Beranda / Rumah Tangga / Cintai Aku / 5. Helena Miliki Teman Baru

Share

5. Helena Miliki Teman Baru

Penulis: biancaveana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 12:36:18

Ban berdecit.

"AAHHH!" pekik Helena melihat sebuah mobil ke arahnya.

Helena refleks memejamkan mata, tubuhnya menegang. Kakinya terpeleset, membuatnya jatuh terduduk di tengah jalan. Napasnya terputus, dada naik turun cepat. Ia hanya bisa pasrah.

Namun, mobil itu berhenti tepat di depannya—nyaris menyentuh lututnya. Air dari genangan memercik tinggi, menyembur ke segala arah.

Pintu kemudi terbuka dengan cepat.

Seorang pria melompat keluar, wajahnya panik meski berusaha tetap tenang. Rambutnya dan pakaiannya basah terguyur hujan.

Helena hanya mampu menoleh pelan. Tubuhnya gemetar hebat, wajahnya basah bercampur hujan dan air mata.

Pria itu berlutut di hadapannya, tangannya terulur hati-hati menyentuh bahunya.

"Kamu bisa berdiri? Tadi kamu hampir—" ucapnya terhenti, napasnya mendadak tertahan. Tatapannya melekat pada wajah wanita itu.

Wajah penuh takut dan harap. Harap agar kali ini dunia tak lagi menjahatinya. Cukup! Bisakah semesta sedikit saja berbaik hati? Mungkin itu yang terlintas di benak Helena.

Helena tidak menjawab. Napasnya masih tersengal, kakinya tak sanggup menopang tubuh sendiri.

Pria itu refleks menyentuh tubuh wanita itu untuk memastikan wanita itu baik - baik saja.

"Ada apa ? kamu sepertinya gemetar. Kamu syok... tarik napas dalam-dalam. Apa aku harus—" suaranya terputus, pandangannya menaut pada wajah pucat Helena.

Mata mereka bertemu. Sesaat, dunia seperti lenyap—hanya tatapan itu yang ada.

"Aku..." Helena berusaha bersuara, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, kepalanya terkulai. Gelap menelan seluruh pandangannya. Ia jatuh dalam dekapan pria itu.

Pria itu semakin panik bercampur rasa bersalah. Ia segera merengkuh tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya.

"Ah... apa yang kau perbuat, Adrian..." gumamnya lirih, matanya memejam sesaat, menahan gejolak dalam dadanya. Tangannya gemetar saat mengusap wajah Helena yang dingin, seolah takut kehilangan sosok yang bahkan baru saja nyaris ia celakai.

Tanpa pikir panjang, ia mengangkat Helena ke dalam mobil. Pintu tertutup rapat, mobil melaju membawanya pergi—ke tempat yang hangat dan aman.

Sesekali, tatapannya jatuh pada sosok di sampingnya. Rambut basah Helena menutupi setengah wajahnya.

Pria itu terus memandanginya, seolah bertanya siapa wanita ini?

***

Cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, menghangatkan udara ruangan yang bergaya minimalis namun elegan. Ranjang besar dengan sprei abu-abu lembut terasa asing bagi Helena saat matanya perlahan terbuka. Ia mengerjap pelan, mencoba memahami di mana dirinya berada.

Detik berikutnya, tubuhnya menegang.

Ia baru menyadari—ia sedang mengenakan kemeja pria yang terlalu besar. Dan hanya celana dalamnya masih melekat, tapi seluruh tubuhnya tertutup oleh kain asing yang wangi maskulin.

"Apa yang terjadi...?" gumamnya panik, buru-buru menarik selimut dan menutupi tubuhnya rapat-rapat, seolah bisa melindungi dari segala kemungkinan.

Pintu kamar terbuka.

Seorang pria masuk sambil membawa secangkir teh hangat. Wajahnya bersih dengan garis rahang yang tegas namun lembut dipandang. Sepasang kacamata tipis bertengger manis di hidungnya,

"Ternyata sudah bangun?" sapanya ringan, suaranya terdengar datar namun terasa ramah.

