang mudah tersentuh hatinya, bahkan sampai menangis hanya karena film menyedihkan di televisi. Betapa sering Rivano tiba-tiba mematikan TV saat melihat Helena terisak menonton drama Korea.
Ingatannya melayang ke suatu malam—saat Helena terisak hanya karena seekor anjing dalam drama zombie.
"Kenapa dimatikan?" protes Helena waktu itu.
"Jangan ditonton kalau cuma buatmu menangis. Lagi pula, itu hanya anjing yang mati," sahut Rivano datar sambil menggenggam remote."Tapi... anjingnya dimakan zombie," lirih Helena, matanya berkaca-kaca.
"Terserah kau." Rivano melempar remote sembarangan lalu masuk ke kamar, meninggalkan Helena sendirian.
Itulah Rivano. Sulit dimengerti—terasa seperti duri yang menusuk, tapi tetap indah di mata. Seperti mawar merah yang mempesona, tapi siapapun tahu jangan sembarangan menyentuhnya, karena pasti akan terluka, karna sang mawar memiliki banyak duri.
Kini, Rivano menatap wajah Helena yang begitu memelas, Ia menghela napas panjang. "Baiklah... tapi ada syarat," ucapnya lirih. Tatapannya tajam, meski ada keraguan yang samar.
Helena langsung mengangguk, matanya berbinar, seolah baru saja mendapat keajaiban. "Apa?" tanyanya penuh harap.
"Jangan macam-macam di sana. Jangan bertindak bodoh. Jangan merengek minta pulang. Dan jaga jarak denganku. Kamu paham?" tatap Rivano dalam-dalam, menekankan setiap kata.
"Aku paham..." jawab Helena cepat, nyaris tanpa pikir panjang.
Rivano bangkit berdiri, mengambil kunci mobil. Tapi sebelum melangkah pergi, ia sempat menatapnya sebentar, tatapannya sulit terbaca.
"Pakai coat panjang. Nanti kamu kedingian disana," ucap Rivano singkat.
Lalu ia berjalan ke arah pintu tanpa menunggu jawaban.
Saat pintu tertutup, Helena tetap berdiri di tempat. Senyum mengembang di bibirnya, jantungnya berdentum tak beraturan.
"Astaga... kenapa aku malah melamun?" gumamnya, buru-buru menepuk pipinya sendiri. Sebuah senyum kecil lolos tanpa sadar, matanya berbinar—terkesima oleh perhatian sederhana itu.
Ia segera berlari menuju kamar, jemarinya tergesa menyingkirkan baju yang ia kenakan, bergegas berganti pakaian.
Di depan cermin, Helena menatap dirinya. Bibirnya melengkung tipis. Entah kenapa, kalimat dingin Rivano soal coat terasa seperti hadiah paling berharga yang bisa ia genggam malam ini.
"Bisakah aku membuatmu mencintaiku?" bisiknya lirih pada pantulan dirinya sendiri.
Ia merias wajahnya dengan make up natural, mempertegas paras cantiknya yang lembut. Rambut hitam panjangnya terurai, memberi kesan anggun dan keibuan.
Begitu keluar dari lobi, Rivano yang bersandar di sisi mobil langsung menegakkan badan. Matanya tanpa sadar mengikuti setiap langkah Helena—dress hitam yang jatuh anggun di atas lutut, rambut panjang terurai yang bergerak lembut tertiup angin.
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Saat Helena mendekat, ia buru-buru melirik pakaiannya sendiri."Apa ada yang salah dengan pakaianku?" tanyanya pelan, seakan cemas.
"Sudahlah. Apa pun yang kau pakai tetap tidak bagus," jawab Rivano ketus. Namun nadanya bertolak belakang dengan wajahnya yang justru tampak gugup.
Cepat-cepat ia masuk ke kursi kemudi, pura-pura sibuk menyalakan mesin. Saat helena hendak membuka pintu kursi penumpang di sebelahnya, suara Rivano terdengar cepat dan tegas:"Belakang."