Lelaki itu tidak tampak jahat di mata Helena—wajahnya bahkan terkesan tenang. Namun, keadaan membuatnya harus tetap waspada.

"Jangan mendekat!" jerit Helena histeris saat langkah pria itu semakin mendekat.

Ia menempel ke kepala ranjang, memeluk selimut erat-erat hingga menutup dadanya.

Adrian hanya mengangkat alis, lalu terkekeh pelan menatap wanita itu.

"Tenang. Kamu aman. Semalam kamu pingsan di jalan. Maaf... itu salahku karena menyetir sambil menerima telepon." suaranya terdengar tulus. Ia meletakkan secangkir teh hangat di meja samping ranjang. "Aku benar-benar minta maaf."

Helena menatapnya penuh curiga, jari-jarinya meremas kain selimut.

Adrian seolah bisa membaca pikirannya. "Ah... soal pakaianmu." Ia menghela napas sebentar. "Malam itu aku memanggil dokter. Dia yang mengganti bajumu. Tenang saja, dokternya perempuan."

Helena tetap menatapnya dengan sorot mata penuh keraguan.

Adrian mengangkat bahu santai. "Kalau tidak percaya, lihat aja rekaman CCTV. Yang ganti bajumu jelas-jelas perempuan."

Mendengar itu Helena sempat mengangguk pelan, berusaha menerima penjelasan itu... namun tiba-tiba matanya membulat.

"CCTV?!" serunya kaget.

Adrian tertawa lepas melihat ekspresi itu.

Ya Tuhan... gadis ini." Adrian menggeleng pelan, tapi senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

"Kamu lucu sekali, ya... kalau panik seperti itu?" suaranya merendah, terdengar seperti godaan yang dibungkus kehangatan.

Mata Helena langsung membulat, pipinya makin panas. Ia mendengus, lalu menunduk cepat-cepat, seolah selimut yang dipeluknya bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Ayo, diminum tehnya. Tenang saja, aku tidak menaruh apa-apa di minumanmu," ucap Adrian, kini duduk di kursi dekat ranjang.

"Jadi... berapa usiamu?"sambungnya.

"Hah?" Helena mengerjap bingung.

Adrian terkekeh, lalu dengan ringan mencolek ujung hidungnya. "Usiamu. Kayaknya kamu seumuran adikku... tapi bedanya, kamu jauh lebih cantik."

Kepalanya sedikit dimiringkan, menatap wajah Helena seolah sedang mempelajari setiap detailnya.

Ada sesuatu yang kontras pada wajah Helena—kecantikan yang anggun sekaligus misterius, membuat siapa pun yang menatap ingin merangkulnya, melindunginya.

Pipi Helena semakin memerah. Ia buru-buru menoleh ke arah lain.

"Hari ini... aku tepat dua puluh lima tahun," ucapnya lirih, hampir berbisik.

Adrian sontak terdiam. Tatapannya melembut.

"Berarti... kamu ulang tahun hari ini?"

Helena mengangguk pelan. Namun, ingatannya segera menyeretnya kembali ke semalam—tentang Rivano begitu membekas.

Iya tentang Lelaki itu, lelaki yang secara hukum berstatus suaminya, yang ia cintai dengan begitu dalam... tapi tak pernah benar-benar menganggapnya ada. Helena terlalu ingin dicintai, terlalu ingin dianggap berharga, namun ia tak mendapatkan apa - apa.

Baginya, mungkin dinikahi hanya sebagai hiasan masih lebih baik daripada pernikahan yang sekarang ia jalani—sebuah ikatan yang terasa seperti kutukan. Sebuah kesialan yang ditanggung Rivano hanya karena janji konyol yang terucap di masa lalu.

Ia merasa menjadi beban.

Dan kata-kata itulah yang melekat di kepala Helena. Kata-kata Rivano yang lelaki itu ucapan tanpa berperasaan

"Wah, selamat ulang tahun... gadis yang semalam membuatku hampir kena serangan jantung,"ucap Adrian memecah lamunan Helena.