Helena mengerutkan dahi. "Kenapa?"
"Duduk saja di belakang," perintah Rivano. Suaranya datar, tapi genggamannya pada setir terlihat kaku. Ia tak mau mengakui betapa gugupnya duduk terlalu dekat dengan wanita itu.
Dengan helaan napas kecil, helena menutup pintu, lalu beralih ke sisi belakang. Ia masuk dan duduk, meski bibirnya merengut.
"Aneh sekali. Kalau seperti ini, aku malah terlihat seperti bepergian dengan supir," gumamnya setengah protes.
Rivano mendengus "Mana ada supir setampan aku! Kalo keberatan, turun saja. Lagi pula, kamu sendiri yang memaksa ikut"
Helena menekuk bibir "Iya... iya aku akan duduk di belakang,"
Ia tak lagi mendebat. Ia merapikan ujung dress-nya lalu bersandar. Jemarinya sibuk menyibak rambut dari wajahnya, Pipinya putih merona tampak jelas, membuat Rivano tak lepas memandang.
Mobil mulai melaju. Rivano menatap jalan dengan fokus yang dipaksakan, tapi beberapa kali matanya naik ke kaca spion tengah. Sekilas cukup, hanya untuk memastikan Helena yang sedang menatap keluar jendela.
Sesekali tatapan mereka nyaris bertemu di spion. Helena melirik sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis—bukan senyum penuh, tapi cukup untuk membuat Rivano buru-buru mengalihkan pandangan. Dada yang berdegup tak karuan, ia sembunyikan di balik ekspresi datarnya.
Ada apa dengan dia? Kenapa menatapku terus? Apa aku terlihat konyol? batin Helena, salah sangka bahwa lelaki itu mungkin tak senang dengan kehadirannya.
Rivano melangkah masuk ke dalam club, dentuman musik langsung menghantam telinga. Bass bergetar hingga terasa menekan dada, cahaya lampu berkelap-kelip menari liar di setiap sudut ruangan. Helena mengikuti di belakangnya, matanya sedikit menyipit menahan silau dan bising.
Tiba-tiba, Rivano menyelipkan jemarinya ke helaian rambut panjang Helena yang terurai, membuatnya sontak terkejut. Lelaki itu mencondongkan tubuh, wajahnya mendekat begitu dekat hingga suara bariton rendahnya nyaris tenggelam dalam gemuruh musik.
"Kamu di sini. Aku ke sana." Bibirnya hampir menyentuh telinga Helena, matanya sekilas melirik ke arah seorang pria yang duduk santai di sofa pojok.
Napas Helena tercekat. Jarak mereka terlalu dekat—desir napas Rivano menyapu kulitnya, aroma maskulin tubuhnya memenuhi inderanya.
"Akan jadi bahan ejekan besar dari Davin kalau aku datang membawamu," ucap Rivano, bisikannya hangat menyusup di telinganya.
Helena hanya bisa menatap mata suaminya dari dekat, lalu mengangguk pelan sebagai tanda setuju.
Rivano sedikit menoleh, suaranya rendah tapi tegas terdengar jelas di tengah riuh sekitar.
"Pesan saja apa pun yang kamu mau. Makanan, minuman. Jangan kemana-mana." Nada suaranya terdengar lembut, meski ketegasan tak bisa disembunyikan."Iya..." Helena menuruti dengan patuh. Ia duduk di depan bartender, jari-jarinya gugup menyibak rambut yang menutupi wajah.
Rivano melangkah menjauh, namun langkahnya tertahan. Ia berbalik lagi.
"Jangan minum alkohol." Nada tegas itu meluncur, tapi samar terdengar ada kekhawatiran yang ia coba tutupi.Helena mendesah, separuh sebal separuh geli. "Iya, iya... kamu kan sudah bilang daritadi."
"Hmmm... ya sudah." Rivano mengangguk, tapi sorot matanya menahan ragu. Ia meliriknya sekali lagi, seolah ingin memastikan benar-benar aman.
"Iya, Rivano. Aku tahu. Aku tak akan mengganggumu," ucap Helena pelan, mencoba menenangkan.
Namun bukannya lega, Rivano malah kembali mengingatkan. "Jangan minum alkohol. Jangan macam-macam." Suaranya keras, nyaris seperti rengekan. Sikapnya kali ini begitu berbeda—rewel, protektif, tapi justru itu yang membuat Rivano diam-diam tersenyum.
Begitulah Rivano—di permukaan tampak dingin, acuh tak acuh, namun bila diselami lebih dalam, ada kepedulian yang tersembunyi. Untuk memahami hatinya lelaki itu Helena harus menyelam hingga ke dasar.
Tiga puluh menit sudah Helena hanya duduk sendirian, memandang ke arah Rivano dari kejauhan. Suasana club terasa asing; lampu-lampu berkedip seperti kilat tanpa henti, musik berdentum keras, asap rokok menusuk mata.
Tapi yang lebih menyakitkan bukanlah kebisingan itu—melainkan pemandangan suaminya sendiri, yang kini tertawa lepas bersama sepupunya, seolah tidak ada.
Gelas di tangan, senyum di wajah. Tapi tidak sekali pun Rivano menoleh ke arahnya.
"Sudah lama rasanya aku tak melihat kamu tersenyum begitu..." bisik Helena pelan, suaranya nyaris tenggelam ditelan musik.
"Sayangnya, senyum itu bukan untukku."
Ia merunduk. Dada sesak, Matanya pedih. Entah matanya pedih karena asap, atau karena sesuatu yang jauh lebih menyakitkan.Tiba-tiba, suara nyaring menusuk telinganya.
"Rivano... aku merindukanmu!"
Seorang wanita berteriak dan berlari menghampiri Rivano dan langsung memeluknya erat, bahkan mengecup pipinya tanpa ragu.Tatapan Rivano membeku. Dalam sekejap, hatinya tercabik antara cemburu dan sakit hati. Ia buru-buru memalingkan wajah, seolah tidak melihat apa pun.
"Jadi ini alasan aku tidak boleh duduk di sana... Jadi ini juga alasan semua orang tidak boleh tahu kita sudah menikah." tangan mengepal begitu kuat hingga kukunya melukai kulitnya sendiri.
Dia bilang tidak suka disentuh. Tapi ketika wanita lain melakukannya, dia diam saja... seolah menikmati.
Apa yang kulakukan di sini? Duduk diam, pura-pura buta, sementara suamu direnggut orang lain. Rasanya seperti menonton perselingkuhan... dan aku hanya bisa menahan air mata yang ingin pecah. batinnya mendirih.
Dan terlihat Rivano tidak menghindar. Bahkan sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.
"Kamu makin cantik, Jen," ucapnya sambil melepaskan pelukan wanita itu. Jennie—sahabat lamanya semasa kuliah.
"Percuma cantik kalau kamu tak pernah melihatku," rajuk Jennie manja.
Helena tidak mendengar jelas percakapan mereka, tapi ia tidak butuh telinga. Gestur tubuh Rivano sudah lebih dari cukup untuk menusuk hatinya.
Tangannya terangkat, buru-buru mengusap air mata yang lolos. Ia menunduk, memalingkan wajah, lalu berdiri membelakangi mereka.
Apa yang kau pikirkan, Helena? Dia tidak berselingkuh... dia bahkan tidak pernah benar-benar menganggapmu. Akan konyol kalau kau berjalan ke sana hanya untuk marah. Helena seakan berbicara sendiri dengan dirinya sendiri
Namun saat ia berusaha menenangkan diri, tanpa sadar seseorang sejak tadi diam-diam memperhatikannya.
Helena memutuskan pergi namun seorang pria tinggi tiba-tiba berdiri menghadang, langkah Helena terhenti. Kemejanya terbuka dua kancing, memperlihatkan sedikit dadanya yang bidang. Wajahnya rupawan dengan garis rahang tegas, tapi bayangan gelap di matanya membuatnya terlihat berbahaya.