Adrian masih duduk di kursi dekat ranjang, menatap gadis di hadapannya dengan sorot mata tenang dan penuh rasa ingin tahu.

Helena membalas tatapan pria itu, matanya berkaca samar. Bukan karena ucapan itu saja, tapi karena caranya mengucapkannya. Tulus. Bukan basa-basi.

"Terima kasih...," balas Helena lirih.

Ia menghela napas pendek, lalu memberanikan diri membuka selimut sedikit, memperlihatkan wajah dan lehernya yang mulai santai.

"Jadi...benar tidak ada cctv ?"tanyanya kembali.

Dan Adrian semakin tertawa melihat kepolosannya.

"Ya tentu sajalah... Tidak ada cctv. aku bukan pria cabul. aku menghargai wanita seperti aku sangat menyayangi adik dan ibuku." terangnya kembali menatap wajah wanita itu yang nampak gusar

"Jadi....." Adrian kembali mendekatkan wajahnya ke arah Helena.

Terlalu dekat hingga membuat Helena merasa canggung.

"Jadi... apa?" Helena bertanya, menggigit bibir bawah sambil melirik sekilas lalu cepat-cepat menunduk.Adrian

"Namamu? Siapa namamu?"

"Oh Namaku...Helena," jawabnya akhirnya, pelan tapi jelas.

Adrian tersenyum, mengulurkan tangan ramah ke arahnya.

"Senang bertemu denganmu, Helena. Aku Adrian Manantha."

Helena memandangi tangannya sejenak, sebelum akhirnya menyambut uluran itu dengan hati-hati. Hangat. Kokoh. Seperti kepribadiannya.

"Aku... 31 tahun," lanjut Adrian sambil menyandarkan punggung ke kursi, masih menatap Helena.

"Kamu 25 ya.. Seharusnya kamu memanggilku Mas, seperti adikku memanggilku di rumah."

Helena terdiam. Kata itu—'Mas'—menyentak sesuatu di dadanya.

"Mas..?" ulangnya pelan, hampir seperti bisikan. Ada ragu di suaranya, juga luka yang tak terucap. Itu sebutan yang selama ini sangat ingin ia ucapkan... untuk suaminya. Tapi tak pernah bisa.

Adrian memperhatikan perubahan ekspresinya. Tak bertanya, tak memaksa. Hanya menatap.

"Tapi kamu boleh panggil apa pun yang buat kamu nyaman," ucap Adrian, suaranya rendah dan tenang. "Tapi... 'Sayang' kurasa terdengar bagus juga..." katanya seakan serius namun menahan tawa.

Helena terkejut.Ia mengerjap pelan, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Pipi itu memerah, Pria ini terlalu bersahabat, terlalu ramah. Helena punya teman baru. Ia merasa pria ini bisa menjadi teman bicaranya. Bukan lagi berbicara dengan tembok.

"Ih... apa sih," gumam Helena gugup, nyaris seperti bisikan.

Adrian tersenyum lembut, matanya mengamati wajah Helena dengan tenang. "Nah, gitu dong. Senyum terus, makin cantik."

"Aku suka sorot matamu." pujinya dengan santai.

"Haah? Apa?" Alisnya terangkat,seolah tak yakin telinganya menangkap dengan benar.

Ia berdiri perlahan, mengambil nada bicara yang lebih ringan. Adrian mengalihkan pembicaraan "Aku sudah buatkan sarapan. Pakaianmu juga sudah kering." katanya sambil menantap ke arah pakaian yang diletakkan di sofa panjang di dekat kamar mandi. "Ganti dulu ya, habis itu kita makan bareng."

Helena masih terdiam, menatap pintu yang sudah tertutup rapat. Hatinya terasa aneh, seperti ada ruang kosong yang tiba-tiba terusik. Bukan karena teh hangat, bukan pula karena tatapan Adrian, melainkan karena bayangan sederhana... tentang betapa berharganya jika ia memiliki seseorang di sisinya.