Aroma alkohol tercium jelas dari napasnya, kontras dengan senyum miring yang terbit di bibirnya—sebuah senyum yang lebih mirip godaan daripada keramahan.
Tatapannya tajam, seakan menelanjangi Helena hanya dengan pandangan.
"Hey..." ucap pria itu dalam bahasa Inggris. Suaranya berat, serak karena alkohol, tapi ada sesuatu yang dalam—nyaris memikat. "Where are you going, sweetheart?"
Helena spontan mundur selangkah, berusaha menjaga jarak. "Excuse me," ucapnya, bahasa inggris yang terdengar payah..
Pria itu menahan lengannya. Alisnya terangkat, matanya menyipit penuh minat.
senyumnya melebar nakal. "You're Indonesia?"
Nada bicaranya berubah cepat. Ia berganti ke bahasa Indonesia, fasih dan luwes, membuat Helena terkejut.
"Aku juga," bisiknya. "Tapi aku tidak pernah tahu... ada wanita Indonesia secantik kamu."
Jarinya terulur, menyentuh helaian rambut Helena. Tatapan mereka bertemu sesaat.
Helena buru-buru menyela, "Maaf, aku mau keluar—" ia mencoba melewati.
Tapi pria itu kembali menghalangi langkahnya. Tubuhnya mendekat, terlalu dekat. Aroma alkohol bercampur parfum maskulin menyesakkan udara, membuat Helena makin tertekan.
"Aku suka mata kamu," ucapnya, tiba-tiba menarik pinggang Helena, mendekatkannya ke tubuhnya. Wajahnya semakin maju, jarak mereka terhapus.
Napas panasnya terasa di kulit Helena.
Mata mereka bertemu."Jangan sentuh aku." Suara Helena bergetar, tapi tegas.
"Sebelumnya aku tak pernah mendengar ada wanita yang menolak untuk kusentuh. Kau mau ku bayar berapa untuk semalam?" Bisikannya makin dekat.Lalu—ditarik paksa. Kasar. Tangannya menahan pinggang Helena. Bibir pria itu mencium paksa .
"Uuhhmm.." erang Helena berusaha melepaskan diri.
Helena membeku. Dadanya sesak. Napasnya terhenti.
Dan dari seberang ruangan—mata Rivano membelalak. Dadanya seperti disambar api. Rahangnya mengeras. Ia berdiri, siap melangkah.
Namun sekumpulan pengunjung lewat, menutupi pandangannya.Jennie buru-buru menahan lengannya. "Ada apa?" tanyanya heran.
"Tidak ada apa-apa." Suaranya singkat. Napasnya tertahan, tangannya mengepal, urat di lengannya menegang. Tapi pandangannya tetap terpaku.Yang ia lihat hanyalah Helena... berciuman dengan pria asing.
Darahnya mendidih. Hatinya terbakar. Tapi harga diri menahannya. Gengsi mengikat kakinya. Ia kembali duduk, ia membuang pandangannya dari Helena.
Sementara itu—
PLAK!
Tamparan Helena mendarat keras di wajah pria itu. Suara tajamnya mengiris udara, membuat beberapa pasang mata menoleh.
Pria asing itu terhuyung. Tangannya refleks menutup pipi yang memerah, matanya membelalak tak percaya. Seumur hidup, tak pernah ada perempuan yang berani menamparnya.
"Beraninya Kau?!" bentaknya, suaranya meninggi.
"Kau yang kurang aja! Jangan pernah menyentuhku," teriak Helena
Helena tak peduli. Pandangannya berkeliling, mencari Rivano. Harapan sempat berkilat di matanya... tapi sia-sia. Helena hanya berdiri, menatapnya dari kejauhan. Tidak melangkah. Tidak menolong.
Dia hanya melihat. Tapi tidak melakukan apa-apa.
Dadanya terasa sesak. Helena berbalik dan berlari keluar dari klub, meninggalkan dentuman musik, lampu yang berkelip, dan tatapan orang-orang."Hei! Tunggu...!" teriak pria mabuk itu, siap mengejar Helena. Namun sebuah tangan cepat menahan bahunya.