Sebagai anak tunggal, Helena sering merasa sendiri. Ia membayangkan, andai ada saudara kandung—seseorang yang tumbuh bersama, berbagi cerita, bertengkar lalu berbaikan—hidupnya mungkin akan lebih hangat. Seseorang yang bisa ia jadikan tempat berlindung jika hatinya terluka.

PENTHOUSE – RUANG KERJA

Rekaman CCTV jalanan diputar di layar besar.

Bayu, pengawal pribadi Rivano, berdiri di samping, sementara Rivano duduk di kursinya—tegang, rahang mengeras, napas berat.

"Ini bagian luar klub, sekitar pukul 02.15. Kami ambil dari kamera lalu lintas kota."

Rekaman terlihat kabur, hujan deras mengguyur. Sosok Helena tampak berlari keluar dari gedung, kehujanan, tampak panik. Ia menyeberang jalan...

BRAK!

Lampu mobil menyala terang. Rem mendadak terdengar dari video. Gambar goyah. Hujan menutupi segalanya. Sorotan cahaya mobil membuat semua silau.

"Pause!"

Bayu menghentikan video. Rivano segera bangkit.

"Plat mobilnya?"

Bayu menggeleng.

"Gelap, Tuan. Lampu lalu lintas mati total, dan hujan deras. Kamera gagal tangkap detail."

"Close up wajah pria itu."

"Tidak tertangkap. Hujan terlalu deras, kaca mobil buram. Bahkan setelah pria itu keluar... wajahnya masih gelap, tertutup air hujan."

Video berlangsung. Terlihat bayangan pria berlari ke arah Helena yang terduduk lemas. Tanpa pikir panjang, pria itu mengangkat tubuh Helena dan membawanya masuk ke mobil. Mobil lalu melaju dan hilang di tikungan. Tak ada CCTV lanjutan.

"APA-APAAN INI?!"

Rivano memukul keras ke arah meja hingga bunyi dentumannya memecah ruangan.

"Tidak punya kaki dia?! Sampai harus dibopong segala?!" teriaknya, wajah memerah, matanya menyala penuh amarah saat melihat rekaman istrinya diangkat pria lain.

Bayu terdiam, tubuhnya menegang, lalu menunduk dalam-dalam.

"Maaf, Tuan. Saya... saya akan segera menemukan Nyonya."

Baru kali ini ia menyaksikan amarah Rivano sebesar ini—liar, tak terkendali.

Rivano membeku sejenak. Napasnya terengah, dadanya naik turun cepat. Tatapannya menancap tajam ke layar kosong yang baru saja memutar rekaman itu.

Lalu tiba-tiba—ledakan kedua menghantam.

"Dalam satu malam... dia dicium pria, lalu hilang dibawa pria lain... dan gak ada SATU PUN dari kalian tidak bisa menemukannya?!"

Suara Rivano menggema, penuh geram.

Dua kali ia menyaksikan amarah Rivano kembali terusik karna wanita ini. Rivano yang biasanya berusaha tenang kini meledak kembali.

Dari luar, Rivano selalu terlihat seperti gunung es—dingin, tenang, tak tersentuh. Tapi kenyataannya... ia lebih mirip gunung berapi tertidur. Diam dalam waktu lama, hanya menahan tekanan di dalam dirinya. Dan ketika batas itu dilampaui, ledakannya tak sekadar marah biasa. Ia meledak seperti kawah yang memuntahkan lava panas, membakar apa saja yang ada di sekitarnya, tak peduli siapa yang terkena.

Hatinya gusar, tiba - tiba ia menendang kursi di sampingnya, kursi itu terjungkal keras ke lantai. Bayu refleks bergeser, sementara para pengawal lain di hadapan hanya bisa menunduk, tak berani mengangkat wajah.

"Keluar kalian semua!! Dasar tak berguna!" teriak Rivano, suaranya bergema, mengguncang dinding ruangan.

Para pengawal saling pandang, lalu buru-buru berhamburan keluar. Pintu tertutup keras, menyisakan Rivano sendirian. Ruang kerja yang luas itu mendadak terasa sesak, dipenuhi hawa amarah yang mendidih.

Ia tak lagi bisa tenang. Dasi yang tadinya terikat rapi kini terlepas, bajunya kusut berantakan. Kedua tangannya berkali-kali mengusap wajah dengan kasar, seakan ingin menghapus sesuatu yang tak terlihat.

Satu tarikan napas, dua tarikan napas. Namun gusarnya semakin menjadi. Tangannya meraih rambutnya sendiri, menariknya kasar hingga helaian jatuh ke dahi. Wajahnya tampak liar, mata memerah penuh bara.

Di depannya, layar masih menyala—menyajikan sesuatu yang terus menusuknya, membuat dadanya sesak, membuat pikirannya semakin kalut.

Rivano berantakan.

Dan semakin ia menatap layar itu, semakin gusar hatinya terbakar.

"Helena.." geramnya.

"Awas saja saat kau pulang! habis sudah kesabaranku!"

Rivano menutup matanya, kepalan tangannya bergetar. Kata-kata itu terdengar bengis, namun di baliknya hanya ada satu rasa yang ia sembunyikan mati-matian—ketakutan.

Takut kehilangan wanita itu.

Namun egonya lebih kuat. Ia memilih menekan rasa itu dalam-dalam, membiarkannya terkubur di balik amarah yang membakar. Bukan Rivano namanya jika ia tidak meledak dulu baru berpikir.

PENTHOUSE Adrian

Di meja dapur yang minimalis tapi hangat, Mereka menghabiskan waktu bersama. Dua mangkuk es krim tersisa setengah. Helena menyuap sendok terakhir es krim mint-nya, lalu bersandar sambil memijat perut.

"Sepertinya aku sudah menghabiskan seluruh isi kulkasmu," kata Helena sambil tertawa kecil. "Itu tandanya aku harus pulang."

Adrian menoleh dari tempat cuci piring, menyeka tangannya dengan handuk.

"Yakin sudah mau pulang sekarang? Memang sudah membaik kondisimu?" tanyanya, lalu mendekat, meletakkan telapak tangannya di kening Helena.

Helena sempat kaget, tapi tangannya refleks menyentuh jemari Adrian.

"Aku baik-baik saja." suaranya pelan, terlalu jujur. Ia baru sadar tangannya masih menahan tangan pria itu. Cepat-cepat ia melepaskannya.

"Ah... maaf. Aku harus pulang." Ia segera beranjak dari duduknya.

"Baiklah. Pulang dan beristirahatlah. Pasti kakakmu di rumah khawatir."

Kakak... Helena tercekat. Ia sendiri yang memilih kata itu—bohong kecil untuk menutupi kenyataan. Apa lagi yang bisa ia sebut? Suami? Tidak mungkin. Rivano akan mengamuk bila dirinya menyebut status itu di hadapan orang lain.

"Jangan pernah menceritakan pada siapa pun kalau kau istriku!" Begitulah larangan Rivano dulu. Kata-kata itu terngiang lagi di kepala Helena, membuat dadanya terasa sesak.

"Aku antar kamu pulang. Aku tak biasa lari dari tanggung jawab. Aku bisa jelaskan tentang kejadian semalam."

"Jangan!" cegah Helena cepat, suaranya nyaris putus.

Tidak... tidak perlu. Itu hanya akan membuatnya mengamuk, batin Helena getir.

Aku nyasar sedikit saja, dia sudah marah-marah. Jadi buat apa menambah masalah?

Ia menggenggam jemarinya sendiri, menunduk.

Lagipula... aku yakin dari kemarin Rivano tidak peduli padaku. Dia pasti sibuk dengan kekasihnya itu.

Hatinya tercekat, tapi ia pura-pura kuat. Kalimat itu terus ia ulang-ulang di dalam kepala, sekadar menutupi luka yang jauh lebih dalam.