"Hei... sudahlah. Masih banyak wanita lain. Lagipula, dari tadi aku lihat... dia memang seperti perempuan baik-baik," ucap pria yang menahannya dengan nada tenang.
"Mana ada perempuan baik-baik di klub," dengus pria mabuk itu, mengusap pipinya yang memerah karna tamparan.
"Kau ini... napsuan sekali," timpal temannya, geleng-geleng kepala.
Pria mabuk itu menghentakkan kakinya, wajahnya merah padam.
"Sialan! Tidak pernah ada perempuan yang menolakku! Sialan wanita jalang. Sok jual mahal!" cerocosnya tanpa henti, suaranya meninggi hingga membuat beberapa orang menoleh.
Temannya justru tertawa keras, seolah menikmati amarah itu.
"Sudahlah, Bas. Itu kau lihat?" ujarnya sambil menunjuk ke meja. "Minuman yang ia pesan hanya orange juice. Kau mau apa dengan gadis yang meminum jus di club?"
Pria yang menahannya—Kevin, sahabat karib baskara—menyeringai sambil mengangkat gelas sisa minuman Helena.
"Lihatlah, bahkan ia hanya meminum jus jeruk. Dia bukan tipe yang bisa kau sentuh seenaknya, Bas."
Sepasang mata masih menatap tajam kearah mereka.
Udara malam langsung menyergapnya saat Helena berlari keluar dari Club itu. Terasa dingin dan basah oleh gerimis. Tumit sepatunya menghantam jalan basah, langkahnya terburu, napasnya tersengal.
Helena tak tahu arah. Hanya ingin menjauh.Dada kirinya mulai sakit. Ia berhenti di trotoar, memegangi dada, berusaha mengatur napas. Tapi paru-parunya tak mau bekerja sama.
Ia melangkah menyeberang. Terlalu cepat. Terlalu panik.
Dari kejauhan, lampu mobil menyala terang, menembus hujan yang turun pelan-pelan. Helena berlari menyeberang jalan tanpa menoleh. Napasnya memburu.
Matanya sembab. Pandangannya kabur.
Klason mobil berbunyi keras.
Ban berdecit.
"AAHHH!"Sesampainya Helena kembali di Indonesia, ia menatap hamparan langit negeri itu yang tampak sesendu dulu. Udaranya masih sama dengan segala hiruk pikuknya.“Apa sebaiknya kita pulang dulu dan beristirahat? Aku khawatir dengan kandunganmu. Sebelas jam perjalanan pasti membuatmu lelah, juga bayi di dalam perutmu,” ucap Adrian lembut, menatapnya penuh perhatian.“Aku ingin menemuinya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja,” jawab Helena, suaranya lirih namun tegas.“Baiklah, kalau itu keinginanmu,” ujar Adrian seraya membuka pintu mobil.Mereka sudah dijemput oleh sopir pribadi Adrian di bandara. Namun, Adrian meminta kunci mobil itu.
Sudah empat bulan sejak kepergian Helena. Empat bulan panjang yang menghapus warna dari dunia Rivano. Ia kembali ke Indonesia dengan harapan yang nyaris gila—bahwa mungkin, hanya mungkin, bayangan Helena masih berkelana di udara Jakarta yang dingin.Namun kenyataan jauh lebih kejam dari itu. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—patah, kosong, dan hancur perlahan.Setiap malam, Rivano menenggelamkan diri dalam alkohol. Botol-botol menumpuk di lantai seperti saksi bisu kehancurannya.
Sekejap, lampu kamar menyala terang. Helena membeku di ambang pintu. “Kalian…” ucapnya dengan suara gemetar, melihat Rivano berada di bawah selimut—seoraang wanita di dalam pelukannya.Wanita itu terlonjak, panik. “Maaf… bagaimana kamu bisa di sini?” Ia buru-buru meraih pakaiannya. Rivano, masih mabuk, menyipit karena silau. “Sayang… ada apa? Kenapa dinyalakan lampunya? Terang sekali,” gerutunya sambil mengusap mata, belum sadar siapa yang berdiri di sana.“Jadi… ini caramu membalasku?” suara Helena pecah. “Setidaknya… tunggu aku pergi dulu.”