"Aku pulang sendiri saja... tapi,bisa tidak kamu bantu aku pesankan taksi?" pinta Helena lirih.

Tentu saja, ia sudah hafal alamat penthouse berkat bertanya pada Bayu. Lagi-lagi Bayu.

Ironis—dia lebih akrab dengan pengawal pribadi suaminya ketimbang suaminya sendiri.

"Taksi? Hmm, baiklah... apa boleh buat kalau itu maumu." Adrian menghela napas tipis, lalu meraih ponselnya. Jemarinya cepat mengetik.

"Di mana alamat rumahmu?" tanyanya sambil tetap menatap layar.

"Central Park Tower."

Jari Adrian terhenti. Ia menoleh, matanya membesar. "Central Park Tower? Tunggu... tunggu, kamu tinggal di Central Park Tower?"

"Iya... benar. Aku pasti tidak salah. Dia bisa ngamuk kalau sampai aku lupa," gumam Helena sambil menunduk.

Adrian mengerutkan kening, sulit percaya. "Kamu tahu, sekarang kita ada di mana?"

"Maksudmu?" Helena menatap sekeliling, bingung.

Adrian mengangkat dagunya, memberi isyarat. "Kamu berdiri di Central Park Tower."

Helena ternganga. Bola matanya bergerak cepat, menatap sekeliling. Ia melangkah mendekat ke jendela besar unit penthouse itu, matanya berusaha memastikan. Memang... pemandangannya sama seperti dari penthouse tempatnya tinggal.

Tapi ada yang berbeda—unit ini tak punya akses sky garden. Penthouse Rivano jauh lebih mewah...

Ini kebetulan yang sungguh nyata.

"Kamu di unit berapa?" sambung Adrian makin penasaran.

"Unit 220... lantai 73." Helena kembali melangkah mendekat ke arahnya.

Adrian agak sedikit kaget mendengar lantai yang wanita itu tempati seakan tak percaya.

"Saat ini kita di lantai 60. Aku akan mengantarmu ke lantai atas." Suara Adrian terdengar tenang, tapi matanya menyipit, penuh rasa ingin tahu.

Siapa sebenarnya wanita ini? batinnya.

Tinggal di lantai 73... itu bukan sembarang unit. Itu wilayah para orang besar, politisi, pebisnis kelas kakap.

Mereka berjalan berdampingan menuju lift. Udara terasa hangat, tapi ada ketegangan tipis ia takut pulang.

DI DALAM LIFT

Adrian menatap angka digital yang menyala di atas pintu.

"Aku masih tak menyangka kita tinggal di gedung yang sama, ya?" gumamnya sambil menyunggingkan senyum tipis.

Helena menoleh, matanya berbinar. "Hmm... aku juga sulit percaya."

Ia menarik napas pelan, lalu mengangguk kecil. "Tapi wajar juga sih... kita tidak akan saling bertemu karna aku tak pernah keluar unit."

Sekalinya keluar... ujung-ujungnya malah tersesat. Dan tentu saja, makian yang Ia terima dari Rivano.

Adrian tersenyum hangat, seolah ingin menghapus wajah murung Helena.

"Kakakmu galak, ya? sampai kamu tidak boleh keluar unit" tanya Adrian pelan, mencoba menggali lebih jauh.

Helena menunduk.

"Hmm.. sedikit. Dia sedikit pemarah. Tapi kurasa jam segini... ia belum pulang." suaranya kecil, ia tahu kini ia sedang membicarakan si singa gurun itu. Baru membicarakanya saja sudah membua Helena takut.

Ia menceritakan Rivano sebagai seorang kakak, bukan suami. Bukan karena ia ingin—tapi karena Rivano melarang siapa pun tahu bahwa dirinya adalah istri Rivano Harsono Mahesa. Helena pun tak menyebutkan nama Rivano. Ia terlalu takut salah bicara.

Helena menghindari pandangan Adrian, jari-jarinya meremas ujung jaket yang ia kenakan. Ada rasa bersalah di dadanya, bercampur takut ketahuan, tapi juga sedikit lega karena Adrian tidak curiga.

"Tapi sekarang kamu sudah punya alasan buat keluar," katanya. Ia menoleh sekilas padanya, suaranya dibuat ringan. "Alasan untuk bertemu aku," ucapnya begitu percaya diri.

Helena tertawa tipis, pipinya bersemu merah.

"Bisakan kita bertemu kembali?"

Lift berbunyi. Lantai tujuan Helena tiba.

Ia melangkah keluar.

"Helena..." panggil Adrian lembut.

Ia menoleh.

"Boleh kita bertemu lagi?" tanyanya kembali memastikan.

Gadis itu tersenyum. "Tentu saja, Adrian."

Aku suka mengenalnya mungkin itu isi hati Helena. Lelaki itu bersahabat, mudah untuk di jadikan teman.

Adrian mengangkat alis mendengar namanya saja di sebut.

"Mas Adrian." ulangnya lagi. Ia menatap gadis kecil ini dengan santai memanggil namanya saja

Helena terkekeh mendengar perkataan Adrian. "Mas?" Ia mengulangapplinya sambil tersenyum jahil, matanya menyipit geli.

"Usiaku tujuh tahun lebih tua darimu. Sudah seharusnya kamu memanggilku Mas, seperti adik perempuanku," Adrian kembali mengingatkan dengan nada rewel, seperti kakak yang sedang manja.

Helena tersenyum lebih lebar, matanya berbinar.

"Iya... iya, yang usianya lebih tua," godanya, membuat Adrian menghela napas kesal tapi tak bisa menahan senyum.

Pintu lift mulai menutup perlahan.Helena menoleh sekilas, senyumnya melembut. Suaranya pelan, nyaris hanya terdengar oleh Adrian.

"Terima kasih..., Mas Adrian."

Adrian terdiam. Senyum hangat terbit di wajahnya, namun begitu pintu lift tertutup rapat, ia bersandar ke dinding, menatap kosong ke depan.

"Gadis itu... berbahaya," gumamnya. Jantungnya berdebar kencang, tak seperti biasanya.

Tangannya terangkat, menyentuh bibirnya sendiri seakan ingin memastikan perasaannya nyata. Ia menggeleng kecil, tapi senyum itu tetap melekat di kepalanya.

"Berbahaya sekali... senyumnya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintai Aku    15. Rivano berlari ke arah Helena

    Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters

  • Cintai Aku    14. Helena Ingin One Night Stand

    Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc

  • Cintai Aku    13. Kode Biru

    Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.

  • Cintai Aku    12 - Sisi Gelap Rivano Mahesa

    “Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men

  • Cintai Aku    11. Masa Lalu Rivano

    Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman

  • Cintai Aku    10. Jangan Pergi Helena

    Dibawah deras hujan Manhattan, Helena berlari tanpa menoleh. Kakinya berjalan cepat, terburu buru hingga sesekali ia tampak jatuh dan bangkit lagi. Pergi tak tentu arah, langkahnya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi. Malam itu, ia tinggalkan semua kemewahan yang ditawarkan suaminya. Penthouse megah, gaun-gaun mahal, perhiasan yang memenuhi lemarinya—semua terasa hampa. Ia tak pernah menginginkan itu. Ia pun bukan perempuan gila harta.Yang ia minta hanya satu: cintanya. Sedikit saja. Sedikit ruang untuk dirinya di hati Rivano. Sedikit kesempatan agar pernikahan mereka terasa nyata—bukan sekadar nama di selembar kertas pernikahan yang setiap malam ia takutkan akan berakhir dengan tanda tangan dingin di pengadilan.Helena marah bukan karena cintanya tak berbalas. Tapi… jika memang Rivano tak bisa membuka hati, kenapa harus merusak dirinya? Kenapa harus merenggut kehormatannya lalu seakan semua itu tak berarti appaun.Hujan menampar wajahnya. Ia menarik rapat coat panjang ke tubuhnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status