Baskara kembali menjejakkan kaki di Jepang setelah beberapa minggu menghilang. Ia kembali menginap di lantai yang sama dengan Helena. Dengan santai, ia mengirimkan pesan singkat untuk seseorang.Pesan di kirim : Aku sudah mentransfer sejumlah uang kepadamu. Lakukan malam inipesan di terima : Iya, akan kulakukan Sore itu, ia belum memberitahukan kedatangannya kepada Helena. Baskara memilih untuk merahasiakannya. Sebaliknya, ia menghubungi Rivano.“Aku ingin bertemu denganmu malam ini, di parkiran hotelmu,” tulis Baskara. “Aku tidak ada urusan denganmu!!” balas Rivano singkat. “Ini akan menjadi urusanmu. Karena aku sudah melamar Helena. Sebagai laki-laki, aku perlu bertemu denganmu sebelum aku dan dia menikah. Tapi jika kau merasa sudah tak mengurusnya, aku akan membawanya pergi sekarang.” Baskara mengirim pesan “Bangsat! Aku akan datang membunuhmu!” balas Rivano “Jam delapan malam. Aku tunggu di sana,” balas Baskara tenang.Di sisi lain, Helena tengah mengemasi barang-barangnya d
Sudah dua minggu ini Rivano menjadi lebih pendiam. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luar, atau mengurung diri di ruang kerjanya. Kadang, perempuan itu menemukannya tertidur di depan meja kerja — kepala bersandar di tumpukan kertas, wajah lelah tertutup bayang cahaya lampu meja.“Sayang, kenapa tidur di sini? Kenapa tidakk di kamar aja?” tanyanya pelan, suara bergetar di ujung nada.Rivano tersentak, terbangun. Ia mengusap wajahnya perlahan, lalu menatap layar laptop yang baru saja menyala.“Hmm… aku masih ada pekerjaan. Kamu tidurlah dulu,” jawabnya datar tanpa menatap.Reaksi dingin itu membuatnya makin yakin — Rivano sedang menghindarinya.“Kamu tidak sedang menghindariku, kan?” tanyanya pelan, mencoba tersenyum.Namun Rivano tetap diam. Hanya suara jari-jarinya di keyboard yang terdengar.“Riv…” panggilnya lagi, mencoba menyentuh tangan pria itu.“Aku lagi kerja,” balas Rivano tanpa menoleh.“Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu,” desaknya. Tangannya kini meraih wajah Rivano,
Pagi itu, ia terbangun karena rasa mual yang menusuk ulu hatinya. Dada terasa sesak, tubuhnya lemas seakan seluruh tenaga tersedot habis. Dengan mata yang masih berat, ia mencoba bangkit dari ranjang—namun gerakannya tertahan oleh sesuatu yang melingkar hangat di pinggangnya.Tangan Rivano.Baru ia sadar, semalaman pria itu memeluknya erat, mungkin untuk memastikan tubuhnya tetap hangat. Apa tangannya nggak mati rasa, ya? batinnya, menatap tangan Rivano yang terhimpit tubuhnya.Perlahan, ia berusaha melepaskan pelukan itu. Namun baru saja tangannya bergerak, Rivano langsung tersadar.“Kenapa, sayang? Masih demam?” suaranya lembut, sedikit serak. Ia segera menyentuh kening pasangannya dengan telapak tangan hangat.“Aku mual…” ucapnya cepat, lalu berlari ke arah kamar mandi.Begitu sampai di wastafel, tubuhnya membungkuk, memuntahkan cairan bening. Tak ada makanan yang keluar—memang sejak kemarin nafsu makannya berkurang.“Sayang, kamu kayaknya makin parah,” ujar Rivano panik. Ia mengham







